Jenderal Polisi (Purn) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D, yang menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sriwijaya (Unsri), menyuguhkan pandangan strategis tentang arah tatanan dunia baru. Hal ini disampaikannya dalam orasi ilmiah bertajuk “Peran Perguruan Tinggi dalam Mendukung Indonesia Emas 2045” pada momen Dies Natalis ke-65 Unsri, di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (3/11). Orasi yang berlangsung hampir dua jam tersebut mengupas secara mendalam pergeseran paradigma global yang kini telah melewati setidaknya lima fase perubahan krusial.
Dalam paparannya, Tito Karnavian secara tegas menyatakan dirinya berpijak pada paradigma konstruktivisme. Sebuah pandangan yang menyoroti bahwa kekuatan global di era modern tidak lagi semata-mata ditentukan oleh dominasi militer, melainkan oleh kekuatan yang lebih kompleks, mencakup aspek ekonomi, budaya, dan pengetahuan. “Saya berada dalam posisi paradigma konstruktivisme. Artinya, banyak hal kini diselesaikan bukan dengan kekuatan militer, tapi melalui ekonomi, perdagangan, sosial, dan budaya. Pertarungan yang paling menentukan saat ini adalah pertarungan ekonomi,” ujar Tito dengan lugas.
Menurut Tito, di tengah tatanan dunia baru yang dinamis ini, sektor ekonomi akan menjadi penentu utama siapa yang akan tampil sebagai kekuatan dominan. Negara-negara yang memiliki kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa secara masif, membanjiri pasar dunia, dan menguasai rantai pasok global, secara inheren akan memegang kendali atas ekonomi dunia. Ini adalah arena persaingan yang sesungguhnya.
Mengutip pemikiran Prof. Sait Yilmaz dari bukunya “State, Power, and Hegemony”, Tito menjelaskan bahwa kapasitas produksi masif suatu negara ditentukan oleh empat faktor fundamental. Pertama, angkatan kerja yang besar sebagai motor penggerak produksi. Kedua, sumber daya alam yang melimpah untuk menopang kebutuhan bahan baku. Ketiga, bentangan wilayah yang luas sebagai ruang vital untuk penyimpanan dan distribusi hasil produksi. Tito kemudian menambahkan faktor keempat yang tak kalah penting, yaitu letak geografis strategis, yang berperan sebagai choke point atau jalur vital dalam perdagangan internasional.
“Saya menambahkan faktor keempat, yaitu letak geografis strategis. Indonesia berada di jalur vital dunia. Jika kita bisa memanfaatkannya dengan baik, posisi ini dapat memengaruhi ekonomi negara lain,” tegasnya, menyoroti keunggulan geostrategis Nusantara. Dengan keempat modal besar tersebut, Tito menyimpulkan bahwa hanya segelintir negara yang memenuhi syarat untuk menjadi kekuatan dominan dunia, meliputi China, India, Amerika Serikat, Rusia, dan tentunya, Indonesia.
Tito Karnavian sendiri optimistis bahwa Indonesia memiliki peluang emas untuk melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia keempat pada tahun 2045, mengikuti jejak China, India, dan Amerika Serikat. Namun, ia mengingatkan bahwa keunggulan sumber daya alam (SDA) saja tidaklah cukup. Kunci utama untuk mencapai lompatan besar menjadi negara maju adalah terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM). “Negara itu maju bukan karena SDA, tapi karena SDM-nya. Bonus demografi Indonesia sebesar 68,95% dari total populasi harus diarahkan melalui pendidikan agar menjadi kekuatan produktif,” jelasnya, sambil mencontohkan Singapura di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew yang berhasil maju pesat tanpa SDA melimpah, berkat pendidikan unggul dan beasiswa bagi generasi terbaiknya.
Lebih lanjut, Tito menilai arah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini telah selaras dengan visi Indonesia Emas 2045. Hal ini terlihat dari program-program prioritas di bidang pendidikan dan kesehatan rakyat, seperti Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, dan inisiatif beasiswa kedokteran yang diharapkan mampu mencetak generasi unggul. Oleh karena itu, Tito mengajak perguruan tinggi di Indonesia untuk tidak berpuas diri hanya sebagai “menara gading”. Sebaliknya, perguruan tinggi harus tampil sebagai penggerak utama inovasi dan transformasi nasional. Investasi pada riset, teknologi, dan pengembangan SDM menjadi keharusan agar Indonesia mampu menghadapi tatanan dunia baru yang kian berbasis pengetahuan dan ekonomi digital.
“Perguruan tinggi harus bertransformasi. Dunia berubah cepat, dan kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus jadi pemain utama dalam tatanan global baru,” pungkas Tito, memberikan dorongan kuat bagi seluruh civitas akademika untuk berkontribusi aktif dalam mewujudkan cita-cita besar bangsa.