
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, memimpin diskusi guna mengevaluasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Evaluasi ini dilakukan sebagai langkah awal penyempurnaan regulasi untuk menciptakan budaya sekolah yang lebih aman dan nyaman.
Mu’ti menegaskan urgensi penanganan kekerasan di sekolah, terutama menyusul meningkatnya kasus bullying dan kekerasan digital.
“Kekerasan dalam berbagai bentuk di berbagai tempat memang angkanya sangat tinggi. Termasuk juga ragam kekerasan yang sangat bervariasi,” ujar Mu’ti di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (19/11).
Menurutnya, banyak aksi kekerasan bermula dari tantangan di media sosial sebelum berujung ke dunia nyata.
“Yang dampak dari kekerasan di dunia maya, dunia digital itu kemudian juga diikuti dengan kekerasan yang ada di dunia nyata. Jadi banyak proses tantang-menantang itu dimulai dari medsos, kemudian aksinya dilakukan di tempat yang disepakati oleh mereka,” kata Mu’ti.

“Kemudian memang agak mengemuka akhir-akhir ini adalah kekerasan yang mungkin kebetulan saja kejadiannya berturut-turut yang menelan korban. Tapi dugaan saya kalau kita mau mencoba melihat lebih jauh lagi, saya kira angkanya lebih banyak,” lanjutnya.
Mu’ti menekankan perlunya kolaborasi menyeluruh untuk menangani persoalan ini. “Kami memandang ini sebagai persoalan yang harus segera kita selesaikan bersama-sama karena ini menyangkut masa depan bangsa,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan bahwa lebih dari 81 juta penduduk Indonesia saat ini berada pada usia sekolah yang nantinya menjadi wajah Indonesia 2045.
Terkait regulasi yang berlaku saat ini, Mu’ti menyebut implementasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 masih belum maksimal.

“Semangatnya sangat bagus, tetapi pelaksanaannya belum maksimal. Mungkin karena baru 2 tahun ya, 2023. Tetapi dari materinya saya melihat memang terlalu struktural dan birocratic-heavy,” ujar Mu’ti.
“Terlalu struktural dan sangat menekankan unsur birokrasinya, yang karena sangat struktural dan birokratis itu kemudian pelaksanaannya belum maksimal. Koordinasi antar pihak terkait juga belum terjalin dengan baik,” sambung dia.
Karena itu, Kemendikdasmen berencana menyempurnakan aturan tersebut dengan pendekatan yang lebih humanis, komprehensif, dan partisipatif.
“Kita perlu menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah untuk membangun budaya sekolah yang aman dan nyaman,” kata Mu’ti.

Ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak boleh berhenti sebatas aturan, tetapi harus menjadi gerakan bersama.
“Upaya kita mewujudkan budaya itu harus ditekankan menjadi sebuah gerakan, bukan sekadar kebijakan,” tuturnya.
Pihaknya menargetkan aturan baru tersebut dapat diterapkan pada semester kedua tahun ajaran 2025/2026.
“Permendikdasmen tentang mewujudkan budaya sekolah aman dan nyaman ini dapat segera terwujud, dan kami merencanakan pada tahun 2026 memasuki semester 2 tahun pelajaran 2025/2026 itu, Permendikdasmen ini sudah berlaku,” pungkasnya.