Jakarta, IDN Times – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, menepis kekhawatiran bahwa keadilan restoratif (restorative justice) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan, berpotensi menjadi alat pemerasan. Ia menegaskan, mekanisme ini justru memberikan batasan yang jelas dan tidak bisa diterapkan secara sembarangan, apalagi di tahap penyelidikan yang belum jelas status tindak pidananya.
Menurut Habiburrokhman, KUHAP baru secara tegas mengatur rambu-rambu pelaksanaan keadilan restoratif. “Ini klaim yang tidak benar,” tegasnya dalam jumpa pers di Gedung DPR RI, Rabu (19/11/2025). Ia menambahkan bahwa pelaksanaan restorative justice harus dilakukan atas dasar kesukarelaan, tanpa paksaan, intimidasi, tekanan, tipu daya, ancaman kekerasan, kekerasan fisik, penyiksaan, atau tindakan merendahkan martabat kemanusiaan.
Lebih lanjut, legislator dari Fraksi Partai Gerindra ini menjelaskan bahwa mekanisme keadilan restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Hal ini bertujuan untuk memberikan solusi yang lebih manusiawi dan efektif dalam penyelesaian perkara pidana.
1. Restorative Justice Harus Ada Unsur Suka Rela

Penekanan pada unsur kesukarelaan menjadi poin penting dalam penerapan restorative justice. Habiburrokhman menegaskan bahwa tidak mungkin mekanisme ini bisa dimanfaatkan untuk menekan korban, karena seluruh prosesnya harus bebas dari unsur paksaan, intimidasi, atau tekanan apapun. Pasal 79 hingga 88 dalam KUHAP secara rinci mengatur tentang restorative justice, memberikan panduan yang jelas mengenai pelaksanaannya.
“Jadi, prasangka buruk itu benar-benar tidak bisa diterapkan. Restorative justice ini justru mengedepankan kesukarelaan dari semua pihak yang terlibat,” ujarnya.
2. Keadilan Restoratif Diawasi Pengadilan

Selain kesukarelaan, Habiburrokhman juga menyoroti pentingnya perdamaian yang tulus dari kedua belah pihak yang berseteru. Jika salah satu pihak merasa keberatan, maka keadilan restoratif tidak dapat ditempuh. Yang lebih penting lagi, seluruh proses pelaksanaan restorative justice diawasi dan harus mendapatkan penetapan dari pihak pengadilan.
“Jadi, restorative justice itu pada akhirnya, kalau sudah dilaksanakan, harus ada penetapan pengadilan. Nah, ini restorative justice, hal baru yang di KUHAP lama tidak diatur,” jelasnya, menunjukkan perbedaan signifikan antara KUHAP yang baru dan yang lama.
3. Indonesia Resmi Punya KUHAP Baru

DPR RI secara resmi mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang berlangsung pada Selasa (18/11/2025). Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, beserta para wakil ketua, dan dihadiri oleh Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.
Dalam laporannya, Ketua Panja RKUHAP, Habiburrokhman, menjelaskan beberapa ketentuan penting yang diatur dalam KUHAP baru, termasuk keadilan restoratif. Ia mengatakan bahwa RUU ini telah mendefinisikan keadilan restoratif (restorative justice) dalam Pasal 1 angka 21 dan memberikan wewenang kepada penyidik (Pasal 7 huruf k) untuk melakukan penyelesaian perkara melalui mekanisme ini. Penghentian penyidikan karena tercapainya penyelesaian restoratif juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) huruf h.
Pasal 79-88 secara detail mengatur mekanisme atau proses restorative justice, mulai dari pelaksanaan kesepakatan hingga penetapan pengadilan. Pasal 79 memberikan jaminan bagi pelaku untuk memenuhi seluruh kesepakatan. KUHAP juga mengatur ganti rugi, kompensasi, restitusi, dan dana abadi, yang memungkinkan optimalisasi pemulihan hak korban.
Setelah mendengarkan laporan tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta persetujuan dari seluruh peserta rapat untuk mengesahkan RKUHAP menjadi UU.
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP, apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan, yang kemudian dijawab dengan persetujuan dari seluruh peserta rapat. Puan kemudian mengetok palu sidang, menandakan RKUHAP sah menjadi UU, menandai babak baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Ringkasan
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburrokhman, membantah bahwa keadilan restoratif dalam KUHAP baru berpotensi menjadi alat pemerasan. Ia menegaskan bahwa KUHAP baru mengatur rambu-rambu yang jelas dan pelaksanaan restorative justice harus atas dasar kesukarelaan, tanpa paksaan atau intimidasi. Mekanisme ini dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan untuk memberikan solusi yang lebih manusiawi.
Habiburrokhman menyoroti pentingnya perdamaian tulus dan pengawasan pengadilan dalam pelaksanaan restorative justice. Jika salah satu pihak keberatan, keadilan restoratif tidak dapat ditempuh, dan seluruh proses harus mendapatkan penetapan dari pengadilan. DPR RI telah resmi mengesahkan KUHAP baru yang mengatur restorative justice secara rinci, termasuk ganti rugi dan kompensasi bagi korban.