Penyintas Banjir Aceh: Kayu Gelondongan Turun Tiba-tiba dari Gunung

Photo of author

By AdminTekno

Laporan wartawan Republika, Lintar Satria, dari Aceh

Di tengah kepungan banjir bandang yang melanda Desa Lhok, Pidie Jaya, Aceh, Rachmadi, seorang petani sekaligus Kepala Desa Lhok, bersama keluarganya harus berjuang melawan kelaparan selama tiga hari, hanya mengandalkan air hujan untuk melepas dahaga. Beruntung, rumah berlantai dua miliknya menjadi satu-satunya perlindungan, memungkinkan mereka menyelamatkan diri ke lantai atas saat air bah menerjang.

Banjir lumpur setinggi dua meter yang memorakporandakan desa itu diyakini Rachmadi sebagai bencana terparah sepanjang sejarah wilayah tersebut. Dampak kerugiannya begitu besar, menghantam sektor pertanian dan properti, bahkan enam rumah dilaporkan lenyap tak bersisa, ditelan keganasan air.

Kediaman Rachmadi tak hanya dihuni istri dan empat anaknya, namun juga keluarga sang kakak serta keluarga seorang ustaz. Tragedi pahit pun tak terhindarkan; kakak kandungnya, seorang pasien cuci darah, meninggal dunia di rumah saat banjir bandang melanda. “Abang kandung saya meninggal di rumah. Dia pasien cuci darah. Kena giliran cuci hari Rabu itu. Sesak dia. Oksigen yang ada di rumah habis,” tutur Rachmadi dengan nada getir saat ditemui di Meunasah Lhok, lokasi pengungsian sementara pada Senin (1/12/2025). Persediaan oksigen di rumah habis tak mampu menolongnya di tengah kondisi darurat yang mencekam.

Setelah tiga hari terisolasi, keluarga Rachmadi akhirnya berhasil keluar dari kepungan banjir meskipun tanpa bantuan evakuasi. Mereka harus meniti di atas tumpukan kayu gelondongan yang berserakan di jalan, memanfaatkan momen setelah hujan deras yang mengguyur Pidie Jaya selama tiga hari berturut-turut mulai mereda. Lebih memilukan lagi, di tengah musibah ini, Rachmadi dan ustaz yang tinggal di rumahnya masing-masing memiliki bayi yang baru berusia 20 dan 21 hari. Setelah berhasil lolos dari jebakan air, Rachmadi segera mengungsikan keluarganya, termasuk para balita, ke rumah mertuanya.

Di meunasah kampung, tempat pengungsian sementara, sekitar tujuh puluh lima keluarga korban banjir Pidie Jaya, Aceh, harus tinggal berdesak-desakan. Pemandangan ini terekam pada Senin (1/12/2025), oleh Lintar Satria dari Republika.

Selagi mengoordinasikan posko banjir di Desa Lhok, Rachmadi menjelaskan bahwa bencana ini bukan semata-mata akibat hujan deras tiga hari berturut-turut. Penyebab utamanya, kata dia, adalah penggundulan hutan besar-besaran di kawasan pegunungan yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Deforestasi ini, menurut Rachmadi, telah mengubah pola aliran air secara drastis. Air hujan kini langsung mengalir deras ke permukiman, membawa serta lumpur dan kayu gelondongan dari gunung secara tiba-tiba. Berbeda dengan banjir biasa yang naik perlahan dan memberi waktu warga untuk bersiap, kali ini air justru terus meninggi tanpa jeda, merenggut kesempatan warga menyelamatkan diri dan harta benda mereka.

Mayoritas warga Desa Lhok menggantungkan hidup sebagai petani. Rachmadi sendiri memiliki sawah seluas 27 dale (sekitar 6,75 hektare) yang kini sepenuhnya terendam lumpur dan mustahil untuk dipanen. Ia belum bisa menghitung pasti total kerugian yang diderita. Kerugian tak hanya pada lahan pertanian, namun juga pada properti berharga. Mobil dan sepeda motor warga ikut tenggelam dalam lautan lumpur; beberapa mobil bahkan hanya menyisakan atapnya saja yang terlihat mengambang.

Skala bencana banjir bandang kali ini disebut Rachmadi belum pernah terjadi sebelumnya. Ia mencatat perubahan tata ruang kampung secara fundamental: sungai-sungai seolah mencari jalur baru, sementara bekas area hutan kini berfungsi sebagai jalur lalu lintas air. Indikasi lainnya adalah terendamnya empat dusun yang sebelumnya tak pernah terdampak banjir. Di tengah kekacauan dan kepanikan, isu tsunami sempat beredar luas, menambah ketakutan warga. Ironisnya, di saat yang sama, pihak berwenang berhasil menangkap lima orang pencuri yang berusaha memanfaatkan situasi darurat ini untuk melancarkan aksinya.

Kisah serupa juga dialami warga Desa Lhok Ang, yang tak jauh dari Desa Lhok. Hidayat, seorang warga setempat, menceritakan bagaimana banyak tetangganya harus menahan lapar selama tiga hari akibat terperangkap banjir bandang dan terputusnya akses pasokan makanan. Seperti Rachmadi, Hidayat sangat yakin bahwa banjir bandang yang terjadi pada Rabu (27/11/2025) lalu adalah buah dari penggundulan hutan.

Sebagai bukti, Hidayat menunjukkan tumpukan kayu gelondongan yang hanyut bersama arus deras, menghancurkan rumah-rumah warga dan berserakan di seluruh penjuru desa. Ia menyoroti, kayu-kayu yang terbawa air itu tampak terpotong rapi layaknya hasil tebangan, bukan pohon-pohon yang tercabut dari akarnya secara alami. “Pegunungan kan tidak rindang lagi, tergantikan oleh perkebunan sawit,” tegas Hidayat, menyuarakan kekhawatiran yang sama dengan Rachmadi mengenai perubahan lanskap yang merusak.

Dalam rekaman video (Selasa, 2/12/2025), Hidayat, warga Desa Lhok Ang, tampak menjelaskan tumpukan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir bandang di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Meureudu, Pidie Jaya, Aceh.

Temuan ini diperkuat oleh studi lembaga think-tank Celios. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kerugian bencana ekologis yang dipicu oleh alih fungsi lahan akibat deforestasi sawit dan aktivitas pertambangan di Provinsi Aceh pada akhir November lalu mencapai angka fantastis: Rp2,2 triliun. Provinsi lain di Sumatera juga tak luput dari dampak serupa, dengan Sumatera Utara diproyeksikan kehilangan Rp2,07 triliun dan Sumatera Barat Rp2,01 triliun.

Celios dengan tegas menyatakan bahwa kontribusi ekonomi dari sektor pertambangan dan perkebunan sawit bagi Provinsi Aceh sama sekali tidak sebanding dengan besaran kerugian akibat bencana yang ditimbulkannya. Secara keseluruhan, bencana ekologis di Pulau Sumatera selama periode November 2025 diperkirakan telah mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai Rp68,67 triliun. Angka ini mencakup kerusakan rumah penduduk, hilangnya pendapatan rumah tangga, rusaknya fasilitas infrastruktur seperti jalan dan jembatan, serta kehilangan produksi lahan pertanian yang tergenang banjir-longsor.

Melihat urgensi temuan ini, Celios mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan moratorium izin pertambangan dan perluasan kebun sawit. Namun, jauh sebelum hasil penelitian ini dirilis di Jakarta, para petani di garis depan sudah lama mengetahui dan merasakan dampak langsung bahwa ekspansi perkebunan sawit inilah yang secara perlahan namun pasti menghancurkan desa dan mata pencarian mereka.

Leave a Comment