Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur

Photo of author

By AdminTekno

Sebuah bencana tak terduga melanda Desa Blang Cut di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, mengubah wajahnya secara drastis. Sejak banjir besar menerjang provinsi paling utara Pulau Sumatra pada 26 November lalu, desa ini kini menjadi medan yang dipenuhi oleh anak-anak sungai dadakan yang membelah daratan.

Setidaknya lima aliran sungai baru terbentuk, memotong jalur-jalur vital di Desa Blang Cut, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya. Derasnya air bah juga membawa serta lumpur tebal yang kini menimbun puluhan rumah warga, menjadikan desa tersebut laksana desa mati yang tidak lagi layak huni.

Untuk mengembalikan kehidupan di Desa Blang Cut, warga seperti Ari Fanda (30) mengungkapkan bahwa upaya penutupan aliran-aliran sungai baru ini adalah langkah krusial. Hanya dengan demikian, proses pengerukan lumpur yang kini membenamkan permukiman dapat segera dimulai.

Ari Fanda sendiri adalah seorang penyintas banjir yang mengalami langsung kengerian malam itu. Pada 26 November, Ari harus berjibaku dengan ganasnya arus Sungai Meureudu, berjuang menggendong ibunya demi menyelamatkan diri dari kepungan air.

“Air saat itu dalamnya sampai leher. Saya berjalan sambil menggendong ibu sejauh sekitar 50 meter, menuju rumah salah seorang warga lainnya yang rumahnya merupakan rumah panggung,” kenang Ari kepada Rino Abonita, seorang wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Selasa (03/12).

Pada malam yang mencekam itu, kegelisahan mulai menyelimuti Ari. Ia berinisiatif mengecek debit air di sungai dan mendapati permukaan air yang naik secara perlahan, namun dengan kecepatan yang tidak lazim.

“Saya bilang ke ketua pemuda kami: sepertinya air bertambah terus. Saya harus pulang untuk membawa ibu saya ke tempat aman,” tuturnya, menggambarkan urgensinya saat itu.

Sesampainya di rumah, air sudah mencapai pinggangnya. Tanpa ragu, Ari meyakinkan ibunya bahwa mereka harus segera mencari lokasi yang jauh lebih aman untuk menyelamatkan diri. Dini hari itu, dalam sekejap mata, air merangsek masuk ke dalam rumahnya, bahkan melampaui lantai yang sengaja ditinggikan sebagai upaya mitigasi terhadap potensi banjir.

Namun, upaya mitigasi tersebut nyatanya tak berarti apa-apa. Ari lantas bergegas memikul ibunya, Syariani (65 tahun). Keduanya berjuang mengarungi banjir, melewati pintu belakang rumah, di tengah ketinggian air yang sudah mencapai lehernya.

“Saya sempat menelepon seseorang, agar dihubungkan dengan pihak SAR, tapi mereka bilang tidak bisa datang saat itu,” ujar Ari, menyoroti minimnya bantuan. “Karena itu saya akhirnya memutuskan menggendong ibu. Waktu itu jam 2 pagi,” imbuhnya.

Ari berhasil mengevakuasi ibunya ke rumah tetangga berlantai dua yang tidak terlalu jauh dari kediaman mereka. Di sanalah, Ari dan ibunya, bersama beberapa warga desa lainnya, mencari perlindungan dan bertahan.

Pagi harinya, pemandangan Desa Blang Cut sudah benar-benar porak-poranda. Air tampak di mana-mana, sementara kepanikan melanda dengan teriakan minta tolong yang saling bersahutan.

Ari dan beberapa tetangganya tak tinggal diam. Mereka berupaya menolong dua anak yang berpegangan erat pada tiang beton di tengah derasnya arus air. Ari menceritakan, ia bersusah payah berenang untuk mencapai kedua anak itu, lalu berteriak meminta tetangganya melempar tali guna mengikat mereka.

Seorang warga lainnya turut terjun ke air membantu Ari. Dengan sigap, mereka mengikat kedua anak tersebut dan menariknya perlahan dari tengah arus yang sangat kuat. Dalam momen penyelamatan dramatis itu, tali tambang yang digunakan sempat putus, menyebabkan kepanikan melanda warga yang menyaksikan.

“Namun orang yang berusaha menyelamatkan dua anak tadi akhirnya berhasil meraih tali itu,” tutur Ari, menggambarkan keberhasilan di tengah gentingnya situasi. Kedua anak tersebut akhirnya selamat dan dievakuasi ke rumah bertingkat yang menjadi pos pengungsian sementara.

Menjelang tengah hari, Ari menyaksikan sepasang suami-istri berjuang menyelamatkan diri dari terjangan air dengan berpegangan pada sebuah kulkas yang terseret arus. Sayangnya, beberapa tetangganya hanya berhasil menyelamatkan sang istri. Sementara suaminya, menurut Ari, terbawa arus menuju desa tetangga, yakni Desa Buangan.

Sore harinya, Ari dan warga lainnya bersepakat untuk mencari bantuan ke desa lain. Langkah ini diambil bukan hanya karena mereka mulai kelaparan, tetapi juga rasa penasaran akan kondisi di desa-desa sekitar yang terdampak banjir Pidie Jaya.

“Saat itu yang berangkat saya, Apri dan Fadlon. Saya bilang ‘bagaimana pun caranya kita harus cari makanan’,” ujar Ari, menunjukkan tekad kuat mereka untuk bertahan hidup.

Pada 27 November, luapan air yang melanda Desa Blang Cut dari Sungai Meureudu belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda. Air terus bergerak cepat, membawa berbagai material yang menghanyutkan. Ari dan rekan-rekannya memutuskan untuk berenang, mencari titik yang arusnya tidak terlalu deras.

Ibu Ari dan beberapa warga lainnya berpesan agar rombongan kecil ini pulang sebelum magrib, mengingat risiko yang sangat tinggi akibat banjir. “Ketinggian air saat itu masih belum berubah. Air belum turun. Namun, kami mau tidak mau harus mencoba,” ucapnya, menyiratkan keputusan yang penuh risiko.

Dalam perjalanan mengarungi banjir, Ari dan dua warga yang bersamanya sempat terjebak arus. Mereka terpaksa berbalik arah, mencari jalur yang jauh lebih aman. Setelah berenang sekitar 150 meter, Ari dan rombongan kecilnya akhirnya tiba di sebuah pesantren di Desa Dayah Kruet. Di sana, mereka disambut oleh keluarga penghuni pesantren yang telah kosong ditinggal para santrinya.

“Kami membersihkan diri sebentar dan sempat diberi makan oleh mereka,” kata Ari, menggambarkan momen kelegaan di tengah keputusasaan.

Sekitar pukul 10 malam, Ari sayup-sayup mendengar suara orang meminta tolong. Ia mengklaim melihat seorang perempuan “sedang bertarung antara hidup dan mati”, berpegangan pada sebatang kelapa, memohon bantuan dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki.

“Kalau ada orang di situ, tolong saya, kata dia. Saya sudah tidak sanggup lagi. Tenaga saya sudah habis,” Ari menirukan suara memilukan itu. Tanpa berpikir panjang, Ari dan rekan-rekannya berjibaku menyelamatkan perempuan yang diperkirakannya seusia ibunya. Perempuan tua itu, menurut Ari, hanyut terbawa arus dari Desa Meunasah Raya, Kecamatan Meurah Dua.

“Kayaknya ada empat jam lamanya ibu tersebut bertahan pada batang kelapa,” kata Ari, menyoroti ketahanan luar biasa perempuan tersebut. Malam itu, Ari, rekan-rekannya, dan warga yang berhasil menyelamatkan diri beristirahat di pesantren. Keesokan paginya, mereka menyantap roti yang merupakan barang dagangan milik penghuni pesantren.

Sambil makan, Ari melihat empat orang lainnya yang berusaha mengarungi banjir di dekat pesantren. Salah seorang di antaranya bahkan dalam kondisi hampir tidak mengenakan pakaian sama sekali. “Keluarga ini juga berasal dari Meunasah Raya. Sebelumnya mereka sempat menyelamatkan diri di atas pohon mangga selama satu malam,” ujarnya. “Awalnya mereka berlima. Ada seorang anak lagi, tapi tidak berani turun. Saat ini dia sudah selamat,” tambahnya.

Keluarga tersebut kemudian diarahkan menuju sebuah gubuk sebelum akhirnya diselamatkan oleh Ari dan rekan-rekannya. Pagi itu juga, mereka bertemu keluarga lain yang tengah berjuang berenang mengarungi arus air.

Menurut Ari, empat orang itu juga berasal dari desa yang sama dengannya, yakni Desa Blang Cut. Keluarga tersebut terdiri dari seorang perempuan tua, menantu, dan dua cucunya yang terlihat bertahan dengan sebuah tong plastik. Namun, di tengah perjuangan itu, perempuan tua tersebut sudah tidak bernyawa lagi. Sang menantu perempuan dengan penuh kepedihan menggotong jenazah ibu mertuanya sembari mengarungi derasnya banjir.

“Sebelumnya mereka sempat bersama-sama selamat mengarungi banjir sebelum ibu mertuanya terbentur kayu,” jelas Ari mengenai penyebab tragis kematian sang ibu mertua. Jenazah perempuan tersebut sempat disemayamkan selama satu malam. Keesokan harinya, Ari dan warga lain kembali turun mengarungi banjir untuk meminta bantuan warga dari desa lain agar jenazah tersebut bisa segera dievakuasi ke tempat yang jauh lebih layak.

Dibantu oleh sekitar 20-an orang, mereka saling membahu menarik jenazah yang ditempatkan di atas papan kayu sejauh sekitar satu kilometer. Ari berkata, jenazah itu dikubur seadanya di sebuah desa tetangga saat air mulai surut, sebuah tindakan yang menunjukkan kesulitan di tengah bencana.

Ari akhirnya memutuskan untuk kembali ke Desa Blang Cut karena kondisi air tampak membaik. Namun, ia mendapati desanya kini dipenuhi oleh cabang-cabang sungai baru dengan aliran yang cenderung deras, sebuah perubahan permanen pasca banjir Pidie Jaya.

Sungai yang sebelumnya mengalir tenang di belakang rumah penduduk kini meluap, membentuk jalur-jalur baru akibat anomali banjir. Cabang-cabang sungai ini memotong jalan desa, menjangkau kawasan yang sebelumnya merupakan areal persawahan subur. Ironisnya, aliran sungai-sungai lama yang sebelumnya mengalir di desa tersebut kini mengering, ditutupi oleh berbagai material seperti dahan dan gelondongan kayu.

Sementara itu, lumpur kini mulai mengeras dengan ketinggian mencapai atap rumah. Kompleks pemakaman desa sendiri kini tenggelam, tak tampak lagi ujung nisan yang menandai peristirahatan terakhir.

“Kalau cabang-cabang air sungai baru itu tidak dinormalisasi atau ditimbun, desa kami menjadi desa yang tidak dapat dihuni lagi,” ujarnya, menyoroti ancaman nyata terhadap keberlanjutan hidup di Desa Blang Cut. Warga Blang Cut lainnya, Tengku Mustaqim, juga menambahkan, “Setelah sungai normal, baru lumpur di rumah kami bisa dikeruk atau dibersihkan. Mau tidak mau terpaksa pindah.”

Desa Blang Cut kini masih lumpuh total. Ari mengaku belum mendapat bantuan apa pun dari pemerintah, dan sangat berharap bantuan darurat dapat segera disalurkan. “Kita amat butuh bantuan, seperti untuk makan dan air,” pungkas Ari, mewakili jeritan hati para korban banjir Aceh.

Liputan ini disusun oleh wartawan di Aceh, Rino Abonita.

  • Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra
  • Pengakuan warga Kabupaten Agam, Aceh Tengah dan Tapanuli Tengah yang terisolasi – ‘Demi makan, kami harus menembus kubangan lumpur”
  • ‘Mama saya meninggal dalam keadaan salat’ – Akhir perjuangan anak mencari sang ibu yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar
  • Perjuangan seorang ibu dan tiga anaknya lolos dari maut saat banjir melanda Palembayan, Sumbar
  • Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’

Leave a Comment