
Sepekan gelombang bencana menimpa provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, sejumlah pejabat publik bergantian melontarkan pernyataan dan tindakan yang mematik kontroversi, alih-alih menerbitkan kebijakan signifikan dan korektif yang dapat mencegah berulangnya bencana.
Pada Jumat (28/11), Kepala BNPB Suharyanto dalam pernyataan kepada media menyebut situasi “mencekam” akibat banjir dan longsor “hanya berseliweran di media sosial.”
Ada pula Bupati Aceh Tenggara, Salim Fakhry, yang justru menyuarakan “kalau bisa Pak Prabowo [Subianto] jadi presiden seumur hidup,” saat sang kepala negara mengunjungi daerahnya pada Senin (1/12).
Fenomena ini muncul di tengah masih adanya pengakuan warga yang menyebut “penanganan bencana tidak maksimal”.
Pengamat kebencanaan menilai rangkaian pernyataan para pejabat publik itu menunjukkan ketiadaan “perspektif kemanusiaan.”
“Ini pembelajaran… perlu empati yang lebih baik,” ujar pengamat kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno.
Hingga Rabu (3/12) sore, pukul 18.30 WIB, korban meninggal bencana di tiga provinsi di Sumatra ini setidaknya mencapai 770 orang.
Apa saja pernyataan kontroversial yang telah dilontarkan pejabat pemerintah? Apakah masyarakat menilai penanganan bencana sudah berjalan baik?
Siapa saja yang mematik kontroversi?
Rangkaian pernyataan kontroversial itu terlontar dari pejabat level daerah hingga pusat.
Pernyataan yang mematik reaksi negatif disuarakan Kepala BNPB Suharyanto dalam pernyataan kepada media menyebut situasi “mencekam” akibat banjir dan longsor “hanya berseliweran di media sosial.”
Suharyanto belakangan meminta maaf saat mengunjungi Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada Senin (1/12) dan mengaku “saya surprise, tidak mengira sebesar ini.”
Ada pula pernyataan Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Dwi Januanto yang menyebut gelondongan kayu yang ikut tersapu banjir adalah “kayu lapuk.”
Sehari usai pernyataan itu, Dwi Januanto meluruskan pernyataannya.
“Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir,” ujar Dwi.
“[Pernyataan itu] melainkan untuk memperjelas sumber-sumber kayu yang sedang kami telusuri dan memastikan setiap unsur illegal logging tetap diproses sesuai ketentuan.”
Berita terkait:
- Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
- Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’
- Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
Pada Senin (1/12), giliran Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan yang mematik kontroversi, setelah ia ikut memanggul sekarung beras di pundak kiri saat meninjau lokasi banjir bandang di Koto Panjang Ikur Koto, Koto Tangah, Padang.
Dalam video yang diunggah di Instagram @zul.hasan itu, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu berjalan memanggul beras sembari menyapa masyarakat.
Zukifli juga terlihat turut membersihkan rumah salah satu warga yang dipenuhi lumpur, menggunakan sekop.
Ia juga tampak berbicara dengan sejumlah warga, seraya mengatakan bahwa pemerintah telah menginstruksikan Perum Bulog untuk menggandakan pasokan pangan di daerah bencana.
Alih-alih menerima respons positif, video berdurasi 58 detik itu justru mematik kritik netizen, menyebutnya sebagai pencitraan.
Warganet menyebut Zulkifli sejatinya adalah salah salah satu orang yang bertanggung jawab atas masifnya banjir dan longsor di Sumatra karena pernah menjabat Menteri Kehutanan —yang berperan dalam penerbitan izin pengelolaan hutan di Indonesia.
Ada pula Bupati Aceh Tenggara, Salim Fakhry, yang justru menyuarakan “kalau bisa Pak Prabowo [Subianto] jadi presiden seumur hidup,” saat kepala negara mengunjungi daerahnya pada Senin (1/12).
Sebelum melontarkan pernyataan itu, Salim sempat mengucapkan terima kasih karena Prabowo menyempatkan diri mengunjungi korban bencana di daerahnya.
Menurutnya, “tidak terbayang di hati kami, seorang pemimpin negara, hadir di Kabupaten Aceh Tenggara.”
“Rakyat dan masyarakat Aceh Tenggara hari ini bersyukur… Kehadiran Bapak sebagai pemimpin negara mengobati hati rakyat dan masyarakat Aceh Tenggara yang dulu setia memilih Bapak pada pemilu presiden tahun lalu,” ujar Salim.
Politikus Partai Golkar itu melanjutkan pernyataan dengan mengatakan “tidak ada presiden seperti beliau, menyapa rakyat, menyapa masyarakat.”
“Kalau bisa, Pak Prabowo [Subianto] jadi presiden seumur hidup.”
Pada Selasa (2/12), Partai Golkar mengklarifikasi pernyataan Salim.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, menyebut pernyataan kadernya itu sebatas “ekspresi kegembiraan karena presiden merespons cepat penanganan bencana.”
“Bupati [Salim] sampaikan seperti itu,” kata Sarmuji.
Sarmuji melanjutkan, presiden sendiri sudah mengindikasikan “tidak tergoda” dengan pernyataan Salim.
“Presiden juga dengan baik dan spontan menanggapi ungkapan itu dengan menggelengkan kepala,” pungkas Sarmuji.
Pernyataan tak terkait penanganan bencana tak cuma disampaikan Bupati Aceh Tenggara.
Prabowo Subianto saat meninjau lokasi pengungsian di Kompleks Bumi Kasai Permai, Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat pada Senin (01/12) menyinggung pemberantasan korupsi di hadapan korban bencana.
Semula, Prabowo mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya mengeloa uang rakyat agar bisa membantu masyarakat saat dilanda kesusahan.
“Kita bekerja untuk rakyat, kita berbakti untuk rakyat kita akan mengelola kekayaan negara supaya bisa membantu rakyat. Untuk itu, marilah kita saling membantu, marilah kita bersatu, sama-sama menghadapi masa susah,” kata Prabowo.
Pengeloaan kekayaan negara itu, terang Prabowo, agar tidak ada lagi kebocoran.
Ia lalu melontarkan pertanyaan kepada para pengungsi, “Kalian suka enggak kalau saya sikat itu maling-maling semua?”
“Supaya tidak ada kebocoran, tidak ada maling-maling yang mencuri uang rakyat… Uang yang mereka curi nanti kita alirkan semua ke rakyat,” ujarnya.
Baca juga:
- Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’
- ‘Mama saya meninggal dalam keadaan salat’ – Akhir perjuangan anak mencari sang ibu yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar
- Perjuangan seorang ibu dan tiga anaknya lolos dari maut saat banjir melanda Palembayan, Sumbar
‘Perlu empati yang lebih baik’
Sejumlah pengamat menyayangkan beragam pernyataan dan tindakan pejabat pemerintah yang mematik kontroversi, alih-alih membuat kebijakan yang dapat mempercepat penanganan.
Pengamat Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, pemerintah harus “meningkatkan komunikasi” di tengah duka yang dialami para korban bencana.
“Ini pembelajaran… perlu empati yang lebih baik,” ujar Eko Teguh Paripurno kepada wartawan Arie Firdaus yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (03/12).
“Perspektif kemanusiaan enggak muncul dengan baik.”
Peneliti Sosial Nanyang Technological University Singapura, Sulfikar Amir, yang menilai rangkaian kontroversi itu akibat pemerintah “meremehkan kondisi di lapangan.”
Padahal dalam prinsip kebencanaan, terang Sulfikar, pemerintah semestinya bersikap “over estimate daripada under estimate.”
“Lebih baik sumber daya tak terpakai daripada kurang,” ujar Sulfikar.
“Enggak bisa under estimate, enggak bisa. Supaya korban bisa diminimalisasi. Itu prinsip bencana mendasar,” ujar Sulfikar.
Bagaimana masyarakat menilai penanganan bencana sejauh ini?
BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah korban bencana, guna mengetahui sejauh mana penanganan bencana yang telah dilakukan pemerintah.
Mereka mengaku penanganan dari pemerintah belum maksimal, kendati bencana sudah berlangsung sepekan di beberapa daerah.
Mulyani, yang memiliki keluarga di Langsa, Aceh, menyebut penanganan pemerintah di daerah tersebut masih minim.
Orang tua Mulyani dan adiknya bermukim di kota yang terletak di pantai timur provinsi Aceh tersebut.
Langsa merupakan salah satu titik yang terdampak parah akibat bencana, bahkan menjadi “titik mendarat” siklon Senyar yang memicu hujan deras disertai angin kencang beberapa waktu lalu.
Hingga sepekan bencana telah terjadi, terang Mulyani, tidak ada titik pengungsian yang jelas di Langsa.
Begitu pula lokasi dapur umum bagi para korban banjir.
Menurut Mulyani, adiknya sempat mendapat informasi bahwa Pemerintah Daerah Langsa mengklaim telah menyediakan dapur umum bagi para korban bencana pada hari kelima bencana.
Namun, Mulyani menyebut, “lokasinya enggak tahu di mana.”
Alhasil, warga di sekitar kediaman orang tua Mulyani kini mendirikan dapur swadaya.
“Sekarang, warga bantu warga,” ujar Mulyani.
Ketiadaan bantuan dan dapur umum itu, disebutnya sangat merugikan korban bencana.
Pasalnya, stok bahan pokok milik warga kian menipis, sementara harga yang tersedia di pasaran pun telah melonjak berkali-kali lipat.
Ia menuturkan, sekarung beras berukuran 10 kilogram kini dijual seharga Rp500.000.
BBC News Indonesia juga mendapati fenomena kenaikan harga beras ini di Aceh Tengah —sekarung beras berukuran 10 kilogram juga dijual Rp500.000.
Oleh karena itu, ia menilai penanganan bencana kali ini “sangat buruk.”
“Masyarakat merasa enggak diurus,” kata Mulyani.
Kondisi tak lebih baik menimpa warga Aceh Tengah hingga hari ketujuh bencana.
Kabupaten yang terletak di tengah provinsi Aceh itu masih terputus dan sulit diakses, sehingga distribusi bantuan pun terbatas.
Wartawan Iwan Bahagia yang melaporkan untuk BBC News Indonesia menyebut, sekitar 98 kampung masih berstatus terisolir dan terancam kelaparan karena bahan pangan menipis.
Hal ini dikonfirmasi Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Aceh Tengah, Mustafa Kamal.
Mustafa mengaku, ancaman kelaparan bahwa tak hanya mengancam warga terisolir, tapi juga yang bermukim di perkotaan.
Ia merujuk 98 kampung yang sampai saat ini masih sulit diakses.
“Sebagian besar, kita tidak tahu bagaimana kondisi pangan mereka pascabencana, [sementara] stok sembako di posko bencana juga terbatas,” ucap Mustafa.
Dalam tiga hari terakhir, bantuan sembako ke Aceh Tengah memang sudah berdatangan, tapi disebut Mustafa sangat terbatas sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menipisnya pasokan bahan pangan di Aceh Tengah bahkan membuat penjualan beras di beberapa toko harus dikawal anggota polisi.
“Ini miris. Ratusan masyarakat antre beras di beberapa titik, membeli dengan takaran dua gelas, kiloan, dan sebagainya, sementara setiap rumah tangga memiliki jumlah keluarga yang berbeda,” ucap Mustafa.
Apa saran Mustafa untuk penanganan bencana di Aceh Tengah?
“Kita butuh perbaikan jalan nasional segera, jalan kabupaten segera, dan kalau bisa dibantu helikopter yang siaga di sini, sehingga bisa membantu kebutuhan mendesak,” terang Mustafa, menyuarakan harap agar masalah ini dapat segera tuntas.
Per hari ini, sebanyak 6 kecamatan dan 98 kampung masih belum bisa dilalui kendaraan.
Masyarakat terisolir mencapai 61.997 jiwa, pengungsi mencapai 38.057 jiwa, dan rumah rusak 2.218 unit
Sebanyak 59 jembatan juga masih rusak, dengan rincian dua jembatan provinsi, 15 jembatan nasional, serta jembatan antar kampung mencapai 64 jembatan.
Tak berbeda penilaian Mairizel, salah seorang warga Palembayan, Agam, Sumatra Barat.
Tiga hari sejak bencana terjadi pada 27 November, Mairizel mengaku “kecewa” dengan lambannya proses penanganan bencana.
Padahal Palembayan merupakan salah satu daerah terdampak parah bencana banjir dan longsor di Sumatra Barat.
Apa keluhan Mairizel?
“Pada hari Sabtu kemarin, kami terpaksa menggotong adik sepupu saya ke jalur utama melalui lumpur setinggi dada untuk bisa mendapatkan pertolongan medis,” kata Mairizel, mengomentari penangana bencana di wilayahnya.
Selain terluka, sejumlah anggota keluarga Mairizel meninggal dunia akibat bencana tersebut.
“Memang saya sedikit menyayangkan itu, tapi mau bagaimana lagi. Karena saya juga bukan bagian dari pemerintahan dan terpaksa menerima saja,” katanya.
Wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC Indonesia di Palembayan menyebut, penanganan bencana yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Agam memang sangat lambat.
Posko utama yang seharusnya memberikan bantuan kepada masyarakat di daerah Palembayan baru didirikan pada Minggu (30/11) malam oleh pemerintah daerah.
Posko itu bahkan baru diisi segelintir personel BPBD Agam sehari setelahnya, pada Senin (1/12).
Keterlambatan penanganan ini dikonfirmasi Sekretaris Daerah Agam, Muhammad Lutfi.
Ia berdalih, keterlambatan penanganan bencana di daerah tersebut karena banyaknya bencana yang terjadi di wilayahnya.
“Kami juga ada bencana seperti di Malalak, Matur dan beberapa lokasi lainnya selain di Palembayan ini. Mungkin personel dibagi-bagi makanya agak lambat,” katanya.
Kenapa penanganan kali ini dinilai lambat?
Pengamat Kebencanaan UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno melanjutkan, “minim empati” yang ditunjukkan pejabat pemerintah itu sejatinya tak tak hanya terlihat saat penanganan bencana.
Ia menyebut hal itu sudah terlihat saat fase mitigasi bencana.
“Sejak peringatan ada dari BMKG, semua semestinya sudah menyiapkan perangkat,” kata Eko.
Lantaran tidak menanggap peringatan secara serius, terang Eko, para pejabat pemerintah kemudian terlihat gelagapan saat bencana besar terjadi.
“Karena enggak bekerja, ini [bencana] jadi seolah tiba-tiba,” ujar Eko.
Akibat kekagetan itu, lanjut Eko, penanganan pun kemudian menjadi berantakan, salah satunya tercermin lewat lambannya penanganan akses terputus dan distribusi bantuan.
“Ini bisa dilihat dari pernyataan Kepala BNPB [menyebut situasi mencekam hanya di medsos] yang seharusnya tidak terjadi,” kata Eko.
“Ada rantai keterlambatan, dari daerah hingga pusat yang memperburuk situasi saat ini.”
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah sependapat dengan Eko, yang menilai penanganan bencana kali ini “dapat dikatakan terlambat.”
“Presiden bahkan baru datang beberapa hari, hampir sepekan. Ibaratnya, golden time penangananya bencana sudah lewat,” kata Trubus.
Trubus menduga “terdapat kebingungan” di tingkat pemerintah pusat.
Ia menilai, Prabowo khawatir peningkatan status bencana di Sumatra menjadi nasional akan menyedot anggaran besar sehingga mengurangi alokasi dana untuk beragam program andalannya seperti makan bergizi gratis (MBG).
“Kelihatan itu menjadi salah satu pertimbangan. Pemerintah seperti tak mau mengganggu program prioritas itu,” ujar Trubus.
Peneliti Sosial Nanyang Technological University Singapura, Sulfikar Amir, menilai lambannya penanganan bencana kali ini salah satunya disebabkan peran BNPB yang tak lagi maksimal.
Salah satu faktornya, terang Sulfikar, adalah pengurangan anggaran sehingga “sumber daya BNPB pun mengecil akibat efisiensi.”
“Saya kira, ada korelasi [pengurangan anggaran} dan respons terhadap bencana saat ini,” ujar Sulfikar.
Ia membandingkan respons BNPB saat bencana gempa dan tsunami Palu beberapa tahun lalu.
Kala itu, ia menyebut respons BNPB relatif cepat kendati peristiwa likuifaksi yang terjadi di Palu merupakan bencana langka.
Namun saat itu, terang Sulfikar, “BNPB punya informasi yang relatif akurat untuk bisa mengambil tindakan. Palu hanya butuh beberapa saat,” ujar Sulfikar.
Lantas, hal apa yang dapat dilakukan pemerintah agar penanganan bencana di Sumatra kali ini dapat berjalan lebih cepat?
Eko menyarankan pemerintah untuk segera “memperbanyak pos menyamping”, alih-alih pos komando (posko).
Dalam penanganan kebencanaan, pos menyamping merupakan unit paling kecil yang berfungsi untuk mendata korban daerah terisolir, memberikan layanan kesehatan ringan, dan mendistribusikan logistik.
“[Sehingga] respons lebih kuat bisa dilakukan,” kata Eko.
“Proses ini nampaknya tidak terjadi di kasus sekarang [bencana Sumatra].
Wartawan Iwan Bahagia di Aceh Tengah dan Halbert Chaniago di Agam berkontribusi dalam laporan ini
Paling banyak dibaca:
- Operasi CIA di Indonesia: Film porno, daftar perburuan komunis, hingga Metode Jakarta
- Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
- Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’