Banjir dan tanah longsor membuka luka lama penyintas gempa di Aceh Tengah

Photo of author

By AdminTekno

Banjir bandang akhir November lalu bukan hanya memutus akses jalan dan listrik, tetapi membuka kembali luka lama warga sebuah kampung di Aceh Tengah yang belum sembuh dari trauma gempa besar 2013.

Sudah hampir sebulan Kampung Bah, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, terisolasi.

Akses menuju kampung berpopulasi hampir 700 jiwa saat ini hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor melalui jalur berlumpur dan jembatan darurat dari kayu.

Di beberapa titik, longsoran tanah mengapit jalan. Sewaktu-waktu dapat runtuh. Kondisi ini telah membuat warga kesulitan mengangkut hasil kebun dan memperoleh bantuan secara normal.

Desa relokasi yang kembali diuji bencana

Kampung Bah berada di kawasan perbukitan. Deretan rumah yang didominasi dengan papan merupakan hunian relokasi pascagempa 6,4 magnitudo pada 2 Juli 2013.

Saat itu, desa ini menjadi salah satu wilayah terparah terdampak gempa di Aceh Tengah.

Sebelum gempa, mayoritas penduduk tinggal di kawasan bawah bukit, dekat aliran Sungai Peusangan.

Namun, longsor besar yang terjadi saat gempa, membuat pemerintah merelokasi permukiman warga ke tempat yang lebih tinggi. Di kampung ini empat anak kehilangan nyawa karena longsor.

Ironisnya, banjir bandang di penghujung November 2025 kembali menghancurkan kawasan pemukiman lama tersebut.

Sebanyak 34 unit rumah rusak total, ujung jembatan penghubung desa hancur, dan aliran sungai berpindah jalur, menerjang bekas hunian warga yang sebagian masih kerap didatangi.

Anak yang tak pernah pulang

Bagi Siti Zulaiha, banjir bandang kali ini bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah pengingat paling menyakitkan dari rasa kehilangan putranya, Zainuddin, yang meninggal akibat longsor saat gempa 2013.

Saat gempa terjadi, perempuan 52 tahun ini berada di Meulaboh, Aceh Barat.

Sebuah panggilan telepon pagi menjelang siang mengabarkan bahwa anaknya, yang masih duduk di kelas 2 SMP, tertimbun longsor bersama tiga sepupunya saat mandi di Sungai Peusangan.

“Saya pulang enam jam dari Meulaboh. Anak ibu baru ditemukan hari ketujuh,” kata Siti dengan suara bergetar.

Empat anak itu—Zainuddin, Syahdan, Riski, dan Riansyah—semuanya masih duduk di bangku sekolah. Longsoran tanah dari tebing sungai menimbun mereka dalam sekejap.

Trauma itu kembali menyeruak saat banjir bandang 2025 datang.

“Airnya deras, berlumpur, bawa kayu. Saya lihat dari atas bukit. Sama rasanya seperti dulu,” ujar Siti, menyeka air mata. “Anak saya sudah 13 tahun tiada, datang lagi bencana seperti ini.”

Sejak kehilangan putranya, Siti mengaku jarang turun ke sungai. Bahkan sekadar melihat aliran air pun membuatnya menggeligis.

“Saya cuma minta sama Allah, jangan lagi ada bencana. Kami sudah terlalu banyak kehilangan,” katanya lirih.

Trauma yang masih mengikat warga

Taharuddin, adik ipar Siti, mengatakan trauma gempa 2013 masih kuat membekas di benak hampir seluruh warga Kampung Bah. Ia sendiri menjadi saksi bagaimana keponakannya sempat dijemput dari Meulaboh beberapa hari sebelum gempa terjadi.

“Setiap dengar suara gemuruh, kami langsung takut,” kata pria 45 tahun.

“Sebelum banjir kemarin, suara itu terdengar lagi. Kami semua turun, ternyata kampung sudah diterjang air.”

Selain trauma, warga kini menghadapi kesulitan hidup akibat terputusnya akses jalan dan listrik. Sejak malam 26 November, Kampung Bah gelap total dan hanya mengandalkan genset.

“Kami harap pemerintah segera bangun jalan, jembatan, dan listrik. Kami terisolasi,” kata Taharuddin.

‘Tengok air pun, aku tak berani’

Trauma serupa dialami Maliki, warga Kampung Bah lainnya. Ia kehilangan seorang putra, Rian, yang masih kelas 1 SMP, dalam bencana gempa 2013—di lokasi yang sama dengan korban lainnya.

“Hujan empat hari berturut-turut kemarin, saya kumpulkan anak-anak. Saya takut kejadian dulu terulang,” kata pria 44 tahun ini.

Bagi Maliki, melihat sungai adalah ketakutan tersendiri.

“Aku sudah kehilangan anak. Tengok air pun, aku enggak berani,” ucapnya, sembari menunduk menahan tangis.

Meski menyimpan luka mendalam, Maliki kini menjadi relawan bagi warga terdampak banjir.

Setiap hari ia membantu mengangkut bantuan dengan gondola darurat dari jembatan yang tak lagi berfungsi.

Harapan di tengah trauma bertubi-tubi

Kampung Bah hari ini bukan hanya menghadapi kerusakan fisik, tetapi juga trauma kolektif yang terus hidup di ingatan warganya.

Dua bencana besar dalam rentang waktu 12 tahun telah merenggut nyawa anak-anak, menghancurkan rumah, dan memutus rasa aman.

Di tengah keterisolasian dan gelap tanpa listrik, harapan warga sederhana: akses yang kembali terbuka, perlindungan dari ancaman bencana, dan kehidupan yang tak lagi dibayangi rasa takut.

Bagi para penyintas seperti Siti dan Maliki, satu doa terus mereka panjatkan—agar Kampung Bah tak lagi menjadi saksi kehilangan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) melaporkan per Jumat (26/12) pukul 21:00 WIB, jumlah korban jiwa akibat bahala di tiga provinsi wilayah Sumatra mencapai 1.137 jiwa.

Korban jiwa bahala ini tersebar di Aceh (504 jiwa), Sumatra Utara (371 jiwa), dan Sumatra Barat (262 jiwa).

Bahala banjir dan longsor terjadi secara sporadis, sehingga banyak wilayah terdampak yang hingga sebulan masih terisolir.

BNPB juga melaporkan 163 orang masih hilang, sebanyak 157 ribu rumah rusak dan membuat hampir setengah juta orang mengungsi.

Wartawan Iwan Bahagia di Aceh berkontribusi dalam artikel ini.

  • Warga di Aceh Tengah masih gunakan jembatan darurat satu bulan pascabencana – Sekali menyebrang Rp30.000
  • Bayang-bayang referendum dan konflik bersenjata di balik penanganan banjir di Aceh
  • Perjuangan perempuan hamil dan pengidap autoimun di tengah kepungan banjir Aceh
  • Pemerintah percepat pembangunan hunian untuk pengungsi banjir dan longsor Sumatra – ‘Harus penuhi prinsip keberlanjutan’
  • Apakah teknologi bisa selamatkan penduduk dari tanah longsor?
  • Balita dan anak-anak di Aceh Tamiang makan mi instan belasan hari, apa dampaknya bagi kesehatan?
  • Banjir Sumatra, Tsunami Aceh, dan Likuifaksi Palu – Apa perbedaan penanganannya?
  • Trauma korban banjir-longsor Aceh ‘lebih berat’ dari tsunami 2004, kata psikolog
  • Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?

Leave a Comment