Penasihat hukum eks Mendikbudristek Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea, dengan tegas membantah tudingan bahwa kliennya menjalin kesepakatan langsung dengan Google Indonesia terkait pengadaan laptop Chromebook di lingkungan Kemendikbudristek. Bantahan ini muncul menyusul penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka baru oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Dalam keterangannya kepada wartawan pada Kamis (4/9), Hotman Paris menjelaskan bahwa Nadiem Makarim tidak pernah menyepakati hal-hal yang berkaitan dengan penjualan laptop. Menurutnya, pihak Google hanya menyediakan sistem operasi, yakni ChromeOS, sementara perangkat keras atau laptopnya sendiri dipasok oleh vendor dari perusahaan Indonesia. “Pak Nadiem tidak pernah menyepakati, apa, yang jual laptop itu kan vendor, bukan Google,” ujar Hotman. Ia menegaskan, “Google hanya sistemnya saja dari Google. Kalau laptopnya dari vendor. Vendornya perusahaan Indonesia.”
Menyikapi klaim Kejagung perihal pertemuan antara Nadiem dengan pihak Google Indonesia untuk membahas produk Chromebook, Hotman mempertanyakan di mana letak perbuatan melawan hukumnya. “Saya kira kalau sudah ketemu. Terus kalau ketemu kenapa? Aku ketemu, aku ketemu wartawan tiap hari. Apakah itu saya nyogok wartawan? Jadi emang unsur melawan hukumnya di mana kalau ketemu?” tegasnya. Hotman menambahkan, Google justru memberikan pelatihan kepada vendor pengadaan laptop mengenai penggunaan sistem operasinya. Pelatihan ini, lanjutnya, adalah berupa transfer tenaga ahli, bukan aliran dana.
Lebih lanjut, Hotman menekankan bahwa pemilihan Chromebook dalam pengadaan tersebut didasari oleh pertimbangan harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan sistem operasi lain seperti Windows. “Orang ini, Chromebook ini jauh lebih murah dari Windows. Jauh lebih murah dari Windows. Terus apa yang dilanggar? Tidak ada yang dilanggar,” ucap Hotman. Ia juga mengklarifikasi bahwa keputusan penggunaan Chromebook bukan semata-mata berasal dari Nadiem, melainkan hasil kesepakatan tim pengadaan. “Justru karena ditemukan bahwa Chromebook itu jauh lebih murah makanya digunakan. Dan itu pun bukan keputusannya Nadiem, itu keputusannya tim pengadaan,” terangnya.
Oleh karena itu, Hotman Paris dengan tegas menyatakan bahwa Nadiem Makarim tidak menerima sepeser pun dana dalam proses pengadaan laptop Chromebook ini. Ia bahkan menyandingkan nasib kliennya dengan eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, yang juga sempat terjerat kasus tanpa adanya bukti penerimaan aliran dana korupsi, dan kini telah menerima abolisi dari Presiden. “Kasus Nadiem, nasib Nadiem sama dengan nasib Lembong. Tidak ada satu rupiah pun jaksa menemukan ada uang masuk ke kantongnya Nadiem,” sebutnya, seraya menegaskan, “Tidak ada satu sen pun uang yang masuk dari siapa pun kepada Nadiem terkait dengan jual beli laptop. Sama persis dengan kasus Lembong. Tidak ada uang. Lembong tidak pernah terima uang.”
Peran Nadiem Menurut Kejagung
Di sisi lain, Kejagung memiliki pandangan berbeda mengenai peran Nadiem Makarim. Dalam konferensi pers penetapan tersangka, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, menjelaskan bahwa kasus ini bermula ketika Nadiem, yang saat itu menjabat sebagai Mendikbudristek, melakukan serangkaian pertemuan dengan pihak Google Indonesia. Pertemuan tersebut diduga membahas produk Google, termasuk program “Google for Education” yang memanfaatkan Chromebook, untuk digunakan di kementerian, khususnya bagi peserta didik.
Hasil dari beberapa pertemuan ini, menurut Kejagung, adalah kesepakatan untuk menjadikan produk Google, yakni ChromeOS dan Chrome Devices Management (CDM), sebagai proyek pengadaan Alat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Nurcahyo memaparkan, pada 6 Mei 2020, Nadiem kemudian mengundang jajarannya, termasuk H selaku Dirjen Paud Dikdasmen, T selaku Kepala Badan Litbang Kemendikbudristek, serta JT dan FH selaku Staf Khusus Menteri, untuk rapat tertutup via Zoom. Dalam rapat yang mewajibkan penggunaan headset tersebut, Nadiem disebut-sebut membahas pengadaan TIK menggunakan Chromebook, padahal proses pengadaan saat itu belum resmi dimulai.
Kejagung menduga bahwa untuk meloloskan produk Chromebook, Nadiem selaku menteri merespons surat dari Google pada awal tahun 2020 untuk partisipasi dalam pengadaan TIK di Kemendikbudristek. Hal ini kontras dengan sikap pejabat menteri sebelumnya, Muhadjir Effendy, yang tidak menanggapi surat serupa karena uji coba pengadaan Chromebook pada tahun 2019 dianggap gagal dan tidak efektif di Sekolah Garis Terluar (SGT) atau daerah 3T (Terluar, Tertinggal, Terdalam) yang minim akses internet. Selanjutnya, Nadiem diduga memerintahkan bawahannya, yakni Direktur SMP Kemendikbudristek 2020-2021 Mulyatsyah dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020-2021 Sri Wahyuningsih, untuk menyusun petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan dengan spesifikasi yang sudah ditentukan untuk ChromeOS, yang kemudian dikaji oleh tim teknis.
Puncak dari serangkaian dugaan perbuatan ini adalah penerbitan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Reguler Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021 oleh Nadiem pada Februari 2021. Dalam lampiran peraturan tersebut, spesifikasi ChromeOS sudah terkunci secara spesifik. Atas dugaan peran tersebut, Nadiem Makarim kemudian dijerat sebagai tersangka baru dalam kasus ini, dengan inisial NAM, seperti yang disampaikan Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna.
Sebelum penetapan Nadiem, Kejagung telah lebih dulu menetapkan empat orang tersangka lainnya dalam kasus pengadaan laptop Chromebook ini, yaitu:
- Direktur SMP Kemendikbudristek 2020-2021, Mulyatsyah;
- Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020-2021, Sri Wahyuningsih;
- Mantan Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Makarim, Jurist Tan; dan
- Mantan Konsultan Teknologi pada Kemendikbudristek, Ibrahim Arief.
Saat ini, Mulyatsyah dan Sri Wahyuningsih telah ditahan, sementara Ibrahim Arief berstatus tahanan kota karena kondisi kesehatan. Adapun Jurist Tan masih dalam pencarian karena berada di luar negeri. Kasus ini berkaitan dengan program Digitalisasi Pendidikan Kemendikbudristek yang menganggarkan Rp 9,3 triliun untuk pengadaan 1,2 juta unit laptop bagi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, termasuk daerah 3T. Namun, pemilihan laptop Chromebook diduga memiliki banyak kelemahan di daerah 3T yang minim internet, sehingga penggunaannya menjadi tidak optimal. Selain itu, diduga terjadi ketidaksesuaian harga yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 1,98 triliun. Atas perbuatan tersebut, Nadiem dan keempat tersangka lainnya dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tanggapan Nadiem Makarim
Menanggapi penetapannya sebagai tersangka, Nadiem Makarim dengan tegas membantah seluruh tuduhan yang disampaikan oleh Kejagung. Saat digiring menuju mobil tahanan, ia menyatakan keyakinannya pada perlindungan Tuhan. “Saya tidak melakukan apa pun. Tuhan akan melindungi saya, kebenaran akan keluar,” ujar Nadiem. Ia juga menegaskan komitmennya terhadap integritas dan kejujuran sepanjang hidupnya. “Allah akan mengetahui kebenaran. Bagi saya, seumur hidup saya integritas nomor satu, kejujuran adalah nomor satu. Allah akan melindungi saya Insyaallah,” tuturnya. Dari dalam mobil tahanan, Nadiem juga menyampaikan pesan yang menguatkan kepada keluarganya, khususnya keempat buah hatinya. “Untuk keluarga saya dan empat balita saya. Kuatkan diri, kebenaran akan ditunjukkan. Allah melindungi saya. Allah tahu kebenarannya,” pesannya.
Ringkasan
Hotman Paris, pengacara eks Mendikbudristek Nadiem Makarim, membantah kliennya menjalin kesepakatan dengan Google Indonesia terkait pengadaan laptop Chromebook. Menurut Hotman, Nadiem tidak menyepakati penjualan laptop, melainkan Google hanya menyediakan sistem operasi ChromeOS, sementara laptop dipasok oleh vendor Indonesia. Hotman juga mempertanyakan dasar hukum tuduhan Kejagung terkait pertemuan Nadiem dengan Google, dan menekankan bahwa Chromebook dipilih karena harganya lebih kompetitif dibandingkan Windows.
Kejagung menetapkan Nadiem sebagai tersangka karena diduga melakukan pertemuan dengan Google untuk membahas program “Google for Education” dan Chromebook. Nadiem dituduh memerintahkan penyusunan petunjuk teknis dengan spesifikasi khusus untuk ChromeOS dan menerbitkan Permendikbud yang mengunci spesifikasi tersebut. Kejagung juga telah menetapkan empat tersangka lain dalam kasus ini, terkait dugaan kerugian negara sebesar Rp 1,98 triliun dalam pengadaan laptop Chromebook yang dianggap tidak optimal di daerah 3T.