Viral pria diduga intel TNI ditangkap Brimob – Apa peran intelijen dalam gelombang demonstrasi?

Photo of author

By AdminTekno

Insiden penangkapan seorang pria yang diduga sebagai anggota intelijen Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh pihak kepolisian di tengah keramaian demonstrasi pada 30 Agustus lalu, telah memicu gelombang kecurigaan publik. Perdebatan mengenai dugaan keterlibatan militer dalam berbagai unjuk rasa yang terjadi belakangan ini pun terus bergulir hangat.

Dugaan tersebut telah secara tegas dibantah oleh Juru Bicara TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, yang mengklaim bahwa kabar itu adalah narasi bohong dan menyesatkan, yang berpotensi merusak citra baik TNI di mata masyarakat.

Namun, pakar politik dan keamanan, Muradi, menilai insiden saling tangkap anggota intelijen seperti ini sebagai sesuatu yang “lucu” dan mengindikasikan buruknya koordinasi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan TNI. Menurutnya, dalam beberapa kejadian, keberadaan intelijen tidak sekadar memata-matai pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, melainkan juga turut campur tangan dalam membelokkan agenda atau tuntutan utama para demonstran.

Lalu, sebenarnya apa fungsi intelijen, dan bagaimana peran mereka dalam aksi-aksi demonstrasi yang kerap terjadi?

Di tengah maraknya aksi demonstrasi masyarakat di berbagai daerah, publik dihebohkan oleh beredarnya sejumlah foto dan video viral. Salah satu foto memperlihatkan seorang anggota Brimob tengah “merangkul” seorang pria yang dicurigai sebagai provokator. Pria berbadan kurus itu tampak mengenakan kaos berkerah hijau dan celana panjang abu-abu.

Yang menjadi perhatian adalah kartu identitas pria tersebut yang berwarna oranye, dengan tulisan jelas ‘Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Badan Intelijen Strategis’. Informasi detail di bagian bawah kartu memuat identitas pemilik, mulai dari nama, pangkat, jabatan, rekomendasi, jenis dan tipe senjata, hingga nomor kaliber, lengkap dengan nama serta tanda tangan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI di pojok kanan kartu. Insiden ini, yang sempat viral, menimbulkan tanda tanya besar di benak warganet.

Tak lama berselang, sebuah video viral lainnya menunjukkan beberapa anggota Brimob “mengapit” seorang pria bertubuh gempal berkaos hitam yang dituduh sebagai perusuh. Di samping kepala pria tersebut, seorang polisi memegang kartu biru bertuliskan ‘Tentara Nasional Indonesia, Kartu Tanda Prajurit TNI’, lengkap dengan nama, pangkat, jabatan, dan kesatuan. Serentetan foto dan video yang tersebar luas ini sontak memicu spekulasi liar di kalangan warganet, mempertanyakan sejauh mana keterlibatan militer dalam rentetan kerusuhan yang menyertai berbagai aksi protes belakangan ini.

Wakil Panglima TNI, Tandyo Budi Revita, pada Senin (1/9), tidak memberikan jawaban lugas terkait dugaan penangkapan anggota intelijen TNI oleh Brimob Polri saat kericuhan demonstrasi pada Sabtu (30/8). Ia justru menyoroti etika penyebaran identitas intelijen, menyatakan bahwa sekalipun peristiwa itu benar terjadi, seharusnya pihak yang menangkap tidak menyebarkannya ke publik karena menyangkut ranah intelijen.

Tandyo menambahkan, kehadiran TNI dalam pengamanan aksi demonstrasi sejatinya adalah untuk membantu Polri dalam meredam situasi agar tetap kondusif, serta memastikan bahwa TNI selalu tunduk pada konstitusi yang berlaku dalam menjalankan tugasnya. “Kami tunduk pada mereka (Polri), kami ikut kegiatan mereka,” tegasnya.

Di sisi lain, Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, lebih keras membantah. Dalam keterangannya pada Minggu (31/8), ia mengklaim tidak ada satu pun prajurit TNI yang ditangkap oleh kepolisian selama rangkaian unjuk rasa di Jakarta, apalagi menjadi provokator massa. Freddy sangat menyayangkan adanya ‘framing’ negatif terhadap TNI, dan menegaskan bahwa narasi tersebut adalah “bohong dan menyesatkan”.

Menanggapi pertanyaan seputar bagaimana identitas intelijen TNI bisa terungkap, pakar politik dan keamanan Muradi menjelaskan bahwa dalam setiap aksi demonstrasi besar di Indonesia, baik Polri maupun TNI sudah pasti menerjunkan personel intelijen. Tujuan utama mereka adalah sebagai “deteksi” keamanan, guna membaca situasi dan mengantisipasi potensi gangguan keamanan yang lebih besar, serta gerakan-gerakan yang berpotensi memicu kerusuhan.

Muradi menduga, saat aksi demonstrasi meletus di depan gedung DPR RI pada Senin (25/8) dan meluas ke daerah-daerah lain hingga berujung pada pembakaran markas polisi dan penjarahan, Polri tidak memiliki perkiraan yang komprehensif. Ini mengindikasikan kemungkinan kurangnya koordinasi efektif dengan institusi lain seperti TNI, melebihi sekadar Bantuan Kendali Operasi (BKO) yang sifatnya insidental. Padahal, proses intelijen sejatinya berjalan sebelum dan selama pelaksanaan unjuk rasa.

Andai kata ada koordinasi yang baik, Muradi percaya, masing-masing intelijen akan saling mengetahui “kode atau sandi” mereka, sehingga insiden salah tangkap atau pemukulan tidak akan terjadi. “Ini kan enggak, malah dipukuli, ditelanjangi, baru kemudian dicek ternyata anggota. Yang kayak gitu harusnya perlu ada koordinasi,” kritiknya. Ia pun menyimpulkan bahwa insiden ini merupakan bukti nyata dari miskoordinasi yang terjadi di lapangan.

Lebih lanjut, Muradi mengungkapkan bahwa peran intelijen dalam unjuk rasa besar di Indonesia tidak hanya sebatas memata-matai. Ada kalanya, mereka turut membelokkan agenda tuntutan demonstran. Dalam aksi protes terbaru yang awalnya menyoroti tunjangan anggota DPR, Muradi melihat adanya upaya untuk menyudutkan demonstran sebagai perusuh atau anarkis, dengan sengaja menciptakan situasi kerusuhan, pengrusakan fasilitas umum, hingga penjarahan. “Agenda itu akhirnya dibelokkan jadi kriminalitas,” ujarnya.

Muradi memberikan contoh serupa dari pengalamannya saat demonstrasi 1998, di mana intelijen dari faksi tertentu turut berperan dalam mendorong agenda lengsernya Presiden Soeharto. Baginya, fenomena “oknum intel” yang menciptakan kericuhan untuk memprovokasi massa dan mengalihkan isu ke ranah pidana adalah hal yang “normal saja”, demi menghentikan isu utama. “Jadi kalau ditanya apakah ada oknum [intel]? Pasti ada,” tegasnya.

Dalam konteks keamanan, intelijen memiliki fungsi krusial sebagai early warning system atau sistem penginderaan awal. Fungsi ini, seperti dijelaskan dalam buku Negara, Intel, dan Ketakutan yang diterbitkan PACIVIS pada Agustus 2006, menggarisbawahi tugas intelijen untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan informasi vital kepada pembuat kebijakan demi pengambilan keputusan yang tepat.

Pada masa damai, intelijen beroperasi sesuai aturan dan norma dalam kerangka organisasi negara yang demokratis, berburu informasi untuk mendukung kepentingan nasional. Sebaliknya, dalam masa perang, aktivitas intelijen cenderung melanggar aturan demi informasi spesifik yang bertujuan memenangkan peperangan. Muradi menyederhanakan, peran intelijen adalah sebagai “deteksi”. Ia mencontohkan, ketika ada potensi bentrokan saat demonstrasi, intelijen akan melaporkan ke atasannya agar dapat diantisipasi, misalnya dengan mengarahkan massa ke tempat lain untuk menghindari konflik.

Secara umum, ada empat pilar utama dalam kerja-kerja intelijen: pengumpul informasi, proses, menjalankan misi, dan organisasi. Sebagai pengumpul informasi, intelijen bertugas mencari data dan keterangan mendalam mengenai kondisi politik dan militer global, seringkali melalui sumber terbuka seperti jurnal ilmiah, internet, berita, laporan diplomatik, dan kajian kontrak.

Proses intelijen dimulai dari perencanaan informasi yang ditargetkan, dilanjutkan dengan pengumpulan, pengelolaan, pemrosesan, studi, dan analisis. Hasil akhirnya adalah “produk siap guna” yang disampaikan kepada pengguna akhir, dalam hal ini, presiden. Pilar “menjalankan misi” merujuk pada operasi agen rahasia yang tujuannya dapat mencakup intervensi dalam urusan domestik negara lain.

Muradi menambahkan, anggota intelijen yang dikenalnya belakangan ini tidak pernah membawa kartu identitas, bahkan keluarga inti mereka pun tidak mengetahui pekerjaan sebenarnya. Namun, di Indonesia, ia mengklaim masih ditemukan “intel melayu” yang membawa kartu anggota. “Jadi ya risiko kalau ketahuan,” selorohnya, mengaitkan kembali dengan insiden penangkapan yang viral.

Berbagai faktor dapat menjadi penyebab kegagalan operasi intelijen, sebagaimana diuraikan dalam buku tersebut. Pertama, kegagalan manusia (human failure), di mana petugas intelijen tidak mampu menjalankan perannya di lingkungan asing. Kedua, kegagalan dalam mengorganisir dan mengkoordinasikan informasi serta analisis dari berbagai dinas intelijen. Ketiga, keterbatasan sumber daya dalam mengumpulkan, menerjemahkan, dan menganalisis informasi.

Keempat, kurangnya pemahaman pemimpin politik terhadap makna dan batasan intelijen. Kelima, politisasi atau rekayasa produk intelijen agar sesuai dengan agenda pemimpin politik. Keenam, analisis yang didasarkan pada asumsi atau “wishful thinking as self delusion“. Terakhir, ego-sentrisme dan hubungan kerja sama yang buruk antara petugas intelijen dan pembuat kebijakan, yang semuanya berkontribusi pada risiko kegagalan sebuah operasi.

Leave a Comment