Maulid dan Ekspresi Cinta Umat Muhammad

Photo of author

By AdminTekno

Malam kala Muhammad lahir,
Sungguh serupa dengan lailatul qadar.

Bagi setiap umat Muslim, separuh kedua dari kalimat syahadat — “dan Muhammad adalah utusan Allah” — bukan sekadar pengakuan, melainkan sebuah kesaksian mendalam tentang kerasulan Nabi Muhammad dan manifestasi Ilahi di muka bumi. Melalui pengutusan Nabi yang menyebarkan Firman-Nya, Tuhan sejatinya tengah menyingkapkan Diri-Nya kepada alam semesta. Meminjam ungkapan Nathan Soderblom, Nabi adalah representasi nyata dari aktivitas Tuhan.

Lebih jauh, Ibnu ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Frithjof Schuon, menggambarkan Nabi sebagai “barzah,” yaitu penengah atau jembatan vital antara Allah dan manusia. Peran sentral Nabi sebagai prinsip penengah ini terabadikan jelas dalam kata kesaksian iman: Muhammad Rasulullah. Di sini, Muhammad diartikan sebagai “prinsip yang mewujud”, Rasul sebagai “perwujudan prinsip”, dan Allah sebagai “prinsip itu sendiri.”

Satu abad berselang, Ibnu ‘Ammar, melalui kutipan Annemarie Schimmel, mengemukakan argumen serupa dengan tiga alasan rasional yang kuat. Pertama, Maulid Nabi Muhammad menghadirkan Nabi kepada seluruh dunia, sementara Lailatul Qadar adalah anugerah yang dikhususkan bagi beliau. Kedua, kelahiran Nabi Muhammad dianggap lebih fundamental bagi umat dibandingkan turunnya para malaikat, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Qadr, sebab manusia yang saleh sekalipun lebih mulia daripada malaikat, apalagi Nabi Muhammad sebagai manusia termulia. Ketiga, Maulid merupakan hari yang penting bagi segenap alam semesta, sedangkan pewahyuan pertama Al-Qur’an secara spesifik diperuntukkan bagi umat Muslim.

Tentu saja, kedua tokoh ini tidak bermaksud mengecilkan makna turunnya Al-Qur’an atau kemuliaan Lailatul Qadar yang selalu dinanti dan ‘dikejar’ umat Muslim di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Namun, dalam pandangan mereka, kepada siapa kitab pedoman itu akan diturunkan, dan melalui siapa kemuliaan Lailatul Qadar akan dikabarkan, jika Sang Mustafa (manusia pilihan) itu tidak pernah dilahirkan ke dunia?

Perayaan Maulid: Dari Mesir Hingga Mendunia

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan teologis tersebut, peringatan Maulid Nabi senantiasa dirayakan dengan penuh semangat dan kemewahan di berbagai belahan dunia Islam. Bahkan ketika kritik tajam dilontarkan, seperti oleh Ibnu Taimiyah yang menganggapnya sebagai bid’ah karena tidak diisyaratkan oleh Nabi sendiri, perayaan Maulid justru semakin populer dan hampir tidak ada wilayah Islam yang melewatkannya.

Anak-anak muda berpakaian tradisional mengikuti aksi unjuk rasa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, di Karachi, Pakistan, Jumat, 29 September 2023. – (AP Photo/Fareed Khan)

Menurut catatan Al-Maqrizi, perayaan Maulid berskala besar pertama kali tercatat di Mesir pada era Dinasti Fatimiyah (969-1171 M). Namun, jauh sebelum itu, sekitar awal abad ke-8 M, peringatan serupa telah diselenggarakan setiap tahunnya. Ibu dari Khalifah Harun Ar-Rasyid diketahui menghias rumah tempat kelahiran Nabi dan mengubahnya menjadi ruang salat, yang kemudian dikunjungi jamaah haji dengan penuh kekhusyukan.

Pada abad-abad berikutnya, Maulid Nabi semakin mengakar dan perayaannya menjadi aspek fundamental dalam kehidupan keagamaan. Fenomena ini sangat menonjol di Afrika Utara, di mana para penguasa dinasti mengklaim diri sebagai syarif, yaitu keturunan Nabi. Hal ini dapat dipahami, karena seperti yang terjadi pada masa Dinasti Fatimiyah, peringatan Maulid bukan sekadar ekspresi kecintaan kepada Nabi atau cara membangkitkan semangat pasukan Muslim dalam menghadapi Perang Salib. Lebih dari itu, perayaan ini juga berfungsi sebagai wahana untuk memperkuat legitimasi politik dinasti yang berkuasa.

Memang, sepanjang sejarah Islam awal dan pertengahan, penghormatan kepada Nabi tidak hanya krusial dari sudut pandang religiusitas, melainkan juga berkembang menjadi faktor penentu dalam sejarah politik Islam. Kelompok Syiah, Khawarij, maupun Ahlussunnah, meskipun dengan argumentasi yang berbeda, sama-sama mengklaim kelompoknya sebagai pengikut dan pelindung ajaran Nabi. Demikian pula halnya dengan berbagai dinasti atau partai politik dan keagamaan yang mengadopsi paham tersebut sebagai ideologi resmi. Oleh karena itu, dalam peringatan Maulid, emosi religius, politik, dan kebangsaan sering kali bersatu padu membentuk perayaan yang kaya makna.

Ketika Para Seniman Melukis Cinta

Namun, rupanya para seniman dan penulis, khususnya para penyair sufi, memegang peran terbesar dalam mengembangkan tradisi Maulid dan mewarnai kemeriahan perayaannya. Setiap dimensi yang mengiringi kelahiran “manusia penggerak dunia” ini tak luput dari perhatian mereka dan senantiasa menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Seorang wanita menawarkan permen saat ribuan orang berkumpul di sekitar makam tokoh sufi Abdul-Qadir al-Jailani untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad di Bagdad, Irak, Selasa, 26 September 2023. – (AP Photo/Hadi Mizban)

Detail-detail kisah kelahiran Nabi Muhammad diungkapkan dalam penggambaran yang fantastis dan agung, diperdalam dengan cinta serta kerinduan yang memperkaya imajinasi. Bahkan, banyak di antaranya yang melampaui realitas sesungguhnya, lantas “terperosok” ke dalam penonjolan legenda atau mitos. Contohnya adalah percakapan antar ternak Quraisy, hamparan sutra putih antara langit dan bumi, runtuhnya dinding-dinding istana Persia, luapan air sungai Tigris dan Eufrat yang menggenangi ibu kota Irak, atau proses kelahiran Nabi yang dibidani Asiyah istri Firaun dan Maryam ibunda Isa. Semua penggambaran ini sangat khas ditemukan dalam epik-epik dan syair-syair pujian di hampir seluruh wilayah Arab, Persia, Turki, India, dan Afrika Utara sejak sebelum abad ke-13 Masehi.

Pada abad-abad berikutnya, persaingan di antara para penyair untuk menghadirkan penggambaran yang memukau tentang kualitas-kualitas dan keajaiban seputar kelahiran Nabi semakin marak. Terkadang, hal ini hampir menenggelamkan perhatian pada aspek yang lebih substantif, di mana mereka hanya menonjolkan artifisialitas dengan gaya yang terlalu dibebani alat-alat retorika dan gambaran-gambaran yang dicari-cari, atau kata-kata yang berlebihan. Namun, tentu saja, fenomena ini harus ditafsirkan sebagai “persembahan puitis,” sebuah ekspresi cinta mereka untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar layak bagi manusia terkasih, sebagai penjalin tali spiritual antara pecinta dan yang dicinta.

Dalam barisan karya-karya ini, Qasidah Burdah karya Muhammad Al-Bushiri (wafat 1298 M) tampaknya menempati posisi terdepan di antara syair-syair pujian. Burdah, yang aslinya berjudul Al-Kawakib Ad-Dhuriyyah Fi Madh Khoir Al-Barriyyah, populer bukan hanya karena bahasa ungkapnya yang puitis, ekspresif, dan indah, tetapi juga layak dianggap sebagai ringkasan profetologi abad pertengahan. Karya ini juga dipuji karena berkah dan daya sembuhnya yang diyakini ampuh — Al-Bushiri sendiri, konon, sembuh dari stroke berkepanjangan setelah menulis syair pujian tersebut. Sayangnya, dalam mengurai dimensi kelahiran Nabi, ia hanya mengungkapkannya secara “sambil lalu.”

Karya tentang Maulid yang cukup komprehensif dan populer hingga kini ditulis pada abad ke-18 M oleh Al-Barzanji, seorang qadhi mazhab Maliki di kota Madinah. Teks aslinya dalam bahasa Arab sebenarnya berbentuk prosa, namun para penyair kemudian mengubahnya dalam bentuk puisi. Hingga kini, bahkan di beberapa pelosok negeri kita, syair-syair Al-Barzanji dilantunkan dalam nada-nada yang variatif, mewarnai setiap peringatan Maulid Nabi.

Umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (4/9/2025). – (ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

Kontroversi Lukisan dan Lahirnya Hilyah

Kecenderungan untuk mengangkat setiap dimensi kehidupan Nabi, termasuk saat-saat kelahirannya, juga tak dilewatkan oleh beberapa seniman lukis abad pertengahan. Terlepas dari adanya larangan penggambaran makhluk hidup, apalagi tokoh-tokoh suci, gambar-gambar Nabi bahkan dengan wajah tanpa selubung ditemukan dalam lukisan miniatur Persia, Turki, dan India. Bukti tertua yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, dan perpustakaan Edinburgh University, Skotlandia, adalah karya Rasyiduddin Hamadani (1247–1318) berjudul Jami’ At-Tawarikh.

Thomas W. Arnold, yang mengkategorikan lukisan-lukisan itu sebagai “the religious art in Islam,” menyimpulkan bahwa kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi lukis Kristen dan Cina. Selain itu, lukisan-lukisan tersebut hanyalah pesanan perorangan untuk koleksi pribadi. Sebab, menurut hasil kajian Arnold, tidak ada penguasa dinasti-dinasti Islam, bahkan yang paling sekuler sekalipun, yang secara resmi mengizinkan pelukis-pelukis istananya untuk menjadikan Nabi sebagai objek lukisan. Bukti besarnya pengaruh tradisi Cina itu misalnya dapat dilihat dalam buku Arnold, Painting in Islam (1965), yang memuat beberapa lukisan miniatur abad pertengahan. Setiap sosok yang ditampilkan menunjukkan bahwa penggambaran itu semata ekspresi petualangan imajinatif dan sama sekali menyimpang dari kenyataan sesungguhnya — wajah Nabi misalnya, dilukis persis seperti kebanyakan wajah Asia Timur. Buku Arnold ini langsung memicu kritik tajam, disusul pelarangan izin peredarannya di beberapa negara Muslim.

Pada masa-masa berikutnya, lukisan miniatur Nabi masih ditemukan, namun dengan wajah tertutup atau dibiarkan kosong tanpa sapuan warna. Tindakan ini tetap mendapat serangan keras dari pihak ulama. Dan ketika tradisi lukisan meredup, para seniman telah menemukan cara lain untuk membuat Nabi “hadir” secara visual, yakni melalui hilyah. Hilyah yang secara harfiah berarti ornamen, terdiri dari penggambaran-penggambaran pendek tentang sifat-sifat lahiriah dan batiniah Nabi, yang diambil dari sumber-sumber Arab awal.

Peserta menggotong gunungan berisi makanan ringan saat tradisi Ngarak Perahu di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang, Banten, Kamis (4/9/2025). Tradisi mengarak perahu dan pembagian hasil bumi yang telah dilakukan sejak 1939 tersebut dalam rangka jelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. – (ANTARA FOTO/Putra M. Akbar)

Era Modern: Dari Mistis Menuju Rasional

Seiring munculnya gerakan pembaruan di negeri-negeri Islam, muncul kecenderungan untuk merayakan Maulid dengan tujuan mengungkapkan gagasan-gagasan reformasi. Di dalamnya terjadi perubahan orientasi dari mistis dan mitis ke arah penekanan praktis dan konseptual. Perayaan Maulid dijadikan ajang penyampaian pesan-pesan perubahan dan dinamisme, keadilan sosial, demokrasi, atau kesadaran intelektual. Kecenderungan ini sangat selaras dengan interpretasi yang lebih modern atas personalitas Nabi.

Seperti disebut Schimmel, ketertarikan kaum modernis untuk menekankan gambaran rasional tentang Nabi Islam ketimbang sekadar detail-detail teologis dan skolastik, tentunya melahirkan nilai tambah yang signifikan. Pertama, agar umat Muslim sanggup menangkis pembalikan fakta yang kerap dilakukan kaum orientalis dalam karya mereka tentang biografi Nabi. Kedua, agar mereka dapat mengarahkan kembali kehidupan mereka selaras dengan model praktis yang dicontohkan Nabi. Dan ketiga, supaya mereka menyadari sekaligus memberantas ketertinggalan yang tengah dialami dunia Islam sesuai semangat dan dinamika perubahan yang dicontohkan Nabi.

Contoh nyata dari pendekatan ini adalah apa yang dilakukan Syekh Kidwai (1906) ketika mengkaji dimensi mukjizat Rasulullah. Ia berargumen bahwa mukjizat-mukjizat terbesar Nabi Muhammad bukanlah seperti yang dipercaya kebanyakan orang — misalnya kisah pembelahan bulan, batang palem yang mengeluh, atau domba-domba yang berbicara — melainkan terletak pada perubahan spiritual, sosial, moral, dan religius yang luar biasa atas masyarakat Jazirah Arab dan sekitarnya.

Cinta yang Tak Terbantahkan

Namun, di balik berbagai upaya modernisasi perayaan Maulid, syair-syair pujian yang lembut dan beraneka warna tentang keajaiban kelahiran Nabi tetap dilantunkan dengan penuh kekhusyukan. Perayaan-perayaan serupa yang bernuansa mitis, bahkan kadang menjurus pada syirik, pun masih terus berlangsung di berbagai komunitas. Namun bagaimanapun bentuknya, perayaan Maulid senantiasa mengekspresikan kecintaan umat Muslim atas Nabi, dan telah menjadi bagian integral dari kehidupan religius mereka.

Benar kata WC Smith: “Kaum Muslimin masih dapat membiarkan serangan terhadap Allah. Tetapi penghinaan terhadap Nabi Muhammad akan menyulut bahkan dari kalangan yang paling liberal dari umat itu, fanatisme yang menyala-nyala.” Muhammad Iqbal pun mengungkap dalam syairnya:

“Tuhan dapat kau ingkari, namun Nabi tidak!”

Kasus tabloid Monitor (“Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita”, edisi Nomor 225/IV, 15 Oktober 1990) di tanah air, atau kasus-kasus kekerasan yang dipicu penistaan atas Nabi Muhammad di sejumlah negara Muslim dan Barat, adalah beberapa contoh konkret dari ungkapan Smith dan Iqbal tersebut, menegaskan betapa mendalam dan tak tergoyahkannya cinta umat Muslim kepada Rasulullah.

Marhaban ya khoiro kholqihi,
Marhaban ya nurul alamin.

Leave a Comment