‘Santo siber’ Carlo Acutis, yang berpulang karena leukemia pada tahun 2006 di usia 15 tahun, secara resmi dikanonisasi di Vatikan pada hari Minggu (09/09). Paus Leo XIV mengungkapkan kegembiraannya melihat kehadiran begitu banyak umat Katolik muda dalam upacara sakral tersebut.
Remaja asal Italia, Carlo Acutis, yang meninggal dunia karena leukemia pada tahun 2006 saat usianya baru menginjak 15 tahun, pada hari Minggu (09/09) resmi dinyatakan sebagai santo dalam Gereja Katolik. Penetapan ini menjadikannya milenial pertama yang menerima gelar kehormatan tersebut.
Remaja yang lahir di London ini dijuluki sebagai “influencer Tuhan” karena dedikasinya yang luar biasa dalam menyebarkan nilai-nilai keimanan melalui internet dan media sosial selama masa hidupnya yang singkat. Proses kanonisasinya dipimpin langsung oleh Paus Leo XIV dalam sebuah upacara yang dipadati puluhan ribu orang, termasuk anggota keluarganya, di Lapangan Santo Petrus, Vatikan.
Sebelumnya, Pier Giorgio Frassati, seorang pemuda Italia pencinta pegunungan yang meninggal karena polio pada tahun 1925 di usia 24 tahun, juga diangkat menjadi santo. Kisah hidupnya seringkali menjadi perbandingan yang relevan dengan Carlo Acutis.
“Santo Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis adalah ajakan bagi kita semua, terutama para anak muda, untuk tidak ‘menyia-nyiakan’ hidup, melainkan mengarahkan hidup kepada Tuhan dan menjadikannya sebuah mahakarya,” papar Paus Leo XIV dalam homilinya. Beliau menyampaikan pesan ini di hadapan permadani raksasa yang membentang di fasad Basilika Santo Petrus, menampilkan gambar kedua pemuda inspiratif tersebut.
“Bahkan ketika mereka diserang penyakit dan hidupnya di dunia berakhir pada usia muda, hal itu tidak membuat mereka berhenti mengasihi, atau berhenti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan,” lanjut beliau, menggarisbawahi kekuatan iman dan ketahanan spiritual kedua santo muda ini.
‘Santo Siber’ Acutis
Carlo Acutis, yang lahir di London pada tahun 1991 dari orang tua berkewarganegaraan Italia, tumbuh besar di Milan. Meskipun keluarganya tidak terlalu religius, Acutis tumbuh menjadi seorang Katolik yang amat taat. Ia rutin mengikuti Misa harian dan dikenal luas karena kebaikan hatinya, selalu membela teman yang dirundung, serta sering membagikan makanan dan kantong tidur kepada tunawisma.
Namun, sisi lain hidupnya menunjukkan karakter yang cukup ‘out of the box‘. Sebagai seorang gamer hardcore, Acutis belajar dasar-dasar coding secara otodidak. Keterampilan uniknya ini kemudian ia gunakan untuk mendokumentasikan mukjizat-mukjizat dan berbagai hal terkait iman Katolik secara daring, menjadikannya ‘santo siber‘ pertama di era modern.
Jasad ‘santo siber‘ ini, yang kerap mengenakan jeans kekinian dan sepatu Nike, kini disemayamkan dalam peti kaca di Kota Assisi, Italia. Tahun lalu, makamnya dikunjungi oleh lebih dari sejuta peziarah dari berbagai belahan dunia.
Acutis: Santo Milenial untuk Anak Muda
Carlo Acutis memiliki pengaruh yang kuat bagi anak muda Katolik, terbukti dari banyaknya kaum muda yang hadir dalam acara kanonisasinya di Vatikan. “Saya senang melihat begitu banyak anak muda!” seru Paus Leo XIV sebelum Misa dimulai, menunjukkan pengakuan atas relevansi Acutis bagi generasi sekarang.
“Dia berhasil menyatukan kehidupan sehari-hari – sekolah, bermain bola, dan hobinya di bidang IT dan komputer – dengan iman yang tidak goyah,” kata Filippo Bellaviti, seorang pemuda berusia 17 tahun, kepada kantor berita AFP. Kesaksiannya menggambarkan bagaimana Acutis menjadi teladan yang mudah diidentifikasi.
“Melihat orang-orang dari begitu banyak negara yang hadir, terlihat jelas betapa banyaknya rasa sayang dan penghargaan kepada Carlo atas apa yang telah dia lakukan,” imbuh Filippo, menyoroti dampak global Acutis.
Eleanor Hauser, seorang siswi berusia 15 tahun yang sedang mengikuti study tour ke Italia dari negara bagian North Carolina di Amerika Serikat, mengatakan bahwa ia mengenal Acutis dari neneknya yang Katolik. “Ini menunjukkan bahwa kamu bisa melakukan hal besar walaupun masih muda, kamu bisa memberi dampak ke dunia tak peduli berapa umurmu,” ujar Eleanor, menggemakan pesan inspiratif dari kehidupan Acutis.
Bagaimana Bisa Menjadi Santo?
Untuk menjadi seorang santo, prosesnya sangat panjang dan super ketat. Ini melibatkan investigasi mendalam dari tim ahli Vatikan yang bertugas mengecek keabsahan setidaknya dua mukjizat wajib yang dikaitkan dengan individu tersebut.
Mukjizat-mukjizat yang dikaitkan dengan Carlo Acutis antara lain adalah penyembuhan seorang anak di Brasil yang menderita kelainan langka pada pankreas, serta pemulihan siswi dari Kosta Rika yang mengalami luka parah akibat kecelakaan lalu lintas. Peristiwa-peristiwa ini menjadi bukti keajaiban yang diakui Gereja Katolik.
Ibu Acutis, Antonia Salzano, dengan bangga menyatakan bahwa anaknya adalah bukti nyata bahwa “kita semua terpanggil untuk menjadi orang suci. Setiap orang itu spesial.” Pesan ini menegaskan universalitas panggilan kesucian dalam iman Katolik.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih
Editor: Yuniman Farid
ind:content_author: Matt Ford (sumber: AFP/ap)
Ringkasan
Carlo Acutis, seorang remaja Italia yang meninggal karena leukemia pada usia 15 tahun, secara resmi dikanonisasi sebagai santo oleh Gereja Katolik. Penetapan ini menjadikannya milenial pertama yang menerima gelar tersebut. Ia dikenal sebagai “influencer Tuhan” atau “santo siber” karena menggunakan internet dan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai keimanan.
Acutis, yang mahir dalam coding dan gemar bermain game, mendokumentasikan mukjizat dan berbagai hal terkait iman Katolik secara daring. Jasadnya disemayamkan di Assisi dan dikunjungi jutaan peziarah. Proses kanonisasinya melibatkan investigasi mendalam atas mukjizat yang dikaitkan dengannya, termasuk penyembuhan seorang anak di Brasil dan seorang siswi di Kosta Rika.