Gedung DPR dibakar, 22 orang tewas, PM mundur – Apa yang diketahui soal demo di Nepal?

Photo of author

By AdminTekno

Perdana Menteri Nepal, KP Sharma Oli, telah mengundurkan diri menyusul kemarahan publik atas tewasnya 22 orang dalam bentrokan antara polisi dan demonstran antikorupsi.

Kantor perdana Menteri Nepal menyatakan bahwa Oli mengundurkan diri untuk membuka jalan bagi solusi konstitusional lantaran demonstrasi kaum Gen-Z yang menentang tuduhan praktik korupsi telah meluas dan berubah menjadi aksi kekerasan. Rangkaian demonstrasi itu dipicu oleh larangan media sosial, yang kini telah dicabut.

Aksi kekerasan dimulai ketika ribuan orang—sebagian besar menyebut diri mereka sebagai Gen Z—turun ke jalan di Kathmandu pada Senin (08/09).

Hampir 200 orang diyakini terluka dalam bentrokan dengan polisi. Aparat menggunakan gas air mata, meriam air, dan peluru tajam saat para pengunjuk rasa memanjat tembok parlemen dan gedung-gedung resmi lainnya.

Pada Selasa (09/09), para demonstran membakar gedung Dewan Perwakilan Rakyat, markas besar Partai Kongres Nepal, dan rumah mantan perdana menteri Sher Bahadur Deuba. Rumah beberapa politisi lainnya juga telah dirusak.

Berikut yang kami ketahui tentang rangkaian aksi protes tersebut.

Apa itu larangan media sosial?

Media sosial merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat Nepal. Bahkan, tingkat pengguna medsos per kapita di Nepal adalah yang tertinggi di Asia Selatan.

Pekan lalu, pemerintah memutuskan untuk melarang 26 platform media sosial, termasuk WhatsApp, Instagram, dan Facebook, karena aplikasi-aplikasi itu gagal memenuhi tenggat waktu pendaftaran ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Nepal.

Para kritikus menuduh pemerintah berusaha meredam kampanye antikorupsi dengan larangan tersebut.

Larangan itu kemudian memicu demonstrasi massa. Meski kemudian larangan itu dicabut pada Senin (08/09) malam, aksi protes telah meluas dan menjadi pintu masuk bagi para pengunjuk rasa untuk menyalurkan ketidakpuasan yang lebih mendalam terhadap pemerintah.

Apa yang terjadi di Nepal?

Demonstrasi berubah menjadi aksi kekerasan di Kathmandu dan beberapa kota lain di Nepal. Sebanyak 19 pengunjuk rasa tewas dalam bentrokan dengan polisi pada Senin (08/09).

Pada hari yang sama, Menteri Komunikasi Nepal, Prithvi Subba, mengatakan kepada BBC bahwa polisi terpaksa menggunakan kekerasan—termasuk meriam air, pentungan, dan tembakan peluru karet.

Namun, beberapa pengunjuk rasa mampu menembus pagar gedung parlemen di Kathmandu. Hal ini mendorong polisi untuk memberlakukan jam malam di sekitar gedung-gedung pemerintah utama dan memperketat keamanan.

Baca juga:

  • Apa itu tuntutan 17+8? – Mahasiswa akan terus demo sampai tuntutan dipenuhi, DPR berikan tanggapan
  • Dukungan warga Malaysia dan negara lain untuk aksi di Indonesia – ‘Pemerintah kita sama buruk dan korup’
  • Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?

Pada Selasa (09/09), para pengunjuk rasa membakar gedung DPR di ibu kota Kathmandu. Gedung-gedung pemerintah dan rumah-rumah para pemimpin politik juga diserang di seluruh negeri.

Setidaknya tiga orang dilaporkan tewas pada Selasa (09/09), sehingga total korban tewas menjadi setidaknya 22 orang sejak kerusuhan dimulai.

Banyak korban luka telah dibawa ke rumah sakit terdekat dengan lokasi demonstrasi.

BBC Nepali berbicara dengan para dokter yang mengatakan mereka telah merawat korban luka tembak dan luka akibat peluru karet. Polisi mengatakan beberapa petugas juga terluka dan jumlah korban diperkirakan akan bertambah.

Pada Selasa (09/09) malam, Panglima Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, mengeluarkan pernyataan yang menuduh para demonstran memanfaatkan krisis yang sedang berlangsung dengan merusak, menjarah, serta membakar properti publik dan pribadi.

Jika kerusuhan berlanjut, kata sang jenderal, “semua lembaga keamanan, termasuk Angkatan Darat Nepal, berkomitmen untuk mengendalikan situasi.”

Pada saat yang sama, Jenderal Ashok Raj Sigdel mengundang para demonstran untuk berdialog guna menemukan solusi atas kerusuhan terburuk di Nepal dalam beberapa dekade.

Siapa yang memprotes?

Protes ini berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya di Nepal karena digerakkan di media sosial dan dipimpin oleh anak-anak muda Nepal.

Para demonstran menyebut diri sebagai Gen Z, dan istilah ini telah menjadi simbol persatuan dalam aksi massa.

Meskipun belum ada pemimpin yang jelas, sejumlah kelompok pemuda telah muncul sebagai kekuatan penggerak, menyerukan aksi dan berbagi informasi terkini secara daring.

Baca juga:

  • Anggota DPR mendapat dana reses Rp2,5 miliar tiap tahun, untuk apa?
  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
  • Gaji dan tunjangan anggota DPR lebih Rp100 juta per bulan distop setelah gelombang demonstrasi

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan universitas di kota-kota besar Nepal—Kathmandu, Pokhara, dan Itahari—diundang untuk bergabung dengan mengenakan seragam dan buku di tangan.

Video-video yang beredar di media sosial menunjukkan bahkan pelajar sekolah pun berpartisipasi dalam aksi protes.

Apa tuntutan para demonstran?

Dua tuntutan utama para demonstran sudah jelas: pemerintah mencabut larangan media sosial, (yang sudah dipenuhi) dan para pejabat mengakhiri “praktik korupsi”.

Para pengunjuk rasa, kebanyakan mahasiswa, mengaitkan pemblokiran media sosial dengan pembatasan kebebasan berbicara serta tuduhan korupsi yang meluas di kalangan politisi.

“Kami ingin mengakhiri korupsi di Nepal,” ujar Binu KC, seorang mahasiswa berusia 19 tahun, kepada BBC Nepali.

“Para pemimpin hanya menjanjikan satu hal selama pemilu, tetapi tidak pernah menepatinya. Mereka adalah penyebab dari begitu banyak masalah,” lanjutnya.

Baca juga:

  • Sejumlah pendukung Prabowo-Gibran dapat jabatan komisaris BUMN
  • Potret kebijakan publik pemerintahan Prabowo-Gibran – Viral dulu, cabut kemudian

Ia menambahkan bahwa larangan media sosial telah mengganggu pendidikannya, membatasi akses ke kelas daring dan sumber belajar.

Subhana Budhathoki, seorang kreator konten, menyuarakan rasa frustrasinya: “Generasi Z tidak akan berhenti sekarang. Protes ini bukan hanya tentang media sosial—Ini tentang membungkam suara kami, dan kami tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Apa itu tren ‘NepoKids’ dan apa hubungannya dengan demonstrasi?

Ciri khas rangkaian demonstrasi ini adalah meluasnya penggunaan dua slogan—#NepoBaby dan #NepoKids.

Kedua istilah ini semakin populer di media sosial dalam beberapa minggu terakhir setelah sejumlah video viral menunjukkan gaya hidup mewah para politisi dan keluarga mereka di Nepal.

Para pengunjuk rasa berpendapat bahwa orang-orang ini menikmati kesuksesan dan kemewahan hidup dari uang pajak, sementara rakyat Nepal berjuang susah payah.

Baca juga:

  • Siapa Marie Antoinette, permaisuri Prancis yang dibandingkan dengan Erina Gudono?
  • Susah cari kerja, lulusan sarjana mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor
  • Mengapa klaim Prabowo soal angka pengangguran turun dianggap tidak menggambarkan kenyataan di lapangan?

Video viral di TikTok dan Instagram telah membandingkan gaya hidup mewah keluarga politik—yang memakai pakaian desainer, jalan-jalan ke luar negeri, dan menggunakan mobil mewah—dengan kenyataan pahit yang dihadapi kaum muda, termasuk pengangguran dan migrasi paksa.

Slogan-slogan tersebut telah menjadi simbol frustrasi mendalam terhadap ketimpangan yang terjadi di Nepal.

Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

Meskipun perdana menteri telah mengundurkan diri, belum jelas siapa yang akan menggantikannya—atau apa yang akan terjadi selanjutnya, karena tampaknya tidak ada yang bertanggung jawab.

Beberapa pemimpin, termasuk para menteri, dilaporkan telah berlindung di balik pasukan keamanan.

Sebagian besar para demonstran sejauh ini telah menentang jam malam tanpa batas waktu di Kathmandu dan sekitarnya.

Para pengunjuk rasa menuntut akuntabilitas dan reformasi dalam pemerintahan.

Namun, jika pemerintah gagal mendengar dan melaksanakan tuntutan secara signifikan, para analis memperingatkan bahwa kerusuhan dapat meningkat lebih lanjut, terutama karena mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil ikut serta.

  • Seruan mengibarkan bendera One Piece – Kenapa budaya pop kerap ‘dipinjam’ sebagai simbol protes?
  • Pertemuan organisasi mahasiswa dengan DPR dan dua menteri – Apa efeknya pada gelombang demonstrasi?
  • Polisi dituduh ‘melampaui batas’ dalam atasi demo Agustus 2025 – ‘Kewenangan membesar tanpa pengawasan berarti’

Leave a Comment