Purbaya Menteri Keuangan: PR Ekonomi Mendesak yang Harus Dibereskan!

Photo of author

By AdminTekno

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan ambisinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6-7%, sebagai solusi meredam potensi gejolak sosial yang dipicu ketidakpuasan publik. Pernyataan ini muncul menyusul gelombang demonstrasi di berbagai daerah yang menyuarakan aspirasi masyarakat.

Namun, sejumlah ekonom justru meragukan efektivitas pendekatan tersebut dalam menuntaskan akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu ketidakadilan dalam alokasi anggaran negara. Lalu, apa saja sebenarnya pekerjaan rumah yang menanti Menteri Purbaya?

Pelantikan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin (08/09) menandai berakhirnya era Sri Mulyani Indrawati yang telah menjabat selama 14 tahun sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kabar mengenai pergantian mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini sebenarnya sudah beredar di media sosial, terutama setelah insiden penjarahan di kediamannya di Tangerang Selatan pada Minggu dini hari (31/08). Meskipun demikian, Istana Kepresidenan tidak memberikan penjelasan resmi terkait isu ini.

Reshuffle kabinet kedua yang dilaksanakan pada Senin lalu seolah membenarkan rumor yang berkembang.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menampik bahwa demonstrasi yang berujung ricuh pada akhir Agustus menjadi pertimbangan utama Presiden Prabowo dalam melakukan perombakan kabinet, termasuk penggantian Sri Mulyani.

“Bukan mundur, bukan dicopot. Pak Presiden [Prabowo] selaku kepala negara dan kepala pemerintahan tentu saja kita semua paham beliau punya hak prerogatif. Maka kemudian atas evaluasi beliau memutuskan ada perubahan formasi,” tegas Prasetyo.

Usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, dan kunjungan ke Gedung Kementerian Keuangan, Purbaya menyampaikan komitmennya untuk “menciptakan pertumbuhan ekonomi 6%-7%”.

Ia berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan meredam gejolak sosial seperti demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus. Bahkan, ia menganggap tuntutan publik yang terangkum dalam ’17+8′ sebagai suara minoritas.

“Itu kan suara sebagian kecil rakyat kita, kenapa? Mungkin sebagian merasa keganggu hidupnya masih kurang ya. Once, saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6%-7% itu [demonstrasi] akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo,” ujarnya optimistis.

“Pesan Presiden adalah balik arah ekonomi, ciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Itu yang akan kita kerjakan ke depan,” lanjutnya.

Baca juga:

  • Sri Mulyani minta maaf setelah serahkan jabatan kepada menkeu yang baru

Purbaya belum menjelaskan secara rinci strategi yang akan ditempuhnya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 6-7%. Namun, ia memastikan akan memaksimalkan instrumen yang ada tanpa mengubah kebijakan fiskal yang telah dirancang oleh Sri Mulyani.

Salah satu langkah yang akan diambil adalah mempercepat belanja pemerintah, yang dinilainya berjalan lambat dalam dua triwulan terakhir.

“Itu enggak tahu salahnya di mana, [akibat] efisiensi atau bukan, tapi yang jelas itu memberi dampak negatif ke perekonomian karena pertumbuhannya melambat di situ,” paparnya.

“Saya ahli fiskal, jadi saya mengerti betul fiskal yang baik seperti apa,” sambungnya dengan percaya diri di hadapan wartawan.

Apa saja PR Purbaya?

Sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa pernyataan Menteri Keuangan Purbaya dalam menanggapi ‘kemarahan publik’ menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam mengenai akar permasalahan yang sebenarnya.

Direktur Riset dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, bahkan menyebut Purbaya sebagai “orang yang tidak merasakan keresahan masyarakat”.

Ekonom senior dari CORE Indonesia, Hendri Saparini, menilai “Purbaya terkesan menyederhanakan masalah”.

Lebih dari itu, keduanya mengidentifikasi beberapa pekerjaan rumah mendesak yang perlu segera dicarikan solusinya:

  • Bunga utang menggunung

Hendri menjelaskan bahwa persoalan ini berakar dari postur RAPBN 2026 yang dinilai “rentan” karena belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara. Jika kondisi ini terus berlanjut, pembiayaan utang negara berpotensi meningkat.

Merujuk pada Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, proyeksi pendapatan negara adalah sebesar Rp3.147,7 triliun, sementara belanja negara mencapai Rp3.786,5 triliun.

Dengan demikian, defisit diperkirakan mencapai Rp638,8 triliun.

Pemerintah berencana menarik utang baru senilai Rp781,9 triliun pada 2026 demi keberlangsungan program-program pemerintah.

Namun, peningkatan utang ini membawa risiko berupa semakin tingginya rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara.

Akibatnya, beban pembayaran bunga utang bisa menembus Rp600 triliun lebih pada 2026 atau 19% dari total belanja negara.

Implikasinya adalah berkurangnya alokasi anggaran untuk sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

“Kalau [utang] menjadi salah satu masalah Presiden Prabowo mengganti Sri Mulyani, semestinya ada koreksi dari sisi belanja. Untuk Pak Purbaya jangan buat utang lebih banyak karena itu menjadi risiko,” papar Hendri.

“Tapi kalau ternyata Pak Prabowo justru membutuhkan dana lebih banyak karena belanjanya mau digenjot lagi, ya Menteri Keuangannya tinggal menjalankan apa yang dimau kan.”

  • Ketidakadilan fiskal

Di awal masa jabatannya, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah efisiensi anggaran dengan tujuan memfokuskan keuangan negara untuk kepentingan rakyat.

Keputusan ini dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Penghematan anggaran ini akan dilakukan dalam tiga tahap dengan total mencapai Rp750 triliun.

Dana hasil penghematan tersebut akan dialokasikan untuk mendanai proyek prioritas Prabowo, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pemberian modal kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Namun, kebijakan efisiensi ini berdampak pada pemangkasan anggaran sejumlah kementerian, yang berujung pada berbagai konsekuensi: mulai dari ancaman PHK pekerja hotel dan kontributor di kantor berita pemerintah, pengurangan dana penelitian dosen hingga biaya perkuliahan, hingga penghematan fasilitas kerja aparatur sipil negara.

Tak hanya itu, pemerintah pusat juga memangkas dana Transfer Ke Daerah (TKD), memaksa 104 daerah mencari sumber pendapatan dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) secara signifikan.

Kenaikan PBB-P2 ini memicu penolakan warga yang berujung pada demonstrasi di berbagai daerah, dimulai dari Pati, Jawa Tengah.

Di tengah upaya efisiensi yang digembar-gemborkan, gaji dan tunjangan anggota DPR tetap utuh, mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.

Andri Perdana menegaskan bahwa ketidakadilan fiskal inilah yang memicu kemarahan rakyat. Apalagi, Kementerian Keuangan berencana untuk lebih gencar lagi menggenjot pajak-pajak baru yang menyasar kelas menengah ke bawah.

“Pajak PBB itu walaupun yang menentukan kepala daerah, tapi Kementerian Keuangan yang memutuskan dana TKD. Kalau TKD tidak dipangkas, pajak [PBB] tidak akan naik,” jelasnya.

“Menteri Keuangan mestinya bisa menjelaskan ke Presiden mana program yang bisa diblokir atau dievaluasi. Dengan pengeluaran untuk MBG yang besar, lalu Koperasi Merah Putih, ditambah pembangunan tiga juta rumah, maka fiskal tidak akan berkelanjutan.”

“Itulah pentingnya fiskal yang berkeadilan,” cetusnya.

  • Memperbaiki pendapatan negara

Pada Juli lalu, Sri Mulyani, yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, memperkirakan penerimaan pajak tahun ini tidak akan mencapai target yang telah ditetapkan dalam APBN 2025.

Dalam APBN 2025, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp2.189,3 triliun hingga akhir tahun. Namun, realisasinya diproyeksikan hanya 94,9% dari target atau sekitar Rp2.076,9 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa target penerimaan pajak tidak tercapai 100% karena keputusan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% batal diterapkan ke seluruh barang dan jasa, melainkan hanya terbatas pada barang mewah.

Akibat dari turunnya penerimaan pajak ini, pendapatan negara tahun ini juga berpotensi tidak mencapai target sebesar Rp3.005,1 triliun.

Persoalan lain adalah pengalihan dividen BUMN yang sebelumnya masuk ke kas negara ke Danantara.

Sri Mulyani memperkirakan penerimaan negara pada 2025 hanya akan mencapai 95,4% atau Rp2.865,5 triliun.

Andri Perdana berpendapat bahwa Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya harus mampu memperbaiki kondisi tersebut dengan mengejar wajib pajak dari kalangan kaya dan wajib pajak yang bermasalah.

Dengan menerapkan pajak kekayaan sebesar 1-2% dari 50 orang terkaya di Indonesia, negara berpotensi mengantongi setidaknya Rp80 triliun per tahun.

Angka ini, menurutnya, lebih tinggi dibandingkan dengan potensi kenaikan dari pajak PPN.

“Ada banyak juga wajib pajak yang menghindari pajak dengan berkongkalikong dengan pegawai pajak sehingga penerimaan pajak tidak sesuai target. Itu harus bisa diperbaiki,” ungkap Andri.

‘Kita tidak memerlukan orang yang lebih pintar dari Sri Mulyani’

Namun, ekonom senior Hendri Saparini menekankan bahwa permasalahan utama terletak pada pemahaman Presiden Prabowo Subianto mengenai persoalan yang dihadapi masyarakat, dan bukan hanya terpaku pada target pertumbuhan ekonomi semata.

Target pertumbuhan ekonomi 6-7% atau bahkan 8% bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Namun, Hendri mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut berpotensi “tumbuh secara eksklusif”.

“Bukan tumbuh inklusif, itu kan dua hal yang sangat berbeda. Jadi menurut saya Pak Purbaya sebaiknya menyegerakan berdiskusi dengan Presiden tentang masalah yang dihadapi ekonomi Indonesia secara jujur,” imbuhnya.

“Dan jangan mensimplifikasi masalah-masalah ketidakadilan yang ada pada masyarakat.”

Hal lain yang tak kalah penting, menurutnya, adalah Menteri Purbaya harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan agar tidak memicu kemarahan baru di masyarakat.

Hendri menyoroti pernyataan Purbaya yang menyebut tuntutan publik berupa ’17+8′ sebagai suara sebagian kecil rakyat saja.

“Mudah-mudahan pernyataan itu bukan karena tidak paham atau tidak mau paham, tetapi guyon meskipun tidak boleh. Karena itu sudah menciptakan kemarahan baru, padahal kita sedang mendinginkan ekonomi,” ungkapnya.

Pengamat ekonomi Andri Perdana juga berpesan agar Purbaya memiliki pendirian yang kuat dan berani menyampaikan keberatan kepada Presiden jika keputusannya dinilai kurang realistis dan berpotensi berdampak buruk terhadap kesehatan fiskal dalam jangka panjang.

“Kita tidak memerlukan orang yang lebih pintar dari Sri Mulyani saat ini, tapi yang lebih berpendirian.”

“Tapi apabila Menteri Keuangan yang baru lebih submissive, jangankan bisa lebih baik dari Sri Mulyani, saya rasa akan memperburuk keadaan,” tukasnya.

Hendri Saparini sependapat. Menurutnya, penting untuk memberikan pemahaman kepada Presiden tentang keresahan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan fiskal.

Kemudian, memberikan rekomendasi berupa kreasi kebijakan yang tidak memicu gejolak di masyarakat.

Ia mencontohkan proyek mercusuar Prabowo, MBG. Menurutnya, program tersebut dapat diintegrasikan dengan program lain dan melibatkan pihak luar, sehingga tidak membebani anggaran negara—bahkan sampai memotong anggaran pendidikan.

“Jadikan MBG sebagai program nasional, jadi semua pihak terlibat. Setelah itu Presiden membuat mapping seluruh anak Indonesia yang perlu diselesaikan masalah gizinya,” jelas Hendri.

“Persilakan lembaga internasional, swasta, lembaga sosial, filantropi untuk bekerja sama. Kalau begitu, jangan-jangan pemerintah tinggal menambah dari APBN sekitar 40% saja?” ucapnya.

“Kemudian, agar MBG tidak sentralistik dekati UMKM di sekitaran sekolah. Dengan begitu bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.”

“Nah, Pak Purbaya paham enggak kayak gini? Jangan sama pendekatannya dengan Ibu Sri Mulyani.”

Menteri Purbaya minta maaf

Dalam pidato serah terima jabatan, Menteri Keuangan Purbaya memaparkan sejumlah hal penting.

Mulai dari krisis global yang berdampak pada ketidakpastian ekonomi, perlambatan ekonomi di berbagai negara, ketegangan geopolitik, perubahan iklim hingga disrupsi perkembangan teknologi.

Ia juga menyoroti secara khusus masalah perubahan iklim yang melanda dunia. Baginya, tantangan perubahan iklim kini semakin nyata dan memiliki dampak langsung terhadap berbagai sektor strategis seperti pertanian, perikanan, dan energi.

“Peran Kementerian Keuangan dalam merancang kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan berkelanjutan sangat krusial,” ujar Purbaya.

Oleh sebab itu, ia memastikan bahwa di bawah kepemimpinannya, penyusunan RAPBN 2026 akan tetap disiplin, supaya fiskal pemerintah tetap sehat di tengah besarnya tantangan ekonomi global.

“RAPBN 2026 dirancang untuk menjaga kesinambungan kebijakan fiskal dan disiplin, sekaligus berpihak pada rakyat.”

Purbaya juga menekankan bahwa prinsip kehati-hatian akan tetap dijaga supaya APBN 2025 tetap sehat, kredibel, dan mampu menopang agenda pembangunan nasional.

“Setiap rupiah yang kita kelola adalah uang rakyat, dan kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa uang tersebut digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat,” pungkasnya.

Terakhir, Purbaya meminta maaf atas ucapannya yang menyebut tuntutan ’17+8′ sebagai suara sebagian kecil rakyat.

Ia berjanji pemerintah akan memulihkan kondisi ekonomi, salah satunya melalui penciptaan lapangan kerja yang luas.

“Jadi kuncinya di situ. Berapa cepat kita bisa memulihkan ekonomi sehingga lapangan kerja ada banyak. Itu yang kita kejar nanti ke depan. Jadi itu maksudnya saya kemarin. Kalau kemarin salah ngomong, saya minta maaf.”

  • Warisan utang pemerintahan Jokowi untuk pemerintahan Prabowo, ekonom peringatkan ‘Kita sudah gali lubang tutup lubang’
  • Apakah China memancing negara-negara lain untuk berutang?
  • Bunga utang kereta cepat Jakarta-Bandung 3,4%, jebakan utang China?
  • Garis kemiskinan versi Bank Dunia dan pemerintah, mana yang lebih realistis?
  • Angka kemiskinan turun, ratusan ribu orang terancam tak menerima bansos?
  • Angka kemiskinan turun tapi jumlah penduduk miskin di perkotaan meningkat, apa yang terjadi?
  • PPN 12% dan sembilan pungutan baru yang akan menguras dompet kelas pekerja pada 2025 – ‘Ini namanya mencetak orang miskin baru’
  • Mengapa pemerintah berubah sikap soal PPN 12%?
  • Apa yang ingin dicapai pemerintah dengan memajaki penjual di lapak online?
  • Pidato RAPBN Prabowo bahas MBG, pengangguran, dan nasib IKN — Apa kata ahli ekonomi?
  • Program tiga juta rumah Prabowo untuk masyarakat berpenghasilan rendah, apakah realistis?
  • Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan

Daftar Isi

Ringkasan

Purbaya Yudhi Sadewa dilantik sebagai Menteri Keuangan, menggantikan Sri Mulyani, dengan target mendorong pertumbuhan ekonomi 6-7% untuk meredam gejolak sosial. Ia berencana memaksimalkan instrumen yang ada dan mempercepat belanja pemerintah tanpa mengubah kebijakan fiskal yang ada, tetapi beberapa ekonom meragukan pendekatan ini dan menyoroti permasalahan mendasar seperti ketidakadilan alokasi anggaran.

PR utama Purbaya meliputi pengelolaan bunga utang yang menggunung, mengatasi ketidakadilan fiskal akibat pemangkasan anggaran yang memicu demonstrasi, dan memperbaiki pendapatan negara yang diproyeksikan tidak mencapai target. Ekonom menekankan pentingnya Purbaya untuk berani menyampaikan keberatan kepada Presiden dan tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi eksklusif, serta meminta maaf atas pernyataannya yang kontroversial mengenai tuntutan publik.

Leave a Comment