Mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, resmi divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Vonis ini terkait kasus dugaan korupsi dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP. Kasus ini menjadi sorotan lantaran satu hakim menyatakan Ira seharusnya divonis bebas dari segala tuntutan hukum.
Putusan majelis hakim juga menghukum Ira Puspadewi dengan pidana denda sebesar Rp 500 juta. Jika denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Vonis ini terbilang lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut Ira dengan pidana 8,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan.
Selain Ira Puspadewi, dua terdakwa lainnya dalam kasus ini, yakni Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP periode 2020-2024, Harry Muhammad Adhi Caksono, serta Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP periode 2019-2024, Muhammad Yusuf Hadi, masing-masing dijatuhi pidana 4 tahun penjara.
Pertimbangan Hakim: Ira Tidak Terima Keuntungan, Harusnya Divonis Lepas
Fakta menarik dalam persidangan ini adalah adanya perbedaan pandangan di antara majelis hakim. Hakim anggota, Mardiantos, mengungkapkan bahwa berdasarkan keterangan saksi, pendapat ahli, barang bukti, serta keterangan ketiga terdakwa, terbukti bahwa Ira Puspadewi dan rekan-rekannya tidak memperoleh keuntungan pribadi atau harta benda dari tindak pidana korupsi dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Oleh karena itu, para terdakwa tidak dibebankan pembayaran uang pengganti kerugian negara, meskipun tetap dihukum penjara.
Namun, Ketua Majelis Hakim, Sunoto, memiliki pandangan yang berbeda. Ia berpendapat bahwa Ira Puspadewi seharusnya divonis lepas dari tuntutan hukum. Sunoto menilai tindakan yang dilakukan Ira Puspadewi dan jajaran direksi lainnya merupakan murni keputusan bisnis yang dilindungi oleh prinsip business judgement rule, bukan sebuah tindak pidana. Menurutnya, unsur-unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan tidak terpenuhi secara meyakinkan, sehingga berdasarkan Pasal 191 ayat 2 KUHAP, para terdakwa semestinya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau ontslag.
Tiga Keraguan Substansial dalam Vonis Ira Puspadewi
Dalam pandangannya, Hakim Sunoto menyoroti adanya tiga poin keraguan substansial yang material dan fundamental dalam perkara dugaan korupsi akuisisi ASDP ini:
- Pertama, keraguan tentang niat jahat atau mens rea. Sunoto menekankan bahwa Ira Puspadewi dan terdakwa lainnya tidak terbukti mendapatkan keuntungan pribadi, tidak ada benturan kepentingan, motif ekonomi yang jelas tidak ditemukan, bahkan hasil bisnis yang dilakukan PT ASDP menunjukkan pencapaian positif.
- Kedua, keraguan ihwal kerugian negara. Sunoto berargumen bahwa tim KPK bukan lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (MA). Ia juga menyebutkan penolakan BPKP untuk menghitung kerugian negara, cacat fundamental dalam metodologi perhitungan, serta kesimpulan BPK yang menyatakan pelaksanaan akuisisi sesuai aturan. Perbedaan pendapat ahli yang sangat ekstrem juga menjadi salah satu dasar keraguannya.
- Ketiga, adanya keraguan mengenai garis batas antara keputusan bisnis yang tidak optimal dengan tindak pidana korupsi.
Dengan adanya keraguan-keraguan substansial ini, Sunoto menegaskan bahwa keputusan yang diambil seharusnya menguntungkan terdakwa, sejalan dengan asas hukum in dubio pro reo, di mana setiap keraguan harus ditafsirkan untuk keuntungan terdakwa.
Ira Puspadewi: Kami Tidak Korupsi, Akuisisi Strategis untuk Indonesia
Seusai menjalani sidang vonis, Ira Puspadewi langsung menyuarakan ketidaksetujuannya. Ia menggarisbawahi pernyataan Majelis Hakim yang mengakui dirinya bersama dua mantan direksi ASDP lainnya sama sekali tidak menerima keuntungan. “Kami tidak korupsi sama sekali,” tegas Ira kepada awak media.
Ira juga menjelaskan bahwa akuisisi PT Jembatan Nusantara adalah langkah strategis, bukan hanya bagi PT ASDP, melainkan untuk negara Indonesia. Menurutnya, akuisisi ini akan memperkuat posisi ASDP dalam melayani wilayah 3T (terpencil, terluar, terdepan), yang merupakan area krusial bagi konektivitas nasional.
Permohonan Perlindungan Hukum kepada Presiden Prabowo
Dalam kesempatan yang sama, Ira Puspadewi menyampaikan permohonan perlindungan hukum kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Permohonan ini ditujukan agar para profesional di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berani melakukan terobosan besar untuk kemajuan bangsa tidak dikriminalisasi. Ia berharap kontribusi besar para profesional BUMN dihargai, bukan justru berakhir di meja hijau.
Dugaan Kerugian Negara dan Perdebatan Kompetensi Perhitungan
Kasus ini bermula ketika ketiga mantan direksi PT ASDP tersebut didakwa terlibat dalam proses kerja sama usaha dan akuisisi kapal PT JN. Mereka dituduh memperkaya orang lain, dengan perbuatan yang disebut telah merugikan keuangan negara hingga Rp 1,27 triliun. Namun, dalam pleidoinya, Ira Puspadewi menilai perhitungan kerugian keuangan negara tersebut dibuat oleh akuntan forensik internal KPK dan dosen konstruksi perkapalan yang tidak memiliki kompetensi dan sertifikat resmi sebagai penilai publik, sebagaimana dipersyaratkan oleh Peraturan Menteri Keuangan.
Ira juga sebelumnya pernah mengungkapkan bahwa Menteri BUMN saat itu, Erick Thohir, justru menyatakan kebanggaannya atas proses akuisisi tersebut. Ia kembali menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima keuntungan pribadi sepeser pun dari seluruh proses akuisisi tersebut, menambah kompleksitas narasi hukum dan bisnis di balik putusan pengadilan ini.