
Pengamat energi, Ali Ahmudi, menegaskan bahwa hilirisasi timah di Indonesia kini berada pada fase krusial bagi industrialisasi nasional. Menurutnya, PT Timah Tbk, sebagai bagian integral dari MIND ID, telah mengambil langkah konkret dalam proses hilirisasi ini melalui produksi tin solder, tin chemical, dan tin powder. Namun, ia menyayangkan perkembangan industri hilir di Tanah Air yang masih berjalan lamban dan sangat memerlukan dukungan kebijakan besar untuk percepatan.
Ali Ahmudi menilai, upaya hilirisasi yang dilakukan oleh PT Timah secara jelas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapabilitas teknis dan kapasitas industri yang memadai untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Ini membuktikan bahwa kita sebenarnya sudah memulai langkah awal industrialisasi beyond ingot, dengan produksi tin solder dan tin chemical sebagai indikatornya. Kendati demikian, untuk benar-benar menjadi pemimpin global di sektor ini, Ali menekankan perlunya pembenahan menyeluruh terhadap struktur hulu dan hilir.
Data dari Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) memperlihatkan kontribusi PT Timah Industri yang signifikan, dengan produksi tin solder mencapai 2.000 ton per tahun, tin chemical 21.000 ton per tahun, dan tin powder 100 ton per tahun. Di luar PT Timah, hanya segelintir perusahaan yang sedang membangun fasilitas hilirisasi dengan kapasitas terbatas. Contohnya, pabrik tin solder dengan kapasitas 4.000 ton per tahun, rencana produksi 40.000 ton tin solder oleh PT Tri Charislink Indonesia, serta pengembangan tin chemical 16.000 ton oleh PT Batam Timah Sinergi. Ada pula industri hilir lain seperti PT Solderindo dengan kapasitas 48.000 ton dan PT Latinusa yang memproduksi tin plate hingga 160.000 ton per tahun.
Kenyataan bahwa hanya beberapa perusahaan yang berhasil membangun fasilitas hilir ini, menurut Ali, membuktikan bahwa ekosistem hilirisasi timah di Indonesia belum terbentuk secara optimal. Berbagai hambatan struktural masih sangat kuat, mulai dari keterbatasan permintaan domestik hingga beban regulasi yang justru melemahkan daya saing industri dalam negeri. Ia menambahkan, meskipun Indonesia memiliki cadangan timah yang melimpah, industri turunannya masih belum berkembang pesat dan ekosistem hilirnya masih sangat tipis. Banyak pelaku usaha yang sebenarnya mampu, namun terbentur masalah fiskal, regulasi, dan minimnya insentif.

Ali Ahmudi mengidentifikasi sedikitnya lima penyebab utama mengapa hilirisasi timah nasional berjalan lambat. Pertama, belum terbentuknya ekosistem industri hilir timah yang kuat, mengakibatkan aplikasi logam timah dalam berbagai sektor manufaktur masih sangat minim. Kedua, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap bahan baku logam timah membuat biaya produksi tin solder dalam negeri kalah bersaing. Ketiga, impor tin solder yang tidak dikenakan bea masuk menyebabkan produk lokal kehilangan daya kompetitifnya. Keempat, regulasi ekspor yang masih membatasi spesifikasi produk, padahal pasar global memiliki variasi yang sangat luas. Terakhir, pelaku industri hilir selama ini tidak memperoleh insentif fiskal maupun dukungan kawasan industri, sehingga mereka harus berjuang sendiri tanpa kebijakan afirmatif.
Ali menilai bahwa semua persoalan ini harus dijawab dengan rekayasa kebijakan komprehensif, terutama karena timah merupakan komoditas strategis yang menjadi penopang banyak industri teknologi. Ia optimis bahwa Indonesia berpotensi besar menjadi pusat industrialisasi material berbasis timah jika hilirisasi dijadikan agenda nasional, dengan MIND ID sebagai lokomotif utamanya. MIND ID memiliki mandat besar, dan dukungan terhadap PT Timah adalah kunci keberhasilan. Jika hilirisasi timah didorong sebagai bagian dari industrialisasi domestik, maka rantai pasok di sektor elektronik, otomotif, hingga energi, semuanya bisa tumbuh kuat di dalam negeri.
Keberhasilan hilirisasi timah akan sangat bergantung pada empat pilar utama. Pertama, penjaminan pasokan timah yang legal dan berkelanjutan. Kedua, peningkatan kualitas produk dan teknologi proses. Ketiga, pembangunan ekosistem industri domestik yang kuat. Serta yang keempat, penempatan positioning global melalui standar ESG (Environmental, Social, and Governance) dan inovasi. Tanpa pilar-pilar ini, Indonesia akan terus berada pada posisi sebagai pemasok bahan mentah, meskipun memiliki cadangan timah terbesar di dunia.
Ali menegaskan bahwa produksi tin solder dan tin chemical hanyalah langkah awal. Transformasi yang lebih besar masih harus dibangun. Jika kebijakan fiskal diperkuat, insentif diperjelas, dan ekosistem industri dipercepat, Indonesia dapat naik kelas dan memainkan peran global yang lebih signifikan. Ia juga menambahkan, hilirisasi timah harus diperlakukan bukan sebagai program sektoral, melainkan sebagai prioritas industri nasional. Dengan peran MIND ID yang semakin strategis, entitas ini dapat menjadi pengungkit utama yang memimpin konsolidasi ekosistem, memperkuat rantai pasok, serta mendorong tumbuhnya permintaan domestik. Menurut Ali, ini adalah momentum besar bagi industrialisasi Indonesia yang tidak boleh disia-siakan.
Ringkasan
Pengamat energi, Ali Ahmudi, menyoroti pentingnya hilirisasi timah bagi industrialisasi nasional dan peran PT Timah Tbk dalam produksi tin solder, tin chemical, dan tin powder. Ia menekankan bahwa meskipun Indonesia memiliki kapabilitas teknis, perkembangan industri hilir masih lambat karena berbagai hambatan struktural seperti keterbatasan permintaan domestik dan beban regulasi. Akibatnya, ekosistem hilirisasi timah belum optimal dan hanya sedikit perusahaan yang berhasil membangun fasilitas hilir.
Ali Ahmudi mengidentifikasi penyebab lambatnya hilirisasi, termasuk belum terbentuknya ekosistem industri yang kuat, PPN terhadap bahan baku timah, impor tin solder tanpa bea masuk, regulasi ekspor yang membatasi, dan minimnya insentif fiskal. Ia mendesak rekayasa kebijakan komprehensif dan menjadikan hilirisasi timah sebagai agenda nasional dengan MIND ID sebagai lokomotifnya, berfokus pada penjaminan pasokan, peningkatan kualitas, pembangunan ekosistem, dan positioning global berdasarkan standar ESG.