Menteri LH soal Bencana Sumatera: Jangan Salahkan Iklim Saja

Photo of author

By AdminTekno


Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dengan tegas menyatakan bahwa serangkaian bencana yang melanda Sumatera dan Aceh bukan semata-mata diakibatkan oleh faktor iklim atau cuaca. Ia menyoroti adanya elemen krusial lain, yakni ketidaksiapan lanskap dan tata ruang dalam menghadapi dan menahan laju curah hujan ekstrem yang terjadi. Pernyataan ini disampaikan Hanif dalam Pemaparan hasil COP30 UNFCCC Brasil di Hotel Kempinski Indonesia, Jakarta, pada Selasa (2/12) lalu.

Dalam konteks tersebut, Hanif menekankan pentingnya untuk tidak hanya menyalahkan iklim. Menurutnya, ada masalah serius yang harus ditangani pada lanskap itu sendiri. Ia menegaskan urgensi kesiapan ekosistem dan tata ruang sebagai garda terdepan dalam merespons peningkatan frekuensi kejadian cuaca ekstrem. “Saya tidak menyalahkan iklim, tetapi ketidaksiapan kita menanggung. Itu yang kemudian terjadi bencana ini,” ujarnya, menyoroti bahwa bencana terjadi karena kerentanan internal, bukan hanya pemicu eksternal.

Untuk memperjelas pandangannya, Hanif menjabarkan sejumlah contoh kejadian ekstrem di berbagai wilayah di Indonesia, tidak terbatas pada Sumatera saja, melainkan juga meliputi Jakarta hingga Bali. Di Jakarta, banjir Ciliwung pada Februari dan Agustus yang merenggut korban jiwa, terjadi meskipun curah hujan hanya mencapai 147 milimeter dalam dua hari. Kondisi sungai yang menyerupai corong dan kepadatan penduduk yang tinggi, secara signifikan meningkatkan risiko korban.

Beralih ke Bali, Hanif menyoroti kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung. Dengan tutupan hutan yang hanya sekitar 3 persen, ketika hujan deras 245 milimeter mengguyur, dampaknya sangat fatal. “Di bawahnya ada Denpasar dan Badung, yang kemudian tutupan hutannya hanya sekitar 3 persen bahkan. Kemudian turun hujan di angka 245 (milimeter). Itu yang meninggal 21 orang, dan 1 orang sampai sekarang belum ketemu,” paparnya, menggambarkan betapa krusialnya vegetasi sebagai penahan alami.

Situasi serupa, namun dengan karakteristik berbeda, terjadi di Sumatera. Hanif menjelaskan data curah hujan ekstrem di wilayah ini yang dipicu oleh siklon tropis. Di Batang Toru, misalnya, curah hujan mencapai sekitar 300 milimeter dalam dua hari. Meskipun intensitasnya tidak setinggi di Aceh, dampaknya luar biasa besar. Bentuk lanskapnya yang menyerupai huruf V, dengan lereng kiri dan kanan yang terganggu, menjadikan daerah di Tapanuli Utara, Tengah, dan Selatan sangat rentan terhadap bencana.


Lebih lanjut, di Sibolga, Sumatera Utara, tercatat curah hujan yang sangat ekstrem, mencapai intensitas hampir 400 milimeter. Kondisi ini memicu tanah longsor besar yang menimbun warga. Sementara itu, di Aceh, curah hujan juga mencapai 400 milimeter. “Maka di Aceh, 2 hari telah datang air sejumlah 9,7 miliar kubik. Bayangkan air seluas itu siapa yang bisa selamat?” ungkap Hanif, menggambarkan volume air yang masif dan daya rusaknya. Kondisi di Sumatera Barat pun tak kalah ekstrem, diperparah oleh karakteristik lanskap yang curam dan pendek, sehingga menyebabkan jumlah korban yang relatif besar.

Hanif secara terus terang mengakui adanya perubahan drastis tata ruang di beberapa wilayah, termasuk di Batang Toru. Ia mencontohkan bahwa di daerah tersebut, hulu DAS justru berada di Areal Penggunaan Lain (APL) dan bukan di kawasan hutan. Akibatnya, tutupan pohon sangat minim di area yang seharusnya menjadi penyangga utama ekosistem. “Nah itu begitu dia hujan, ya sudah dipastikan lah tidak ada pohon. Ada pohon sebesar 38 persen tapi dia ada di tengah dan hilir. Seandainya dia ada di puncak, maka kejadiannya mungkin akan berbeda,” jelasnya, menggarisbawahi kegagalan fungsi kawasan hutan sebagai benteng alami.


Menanggapi kondisi ini, pihak Kementerian Lingkungan Hidup kini tengah mengumpulkan data rinci, termasuk citra satelit. Mereka juga telah mengundang seluruh entitas terkait di sepanjang DAS Batang Toru untuk melakukan penyelidikan komprehensif. Hanif memastikan bahwa pemerintah akan mengungkap kasus ini secara transparan dan mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pemberatan kerusakan lingkungan yang terjadi. “Kita akan membuat kasus ini terang, sehingga korban yang cukup banyak tidak kemudian tidak ada yang tanggung jawab. Karena ini ada upaya pemberatan kasus lingkungan yang terjadi di sini. Tentu kita akan perbaiki gimana ke depannya,” tegas Hanif, menunjukkan komitmen terhadap akuntabilitas dan perbaikan di masa depan.

Terakhir, ia menegaskan bahwa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah memberikan informasi awal kepada pemerintah daerah mengenai kedatangan siklon tropis. Namun, kekuatan pasti dari fenomena tersebut memang sulit diprediksi secara akurat. Oleh karena itu, Hanif menyimpulkan bahwa kejadian ini harus menjadi pembelajaran berharga, dan adaptation plan (rencana adaptasi) harus menjadi prioritas utama dalam strategi menghadapi perubahan iklim dan cuaca ekstrem di masa mendatang.

Leave a Comment