Kesaksian kaum muda Kampung Serule di Aceh Tengah menyelamatkan warga dari kelaparan

Photo of author

By AdminTekno

Sejumlah pemuda Kampung Serule, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah, berjibaku guna mendapatkan bantuan logistik. Banjir-longsor mengisolasi kampung itu dari dunia luar. Inilah cerita kepedulian sesama warga agar mereka tidak mati kelaparan.

“Kami tidak tidur karena memikirkan anak, keluarga, lansia dan masyarakat yang ada di kampung…”

Usman, 28 tahun, warga Kampung Serule, mencoba mengingat lagi ketakutan dan kekhawatiran saat kampungnya terputus dari dunia luar.

Banjir dan longsor pada Rabu, 26 November 2025, membuat kampung itu lumpuh total.

Tidak ada listrik, lampu mati, akses telekomunikasi terputus, dan akses jalan ke dunia luar terhalang longsoran.

Di hari pertama bencana, lalu memasuki hari kedua, ketiga serta keempat, warga masih mencoba bertahan dengan bahan makanan yang tersisa.

Namun memasuki hari kelima, ketika bahan makanan mulai jauh berkurang, Usman gelisah.

“Kami sudah kekurangan beras,” ungkap Usman kepada wartawan Iwan Bahagia yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (25/12).

Dalam momen-momen seperti itulah, Usman dan puluhan pemuda kampung itu seperti bersumpah: “Jika kami tidak berbuat, maka semua warga bisa mati kelaparan.”

Maka, Usman dan rekan-rekannya lalu memutuskan untuk jalan kaki, menerobos hutan, perbukitan, kebun hingga sungai demi mencari bantuan logistik.

“Saat pergi, kami tidak tahu jalan sudah seperti apa. Kami menembus bukit dan sungai,” Usman mulai bercerita.

Tujuan mereka adalah Kantor Camat Bintang. Mereka yakin di sanalah bakal mendapat bantuan logistik.

Di situasi normal, warga Kampung Serule kira-kira membutuhkan satu jam naik motor untuk menuju Kantor Camat Bintang, tidak jauh dari Danau Lut Tawar.

Tetapi ketika banjir dan longsor meluluhlantakkan wilayah itu, mereka harus berjalan kaki sampai satu hari.

Akses jalan yang biasa mereka lalui terputus karena longsor dan banjir.

Berjalan kaki seharian demi sekantung beras

Lalu perjalanan panjang demi sekantung beras pun dimulai.

Usman dan 31 anak-anak muda kampung Serule mulai melangkahkan kaki pada Senin, 1 Desember 2025.

Sekitar pukul 08.00 WIB, mereka mulai meninggalkan kampungnya dan tiba di kantor Camat Bintang sekitar pukul 18.00 WIB.

“Tiba di kantor camat, kami membungkus logistik berupa beras, delapan bambu per orang,” ungkapnya.

Tanpa menunggu lama, kira-kira dua jam kemudian, Usman dkk kembali berjalan kaki untuk kembali ke kampungnya seraya membawa beras

“Kami berangkat pukul 20.00 malam, tiba di Kampung Serule jam satu siang, tanpa tidur,” jelas Usman.

“Kami tidak tidur karena memikirkan anak, keluarga, lansia dan masyarakat yang ada di kampung,” tambahnya.

Saat rombongan merintis jalan menuju rumah, warga menyaksikan bagaimana imbas banjir yang meluluhlantakkan jalan, serta jejak-jejak hujan tanpa henti yang memunculkan puluhan titik longsor.

Mereka tidak pernah membayangkan seperti apa dampak banjir-longsor sebelum melihatnya sendiri.

“Setelah pergi [meninggalkan kampung], baru kami lihat jalan terputus, jembatan hanyut, bahkan kedalaman sungai mencapai 50 meter, lebar [sungai] juga sama.”

Naik sepeda motor nyaris jatuh ke jurang

Sepuluh hari kemudian, 11 Desember 2025, ketika kampung mereka masih lumpuh dan logistik kembali menipis, Usman dkk memikirkan strategi lain.

Mereka menyimpulkan: Berjalan kaki butuh waktu lama, maka dipilihlah sepeda motor.

Usman dan 12 pemuda lainnya lalu mengendarai sepeda motor untuk mendapatkan logistik.

Rombongan sepeda motor itu melewati jalur rintisan yang dibuat Usman dkk saat berjalan kaki di awal Desember.

Mereka melintasi bekas longsor, menyempurnakan jalan guna dapat dilalui sepeda motor.

“Jalan becek, berlumpur, licin, sementara di kanan kiri kami sudah menjadi jurang,” ucap Usman.

Dan memang tidak gampang. Salah-seorang pesepeda motor bahkan beberapa kali terjatuh karena jalan yang sulit.

“Ada teman kami jatuh, hampir masuk ke jurang yang dalamnya sekitar 30 meter,” ungkapnya.

Dia selamat karena tersangkut gelondongan kayu yang terbawa banjir.

“Kalau tidak ada kayu, sudah dipastikan kalau tidak patah tulang, kehilangan nyawa,” kata Usman.

Rombongan kedua ini membawa 1,2 ton sembako, di antaranya beras. Masing-masing sepeda motor membawa 120 kg.

Butuh waktu sekitar delapan jam naik sepeda motor untuk tiba di Kantor Camat Bintang. Adapun perjalanan kembali ke kampungnya, Usman dan rekan-rekannya membutuhkan sekitar 13 jam.

Bantuan dari pemerintah akhirnya dikirim melalui helikopter ke kampung itu.

Memang sejauh ini keterisolasian kampung Serule belum sepenuhnya dapat diatasi sampai sebulan setelah bencana itu.

Namun inisiatif anak-anak muda kampung itu merintis jalan guna mendapatkan bantuan logistik di awal-awal bencana, membuat warga kampung Serule yang bernama Setia Anwar merenungkannya dalam-dalam.

“Bagi kami orang Gayo, tidak ingin memelas. Kami berupaya, kami ingin makan, kami ingin anak-anak sehat, orangtua kami bisa melanjutkan hidup,” kata Setia kepada wartawan Iwan Bahagian yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dalam keterangan terpisah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengaku ada tantangan dalam pemulihan akses jalan di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

BNPB menargetkan akses jalan di dua daerah itu sudah dapat dilewati mobil pada akhir Desember 2025, kata juru bicaranya Abdul Muhari.

Aceh kembali perpanjang status tanggap darurat bencana

Di tengah masalah yang belum tertangani sepenuhnya, Pemerintah Aceh kembali memperpanjang status tanggap darurat bencana.

Keputusan itu diumumkan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem pada Jumat (26/12).

Status itu berlaku hingga dua pekan ke depan.

Muzakir Manaf memerintahkan jajaran di bawahnya “mempercepat pendistribusian logistik” kepada para penyintas.

“Baik yang di pengungsian serta rumah warga hingga ke desa pelosok terisolasi,” ujarnya, seperti dilaporkan Antara.

Mualem juga menekankan: “Tangani, layani, lindungi, dan penuhi hak-hak dasar pengungsi sesuai standar HAM.”

Demikian pula dia meminta agar rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu membuka pos pelayanan kesehatan hingga ke kawasan masih terisolasi.

Dia memerintahkan otoritas pendidikan setempat menyiapkan proses belajar untuk anak-anak korban bencana.

Dalam keterangannya, Mualem menyebut proses pemulihaan itu dilakukan pemerintah Aceh dengan supervisi pemerintah pusat.

“Semoga Aceh lebih baik, teruslah bersatu untuk bangkit dari bencana ini,” tandasnya.

Total 11 kabupaten di Aceh perpanjang status tanggap darurat

Dalam keterangan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno berkata ada 11 kabupaten di Aceh yang akan memperpanjang status tanggap darurat.

Perpanjangan status itu dilakukan untuk memastikan seluruh kebutuhan warga terdampak bencana terpenuhi, kata Pratikno, Kamis (25/12).

Walaupun belum maksimal, Pratikno mengklaim seluruh rumah sakit milik pemerintah di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara sudah beroperasi.

“Selain itu, ratusan puskesmas telah kembali aktif dan terus ditingkatkan layanannya,” kata Pratikno.

Sampai Minggu (28/12), korban meninggal dalam banjir Sumatra telah mencapai 1.138 orang, ungkap Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB).

Angka korban meninggal tertinggi di Aceh Utara dengan 212 orang.

Lalu disusul Tapanuli Tengah sebanyak 191 orang, dan Tapanuli Selatan sebanyak 192 orang.

Total 163 orang yang dinyatakan hilang akibat bencana ini.

Banjir-longsor Sumatra telah merusak 171.379 rumah, 215 fasilitas kesehatan, serta 3.188 fasilitas pendidikan.

Wartawan Iwan Bahagia di Aceh Tengah berkontribusi dalam liputan ini.

  • Banjir dan tanah longsor membuka luka lama penyintas gempa di Aceh Tengah
  • Warga di Aceh Tengah masih gunakan jembatan darurat satu bulan pascabencana – Sekali menyebrang Rp30.000
  • Demi misa Natal, satu keluarga di Aceh Tengah berjuang menembus titik longsor – Bagaimana para penyintas banjir-longsor Sumatra menjalani Natal?
  • Balita dan anak-anak di Aceh Tamiang makan mi instan belasan hari, apa dampaknya bagi kesehatan?
  • Satu pekan yang mencekam di Aceh Tamiang, gelap gulita, penjarahan, dan bau bangkai menyengat – ‘Seperti kota zombie’
  • Perjuangan perempuan hamil dan pengidap autoimun di tengah kepungan banjir Aceh
  • Bayang-bayang referendum dan konflik bersenjata di balik penanganan banjir di Aceh
  • Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?
  • Banjir Sumatra, Tsunami Aceh, dan Likuifaksi Palu – Apa perbedaan penanganannya?
  • Pemerintah percepat pembangunan hunian untuk pengungsi banjir dan longsor Sumatra – ‘Harus penuhi prinsip keberlanjutan’
  • Trauma korban banjir-longsor Aceh ‘lebih berat’ dari tsunami 2004, kata psikolog
  • Banjir Sumatra, Tsunami Aceh, dan Likuifaksi Palu – Apa perbedaan penanganannya?

Leave a Comment