Prabowo instruksikan rapid test MBG – Apakah efektif cegah keracunan dan keberulangan status KLB?

Photo of author

By AdminTekno

Ratusan siswa kembali menjadi korban keracunan dalam pelaksanaan program andalan Presiden Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG), meskipun beberapa daerah telah secara resmi menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait insiden serupa. Peristiwa terbaru yang mengguncang terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat (3/10), menimpa setidaknya 331 orang. Hanya dua hari sebelumnya, pada Rabu (1/10), sebanyak 119 siswa di berbagai sekolah di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, juga mengalami nasib serupa akibat mengonsumsi makanan dari program ini.

Menanggapi serangkaian insiden ini, Presiden Prabowo Subianto dikabarkan telah menginstruksikan setiap dapur umum MBG—yang diistilahkan sebagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)—untuk dilengkapi dengan alat rapid test. Alat ini diharapkan dapat digunakan untuk menguji paket makanan sebelum didistribusikan, sebagai langkah pencegahan awal.

Namun, instruksi pemeriksaan makanan dengan rapid test ini memicu perdebatan di kalangan analis. Mereka berpendapat bahwa alat tersebut memiliki keterbatasan signifikan dan “tidak bisa menyatakan sebuah paket aman total atau bebas racun.” Dicky Budiman, pengamat kebijakan kesehatan dari Griffith University Australia, menjelaskan, “Itu [rapid test] langkah baik untuk verifikasi cepat, tapi ini berisiko menjadi false sense of security kalau tidak ditopang sistem kendali dari proses hulu ke hilir.” Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif.

Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyampaikan bahwa pemerintah akan segera menerbitkan peraturan presiden (perpres) yang mengatur penguatan koordinasi lintas lembaga dalam pelaksanaan MBG. Aturan ini diharapkan dapat mencegah terulangnya peristiwa keracunan yang memprihatinkan. Dadan juga menegaskan bahwa program ini akan terus dilanjutkan, meskipun sejumlah daerah telah menetapkan keracunan MBG sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

‘Lebih baik anak tidak makan di sekolah, daripada [sakit] begini’

Peristiwa keracunan MBG terbaru pada Jumat siang (03/10) di Kabupaten Timor Tengah Selatan (NTT) menunjukkan dampak yang sangat luas. Dinas Kesehatan dan kepolisian setempat mencatat, 331 korban keracunan meliputi siswa dari beragam sekolah, serta balita dan ibu menyusui dari sejumlah posyandu. Data ini tercatat hingga Jumat malam, pukul 21.30 WITA, menggambarkan skala insiden yang masif.

Rincian korban keracunan menunjukkan penyebaran yang merata: 20 siswa dari TK Oenasi, 1 dari TK Et Labora, 195 dari SD GMIT SoE II, 44 dari SD Inpres Oenasi, 14 dari SD Advent, 33 dari SD Inpres SOE, dan 1 dari SMA Karya. Tidak hanya siswa, balita dan ibu menyusui pun turut menjadi korban, dengan 1 orang dari PAUD Cendana, 6 dari Posyandu Kota Baru, 3 dari Posyandu Bhayangkari, 1 dari Posyandu Nonohonis, dan 12 dari Posyandu Maleset. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Karolina Tahun, mengungkapkan bahwa salah satu korban di Posyandu Kota Baru bahkan adalah balita berusia sembilan bulan, menambah keprihatinan atas insiden ini.

Insiden di SD GMIT SoE II terjadi setelah para siswa menyantap paket MBG berisi soto ayam dan sepotong daging, sekitar pukul 12.00 WITA. Mardi Tahun, seorang ibu dari dua siswa di SD GMIT SoE II, menceritakan bahwa anak-anaknya merasakan gejala keracunan seperti mual, sakit perut, dan muntah setibanya di rumah. Khawatir dengan kondisi buah hatinya, Mardi segera menghubungi grup percakapan orang tua siswa dan mendapati bahwa beberapa siswa lain sudah dilarikan ke rumah sakit dengan gejala serupa. “Saya langsung membawa anak-anak ke rumah sakit, datang sekitar pukul 13.00 WITA,” kenangnya.

Pengakuan kedua anak Mardi memperkuat dugaan penyebab keracunan: paket MBG yang mereka terima dalam kondisi tidak layak. “Mereka cerita, waktu makan mi berbau, dagingnya [juga] bau,” kata Mardi dengan nada prihatin. Kejadian ini menyisakan trauma mendalam bagi Mardi dan suaminya, sehingga ia menyatakan dengan tegas keengganannya untuk anak-anaknya kembali menyantap paket MBG di sekolah. “Lebih baik anak tidak makan di sekolah, daripada makan bergizi, tapi anak [sakit] begini. Kami tidak terima,” ujarnya, menambahkan, “Biar di rumah makan nasi putih, tidak apa-apa. Tidak sakit, tidak mengalami hal-hal seperti ini.”

Mardi juga menambahkan, pemerintah sebaiknya mengalihkan alokasi program MBG ke sekolah gratis, mengingat kasus keracunan terus berulang dan bahkan telah disematkan status KLB di sejumlah daerah. “Saya nanti larang anak-anak, tidak usah makan di sekolah. Bila perlu, kami kasih makan untuk dibawa ke sekolah,” tegas Mardi.

Keracunan massal di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini menandai kasus keempat di NTT sejak program Makan Bergizi Gratis yang dicanangkan Prabowo Subianto diluncurkan pada 6 Januari 2025. Sebelumnya, pada 22 Juli, 140 siswa SMPN 8 Kupang keracunan usai menyantap paket MBG. Sehari setelahnya, 77 siswa di tiga sekolah—SMAN 1 Tambolaka, SMKN 2 Tambolaka, dan SMK Don Bosco—mengalami nasib serupa, disusul oleh 11 siswa SD Inpres Liliba Kupang pada 24 September 2025.

Dua hari sebelum insiden di TTS, pada 1 Oktober, 119 orang juga dilaporkan keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Serupa dengan kejadian di NTT, kasus di Agam juga menimpa siswa dari berbagai jenjang pendidikan, bahkan turut mengorbankan balita, orang tua, dan guru, menunjukkan pola kerentanan yang luas.

Zulkaidir, orang tua salah seorang siswa kelas dua di SD Muhammadiyah Batu Hampu, menceritakan bahwa anaknya merasakan mual usai menyantap menu nasi goreng dari paket MBG pada 1 Oktober. Ia mengaku beruntung anaknya tidak mengalami gejala lebih parah, namun dua rekan anaknya sempat dirawat di rumah sakit akibat muntah dan diare berat. “Dua orang itu sempat ada tindakan serius untuk observasi, tapi sisanya diberikan obat dan dibolehkan pulang,” kata Zulkaidir. Ia berharap pemerintah serius mengevaluasi program ini, mengingat kasus keracunan terus berulang di berbagai tempat. “Niat pemerintah sudah baik dengan memberikan MBG, tapi sistemnya harus dibuat ideal,” ujarnya.

Andaikata program ini tetap dilanjutkan, Zulkaidir menyarankan “lebih baik satu sekolah satu dapur.” Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengurangi beban kerja dapur umum yang terlalu berat, yang sering kali berdampak pada kualitas makanan yang dihasilkan dan durasi pendistribusian yang lama. “Menurut saya, akan berbeda situasi ketika satu dapur itu memasak untuk 3.500 orang, 100, 10 orang. Akan sangat berbeda kualitasnya,” pungkas Zulkaidir, sembari menambahkan bahwa program MBG di sekolah anaknya dihentikan sementara usai peristiwa keracunan.

Bagaimana respons pemda?

Hingga Jumat petang (03/10), Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan belum memberikan keterangan resmi terkait insiden keracunan yang menimpa ratusan warganya. BBC News Indonesia telah menghubungi sejumlah pejabat daerah, namun mereka berdalih bahwa keterangan resmi akan disampaikan langsung oleh Bupati Eduard Markus Lioe, menimbulkan tanda tanya akan transparansi.

Sementara itu, di Sumatra Barat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Agam, Hendri Rusdian, mengatakan bahwa para korban keracunan di Agam dirawat di empat fasilitas kesehatan berbeda, yaitu RSUD Lubuk Basung, Puskesmas Lubuk Basung, Puskesmas Manggopoh, dan RS Ibu dan Anak Rizki Bunda. Per Jumat siang, terang Hendri, tersisa 12 orang yang masih dirawat intensif di RSUD Lubuk Basung. Pemerintah Daerah Agam telah dengan sigap menetapkan keracunan ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) pada 2 Oktober 2025, serta berkomitmen menanggung seluruh biaya pengobatan para korban.

Hendri Rusdian juga berjanji akan meningkatkan pengawasan ketat terhadap dapur umum MBG guna mencegah terulangnya kasus keracunan di masa mendatang. Langkah-langkah pengawasan ini akan mencakup keamanan bahan pangan, proses pengolahan, serta kebersihan dan sanitasi dapur umum. “Program ini merupakan program nasional… Bagaimana kegiatan ini bisa tetap berlanjut dan dilaksanakan, tentu pengawasan yang lebih ketat akan dilakukan,” kata Hendri. Namun, saat dikonfirmasi mengenai instruksi Presiden Prabowo agar setiap dapur umum menggunakan rapid test untuk mengecek makanan, Hendri mengaku, “Saya baru mendengar.” Ia menambahkan, “Kami koordinasikan terlebih dahulu karena kami belum mengetahui itu [rapid test],” menunjukkan adanya miskomunikasi antarlevel pemerintahan.

Tak satu suara soal korban keracunan

Sejak diluncurkan pada Januari lalu, pemerintah pusat tak pernah satu suara mengenai jumlah pasti korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR pada 1 Oktober, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Gizi Nasional (BGN) bahkan melaporkan angka yang berbeda secara signifikan. BPOM melaporkan total 9.089 korban hingga 30 September 2025, sementara BGN mencatat angka yang lebih kecil, yakni 6.517 orang—dengan peningkatan kasus yang mencolok dalam dua bulan terakhir.

Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyatakan bahwa sebanyak 17 persen penyebab keracunan telah terkonfirmasi sejauh ini, sebagian besar dipicu oleh bakteri seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Salmonella sp. Di sisi lain, Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyebut mayoritas kasus keracunan terjadi karena dapur umum tidak memenuhi prosedur operasional standar (SOP) yang telah ditetapkan. Dadan mencontohkan beberapa dapur yang ditemukan membeli bahan baku empat hari sebelum pendistribusian, padahal seharusnya maksimal dua hari. Adapula temuan soal dapur umum yang memasak makanan 12 jam sebelum pengiriman, sementara jangka waktu semestinya tak lebih dari enam jam. “Kami bisa identifikasi bahwa kejadian rata-rata karena SOP yang ditetapkan tidak dipatuhi dengan saksama,” ujar Dadan.

Untuk mengatasi ketidaksinkronan data ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan lembaganya akan menyampaikan data kasus keracunan setiap hari, mirip dengan praktik saat pandemi Covid-19. Data tersebut akan diintegrasikan melalui puskesmas atau dinas kesehatan di masing-masing daerah, serta dikonsolidasikan dengan BGN. “Dari pengawasan, kami ingin melakukan standardisasi dari laporan dan angka-angka,” kata Budi dalam keterangan pers di Jakarta pada 2 Oktober 2025.

‘Jangan menggantungkan keselamatan pada rapid test’

BBC News Indonesia telah mewawancarai sejumlah pakar terkait berulangnya kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG), kendati status KLB telah berulang kali disematkan di beberapa daerah. Selain Agam yang menetapkan KLB pada 2 Oktober, status serupa juga pernah diberlakukan di Kota Bogor (12 Mei), Kabupaten Banggai (17 September), Kabupaten Bandung Barat (23 September), dan Garut (30 September).

Guru Besar bidang gizi masyarakat dan sumber daya keluarga dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Ali Khomsan, berpendapat bahwa berulangnya keracunan dan penetapan KLB pada program MBG disebabkan oleh pemerintah yang “terburu-buru mengejar target SPPG dalam jumlah banyak.” Hal ini menyebabkan tahapan penting yang terkait kesiapan sanitasi dan kehigienisan menjadi terabaikan. Dalam rapat di DPR, Dadan Hindayana sebelumnya menyebutkan bahwa total SPPG di seluruh Indonesia telah mencapai 10.012 per 1 Oktober 2025, dengan serapan anggaran diperkirakan mencapai Rp5 triliun.

Terkait peningkatan jumlah dapur umum ini, Ali Khomsan menyarankan agar pemerintah semestinya memperketat perizinan SPPG dan meninjau ulang pemberian Surat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), alih-alih hanya menggeber jumlahnya. “Jangan tiba-tiba diberi tugas menyediakan 3.000 [porsi], tapi ternyata belum cukup berpengalaman,” katanya, menekankan perlunya kualitas di atas kuantitas. Dadan Hindayana juga menambahkan dalam rapat bersama DPR bahwa pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden (perpres) yang mengatur penguatan koordinasi lintas lembaga dalam pelaksanaan MBG, dengan harapan peristiwa serupa tidak terulang.

Mengenai rencana penerbitan perpres tersebut, Pengamat Kebijakan Kesehatan dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, berkomentar, “lebih baik terlambat daripada tidak ada [aturan].” Namun, ia menekankan bahwa aturan tersebut harus berisi “desain sistem dan standar teknis” serta “harus bisa menyatukan standar lintas kementerian dan lembaga” agar efektif. “Saya kira, lebih baik sekarang sebelum skala [keracunan] lebih luas,” ujar Dicky, menggarisbawahi urgensi tindakan.

Terkait instruksi Presiden Prabowo agar setiap dapur umum memiliki alat rapid test untuk menguji makanan sebelum didistribusikan, Dicky Budiman mengapresiasinya sebagai langkah awal. Namun, ia mendesak pemerintah untuk secara paralel membenahi tata kelola dari hulu ke hilir. Dicky pesimis bahwa kasus keracunan akan berhenti jika hanya mengandalkan rapid test, karena alat tersebut “hanya memotret sebagian kecil bahaya.” Ia menjelaskan, “Sementara mayoritas risiko ditentukan desain prosesnya, bahan baku, suhu, kehigienisan, dan waktu distribusi.” Lebih lanjut, “Rapid test kan hanya untuk biologis tertentu atau patogen spesifik, seperti salmonella atau beberapa toksin dan jamur.”

Dicky mencontohkan Amerika Serikat yang menggunakan rapid test pada makanan sekadar untuk screening awal, namun kemudian mengintegrasikannya dengan sistem manajemen risiko yang komprehensif. Oleh karena itu, Dicky menyimpulkan, “Kita harus membangun sistem… Jangan menggantungkan keselamatan pada rapid test. Akan berisiko, bahkan cenderung berbahaya kalau dijadikan tameng tanpa perbaikan sistem.” Ia menegaskan, “Dia [rapid test] bukan substitusi dari sistem yang seharusnya dibangun.”

Pernyataan serupa disampaikan oleh Ali Khomsan yang menyebut rapid test dapat membantu menjaga keamanan pangan, namun bukan solusi utama. Ali mengatakan, pemerintah justru harus memperkuat pelatihan keamanan pangan bagi para juru masak dan pengolah bahan pangan di setiap dapur umum. Dengan pelatihan yang memadai, mereka bisa menyajikan makanan yang betul-betul bergizi dan aman, tidak meracuni. “Kalau yang dilatih itu adalah penjamah makanan atau pemasak makanan, maka dampaknya akan sangat besar dalam menyediakan panganan yang baik,” pungkas Ali.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala BGN Dadan Hindayana untuk detail lebih lanjut mengenai instruksi rapid test yang disampaikan Presiden Prabowo, namun sampai saat ini belum memperoleh balasan.

Wartawan Halbert Chaniago di Padang dan Eliazar Robert di Kupang berkontribusi dalam laporan ini.

  • Ribuan siswa keracunan Makan Bergizi Gratis, orang tua trauma dan larang anaknya konsumsi MBG – ‘Bukannya meringankan malah mau membunuh’
  • Ribuan kasus keracunan akibat MBG – Evaluasi SPPG dan standar higienis jadi prioritas pemerintah
  • Keracunan massal MBG di NTT – ‘Perut seperti tertusuk, saya trauma’
  • Lini masa dugaan keracunan karena MBG, dari ayam kecap basi hingga daging mentah berdarah – ‘Perlu evaluasi besar-besaran sebelum jatuh korban jiwa’
  • Anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah tapi hampir setengahnya untuk MBG dikoreksi – ‘Guru seakan-akan dibantu’
  • Mengapa siswa sekolah di Yahukimo Papua menolak program makan bergizi gratis?

Leave a Comment