Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Bimo Wijayanto telah menetapkan target ambisius untuk penagihan pajak senilai Rp 20 triliun hingga akhir tahun ini. Target signifikan ini merupakan bagian krusial dari upaya besar Kementerian Keuangan dalam mengejar tunggakan pajak sebesar Rp 60 triliun yang berasal dari 200 wajib pajak besar.
Meskipun target akhir tahun begitu menantang, realisasi penagihan pajak hingga saat ini baru mencapai angka Rp 7,21 triliun. Bimo menjelaskan bahwa sisa tunggakan pajak akan terus dikejar secara bertahap, dengan sekitar Rp 40 triliun akan menjadi fokus utama DJP pada tahun anggaran berikutnya.
Dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar pada Rabu (15/10), Bimo mengungkapkan alasan di balik target Rp 20 triliun. “Target akhir tahun dari yang 200 pengemplang (pajak) ini masih diproses, tapi hasil dari Rapimnas itu sekitar Rp 20 triliun, karena ada beberapa yang kesulitan likuiditas dan meminta restrukturisasi utangnya diperpanjang,” ujarnya. Penjelasan ini menyoroti kompleksitas dalam proses penagihan pajak.
Ia menambahkan, kendala likuiditas yang dialami oleh sebagian wajib pajak memang menjadi faktor utama yang menyebabkan proses penagihan belum mencapai hasil yang optimal. Situasi ini mendorong DJP untuk menerapkan pendekatan yang cermat namun tetap tegas.
Namun, kendala tersebut tidak lantas mengendurkan ketegasan DJP. Bimo memastikan bahwa berbagai langkah penagihan aktif akan tetap dijalankan. Tindakan ini mencakup penyitaan aset dan pemblokiran rekening untuk memastikan kepatuhan dan pertanggungjawaban dari para wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak.
Menjelaskan lebih lanjut strategi yang diterapkan, Bimo, dalam kesempatan terpisah pada Kamis (9/10), menyatakan, “Nah dari 200 itu, tindakan penagihan aktif yang membuat mereka bisa melakukan pembayaran dan komit, itu tentu kita berikan kesempatan untuk bisa mengutarakan rencana restrukturisasi utang pajaknya. Tapi juga dengan jaminan, jadi kita sita asetnya, kemudian kita blokir rekeningnya.” Pendekatan ini menunjukkan kompromi antara pemberian peluang dan penetapan jaminan yang kuat.
Lebih dari itu, Bimo dengan tegas menyatakan bahwa DJP tidak akan mentoleransi wajib pajak yang tidak kooperatif. Jika diperlukan, DJP tidak ragu untuk menerapkan langkah hukum yang lebih keras, seperti pencekalan bahkan hingga gijzeling atau paksa badan, demi memastikan kewajiban pajak terpenuhi sepenuhnya.
Sebagai langkah terakhir dan paling tegas, aset yang telah disita bakal dilelang apabila dalam jangka waktu tertentu para penunggak pajak tetap tidak melunasi kewajiban mereka. Hal ini menjadi peringatan keras bagi para wajib pajak untuk segera menyelesaikan tunggakan demi menghindari konsekuensi hukum yang lebih berat.
Ringkasan
Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) menargetkan penagihan pajak sebesar Rp 20 triliun hingga akhir tahun ini, sebagai bagian dari upaya mengejar tunggakan pajak Rp 60 triliun dari 200 wajib pajak besar. Hingga kini, realisasi penagihan baru mencapai Rp 7,21 triliun, dengan sisanya akan dikejar secara bertahap.
Kendala likuiditas yang dialami wajib pajak menjadi tantangan utama, namun DJP akan tetap melakukan penagihan aktif melalui penyitaan aset dan pemblokiran rekening. Bagi wajib pajak yang tidak kooperatif, DJP tidak akan ragu untuk menerapkan langkah hukum yang lebih keras, termasuk pencekalan dan paksa badan, serta melelang aset yang disita jika tunggakan tidak dilunasi.