Jakarta, IDN Times – Institut KAPAL Perempuan melayangkan gugatan keras terhadap pernyataan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar yang menyebut kasus kejahatan seksual di pesantren ‘dibesar-besarkan media’. Dalam surat terbuka yang diterima IDN Times, Institut KAPAL Perempuan menilai bahwa pernyataan tersebut justru menunjukkan kegagalan negara dalam memahami prinsip fundamental perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Institut KAPAL Perempuan menggugat pernyataan Bapak yang menyebut bahwa ‘kejahatan seksual di pesantren dibesar-besarkan oleh media’. Pernyataan ini menyesatkan publik, juga menambah luka bagi para korban kekerasan seksual yang telah berani bersuara melawan budaya diam dan ketakutan,” demikian bunyi surat terbuka dari Institut KAPAL Perempuan, dikutip Jumat (17/10/2025).
Mereka menegaskan, “Pernyataan Bapak adalah bentuk pengingkaran terhadap realitas dan penderitaan korban kekerasan seksual. Pernyataan ini tidak hanya melukai korban, tetapi juga menunjukkan kegagalan negara dalam memahami prinsip dasar perlindungan terhadap perempuan dan anak.” Kritik ini menyoroti dampak serius dari narasi yang meremehkan isu krusial tersebut.
1. Sejumlah kasus kekerasan seksual terjadi di pondok pesantren
Untuk menguatkan gugatannya, KAPAL Perempuan menyajikan data konkret. Pada Juli 2025, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat adanya kasus kekerasan seksual di Pesantren Sumenep yang melibatkan sembilan korban, serta di Pondok Pesantren Al-Isra, Karawang, Jawa Barat, dengan 20 santriwati sebagai korban. Kasus-kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kekerasan seksual di lingkungan pesantren bukanlah isu sepele yang bisa diabaikan.
Tak berhenti di situ, data lain menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Di Agam, Sumatra Barat, seorang pengasuh asrama Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah melakukan kekerasan seksual terhadap 40 santrinya. Sementara itu, di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, anak dari pengasuh pondok pesantren terbukti melakukan kekerasan seksual pada sembilan santri secara berulang dari tahun 2017 hingga 2022. Rentetan kasus ini memperjelas skala masalah yang tidak dapat dikesampingkan, sekaligus Menag Didesak Minta Maaf soal Kekerasan Seksual di Pesantren atas pernyataannya.
2. Meminta agar pemerintah tak meniadakan korban, sekecil apapun
Institut KAPAL Perempuan dengan tegas meminta agar pemerintah tidak meniadakan keberadaan korban, sekecil apapun jumlahnya. Mereka menegaskan bahwa pengabaian tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. “Satu korban saja sudah cukup menjadi alarm bagi negara bahwa sistem perlindungan belum bekerja dengan baik,” ujar mereka, menekankan urgensi penanganan yang berpihak pada korban.
Pernyataan ini juga menjadi sorotan tajam terhadap tanggung jawab Menag Nasaruddin. Seharusnya, Menag memastikan kementerian yang dipimpinnya memiliki mekanisme pencegahan, pelaporan, dan penanganan yang berpihak pada korban di seluruh satuan pendidikan keagamaan, termasuk pesantren. KAPAL Perempuan menambahkan, “Narasi yang menyederhanakan atau menutupi fakta kekerasan seksual, justru memperkuat budaya diam dan impunitas bagi pelaku.” Protes keras dari Publik Kecam Menag: Kasus Kekerasan Seksual Dianggap Sepele menunjukkan kemarahan publik atas respons yang kurang peka.
3. Bertentangan pernyataan sikap ketiga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)
Pernyataan Menag Nasaruddin juga dinilai bertentangan dengan sikap ketiga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Dalam Istigasah Kubro dan Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa dari darurat kekerasan seksual pada 14 Desember 2021, KUPI secara tegas menyatakan bahwa kondisi darurat kekerasan seksual mewajibkan negara sebagai Ulil Amri untuk menciptakan sistem perlindungan hukum. Sistem ini bertujuan untuk mencegah setiap anak bangsa menjadi korban maupun pelaku, melindungi dan memulihkan korban, serta merehabilitasi pelakunya.
“Kekerasan seksual di pesantren bukan isu baru. Dalam beberapa tahun terakhir, media dan masyarakat sipil telah mengungkap berbagai kasus dengan korban yang sebagian besar adalah santri perempuan dan anak di bawah umur,” jelas KAPAL Perempuan. Mereka menambahkan bahwa banyak korban mengalami trauma mendalam, stigma sosial, dan kesulitan mengakses keadilan. Oleh karena itu, pernyataan pejabat publik yang menganggap persoalan ini “tidak sebesar yang diberitakan” hanya memperburuk situasi dan menambah beban penderitaan bagi mereka yang sudah rentan.