Sembilan pekerja bank swasta melayangkan uji materi terkait UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menuntut agar pemerintah tidak mengenakan pajak pensiun maupun pesangon kepada pekerja karena dianggap sebagai beban fiskal.
Bagi mereka, uang pensiun merupakan penopang kehidupan di masa senja ketika fisik melemah, daya pikir tidak lagi sekuat masa muda, dan kemampuan kerja telah tertutup rapat.
Namun saat kumpulan uang pensiun hendak dipotong pajak, perasaan aman menjalani hidup perlahan terkikis. Akankah tuntutan itu terkabul?
Gusar menatap masa pensiun
Lyan Widiya telah menata masa pensiunnya dengan rapi dan cermat.
Ia berhitung, kelak ketika sudah tak lagi bekerja, uang ‘tabungan akhirnya’ yang kalau dihitung mencapai Rp500 juta bakal dipakai untuk melanjutkan studi anak bungsunya ke jenjang perguruan tinggi, dan tentu saja bertahan hidup.
”Anak saya yang nomor tiga umurnya masih 3 tahun 8 bulan. Dia masih butuh sekolah dan lain sebagainya,” ucap bapak tiga anak ini.
Tapi, perasaan cemas sudah keburu menghantui pikirannya gara-gara pemberlakuan pajak pensiun yang dikenakan padanya sebesar 25%.
Karena, kalau dikurangi pajak, uang pensiun yang didapatnya nanti tidak utuh, hanya tersisa Rp375 juta.
Duit sebanyak itu, katanya, tidak cukup menghidupi keluarganya selama lima tahun usai pensiun, plus mengongkosi kuliah si bontot.
Paling-paling, perkiraannya, cuma bertahan tiga tahun.
”[Potongan] itu sangat besar. Padahal uang itu yang saya harapkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak saya yang terakhir. Sebab saya sudah tidak produktif lagi untuk mendapatkan pekerjaan,” tuturnya.
Pria berusia hampir kepala empat ini bercerita, sudah bekerja di salah satu bank swasta hampir 15 tahun. Batas umur pensiun di tempat kerjanya adalah 55 tahun.
Itu artinya, kalau panjang umur, masa produktifnya tinggal 15 tahun lagi.
Lyan dan keluarganya tinggal terpisah. Istri dan anak-anaknya menetap di Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan dia—karena penugasan kantor—ngekos di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Laki-laki berkacamata ini sengaja tidak memboyong keluarganya ke Jakarta, karena biaya hidup lebih mahal ketimbang di daerah.
Jadinya setiap dua bulan sekali, dia baru pulang ke rumah.
Bapak tiga anak tersebut mengatakan perasaan gelisah itu rupanya dialami juga oleh rekan-rekan kerjanya yang lain.
Mereka dibayangi masa pensiun yang tak berdaya, keresahan yang merayap jadi ketakutan akan hari esok yang tak pasti.
Berangkat dari situlah ia dan delapan sesama pekerja bank swasta melayangkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 10 Oktober 2025 lalu.
Uji materinya terkait Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Pasal 17 UU PPH juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pasal 4 ayat 1 menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, termasuk pesangon dan pensiun.
Sedangkan Pasal 17 penerapan besaran tarif progresif atas pesangon dan pensiun.
Yang intinya, ketentuan tersebut menimbulkan implikasi bahwa pesangon dan pensiun diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru yang lahir dari aktivitas ekonomi—seolah-olah mereka masih dalam posisi kuat dan produktif.
Padahal, kenyataannya, mereka termasuk kelompok rentan yang telah kehilangan daya fisik, melemahnya mental, dan terbatasnya akses ekonomi.
Menurut Lyan dan para pemohon, pesangon dan pensiun merupakan hak normatif atau jerih payah pekerja yang dicicil dan dikumpulkan setelah bekerja puluhan tahun.
”Uang itu kan kita kumpulkan setiap bulan yang dipotong dari gaji setiap bulan sampai pensiun berpuluh-puluh tahun, kenapa negara sampai tega memotong pajak juga?” tanyanya.
”Miris sekali adanya potongan pajak itu.”
Dengan gugatan ini, mereka berharap hakim MK mengabulkan permohonan agar pemerintah tidak mengenakan pajak pensiun maupun pesangon kepada seluruh pekerja, baik pegawai swasta maupun pemerintah.
Paling tidak, uang ‘tabungan terakhir’ itu bakal diterima utuh.
”Bagi kami, uang pensiun dan pesangon adalah harapan terakhir atau harapan satu-satunya buat bertahan hidup selama tidak mendapatkan pekerjaan,” bebernya penuh harap.
”Kami harus survive sampai ajal menjemput. Untuk bertahan hidup, kami butuh uang.”
Mengapa pesangon dan uang pensiun kena pajak?
Pajak atas pesangon dan uang pensiun diatur di Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 5 UU Pajak Penghasilan. Aturan turunannya ada di Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009.
Akademisi dan praktisi di bidang perpajakan, Prianto Budi Saptono, bilang sifat pengenaan pajak untuk keduanya bersifat final.
Sehingga pegawai yang sudah membayar pajak penghasilan atas pesangon atau uang manfaat pensiun yang dibayarkan sekaligus tidak perlu lagi memasukkan penghasilan tersebut ke dalam perhitungan PPh tahunannya.
Menurut UU yang berlaku, ”uang pesangon dan uang pensiun merupakan penghasilan karena bisa digunakan penerima penghasilan untuk menambah konsumsi dan/atau menambah harta.”
Dari sisi pekerja, memang, iuran pensiun itu belum merupakan penghasilan. Itu kenapa belum ada pemotongan pajak.
”Pemotongan pajak baru dilakukan ketika ada pembayaran manfaat pensiun bagi pekerja yang pensiun,” kata Prianto kepada BBC News Indonesia.
”Hal yang sama terjadi untuk pesangon. Pembayaran iuran Jaminan Hari Tua (JHT) oleh pemberi kerja dan atas nama pekerja ke Jamsostek belum menjadi penghasilan. Makanya, pembayaran iuran JHT tersebut belum dikenai pajak.”
”PPh atas pesangon berupa klaim JHT baru muncul pada saat klaim tersebut dibayarkan.”
Penjelasan serupa juga disampaikan pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar.
Ia mengatakan, iuran pensiun yang dibayarkan oleh pemberi kerja tidak dikenai pajak. Konsekuensinya, ketika pekerja mendapatkan uang pensiun nanti, maka barulah dikenakan pajak.
Soal pesangon, itu adalah kompensasi ketika terjadi pemberhentian kerja secara tidak sukarela. Sedangkan besaran pesangon diberikan berdasarkan masa kerja dan besaran gaji.
Artinya, perusahaan membayarkan gaji bagi yang terkena PHK dalam beberapa bulan ke depan sebagai bentuk kompensasi atau bantalan sosial. Makanya, saat mendapatkan pesangon, pekerja harus membayar pajaknya.
”Jadi, atas kedua penghasilan tersebut, tidak ada pengenaan pajak lebih dari sekali. Bagaimana di negara lain? Sepengetahuan saya, perlakuannya sama.”
”Lalu soal tarif pesangon bergantung besaran yang didapatkan, menggunakan tarif progresif. Pesangon kurang dari Rp50 juta, tidak kena pajak sama sekali. Bahkan tarif untuk pesangon lebih rendah dibandingkan tarif pajak ketika mendapatkan gaji atau upah,” bebernya.
Perlakuan pajak yang tidak adil
Walaupun begitu, pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako, melihat dari sudut pandang berbeda.
Pria ini menuturkan kegundahan para pekerja swasta atas pemotongan pajak pesangon dan pensiun adalah hal yang wajar, sangat wajar.
Perkaranya, UU sudah menyatakan pesangon dan uang pensiun termasuk penghasilan yang akan diterimanya kembali, kala tak lagi bekerja.
Tetapi ada perlakuan yang berbeda antara pekerja swasta dengan aparatur sipil negara.
”ASN/TNI/Polri bahkan pejabat negara itu pajaknya tetap dibayarkan, tapi ditanggung oleh negara,” ucapnya.
”Jelas ini bentuk ketidakadilan,” sambungnya cepat-cepat.
”Kalau ASN [pajak] pensiunnya ditanggung negara, kenapa pekerja swasta tidak?” ungkap Ronny Bako.
Pertanyaan atas ketidakadilan itulah, menurut dia, yang harus dijadikan batu pijakan bagi para pemohon Lyan dan rekan-rekannya ketika menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana Pasal 28D UUD 1945 menyatakan setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, mengapa hanya aparatur sipil negara yang diberikan keistimewaan oleh negara.
Dengan demikian, para pemohon bisa menuntut agar mereka diberikan hak yang sama: negara turut menanggung pajak pekerja swasta.
”Sama-sama makan nasi kok, cuma beda pekerjaan doang, seharusnya aturan dibuat sama,” imbuhnya.
”Namun, semestinya bukan minta agar pemerintah tidak mengenakan pajak. Justru minta kesetaraan.”
Dia juga menilai pemerintah tidak dirugikan jika harus menanggung pajak pesangon dan pensiun pekerja swasta. Toh, klaimnya, itu hanya masalah pembukuan dan tarifnya tak sebesar pajak penghasilan ketika memotong upah pekerja.
”Kan, UU itu dibuat oleh pemerintah DPR, mereka [buat aturan] untuk kepentingan mereka. Ini saatnya menuntut keadilan.”
Apa kata Menkeu Purbaya?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi gugatan tentang aturan pajak penghasilan atas pesangon dan dana pensiun yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Ia menyebut pihaknya tidak merasa khawatir dan yakin akan memenangkan perkara tersebut.
”Gugatnya ke kita bukan? Saya belum tahu. Ke kita bukan?” ujar Purbaya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta Selatan, Selasa (14/10).
Meski belum mengetahui secara rinci isi gugatan, Purbaya menegaskan Kementerian Keuangan memiliki dasar hukum yang kuat dalam menetapkan aturan pajak tersebut.
”Kalau kita jangan sampai kalah. Saya enggak pernah kalah kalau digugat di pengadilan,” katanya.
- Garis kemiskinan versi Bank Dunia dan pemerintah, mana yang lebih realistis?
- Kakeibo: Metode kuno mengelola keuangan ala Jepang
- Indonesia alami deflasi tahunan lagi setelah 25 tahun – Mengapa pakar menyebutnya ‘semu’ dan ‘daya beli masyarakat’ justru turun?
- PPN 12% dan tax amnesty akan diberlakukan 2025 – Pajak orang kaya diampuni, ‘kelas pekerja dibikin menderita’
- BPJS Kesehatan terancam tekor Rp20 triliun dan gagal bayar klaim, kenaikan iuran jadi ‘keniscayaan’
- Siapa 10 keluarga terkaya di dunia dan dari mana sumber uang mereka?
- Rupiah dan IHSG anjlok mendekati level terendah – ‘Ruang fiskal Indonesia compang-camping dan rentan tergelincir krisis’
- Apakah membeli emas bijak dilakukan di tengah ketidakpastian ekonomi?
- ‘Saya kecewa, kok enggak bisa ditolong’ – Pasien DBD ditolak RS karena ‘tidak gawat’ dan tak ditanggung BPJS Kesehatan
- PPATK buka 28 juta ‘rekening menganggur’ yang sempat mereka blokir, kebijakan terbukti bermasalah sejak awal?
- China tawarkan subsidi Rp24 juta agar warganya punya anak, bisakah cara ini tingkatkan angka kelahiran?
- Apa yang ingin dicapai pemerintah dengan memajaki penjual di lapak online?