Alkitab Budak: Agama Jadi Pembenaran Perbudakan? Fakta & Sejarah

Photo of author

By AdminTekno

“Tuhan, Allah orang Ibrani, mengutus aku untuk berkata kepadamu: Biarkan umat-Ku pergi untuk menyembah Aku di padang gurun.”
Seruan yang menggema dari Musa kepada Firaun ini menandai awal perjuangan epik untuk membebaskan bangsa Israel dari belenggu perbudakan di Mesir, mengantar mereka menuju tanah yang dijanjikan Tuhan. Kisah perlawanan Firaun, peningkatan beban kerja yang kejam, serangkaian tulah ilahi, hingga mukjizat pembelahan Laut Merah, merupakan narasi-narasi paling ikonik yang dikenal dalam Alkitab, jauh sebelum diadaptasi menjadi film-film Hollywood.

Namun, pada periode akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, muncul sebuah versi kitab suci yang berbeda secara fundamental. Dalam edisi khusus ini, kisah pembebasan “bangsa pilihan Allah” yang semula termuat dalam Kitab Keluaran, serta narasi-narasi lain yang secara tegas mengutuk perbudakan dan penindasan manusia, sengaja tidak dimasukkan.

Versi yang Disesuaikan untuk Budak dan Tuannya
Alkitab kontroversial ini, yang diterbitkan di London pada tahun 1807, memiliki judul resmi yang panjang: “Bagian-bagian terpilih dari Alkitab untuk digunakan untuk para budak negro di Hindia Barat kekuasaan Britania”. Namun, seiring berjalannya waktu, para sejarawan memberinya sebutan yang lebih lugas dan dikenal luas sebagai “Alkitab para budak”.

Publikasi edisi Alkitab yang disunting ini merupakan inisiatif dari Komunitas Pengubah Keyakinan Budak-budak Hitam, sebuah organisasi misionaris di bawah naungan Gereja Inggris (Gereja Anglikan). Fokus mereka adalah menginjili para budak dari Afrika yang dipekerjakan di perkebunan koloni-koloni Inggris di Karibia, dan kemungkinan juga di Amerika Utara. Tujuan tersirat dari Alkitab versi ini adalah untuk memastikan bahwa para budak tidak mempertanyakan sistem perbudakan yang menimpa mereka.

“Alkitab versi ini adalah kitab yang telah disunting secara ekstensif dengan tujuan untuk mempertahankan kontrol atas para budak,” ungkap teolog Inggris, Robert Beckford, kepada BBC Mundo. Beckford, seorang profesor keadilan rasial dari The Queen’s Foundation di Birmingham, UK, menjelaskan betapa drastisnya penyuntingan tersebut: kitab ini menghapus sekitar 90% isi dari Perjanjian Lama dan 60% dari Perjanjian Baru. Seluruh kisah Musa dan pembebasan bangsa Israel dari Mesir dihilangkan. Begitu pula semua bagian yang secara eksplisit membahas kebebasan atau pembebasan manusia. “Misalnya, surat saat Rasul Paulus berkata: ‘Dalam Kristus tidak ada budak atau orang merdeka’, juga dihapus,” tambahnya.

Anthony Schmidt, Direktur Koleksi Museum Alkitab Washington di Amerika Serikat, yang juga seorang ahli agama dari Universitas Princeton, menunjukkan salah satu dari sedikit salinan “Alkitab para budak” yang masih ada hingga kini. Ia menggambarkan kitab ini sebagai “Alkitab yang sebagian besar isinya hilang dan ditujukan menyasar pada khalayak tertentu.” Schmidt mengakui bahwa praktik penyuntingan atau ringkasan Alkitab memang umum terjadi sepanjang sejarah, misalnya pada versi Alkitab untuk anak-anak yang mengganti teks dengan ilustrasi.

Namun, menurut Schmidt, “Alkitab para budak” adalah kasus yang berbeda dan memiliki niat yang lebih gelap. “Mereka yang menyuntingnya sengaja melakukannya dengan niat untuk memanipulasi orang-orang yang diperbudak,” ujarnya. Ia menduga kuat bahwa “ini mungkin karena mereka meyakini bahwa kisah-kisah seperti kisah Musa begitu berpengaruh sehingga dapat memicu pemberontakan.”

Schmidt juga menjelaskan bahwa para penyusun Alkitab versi ini tidak menghapus kata atau frasa baris demi baris. Sebaliknya, mereka menghilangkan bagian-bagian utuh dari seluruh kitab yang mereka anggap tidak penting atau berbahaya. Sebagai contoh, sebagian besar Kitab Keluaran dihapus, meskipun beberapa referensi tentang Musa yang muncul dalam kitab lain tetap dipertahankan. Untuk memberikan gambaran tentang skala penyuntingan, Schmidt menyebutkan bahwa edisi Alkitab Protestan berisi 66 kitab, versi Katolik 73 kitab, dan terjemahan Ortodoks Timur 78 kitab, sementara “Alkitab para budak” hanya berisi sekitar 14 kitab.

Tanpa Melupakan Konteksnya
Bagi Robert Beckford, kemunculan “Alkitab para budak” merupakan momen bersejarah yang memberikan bukti kuat adanya upaya kontrol yang terus-menerus terhadap populasi budak di koloni-koloni Inggris. Kitab tersebut diterbitkan pada tahun 1807, tepat ketika pada bulan Maret tahun yang sama, Parlemen Inggris menghapuskan perdagangan budak di Kekaisaran Britania. Namun, sistem perbudakan itu sendiri masih terus berlanjut selama 30 tahun berikutnya.

“Bagaimana budak-budak dipertahankan di perkebunan? Selain kekerasan, yang merupakan bagian integral dari perbudakan, diperlukan kerangka ideologis,” kata Beckford. Ia menjelaskan bahwa sebelum munculnya pseudosains yang mendukung supremasi kulit putih, Alkitab sangat vital dalam mempromosikan gagasan bahwa Tuhan mendukung perbudakan. Sebuah ayat dari surat Paulus kepada jemaat di Efesus – “Hamba-hamba, taatilah tuanmu dengan takut dan hormat, tanpa kemunafikan, seolah-olah kamu melayani Kristus” – adalah salah satu yang dipertahankan dalam “Alkitab para budak” karena jelas mengandung nuansa dukungan terhadap perbudakan. “Ide dasarnya adalah memutarbalikkan Alkitab agar melayani teror rasial dan mempengaruhi orang-orang Afrika yang diperbudak bahwa Tuhan mendukung situasi mereka yang tidak manusiawi,” simpul Beckford.

Secara terpisah, Anthony Schmidt juga meyakini bahwa versi Alkitab ini mencerminkan konteks zamannya. Selama abad ke-18, beberapa penganut Kristen memang peduli terhadap kesejahteraan spiritual orang-orang yang dibawa dari Afrika. Namun, para pemilik perkebunan menentang upaya penginjilan mereka karena takut hal itu akan mengancam otoritas mereka. Untuk mengatasi penolakan ini, para misionaris Anglikan berargumen bahwa konversi agama budak ke Kristen justru akan membuat mereka menjadi budak yang lebih baik, karena akan mengajarkan mereka untuk patuh dan taat.

Peran Gereja Anglikan
Keterlibatan Gereja Anglikan dalam praktik perbudakan telah terbukti secara historis. Beckford memberikan contoh nyata melalui Society for the Propagation of the Gospel Abroad, salah satu organisasi di bawah naungan gereja, yang pernah memiliki saham di perkebunan Codrington di Barbados dan mempekerjakan ratusan budak Afrika.

Pada tahun 2023, Justin Welby, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Canterbury dan pemimpin tertinggi Gereja Anglikan, secara terbuka mengakui keterkaitan institusi tersebut dengan perdagangan manusia dari Afrika, menyusul penyelidikan internal. Sebagai bagian dari “langkah-langkah untuk menghadapi masa lalu yang memalukan ini,” Welby pun mengumumkan penggelontoran dana sebesar US$135 juta untuk membiayai proyek-proyek yang ditujukan bagi berbagai komunitas yang “secara historis terkena dampak” perbudakan.

Namun, Anthony Schmidt menawarkan sudut pandang yang lebih kompleks. Ia berpendapat bahwa fakta “Alkitab para budak” diterbitkan oleh kelompok yang memiliki hubungan dengan Uskup Beilby Porteus (1731-1809) – salah satu pemimpin Anglikan pertama yang secara terbuka mengutuk perbudakan – justru menunjukkan upaya terselubung untuk mereformasi dan menghapuskan praktik ini. Schmidt meyakini bahwa para misionaris sesungguhnya memiliki “visi progresif,” mereka ingin meningkatkan kondisi hidup budak, mengurangi beban kerja, memberikan perawatan medis, dan melarang pemisahan keluarga mereka.

Kendati demikian, Schmidt juga mengakui bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan para tokoh agama tersebut berniat menghilangkan perbudakan dengan segera. “Saya yakin tujuannya agar hal penghapusan perbudakan terjadi secara bertahap, dalam satu atau dua generasi,” ucap Schmidt. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Beckford, yang menyebutkan bahwa Gereja Anglikan pada masa itu mendukung konsep “perbudakan Kristen.” Ini adalah upaya untuk mempertahankan sistem perbudakan dengan dalih memperbaiki kondisi budak-budak Afrika, yang pada akhirnya diharapkan mengarah pada reformasi dan penghapusan sistem tersebut.

Mengenai dampak dan penggunaan Alkitab ini, para ahli yang diwawancarai mengakui bahwa bukti dokumenter penggunannya hanya terdapat di perkebunan tebu di koloni-koloni Inggris di Karibia. Namun, keduanya juga menduga kuat bahwa Alkitab ini kemungkinan besar digunakan di perkebunan kapas di wilayah selatan Amerika Serikat saat itu.

Bagaimana dengan Gereja Katolik?
Di sisi lain, profesor Sejarah Gereja di Universitas Comillas dan San Damaso dari Spanyol, Jesús Folgado, menegaskan bahwa Gereja Katolik tidak pernah memiliki “Alkitab untuk budak” versi mereka sendiri. Folgado, seorang imam dan doktor teologi, menjelaskan kepada BBC Mundo bahwa ayat-ayat Alkitab yang dihapus oleh Gereja Anglikan untuk membenarkan perbudakan adalah ayat yang sama yang justru digunakan oleh beberapa paus dan pemimpin kongregasi keagamaan di Eropa untuk mengutuk perbudakan.

Sebagai contoh, pada tahun 1537, Paus Paulus III mengeluarkan surat keputusan Sublimis Deus, yang secara tegas menyatakan: “Semua manusia, dari semua ras, harus menikmati kebebasan dan menjadi tuan atas diri mereka sendiri, dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan memperbudak mereka.” Beberapa tahun kemudian, Paus Urbanus VIII bahkan mengancam akan mengucilkan setiap umat Katolik yang memperbudak seseorang.

Meskipun demikian, Folgado tidak menampik adanya kontradiksi di mana perbudakan tetap dilakukan di wilayah-wilayah jajahan Spanyol, Portugal, dan Prancis di Benua Amerika, bahkan oleh institusi keagamaan itu sendiri. “Memang ada kontradiksi bahwa para paus mengutuk perbudakan, tapi banyak kongregasi di Amerika memiliki budak,” akunya. Namun, ia menjelaskan bahwa perbudakan di Amerika Latin Hispanik tidak dapat dibandingkan dengan perbudakan brutal di koloni Inggris di Amerika dan Karibia. “Kongregasi agama memiliki budak, tapi kondisi mereka mirip dengan buruh harian di Castilla pada masa itu: mereka memiliki hari libur, dapat keluar dan menikah, meski tidak sepenuhnya bebas,” urai Folgado.

Saat ini, hanya sedikit salinan dari versi kontroversial kitab suci ini yang masih bertahan. Satu salinan terdapat di Perpustakaan Universitas Fisk di Nashville, Tennessee, AS, sementara dua salinan lainnya dapat ditemukan di universitas-universitas Inggris, yaitu Oxford dan Glasgow.

Daftar Isi

Ringkasan

Alkitab Budak merupakan edisi Alkitab yang disunting secara signifikan pada abad ke-19, diterbitkan oleh Komunitas Pengubah Keyakinan Budak-budak Hitam di bawah naungan Gereja Anglikan. Tujuan utamanya adalah untuk menginjili budak-budak di koloni Inggris sambil memastikan mereka tidak mempertanyakan sistem perbudakan. Kitab ini menghilangkan sekitar 90% dari Perjanjian Lama dan 60% dari Perjanjian Baru, termasuk kisah pembebasan bangsa Israel oleh Musa dan ayat-ayat yang membahas kebebasan manusia.

Penerbitan Alkitab Budak mencerminkan upaya kontrol ideologis terhadap budak, dengan memanfaatkan agama untuk membenarkan perbudakan. Meski Gereja Anglikan kemudian mengakui keterlibatannya dalam perbudakan dan memberikan kompensasi, para ahli berbeda pendapat mengenai niat di balik Alkitab Budak. Beberapa melihatnya sebagai upaya progresif untuk memperbaiki kondisi hidup budak secara bertahap, sementara yang lain menganggapnya sebagai alat untuk melanggengkan sistem perbudakan melalui interpretasi Alkitab yang diputarbalikkan.

Leave a Comment