Bagaimana militer, pengusaha, dan partai politik menopang kekuasaan Prabowo Subianto?

Photo of author

By AdminTekno

Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto ditandai dengan kebijakan yang sentralistik, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga Koperasi Merah Putih (KMP). Tidak hanya itu, dalam 12 bulan ke belakang, Prabowo memusatkan kekuasaannya dibantu tiga elemen: militer, pengusaha, serta partai politik.

Militer disebut sebagai roda-roda yang mengiringi keputusan Prabowo dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan prioritas, seperti MBG, lumbung pangan, sampai distribusi obat-obatan.

Prabowo, di lain sisi, mempunyai kecenderungan untuk memperkuat organisasi militer. Ada pembangunan Komando Daerah Militer (Kodam) baru, penambahan ratusan batalion, serta alokasi anggaran yang proporsinya atas Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 30% pada periode 2025-2026.

Kelompok pengusaha besar turut menopang pemerintahan Prabowo melalui proyek-proyek infrastruktur, beberapa di antaranya berpredikat Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dan terakhir, di parlemen, koalisi politik yang dia bangun berandil mengamankan regulasi yang dibutuhkan pemerintah guna menjalankan program-program utama. Revisi Undang-Undang TNI dan pembentukan Danantara adalah contoh gamblang.

Pengamat politik dan militer yang BBC News Indonesia hubungi mengatakan pemerintahan Prabowo mirip Soeharto.

Bagaimana Prabowo membangun kekuasaannya dengan bertopang ke tiga unsur kekuatan itu?

Jutaan tentara menuju 2029

Tidak lama setelah dilantik menjadi presiden, Prabowo Subianto mewarnai kemudi pemerintahannya dengan nuansa militer. Di jajaran anggota kabinet, misalnya, Prabowo menunjuk orang-orang berlatar belakang tentara.

Menteri Luar Negeri, ambil contoh, dijabat Sugiono. Prabowo, semasa menduduki kursi Danjen Kopassus, pernah mengirim Sugiono belajar ke Amerika Serikat, tepatnya pendidikan kadet di Norwich University.

Balik ke Indonesia, Sugiono melanjutkan langkahnya ke Semapa PK—untuk calon perwira TNI—di Akademi Militer, Magelang. Sugiono lulus pada 2002 dan diangkat sebagai Letnan Dua Korps Infanteri.

Karier ketentaraan Sugiono tidak berlangsung lama. Dia lalu membantu Prabowo di Gerindra. Sebelumnya, Sugiono adalah asisten pribadi Prabowo.

Geser ke Menteri Pertahanan, nama Sjafrie Sjamsoeddin mencuat ke permukaan. Jejaknya di militer cukup mentereng dengan sederet jabatan, mulai dari Satgas Kopassus Timor Timur (1990), Pangdam Jaya (1997), serta ajudan Soeharto—mantan mertua Prabowo.

Setelah pensiun, Sjafrie mengikuti ke mana kaki Prabowo berjalan, termasuk ketika dia dipilih menjadi Asisten Khusus Menteri Pertahanan Bidang Manajemen Pertahanan periode 2019-2024. Menteri Pertahanan waktu itu ialah Prabowo.

Begitu Prabowo menang Pilpres 2024, kursi Menteri Pertahanan “diserahkan” kepada Sjafrie.

Sedangkan figur penting berikutnya, Teddy Indra Wijaya, ajudan Prabowo selama menjabat Menteri Pertahanan, diangkat sebagai Sekretaris Kabinet.

Pangkat militernya pun naik: dari mayor ke letkol. Posisi Teddy menimbulkan polemik di publik lantaran statusnya masih tentara aktif.

Publik menilai Teddy seharusnya mundur dari militer sebab tentara aktif tidak diperbolehkan rangkap jabatan di sipil.

Institusi tempat Teddy mengabdi, TNI Angkatan Darat (AD), menyebut bahwa dia tidak perlu mengundurkan diri. Jabatan yang diemban Teddy tidak setara menteri serta di luar struktur militer, bela TNI AD.

Maka dari itu, Teddy masih bisa memegang Sekretaris Kabinet, sama halnya anggota TNI atau Polri yang bertugas di Sekretaris Militer Presiden (Setmilpres).

Terbaru, Prabowo menunjuk purnawirawan TNI, Djamari Chaniago, di kursi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, menggantikan pensiunan Polri, Budi Gunawan.

Djamari merupakan lulusan Akmil—dulunya Akabri—1971 dari cabang infanteri. Dia banyak menghabiskan penugasan di satuan tempur, khususnya di lingkup Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), sampai dia menjabat Pangkostrad (1999).

Pengalaman perangnya meliputi invasi Indonesia ke Timor Timur—sekarang Timor Leste—dalam Operasi Seroja (1975). Prabowo turut berpartisipasi di misi ini. Bedanya, Prabowo di satuan Kopassus.

Di luar itu, Djamari pernah mengemban salah satu jabatan strategis di militer: Panglima Kodam III/Siliwangi (1997).

Pemandangan tidak jauh berbeda ditemukan di lembaga negara. Sebanyak lima pejabat Badan Gizi Nasional (BGN), motor program andalan Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG), diisi purnawirawan tentara.

Keputusan Prabowo menempatkan mantan tentara ke pos-pos pemerintahannya dikritik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Mereka menyatakan rezim Prabowo memperkuat corak militeristik yang sering kali tidak cocok dengan nilai-nilai demokrasi.

Jangkauan militer di era Prabowo tidak berhenti di situ. Militer dikerahkan guna mendukung program-program pemerintah. Dalam setahun terakhir, militer terlihat aktif mengurusi MBG dengan membangun ratusan dapur.

Pada kesempatan lainnya, Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menginginkan militer berpartisipasi dalam urusan obat-obatan—produksi dan distribusi.

Sjafrie mengklaim harga obat di Indonesia mahal. Harapannya dengan TNI “turun gunung,” masyarakat lebih mudah menjangkaunya.

“Sehingga nanti produksi obat yang akan kami kerjakan bisa kami sumbangkan kepada rakyat Indonesia,” paparnya, April 2025.

Keberadaan militer semakin terang apabila bicara konteks yang menyeret isu lingkungan.

Prabowo, pada akhir 2024, meminta TNI—bersama elemen pemerintahan yang lain—menjaga kebun-kebun sawit di Indonesia. Bagi prabowo, kebun sawit merupakan “aset negara.”

Penugasan TNI juga menyentuh kawasan hutan, merespons diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Aturan ini disusun guna menguasai kembali serta memulihkan aset hutan-hutan di Indonesia.

Pelaksana Perpres 5/2025 ialah sebuah tim bernama Satgas Penertiban Kawasan Hutan, berisikan Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, Polri, Kementerian Kehutanan, sampai TNI.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan disertakannya TNI ke Satgas Penertiban Kawasan Hutan menunjukkan “ketidakmampuan negara melalui Kementerian Kehutanan untuk menjaga dan memulihkan hutan Indonesia.”

“TNI juga tidak memiliki pengalaman dalam melindungi dan memulihkan hutan,” tambah Walhi.

Pelaksanaan lumbung pangan (food estate) membuka peran tentara di lapangan. Meski dipandang gagal di masa lampau, kebijakan ini tetap dipertahankan Prabowo. Kali ini sasarannya Papua Selatan.

Di sana, lebih dari satu juta hektare lahan akan disulap menjadi area persawahan demi mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pembukaan lahan dibarengi pengiriman sekaligus penempatan tentara. Sekitar 5 batalion baru—Yonif—dibentuk.

Kehadiran tentara, merujuk laporan organisasi HAM asal Inggris, Tapol, berisiko menebar teror di tengah masyarakat. Lahan-lahan adat sangat besar kemungkinannya diambil tanpa persetujuan lantaran warga takut menentang militer.

Sementara di lain sisi, pelibatan tentara dalam proyek pembangunan pemerintah membuat Papua kian termiliterisasi, imbuh Tapol.

Puncak dari dinamika militer di dalam pemerintahan Prabowo ialah revisi Undang-Undang TNI. Pemerintah dan DPR sepakat mengubah beberapa hal di beleid ini.

Pertama, dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden.

Kedua, segala urusan terkait perencanaan strategis TNI berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.

Ketiga, usia pensiun anggota TNI ditingkatkan dari sebelumnya 55 tahun menjadi 62 tahun.

Keempat, prajurit dapat menduduki jabatan pada pemerintahan atau lembaga negara, tepatnya di 15 kementerian atau lembaga.

Upaya merevisi sejumlah pasal tersebut memantik keras reaksi publik. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai revisi UU TNI “mengembalikan dwifungsi militer.”

“Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil, dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda,” ujar YLBHI.

Revisi UU TNI, sambung YLBHI, begitu berbahaya sebab hendak mengubah klausul pelibatan militer dalam operasi militer selain perang (OSMP) tanpa perlu persetujuan DPR sebagaimana yang dulu termuat di Pasal 7 ayat 3 UU TNI.

“Secara tersirat, perubahan pasal itu merupakan bentuk pengambilalihan kewenangan wakil rakyat oleh TNI dalam operasi militer selain perang dan menghilangkan kontrol sipil,” tegas YLBHI.

Pada akhirnya, revisi UU TNI sendiri tetap disahkan dan disetujui kendati ditolak masyarakat.

Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, menjelaskan campur tangan militer di banyak aspek menggambarkan betapa Prabowo ingin tentara menjadi kekuatan penting selama rezimnya berkuasa.

“Itu sebenarnya integrasi antara pemerintahan Prabowo, program strategisnya, dengan militer,” terangnya kepada.

“Prabowo ini percaya sekali bahwa program strategisnya itu hanya bisa dilakukan oleh militer.”

Made mencontohkan gambaran lain ihwal konsolidasi kekuatan militer di era Prabowo: pemekaran struktur kelembagaan di tubuh TNI mantra darat.

Agustus lalu, Prabowo meresmikan pembentukan enam Komando Daerah Militer (Kodam)—setingkat provinsi—baru sebagai bagian dari “strategi memperkuat pertahanan negara dan sistem keamanan rakyat semesta.”

“Tidak hanya membuat Kodam, tapi [Prabowo] juga membuat 100 batalion teritorial,” Made mengatakan.

“Tahun ini dibentuk 100, tahun depan juga akan dibentuk 100. Sampai nanti pada 2029, menurut rencana Prabowo, itu terbentuk 514 batalion teritorial pembangunan,” tambahnya.

Batalion teritorial pembangunan berada di bawah Komando Distrik Militer (Kodim)—selevel kota atau kabupaten—dan difungsikan untuk mendukung program pertanian, perikanan, sampai kesehatan yang digalakkan pemerintah.

“Fungsi tempurnya tetap ada. Namun, mereka [batalion pembangunan] dipakai juga untuk kebutuhan pertanian dan pangan tadi,” tandas Made.

Hitung-hitungan Made, penambahan organisasi baru TNI ini, dari Kodam, Kodim, serta batalion pembangunan, bakal mendorong jumlah tentara di Indonesia mencapai jutaan personel sampai akhir masa pemerintahan pertama Prabowo, 2029.

‘Jangan sampai hanya dikuasai 50 orang’

Hangat dan produktif.

Begitu kurang lebih akun YouTube Sekretariat Kabinet menggambarkan pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan sekelompok pengusaha di Istana Negara, Jakarta, 6 Maret 2025.

Prabowo duduk di posisi paling depan dan membahas “isu-isu strategis” seperti pembangunan infrastruktur, swasembada pangan serta energi, pengelolaan investasi, hingga industrialisasi.

Di samping kiri dan kanan Prabowo, pengusaha-pengusaha itu tampak menyimak: Anthony Salim, Sugianto Kusuma, Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Widjaja, Dato Sri Tohir, James Riady, serta Tomy Winata.

Sehari berselang, 7 Maret 2025, mereka kembali diundang ke Istana Negara untuk berjumpa pakar investasi dan manajemen aset, Ray Dalio. Kali ini Chairul Tanjung, Andi Syamsuddin, serta Hashim Djojohadikusumo ikut dalam daftar undangan.

Kehadiran para pengusaha sepanjang dua hari berturut di Istana Negara seketika menjadi tajuk pemberitaan banyak media.

Hubungan Prabowo—atau pemerintah—beserta pengusaha-pengusaha itu, kiranya, tidak sebatas agenda pertemuan formal.

Saat diwawancarai pemimpin redaksi beberapa media di kediaman pribadinya di Hambalang, Jawa Barat, April kemarin, Prabowo menekankan pemerintah, dalam mewujudkan pembangunan, tidak dapat berjalan sendiri—begitu pula pihak swasta. Prabowo memandang kolaborasi keduanya merupakan keniscayaan.

Kolaborasi, atau kerja sama, pemerintah dengan pengusaha ialah paradigma baru yang mesti diterima secara terbuka.

Prabowo mengaku, pada waktu bersamaan, para konglomerat tersebut bersedia membantu pemerintah menggencarkan pembangunan.

“Mereka mengatakan, ‘Pak, apa yang bisa kami ikut?’ Silakan Anda pilih! Gimana yang Anda mau, kan? Ada yang, ‘Pak, kami akan buka rumah sakit di sini.’ ‘Pak, kami mau buka sekolah.’ Okay, good. Konsultasi sama saya, tanya sama saya,” Prabowo menceritakan ulang isi pembicaraannya dengan para taipan.

“Semua terbuka. Exciting, kalau saya. Everybody go! Competition is good, tetapi jangan kompetisi yang saling menjegal. Cooperation, collaboration, this is the new paradigm,” tambah Prabowo.

Andi Syamsuddin, populer dengan nama “Haji Isam,” ditugaskan menggarap proyek lumbung pangan berupa cetak sawah satu juta hektare di Papua Selatan.

“Ini adalah tugas negara yang diberikan kepada saya. Dalam benak saya, bagaimana gagasan cetak sawah satu juta hektare ini bisa terealisasi dan berhasil dalam tiga tahun tanpa berpikir untung rugi,” papar Isam, Agustus 2024.

Isam merupakan pemilik Jhonlin Group, perusahaan yang bisnisnya menyebar ke bermacam sektor, dari kelapa sawit, batu bara, bioetanol, sampai transportasi.

Lain Isam, lain pula Sugianto Kusuma alias Aguan. Perusahaan properti kepunyaannya, Agung Sedayu Group, berpartisipasi dalam ‘Program 3 Juta Rumah’ yang dicanangkan pemerintah bagi masyarakat.

Pada November 2024, Aguan terlihat menghadiri groundbreaking pembangunan rumah susun gratis di Kabupaten Tangerang, Banten, bersama Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait.

Di atas tanah seluas 2,5 hektare, Agung Sedayu Group—melalui PIK 2 Development—disebut bakal membangun 250 unit rumah. Proyek ditargetkan kelar di kuartal ketiga 2025.

Kemudian PT Adaro Indonesia, yang dipimpin Garibaldi Thohir, diminta pemerintah untuk melakukan hilirisasi batu bara menjadi metanol dan DME—hasil gasifikasi. Nilai investasinya tembus di atas US$2 miliar.

Juni kemarin, Prabowo meresmikan Proyek Ekosistem Industri Baterai Listrik Terintegrasi. Proyek ini digarap konsorsium antara Antam dan Indonesia Battery Corporation (IBC) dengan tujuan pengembangan industri hulu ke hilir. Investasinya sebesar US$5,9 miliar.

Lokasi proyek berada di Karawang, Jawa Barat, tepatnya di Artha Industrial Hills. Kawasan tersebut bagian dari Artha Graha Group kepunyaan Tomy Winata.

Sedangkan di Cilegon, Banten, PT Chandra Asri Pacific menyatakan kesiapannya membangun pabrik chlor alkaliethylene dichloride (CA-EDC). Proyek itu dimaksudkan mendorong pertumbuhan ekonomi serta hilirisasi industri, utamanya bahan kimia.

Sama seperti pembangunan ekosistem baterai listrik di Cikarang, pemerintah menetapkan pabrik kimia PT Chandra Asri sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN)—kebijakan percepatan infrastruktur yang pertama kali diluncurkan Joko Widodo.

Rencananya, pabrik kimia tersebut dikelola anak usaha PT Chandra Asri Pacific, PT Chandra Asri Alkali (CAA), dengan kapasitas produksi tahunan 400.000 kaustik soda basah dan 500.000 ton EDC.

Masing-masing dipakai untuk industri baterai kendaraan listrik serta pemenuhan sektor konstruksi.

PT Chandra Asri Pacific adalah salah satu lini bisnis yang terkoneksi dengan Barito Pacific, perusahaan yang didirikan Prajogo Pangestu.

Tak ketinggalan, Prabowo setidaknya dua kali menunjuk pengusaha sekaligus saudaranya, Hashim Djojohadikusumo, menjadi representasi pemerintah.

Tercatat Hashim pernah menjabat Ketua Delegasi Indonesia dalam ajang konferensi iklim, COP29, di Baku, Azerbaijan. Di samping itu, Hashim sekarang adalah Ketua Satgas Perumahan.

Hashim, pada 2006, membangun perusahaan Arsari Group yang bergerak di investasi perkebunan, pertambangan, budi daya perairan, sampai energi terbarukan.

Dosen politik dan pembangunan Universitas Airlangga, Febby Risti Widjayanto, menerangkan hubungan penguasa serta pengusaha selalu muncul di setiap masa pemerintahan.

Dalam konteks era kekuasaan Prabowo, Febby melihat pengusaha diperlukan untuk merealisasikan janji populisnya.

“Bapak Presiden sering mengatakan kita ingin membangun industri, industrialisasi. Dan tentu pemerintah sadar tidak bisa hanya mengandalkan dana APBN,” paparnya saat diwawancarai BBC News Indonesia.

“Dari situ kemudian swasta masuk, investasi luar negeri masuk, dan digunakan sebagai modal membangun pabrik dan membuka lapangan pekerjaan.”

Terkait relasi dengan pengusaha besar di dalam negeri, walaupun terdengar lazim, Febby mengingatkan beberapa hal.

Pertama, memusatkan konsentrasi ekonomi kepada kelompok pengusaha tertentu membuka peluang terciptanya pembangunan yang tidak inklusif. Indonesia, jelas Febby, punya sejarah tentang itu.

“Di saat itu, pada era Presiden Soeharto, itu memang ada keistimewaan yang diberikan bagi sekelompok kecil pengusaha. Nah, itu sempat dikritik Prof. Sumitro [Djojohadikusumo], ayah Prabowo, karena ini tidak membangun perekonomian secara inklusif,” terangnya.

Penunjukan pengusaha pada masa Orde Baru diwarnai praktik kolusi dan nepotisme yang begitu tinggi, mengutip buku Indonesia: The Rise of Capital (1986) yang ditulis Richard Robison. Soeharto hanya memilih pengusaha yang dianggap dekat dengannya.

Kondisi ini kemudian menjadi halangan masuknya investor luar negeri karena—secara kelembagaan politik—diselimuti pola relasi yang penuh kolusi, ucap Febby.

“Padahal yang dibayangkan ayahnya Prabowo, Prof. Sumitro, itu investasi diperlukan untuk kemudian membangun industri-industri yang memang unggulan di dalam satu negara. Karena dengan begitu, industri nasional itu kemudian dibangun sampai pada tahap tertentu, baru dikembangkan dengan lebih besar lagi,” katanya.

Yang kedua, keterlibatan pengusaha tidak dimungkiri penting ketika bicara pembangunan maupun target pertumbuhan ekonomi.

Tapi, menurut Febby, negara harus memastikan bahwa efeknya bisa berantai sekaligus panjang.

Dengan kata lain, industrialisasi yang digencarkan pemerintah semestinya dapat melahirkan lapangan pekerjaan berskala masif, pemerataan di berbagai daerah, hingga realisasi penetapan pajak untuk pengusaha yang nantinya dipakai program pengentasan kemiskinan atau jaring pengaman sosial.

Negara, pendeknya, memiliki peran sebagai penggerak dalam redistribusi hasil berbagai pembangunan itu.

“Jangan sampai kemudian 50 orang terkaya menguasai harta yang nilainya setara dengan 50 juta kekayaan orang biasa. Itu sangat timpang,” tegas Febby.

Berkumpul di satu atap koalisi

Ketika maju dalam kontestasi Pilpres 2024, Prabowo membentuk koalisi yang terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Garuda, Gelora, serta Prima. Koalisi ini punya nama Koalisi Indonesia Maju—populer dengan KIM.

Perubahan terjadi saat Prabowo menang pilpres dan terpilih sebagai presiden. Partai politik yang sebelumnya mendukung kandidat lain, seperti PKB, PKS, serta Nasdem, merapat ke gerbong pemerintah.

Nama koalisinya direvisi: Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus).

Di lingkup eksekutif, Prabowo menyediakan karpet kepada perwakilan partai pendukung koalisinya sebagai menteri atau wakil menteri. Prabowo bahkan membentuk kementerian baru yang diisi anggota KIM Plus.

Kabinet Prabowo, Indonesia Maju, total berisikan 103 pejabat.

Sementara di parlemen, KIM Plus menguasai 470 kursi dari 580 yang tersedia, atau sekitar 80%. Sisanya, 110 kursi, dipegang PDI Perjuangan yang memilih berdiri di luar pemerintah, walaupun tidak pula menempatkan dirinya sebagai oposisi.

Prabowo, yang juga berstatus Ketua Umum Gerindra, menawarkan agar KIM Plus menjadi koalisi politik permanen dan membantu pemerintahannya. Beberapa petinggi partai di tubuh koalisi tidak mempermasalahkannya dan menyambut tawaran Prabowo.

Namun, koalisi politik semacam ini bukan tanpa konsekuensi. Beberapa regulasi yang dikritik publik tetap diloloskan di DPR.

Delapan fraksi di Komisi I DPR sepakat membawa revisi UU TNI ke tingkat II untuk pengesahan.

Di luar arena rapat, publik mendesak pemerintah menghentikan revisi tersebut, dipicu kekhawatiran potensi meluasnya tangan dan kaki tentara di urusan sipil.

Semua fraksi di Komisi VI DPR tidak menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU BUMN. Perubahan UU BUMN lantas disepakati di rapat paripurna. Dari sini, Danantara berdiri.

Pembentukan Danantara, merujuk laporan CELIOS, tidak dibarengi penguatan tata kelola kelembagaan. Pasal-pasal perubahan diperkirakan justru malah menciptakan persoalan, dari pengawasan yang minim, transparansi, sampai penyalahgunaan wewenang, sebut CELIOS.

Pengajar ilmu politik Universitas Islam Internasional Indonesia, Djayadi Hanan, menerangkan koalisi saat ini merupakan bentuk kontrol pemerintah untuk melancarkan kepentingan program maupun kebijakannya.

Prabowo, sejak naik ke tampuk kekuasaan, segera ‘mengamankan’ partai-partai politik yang ada guna bergabung ke gerbongnya.

Dengan partai politik sudah masuk ke genggaman, termasuk pemberian jabatan di kabinet, maka peluang pemerintah ‘dijegal’ jadi menyempit.

“Untuk pertama kalinya, hampir sama sekali tidak ada oposisi di DPR,” ungkap Djayadi.

“Itu artinya suara-suara kritis yang bisa menyalurkan kritik masyarakat, kekecewaan masyarakat, itu menjadi sangat berkurang.”

Enggak ada sedikit pun yang berbeda dari Orde Baru’

Presiden Prabowo Subianto hendak memusatkan kekuasaan di tangannya, dengan pilar penopang berupa militer, pengusaha, serta partai politik.

Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, mengatakan bahwa apa yang ditempuh Prabowo sekarang mirip dengan langkah mantan mertuanya dulu, Soeharto, kala membangun Orde Baru.

“Kalau menurut saya, Prabowo ini punya gaya tersendiri dalam memerintah. Jadi semua kekuatan itu dia inkorporasi—dileburkan. Sama seperti dulu Soeharto menginkorporasi semua kekuatan,” tandasnya.

Prabowo, kata Made, “sangat percaya kepada kekuatan negara.” Peran negara, dalam menjalankan semua rantai kebijakan, begitu vital. Baik militer, pengusaha, maupun partai politik tidak boleh melebihi kapasitas negara.

Siapa yang dimaksud negara? Made menjawab: Prabowo itu sendiri.

“Pokoknya terpusat, terkomando, dari negara. Enggak ada sedikit pun yang berbeda dari Orde Baru. Kalau dilihat dari strukturnya, politiknya, mirip,” jelasnya.

Pengajar di Fisipol UGM, Dewa Ayu Diah Angendari, menuturkan pengerahan elemen kekuatan negara apabila tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang jelas, hasilnya adalah membesarnya “ruang-ruang untuk abusing power yang sudah tersentralisasi.”

Bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu termanifestasi lewat meluasnya kehadiran militer di ranah sipil, termasuk di urusan siber. Dengan militer yang diberi porsi mengurus sipil, dia berpotensi membawa fungsi sebagai alat ‘pukul’ negara.

Kalau diterjemahkan di tataran praktis, militer bisa mengawasi gerak-gerik warga sipil dan kemudian membungkam mereka jika dianggap mengusik stabilitas negara, terang Ayu.

“Kalau dilihat dari trennya, prediksinya ke depan tentu akan semakin mengkhawatirkan. Enggak ada oversight, enggak ada kontrol, dan enggak ada transparansi. Saya cukup pesimis kalau melihat tren ini ke depannya,” ucap Ayu.

Di pemerintahan sekarang, Ayu meneruskan, “agak sulit membedakan mana yang eksekutif, yudikatif, atau legislatif.” Pasalnya, “semuanya koalisi,” sambungnya.

“Jadi, demokrasi kita hari ini, sebenarnya, dipertanyakan fungsi-fungsinya,” ujar Ayu.

Di tengah distribusi kekuasaan serta kepentingan yang dijalankan rezim, tantangan terbesarnya kini ialah bagaimana memasang tembok pembatas agar masing-masing kekuatan tidak melangkahi kewenangannya, menurut dosen politik dan pembangunan Universitas Airlangga, Febby Risti Widjayanto.

Langkah awal, Febby bilang, dapat dimulai dengan memastikan terciptanya politik kelembagaan yang transparan serta akuntabel. Sejauh ini, “institusi politik tidak berjalan secara ideal,” imbuhnya.

“Institusi politiknya itu tidak menjamin atau tidak menciptakan negara hukum,” tegas Febby.

Febby menyodorkan beberapa kasus, dimulai dengan fenomena rangkap jabatan tatkala menteri atau wakil menteri ikut memegang kursi komisaris di BUMN.

“Contohnya, misalnya, jabatan Wamendiktisaintek yang rangkap dengan komisaris Pertamina, di mana sepatutnya dapat memberi contoh edukasi secara moril yang baik untuk mundur dan memilih salah satu saja,” paparnya.

Kemudian, Febby melanjutkan, melebarnya fungsi militer sampai konflik kepentingan di proyek-proyek besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Danantara.

Publik, Febby mengatakan, merasa kecewa dengan satu dekade pemerintahan Joko Widodo, dan kini mereka menanti apakah Prabowo mampu melakukan yang lebih baik atau malah mengulang kesalahan serupa.

“Ketika institusi politiknya itu sudah tertata, berjalan baik, citra dan wajah Indonesia juga dapat dipercaya, katakanlah, kalau bicara soal ekonomi, sebagai tujuan investasi negara lain,” tambahnya.

  • Dari naik pangkat sampai dimakamkan di taman makam pahlawan menjadi hak penerima tanda kehormatan – Mengapa sejumlah nama menuai polemik?
  • Anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah tapi hampir setengahnya untuk MBG dikoreksi – ‘Guru seakan-akan dibantu’
  • Potret kebijakan publik pemerintahan Prabowo-Gibran – Viral dulu, cabut kemudian
  • Militer cari sosok di balik petisi tolak RUU TNI, tuduh gerakan sipil dibayar
  • Di balik retorika ‘waspadai kekuatan asing’ ala Presiden Prabowo Subianto – ‘Prabowo adu domba warga dengan warga’
  • Tentara jaga kejaksaan, upaya Prabowo lemahkan pengaruh Jokowi?
  • Mengapa Prabowo merekrut sejumlah eks-tentara pada era tragedi 1998?
  • Pemerintahan Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang asli Papua cemas?
  • Revisi UU TNI: ‘Militer itu tidak pernah demokratis’ – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?
  • Sederet kontroversi menteri-menteri dan pembantu Prabowo – Mulai dari pelanggaran HAM berat, kop surat dan anggaran Rp20 T
  • ‘Food estate tidak berhasil’ – 12 langkah yang harus dilakukan Prabowo agar swasembada pangan tercapai
  • Warisan utang pemerintahan Jokowi untuk pemerintahan Prabowo, ekonom peringatkan ‘Kita sudah gali lubang tutup lubang’
  • Sejumlah pendukung Prabowo-Gibran dapat jabatan komisaris BUMN – Praktik ‘bagi-bagi jabatan’ berlandaskan ‘politik balas budi’?
  • Peneliti dan pegiat HAM pertanyakan kenaikan pangkat istimewa Prabowo Subianto – ‘Ini tidak pantas’
  • Siapa Prabowo Subianto, politisi ‘darah biru’ dengan masa lalu kelam yang bakal memimpin Indonesia?
  • ‘Siapa tahan jadi oposisi saat Prabowo menjadi presiden?’
  • Mengapa Prabowo-Gibran ‘menang‘ di tengah banyaknya tuduhan isu antidemokrasi?
  • Mengapa Prabowo Subianto populer di kalangan Gen Z?
  • Koperasi Merah Putih diresmikan Prabowo – Potensi korupsi dan kebocoran anggarannya diperkirakan triliunan rupiah, bisakah dicegah?
  • Siapa Sumitro Djojohadikusumo, ayah Presiden Prabowo Subianto?
  • Apakah Koperasi Merah Putih yang dibutuhkan para petani? – ‘Kami trauma dengan model-model seperti ini’
  • TNI AD merekrut puluhan ribu prajurit baru, apa dampaknya terhadap anggaran hingga politik?
  • Bakar mobil polisi, segel pabrik, hingga sebut Sutiyoso ‘bau tanah’ – Siapa Hercules, GRIB Jaya, dan apa hubungan dengan Prabowo Subianto?
  • Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?

Leave a Comment