Sekolah-sekolah yang mengelola dapur mandiri di tengah ribuan kasus keracunan MBG

Photo of author

By AdminTekno

Aksi penolakan terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin menguat di tengah meningkatnya insiden keracunan makanan yang diduga terkait program ini. Di sisi lain, semakin banyak sekolah yang secara tegas memilih untuk tidak melaksanakan MBG, dan malah memperkuat atau meneruskan program makanan bergizi mandiri yang telah mereka jalankan sebelumnya.

Hingga pekan lalu, gelombang kasus keracunan makanan yang dihubungkan dengan MBG terus berlanjut. Insiden paling baru menimpa lebih dari 426 siswa SMAN 1 Yogyakarta, yang dilaporkan mengalami diare dan sakit perut setelah mengonsumsi MBG pada Kamis (16/10) dini hari.

Data dari Kementerian Kesehatan per 5 Oktober menunjukkan bahwa jumlah korban keracunan terkait MBG sejak awal tahun telah melampaui angka 11.000 orang. Maraknya kasus ini telah memicu gelombang penolakan dari berbagai pihak, termasuk para orang tua siswa dan sejumlah lembaga pendidikan.

Di tengah situasi ini, banyak sekolah menunjukkan keteguhan untuk tidak mengadopsi program andalan pemerintahan Prabowo Subianto yang menelan anggaran triliunan rupiah ini. Mereka beralasan bahwa mereka sudah memiliki program gizi sekolah mandiri yang telah berjalan efektif dan terbukti aman.

BBC News Indonesia telah mengumpulkan berbagai inisiatif program makanan bergizi mandiri dari sejumlah wilayah, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kami akan mengulas bagaimana program-program ini dijalankan dan apakah pendekatan mandiri ini bisa menjadi solusi efektif untuk memitigasi insiden keracunan MBG serta berpotensi diterapkan lebih luas, bahkan di wilayah pedalaman.

‘Pilih dapur sehat karena enak, kalau MBG takut’

Di sudut bangunan yang bertuliskan ‘Dapur Sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Surakarta’, Solo, Jawa Tengah, tampak kesibukan beberapa perempuan. Mereka adalah para pengelola dapur sekolah mandiri yang menjadi kebanggaan.

Dapur ini telah berdiri sejak tahun 2015, jauh sebelum program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintah Prabowo dimulai. Di tembok utara dapur yang menyatu dengan kantin sekolah, terpajang sederet sertifikat penghargaan atas kebersihan dan higienitas dari berbagai lembaga pemerintahan, mulai dari tingkat kota hingga nasional.

Lima orang pegawai perempuan itu tekun melakukan persiapan memasak hingga menata menu makanan yang akan disajikan untuk total 680 orang, terdiri dari 615 siswa dan 65 karyawan sekolah. Kali ini, menu yang disiapkan adalah nasi kari yang lezat.

Mendekati pukul 12.00 WIB, para staf sekolah sigap mengantarkan nasi, kuah, dan lauk hasil racikan dapur sehat ke setiap kelas. Setelah bel istirahat berbunyi, para siswa segera beranjak mencuci tangan, lalu berdoa bersama sebelum berbaris rapi untuk mengambil makan siang mereka.

Setiap siswa membawa piring keramik masing-masing, kemudian mengambil nasi dan kuah sendiri. Sementara itu, para guru dengan sabar membantu menambahkan porsi lauk. Pemandangan di dalam kelas menunjukkan para siswa yang lahap menyantap sajian kari ayam untuk makan siang mereka.

Selena, siswi kelas III berusia 8 tahun, dengan ceria mengaku sangat menikmati makan siang dari dapur sehat sekolahnya. “Suka dengan nasi kari. Tapi yang paling aku suka dari dapur sehat adalah menu nasi goreng dan soto,” katanya dengan antusias.

Ketika ditanya untuk memilih antara makan siang dari dapur sehat sekolah atau program MBG, Selena dengan tegas menyatakan pilihannya pada makanan yang disiapkan oleh sekolah. Alasannya didasari oleh rasa takut dan khawatir terhadap isu keracunan makanan yang marak terjadi pada MBG di berbagai daerah di luar Solo. “Cocok kalau makan nasi dapur sehat. [Kalau MBG] tidak mau karena takut keracunan,” ujarnya polos.

Senada dengan Selena, Hamdan Zulfa Al Fatih juga lebih memilih hidangan dari dapur sehat sekolah dibandingkan menu MBG yang disediakan pemerintah. “Pilih dapur sehat karena enak, kalau [MBG] takut,” akunya.

Winarsi, pengelola dapur sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo, menjelaskan bahwa dapur mandiri sekolah ini telah beroperasi sejak 2015 dan secara konsisten menyediakan makan siang sebagai bagian integral dari inisiatif sekolah sehat. Pembentukan dapur sehat ini didorong oleh kekhawatiran terhadap tingkat kebersihan pedagang di sekitar sekolah yang sulit dikontrol. Dengan dapur mandiri, sekolah dapat memastikan dan menyediakan makanan yang benar-benar sehat bagi para siswa.

“Kita juga memberikan pendidikan karakter kepada anak-anak, salah satunya untuk anak-anak itu terbiasa makan sayur karena anak-anak itu kan lebih suka yang junk food. Maka di sekolah memotivasi anak-anak untuk makan sayur melalui dapur sehat,” jelasnya. Winarsi menambahkan bahwa makan siang dari dapur sehat dijual seharga Rp10.000 per porsi dengan menu yang bervariasi setiap harinya.

Transparansi menjadi kunci di sini. Menu makan siang telah disusun dan diumumkan jauh-jauh hari untuk periode satu bulan ke depan kepada orang tua melalui grup kelas. Ini memungkinkan orang tua mengetahui sayur dan lauk apa yang akan disajikan. Winarsi juga memastikan bahwa jika ada siswa yang memiliki alergi, orang tua dapat memberitahu sekolah agar pihak dapur dapat mengganti lauknya sesuai kebutuhan.

Untuk menjaga kandungan gizi setiap sajian, Winarsi mengatakan pihaknya menggandeng Dinas Kesehatan Solo, khususnya Puskesmas Setabelan, untuk mengukur dan menentukan kadar gizi dalam setiap menu. Lebih dari sekadar makanan, dapur sehat ini juga berperan dalam menanamkan kebiasaan antre yang tertib saat mengambil makan siang kepada para siswa.

Winarsi menilai bahwa budaya antre ini krusial untuk diajarkan sejak dini sebagai bagian dari pembentukan karakter pribadi siswa. “Kita itu memang memilihnya itu piring yang keramik itu sehingga bagaimana anak-anak bisa menjaga keamanan piring itu mulai dia ambil dengan mengantre sambil nanti kembali lagi ke tempatnya,” ujarnya.

“Karena di sini anak-anak itu kan makannya prasmanan, dia ambil sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini kita juga mendukung program pemerintah stop boros pangan,” tambahnya. Selama satu dekade beroperasi, dapur sehat yang menyatu dengan kantin sekolah ini telah berhasil meraih berbagai penghargaan dan menjadi rujukan studi banding bagi sejumlah sekolah di Solo Raya bahkan luar Jawa. “Kita saat ini sebagai tempat belajar teman-teman tidak hanya Solo Raya tapi juga luar Jawa datang ke sini untuk belajar di kantin dan dapur ini,” katanya bangga.

Pelaksanaan program MBG yang semestinya dimulai akhir September lalu ditunda di sekolah ini menyusul adanya keberatan dari pihak sekolah dan orang tua siswa. Kekhawatiran utama mereka adalah bahwa operasional dapur sehat yang sudah berjalan satu dekade tersebut harus ditutup akibat program MBG.

Pj Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Sri Martono Lanjar Sari, menegaskan bahwa pada dasarnya pihak sekolah tidak menolak tawaran untuk mengikuti program. Namun, ia berharap agar pengelolaan MBG itu tidak dilakukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) setempat, melainkan dikelola langsung oleh pihak sekolah sendiri karena telah memiliki dapur mandiri yang berpengalaman.

Senada, Winarsi berharap agar program MBG ini dapat dikelola sendiri oleh pihak sekolah, bukan oleh SPPG setempat. Terlebih, dapur mandiri mereka sudah terbukti berpengalaman menyediakan makan siang untuk siswa selama 10 tahun. “Jadi besar harapan kami dengan adanya MBG itu sekolah diberi kesempatan untuk mengelola MBG sendiri karena kita juga memberikan edukasi kepada anak-anak,” katanya.

“Yang dulunya anak-anak sudah terbiasa cuci piring sendiri, nanti tiba-tiba ada MBG maka pembiasaan itu akan berhenti,” ujar dia. Winarsi juga menegaskan bahwa apabila program MBG dikelola oleh SPPG setempat, otomatis sebanyak lima pegawai di dapur sekolah akan kehilangan pekerjaan. Padahal, para pegawai tersebut telah mengabdi di dapur sekolah selama 10 tahun sejak awal pendiriannya.

“[Dapur umum] otomatis tutup kan kalau nanti MBG masuk. Tapi kalau nanti kita diizinkan untuk mengelola sendiri, kelangsungan pembiasaan yang ada di sekolah terus tetap berkelanjutan,” kata dia.

Cici, salah satu orang tua siswa berusia 45 tahun, mengaku bahwa berbagai insiden keracunan siswa usai mengonsumsi MBG di sejumlah daerah telah menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan di kalangan wali murid SD Muhammadiyah 1 Ketelan. “Secara otomatis kami merasa khawatir, takut, dan was-was dengan kondisi seperti itu. Kami sebagai orangtua siswa tidak mau anak-anak kami mengalami hal seperti itu,” ujarnya.

Cici sangat berharap insiden keracunan terkait MBG ini menjadi bahan evaluasi pemerintah terkait pelaksanaan program. Perbaikan yang diharapkan Cici adalah pemerintah membolehkan agar MBG dapat dikelola langsung oleh pihak kantin dan dapur di sekolah. “Karena SD Muhammadiyah sudah memiliki kantin dan dapur sehat bersih berkualitas, baik dari kesehatan, kebersihan menu makanan dan tidak ada masalah dengan anak-anak kami,” harapnya.

Cici meyakini bahwa dengan cara itu, menu makan siang bergizi gratis tidak akan membahayakan para siswa. “Harapannya untuk MBG ini pemerintah memberikan kebijakan kepada sekolah agar kami sebagai orang tua tenang melepaskan anak-anak berangkat ke sekolah tanpa adanya ketakutan, kekhawatiran seperti itu karena kami sebagai orang tua ingin anak-anak kami juga sehat,” ucap dia.

“Semoga Bapak Presiden mendengarkan keluhan-keluhan dari orang tua yang menginginkan agar MBG masuk ke sekolah dan dikelola kantin sekolah agar semua anak menjadi sehat, aman, orang tua pun di rumah tenang tidak merasa ketakutan, was-was dan sebagainya,” imbuhnya.

Wali murid di Pamekasan pilih program berbayar ketimbang MBG

Di Pamekasan, Jawa Timur, Raudhatul Athfal (RA) Insan Cendekia dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Qur’an Internasional (MIQI) Darussalam juga mengambil sikap serupa dengan memilih untuk tidak menjalankan program MBG. Lembaga pendidikan ini memilih untuk melanjutkan program makan bergizi mandiri yang telah berjalan sekitar tiga tahun di sekolah, meskipun program ini berbayar dengan iuran harian sekitar Rp5.000 per siswa.

“Kami mengadakan survei dengan standar kami dan keputusan antara lembaga dengan yayasan, kami menyatakan belum siap [menerima MBG] karena dari wali murid juga tetap kepada menu yang ada di lembaga,” ujar kepala sekolah, Herman, pada awal Oktober lalu. Herman menegaskan bahwa pada prinsipnya sekolah tidak menolak program MBG, melainkan belum siap menghadapi masalah yang mungkin muncul, terutama insiden keracunan MBG belakangan ini.

Di sisi lain, program makan mandiri yang mereka jalankan dinilai sudah efektif, lebih terpercaya oleh wali murid, dan menunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta kesepakatan bersama. Bahkan, ada pencatatan khusus bagi siswa yang memiliki alergi makanan. “Yang jelas program sudah terlaksana terlebih dahulu. Kemudian pertimbangan dari wali murid juga menjadi hal utama, kami tidak bisa menerima [MBG]. Belum bisa menerima,” tegasnya.

Program makan siang bergizi ini telah digagas sejak lembaga pendidikan itu berdiri pada Juni 2023. Keputusan untuk menjalankan program ini berangkat dari keinginan pihak sekolah untuk menjauhkan siswa dari makanan yang mengandung zat kimia berbahaya dan sebagai pemenuhan gizi tambahan bagi anak di sekolah. “Bagaimana kami menciptakan generasi penerus bangsa ini terutama anak-anak usia dini ini jauh dari makanan yang mengandung zat-zat kimia [berbahaya]. Satu contoh snack-snack yang tidak menyehatkan ke anak-anak,” katanya.

Lewat program ini, pihak sekolah juga ingin mempererat kebersamaan antar anak dan membentuk karakter mereka, termasuk memberikan contoh tata cara makan yang baik dan benar sejak dini. Salah satu wali murid, Firli Nisa, dengan mantap memilih agar program makan bergizi berbayar yang ada di sekolah dilanjutkan, ketimbang menerima makan bergizi gratis dari pemerintah. “Kalau saya pribadi sebagai orang tua yang anak saya disekolahkan di sini, lebih memilih program yang ada dari sekolah karena memang sehat untuk anak-anak,” katanya.

Senada dengan Firli, Puri Sosianti juga lebih setuju program yang ada di sekolah dilanjutkan. Baginya, menu yang diberikan oleh sekolah lebih meyakinkan daripada makan bergizi gratis. “Alasan saya memang kalau MBG itu, saya tidak tahu menu apa setiap harinya. Kemudian meskipun gratis, kurang meyakinkan kepada saya sebagai orang tua,” kata Puri.

“Sedangkan kalau program yang dari sekolah itu sudah menunya satu bulan penuh sudah ditentukan dan kami sebagai orang tua sudah tahu menu-menu setiap harinya.” Berbeda dengan sekolah di Solo, Jawa Tengah, makanan hasil olahan dapur mandiri sekolah di Pamekasan ini dibagikan pada pagi hari, saat jam istirahat.

Sekitar pukul 09.00 WIB, para siswa dikumpulkan di teras madrasah. Mereka duduk bersila saling berhadapan mengikuti arahan dari para guru. Setelah doa bersama, sejumlah guru membagikan sepiring soto bersama buah jeruk yang telah disiapkan. Para murid tampak lahap menyantap makanan, ada pula yang dibantu guru untuk menghabiskan makanan di piringnya karena belum bisa makan secara mandiri. Tak sedikit siswa yang “nambah” setelah porsi di piringnya habis.

Qotrunnada Abror, siswi kelas I MIQI Darussalam berusia 6 tahun, mengaku senang bisa mendapatkan makanan bergizi di sekolah. Apalagi menunya setiap hari berubah-ubah. “Makanannya enak,” kata Nada ketika ditemui di kelasnya. Pada 6 Oktober silam, menu yang didapatkan Nada adalah sepiring soto dan buah jeruk. Di hari-hari yang lain, ia biasanya mendapatkan kue pukis, puding, dan menu-menu lainnya.

Untuk menyiapkan menu makan siang bergizi, pada awalnya pihak sekolah melibatkan guru. Namun, dalam perkembangannya, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk memasak dan menyiapkan menu kepada 63 siswa yang ada di lembaga itu. Pihak sekolah juga menunjuk salah satu guru sebagai koordinator untuk penyajiannya hingga sampai ke siswa. Selain menu yang berganti tiap hari, sekolah juga harus memastikan keamanan dan kesehatan makanan yang didapatkan anak.

“Kami sudah mewanti-wanti kepada tim dan kepada yang masak bahwa ini diberikan ke anak-anak, jangan sampai makanan sehat ini menjadi tidak sehat,” kata Herman. Namun, dalam penyiapan menu, ada tantangan yang dihadapi pihak sekolah. Salah satunya ketika ada anak yang alergi terhadap makanan tertentu, pihak sekolah harus menyiapkan menu yang berbeda. “Ketika alergi ayam, alergi telur, ini kami harus menyiapkan menu sendiri untuk anak-anak. Bahkan, ada yang fobia nasi begitu. Yang fobia nasi, kami siapkan wafer,” jelasnya.

Puri Sosianti Astrina, seorang bidan dan orang tua murid, mengatakan bahwa menu makan siang yang diberikan sekolah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya dan sesuai yang diharapkan orang tua. “Saya lihat di menunya setiap hari ada sayur, ada ikan, terus setiap hari Jumat dan Sabtu biasanya diimbangi sama buah-buahan,” katanya.

Setiap awal bulan, orang tua juga bisa mengetahui menu apa saja yang akan didapatkan anaknya, karena guru yang menjadi koordinator dalam program ini membagikan daftar menu melalui grup WhatsApp.

Sekolah di Tasikmalaya menyediakan makanan untuk murid sejak hampir 30 tahun lalu tapi tidak pernah ada kasus keracunan

Jauh sebelum program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, murid di Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Yayasan Al Muttaqin Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, secara rutin mendapatkan makan siang yang diolah dan disajikan secara mandiri di dapur sekolah. Yayasan Al Muttaqin telah menyediakan makan siang bagi muridnya sejak 29 tahun lalu, tepatnya saat SD Al Muttaqin berdiri pada 1996. Kebutuhan ini muncul lantaran murid bersekolah sepanjang hari sehingga memerlukan asupan makan siang.

“Kami dengan yayasan berinisiatif anak-anak makan saja di sini [sekolah] supaya tidak bawa dari rumah. Lumayan ribet orang tua juga [menyiapkan bekal sekolah],” ungkap Kepala Sekolah SD Al Muttaqin, Otong Tatang saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (16/10). Awalnya, dapur sekolah dikelola oleh pihak ketiga. Namun, dengan alasan “sulit mengontrol makanan yang disajikan,” yayasan memutuskan untuk mengelola dapur secara mandiri dengan merekrut sejumlah pegawai pada tahun 2002.

“Kalau sekarang, kami di sini menyediakan dapur sendiri dan kelihatan memasaknya seperti apa, kami lebih yakin. Dan Alhamdulillah dari mulai berdiri sampai sekarang tidak ada kejadian yang menyusahkan anak-anak, terutama dari makanan ini,” ucap Otong. Yayasan Al Muttaqin bahkan membangun tiga dapur sekolah, satu untuk setiap jenjang pendidikan (SD, SMP, dan SMA), dengan total 3.000 lebih murid dan staf sekolah yang dilayani.

“Kenapa tidak disatukan, karena kami memberikan layanan yang berbeda,” kata Humas LPI Yayasan Al Muttaqin, Yayan Sofyan, saat ditemui di SD Al Muttaqin, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (16/10). Layanan berbeda yang dimaksud Yayan adalah pemberian makan siang yang disesuaikan dengan kebutuhan gizi murid di setiap jenjang pendidikannya.

Yayan menjelaskan, porsi makan murid SD akan berbeda dengan SMP. Meskipun sama-sama disajikan dalam wadah makan dengan komposisi gizi sehat seimbang, porsi karbohidrat bagi murid SMP lebih banyak karena aktivitas mereka membutuhkan energi lebih besar. “Sedangkan untuk murid SMA, kami menyediakannya berbeda lagi dengan konsep prasmanan,” tutur Yayan.

Selain menyiapkan dapur sekolah, Yayasan Al Muttaqin juga memperkerjakan ahli gizi sejak tahun 2010. Ahli gizi dilibatkan guna memastikan kualitas gizi peserta didiknya sekaligus menjaga keamanan makanan agar tidak terjadi kasus keracunan. “Yang paling utama, kenapa kita mengambil ahli gizi, (karena) dia lebih tahu kualitas gizinya. Jadi kalau gizinya sudah terpenuhi, sudah betul-betul gizi yang seimbang, InsyaAllah dijamin keamanannya,” tutur Otong.

Dana operasional dapur sekolah, sebut Otong, bersumber dari iuran sekolah yang dibayarkan orang tua murid. Dana tersebut dikelola oleh yayasan. Orang tua murid juga diberikan keleluasaan untuk mengusulkan menu dan bahkan mengecek langsung proses memasak di dapur. “Kalau biayanya itu dari anggaran sekolah di RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Kalau di sini kan anggaran itu disatukan di lembaga atau yayasan. Jadi semua diurus oleh yayasan,” ungkap Otong.

Sejak pukul 03:00 WIB, kesibukan sudah terlihat di dapur sekolah SD Al Muttaqin. Koki dan asistennya mulai menyiapkan bahan baku untuk dimasak sesuai menu yang telah terjadwal. Daftar menu harian hingga bulanan terpasang rapi di dinding dapur. Menu pada Kamis (15/10) adalah sayur sop, ayam bakar, dan es susu.

Setelah bahan baku siap, koki dibantu asistennya mulai memasak pada pukul 05:00 WIB. Mereka menyiapkan lebih dari 1.000 porsi makan siang. Proses memasak dilakukan secara bertahap, dengan sayur sop sebagai menu yang paling akhir dimasak. Makanan yang sudah matang didinginkan dalam suhu ruang, sebelum ditata dalam wadah makanan. “Kalau mulai pukul 05:00 itu, masak beres sekitar pukul 08:00 WIB. Lalu, kami porsi [menata makanan dalam wadah] sampai sekitar pukul 10:00-11:00 WIB, tergantung menu yang disajikan juga,” papar Penanggung Jawab dan Ahli Gizi Dapur Yayasan Al Muttaqin, Siti Rahayu.

Penyajian makanan, lanjut Siti, dikelompokkan berdasarkan kelas. Untuk murid kelas 1 dan 2, makan siang dibagikan langsung di ruang kelas masing-masing. Sementara itu, murid kelas 3 hingga 6 mengambil sendiri jatah makan siang mereka dan menyantapnya bersama-sama di ruang makan. Dalam memenuhi gizi anak-anak, Siti mengatakan, pihaknya mengacu pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan komposisi karbohidrat, protein, sayur, buah, atau makanan yang dibuat berdasarkan permintaan murid. Menu disesuaikan dengan siklus yang telah disepakati pihak sekolah, yayasan, dan orang tua murid.

“Siklus menu kita biasanya kan seminggu itu lima hari untuk sekolah. Jadi dua kali ayam, satu kali telur, satu kali ikan, dan satu kali daging sapi,” sebut Siti. Pihak sekolah, imbuh Siti, sangat terbuka menerima masukan menu dari orang tua murid, terutama untuk anak yang sedang sakit atau memiliki alergi makanan tertentu. Karena itu, menu makanan pengganti untuk kondisi khusus selalu disiagakan di dapur. Sering kali, Siti juga menerima permintaan makanan yang sedang viral dari siswa-siswi.

Siti menceritakan, ia pernah diminta membuat seblak, makanan yang sempat hits kala itu. Permintaan tersebut dipenuhi dengan tetap memastikan terpenuhinya AKG, seperti menambahkan potongan ayam dan sayur. “Kalau mengatur menu, bisa dilihat sehari-hari anaknya seperti apa, juga dilihat makanan yang sedang viral itu apa. Nanti bisa dikombinasikan lagi dengan menu yang di sekolah. Jadi kami sesuaikan (menunya), bukan hanya makanan sehat dan enak, tapi yang lagi hits dan anak-anak suka, kami bikin juga di sekolah. Terkadang kan anak-anak bosan dengan makanannya, kalau menunya itu-itu terus,” papar Siti seraya menambahkan pengaturan kadar gula garam disesuaikan dengan takarannya.

Meskipun tidak ada bahan makanan yang dilarang secara mutlak, Siti menyatakan bahwa bahan baku diupayakan alami dan segar, serta menghindari makanan ultra processed food (UPF). Sesekali, lanjut Siti, UPF digunakan untuk memenuhi keinginan murid, itu pun atas izin orang tua. Kasus keracunan yang marak belakangan ini menjadi bahan evaluasi Siti dalam mengelola dapur sekolah. Pengawasan bahan baku makanan semakin diperketat. Jika ditemukan bahan makanan yang sudah tidak segar, pihaknya akan mengembalikan ke penyuplai.

“Kalau pun masih fresh juga, jangan henti dicek. Setelah proses penerimaan barang kan ada proses simpan. Nah, kami lihat dulu disimpannya baik atau tidak. Misalkan untuk daging atau bahan beku. Kami cek lagi freezer-nya bagus atau tidak. Terus, suhunya dicek kembali. Jadi harus sering dicek. Jangan bosan mengecek,” tegas Siti. Perihal kebersihan dapur, alat makan, dan masak, Siti mengungkapkan, dilakukan secara berkala, sebelum dan sesudah makan. Pembersihan secara menyeluruh dilakukan setiap satu atau dua bulan dengan melibatkan semua pegawai yang berjumlah 11 orang.

Siti mengungkapkan, dapur mandiri SD Al Muttaqin telah mendapat Sertifikat Laik Higiene-Sanitasi (SLHS) dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya pada 2018. Sertifikat tersebut, ungkap Siti, sedang dalam proses perpanjangan setelah habis masa berlakunya. Ela, orang tua murid yang juga pengurus Komite Sekolah, mengaku sangat terbantu dengan adanya dapur mandiri sekolah di SD Al Muttaqin.

“Sangat terbantu. Anak saya asalnya sangat pemilih, tapi setelah masuk ke sini, teman-temannya mencicipi, jadi dia juga penasaran. Akhirnya, sekarang mau masuk (makan) segala macam yang disajikan di sekolah,” beber Ela. Ela mengapresiasi langkah sekolah membangun dapur mandiri dalam penyediaan makan siang bagi murid. Hal itu, menurutnya, sangat membantu orang tua yang kesulitan menyiapkan bekal sekolah setiap pagi. Sekolah juga memberi keleluasaan pada orang tua murid untuk turut memantau setiap proses penyajian makan siang di dapur. Beberapa kali, Ela ikut mengusulkan menu untuk anaknya yang alergi ikan.

Selain orang tua, murid juga merasa terbantu. Seperti yang diungkapkan Balqis Kamilia Khairan, siswi kelas 4 SD ini tidak perlu repot membawa bekal sekolah dari rumah, seperti saat bersekolah di taman kanak-kanak. Kepala Sekolah SD Al Muttaqin, Otong Tatang, mengklaim bahwa selama 29 tahun menyediakan makan siang bagi anak didiknya, tidak pernah terjadi kasus keracunan makanan.

Humas LPI Yayasan Al Muttaqin, Yayan Sofyan, mengatakan pihak yayasan ingin mengelola sendiri program MBG dari pemerintah melalui dapur mandiri sekolah. “Katanya persyaratannya belum lengkap. Keinginan lembaga (yayasan) sejak kehadiran MBG ini, kami mau dikelola sendiri. Karena kami harus memberikan layanan (makan siang) kepada guru-guru. Kemudian juga tidak memberhentikan karyawan katering yang sudah berjalan,” jelas Yayan. Orang tua murid juga mengaku lebih nyaman dengan dapur mandiri dibanding mendapat MBG. Ela tidak yakin orang tua murid bisa terlibat menentukan menu dan memantau operasional dapurnya. “Nah kalau MBG masuk, saya tidak yakin,” pungkas Ela.

‘Makanan sehat tidak perlu aneh-aneh’

Menurut ahli gizi, dokter Tan Shot Yen, makanan dari dapur mandiri sekolah ini telah memenuhi kebutuhan gizi jika konsep “Isi Piringku” dijalankan dengan baik. Konsep “Isi Piringku” adalah panduan gizi seimbang dari Kementerian Kesehatan yang menggantikan empat sehat lima sempurna, pada intinya membagi piring menjadi dua bagian besar: separuh diisi sayur dan buah, separuh sisanya makanan pokok mengandung karbohidrat dan lauk pauk mengandung protein.

“Makanan sehat itu tidak perlu aneh-aneh, simpel, murah, tapi kelihatan banget gizinya,” ujar dokter Tan. Selama ada sayur, buah, makanan pokok dan protein, menurut dokter Tan, “Itu cukup”. “Jadi sesederhana misalnya Anda mendapatkan nasi pecel, lalu kemudian pakai soto ayam, lalu buahnya pisang. Itu sudah lebih dari cukup. Atau besoknya lagi diganti nasi pakai ayam bakar, pakai sayur asem.”

Dokter Tan menyatakan, program makanan bergizi mandiri dari sekolah yang diproduksi dari dapur sehat milik sekolah bisa menjadi salah satu solusi efektif untuk memitigasi insiden keracunan terkait MBG. “Tentu saja. Karena dengan semakin pendek jarak antara dapur dengan penerima manfaat, itu akan semakin sempit kemungkinan keracunan itu muncul,” tegasnya.

Dengan semakin memperpendek jarak antara dapur dengan penerima manfaat, kata dokter Tan, risiko kontaminasi bakteri akan semakin kecil. Ia pun menganggap bahwa inisiatif ini sangat mungkin diterapkan di daerah 3T—terdepan, terluar, terpencil—yang sejatinya menjadi target utama MBG. Ia kemudian mengkritik skema MBG yang terpusat melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), karena dinilai menghadapi kesulitan besar dalam memastikan pengiriman makanan yang tepat waktu dan berkualitas ke daerah-daerah dengan akses sulit, jauh dari pusat kota, atau terisolasi. Infrastruktur yang kurang memadai menjadi kendala utama.

“Syarat dari BGN itu sangat keukeuh, mau dibangun SPPG yang sesuai dengan mereka punya kerangka acuan, yang mana kalau dipikir-pikir, kalau melihat medan, itu tidak dimungkinkan.” Dia mencontohkan, daerah terpencil seperti wilayah pegunungan Lani Jaya di Papua Tengah, akan sulit dibangun dapur setara SPPG. Namun di wilayah tersebut ada sekolah. Alangkah baiknya, menurut dokter Tan, jika ada ibu-ibu di sekitar sekolah yang menjadi relawan untuk mengelola dapur mandiri sekolah.

“Kita bisa mengumpulkan orang-orang dari daerah-daerah yang cukup terpencil untuk bisa kita bina, kita didik,” ujarnya, seraya menambahkan bahan pangan untuk program itu bisa menggunakan bahan baku dari komunitas itu. Lebih jauh, dokter Tan berpandangan ia meragukan keberhasilan program MBG dengan kebijakan yang bersifat sentralistik atau dari atas ke bawah (top-down).

Sebaliknya, ia meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif adalah yang bersifat inklusif, yaitu merangkul dan membuat masyarakat merasa memiliki program tersebut, alih-alih hanya menganggapnya sebagai proyek pemerintah. “Kalau menurut saya itu jauh lebih ramah masyarakat.”

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengatakan pemerintah kini membuka opsi agar program MBG tidak lagi sepenuhnya terpusat, melainkan melibatkan sekolah yang siap mengelola penyediaan makanan secara mandiri melalui konsep dapur sekolah (school kitchen). “Sehingga, tidak semuanya harus melalui cara seperti yang sekarang ini ada. Tapi, ini masih kami bicarakan di rapat lintas kementerian,” ujar Mu’ti seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (16/10).

Mu’ti menjelaskan, mekanisme school kitchen ini masih dibahas oleh lintas kementerian, dan sistem pengelolaan baru MBG secara keseluruhan baru akan dipastikan setelah Peraturan Presiden (Perpres) yang baru diterbitkan. Akhir pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk terus menyempurnakan pelaksanaan program MBG agar tidak lagi ditemukan kasus keracunan akibat makanan.

Dalam orasi ilmiah saat Wisuda Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (18/10) lalu, Prabowo melaporkan bahwa hingga saat ini, program MBG telah mendistribusikan antara 1,3 hingga 1,4 miliar porsi makanan kepada 36,2 juta penerima. Dari jumlah itu, tercatat sekitar 8.000 kasus keracunan makanan, kata Prabowo, yang secara statistik setara dengan 0,0007 persen, atau tingkat keberhasilan program mencapai 99,99 persen.

“Jadi di mana ada usaha manusia yang 99,99 persen berhasil, dibilang gagal. Tapi kita tidak mau ada satu pun, tidak boleh ada satu pun anak yang sakit,” kata dia.

Namun, jumlah keracunan terkait MBG versi Prabowo lebih sedikit dari jumlah kasus keracunan yang dicatat Kementerian Kesehatan lewat Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR). Per 5 Oktober pukul 17.00 WIB, tercatat 119 kejadian dengan 11.660 kasus keracunan MBG, dengan kejadian terbanyak terjadi di Jawa Barat, sebanyak 34 kasus.

Reportase oleh Fajar Sodiq di Solo, Ahmad Mustofa di Pamekasan, Yuli Saputra di Tasikmalaya.

  • Bagaimana militer, pengusaha, dan partai politik menopang kekuasaan Prabowo Subianto?
  • Prabowo instruksikan rapid test MBG – Apakah efektif cegah keracunan dan keberulangan status KLB?
  • Ribuan kasus keracunan, SPPG terus beroperasi – ‘Sertifikat laik kebersihan sedang diurus’
  • Lebih dari 1.000 siswa di Bandung Barat diduga keracunan MBG – ‘Anak saya kejang-kejang, sesak nafas’
  • Keracunan massal MBG di NTT – ‘Perut seperti tertusuk, saya trauma’
  • Lini masa dugaan keracunan karena MBG, dari ayam kecap basi hingga daging mentah berdarah
  • Apakah korban keracunan Makan Bergizi Gratis bisa menggugat pemerintah secara hukum?
  • Ribuan siswa keracunan Makan Bergizi Gratis, orang tua trauma dan larang anaknya konsumsi MBG
  • Ribuan kasus keracunan akibat MBG – Evaluasi SPPG dan standar higienis jadi prioritas pemerintah
  • Teka-teki kematian siswi SMK di Bandung Barat yang dikaitkan keracunan MBG
  • Lebih dari 1.000 siswa di Bandung Barat diduga keracunan MBG – ‘Anak saya kejang-kejang, sesak nafas’
  • Menu MBG bahan mentah jadi sorotan, pengawasan dipertanyakan – ‘BGN seharusnya menjalankan fungsi kontrol’
  • Tren obesitas anak dan remaja di Indonesia naik tiga kali lipat selama dua dekade terakhir, menurut riset Unicef
  • Lini masa dugaan keracunan karena MBG, dari ayam kecap basi hingga daging mentah berdarah
  • Guru dan murid SDN 4 Wonorejo Jateng ‘keracunan’ sajian Makan Bergizi Gratis
  • Anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah tapi hampir setengahnya untuk MBG dikoreksi

Leave a Comment