CIA di Indonesia: Fakta Kelam, Operasi Kotor, dan Metode Jakarta

Photo of author

By AdminTekno

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini mengumumkan bahwa ia telah memberikan wewenang kepada CIA untuk melakukan operasi rahasia di Venezuela. Keputusan ini langsung memicu ingatan akan jejak panjang CIA di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Di Venezuela, mandat yang diberikan kepada CIA bertujuan untuk memberantas kartel narkoba yang, menurut Trump, membanjiri Amerika Serikat dengan produknya.

Namun, langkah ini menuai kekhawatiran dari sejumlah pakar intelijen. Mereka khawatir bahwa Trump dapat memperluas operasi CIA untuk tujuan lain, seperti menggulingkan pemerintahan yang sah.

Secara formal, presiden memiliki kewenangan untuk mengerahkan operasi rahasia CIA asalkan sejalan dengan tujuan kebijakan luar negeri dan penting bagi keamanan nasional AS. Keputusan tersebut, secara aturan, harus dibahas dengan Kongres dan Senat.

Namun, dalam praktiknya, presiden seringkali menerobos batasan-batasan yang ada. Otorisasi kepada CIA seringkali hanya bergantung pada persetujuan presiden.

Sejarah mencatat bahwa operasi rahasia CIA mencakup berbagai tindakan kontroversial, mulai dari pembunuhan yang ditargetkan, penyaluran senjata kepada kelompok pemberontak, hingga kudeta terhadap pemerintahan yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Washington.

Seorang mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS mengakui bahwa campur tangan CIA tidak memiliki “rekam jejak yang baik.”

Di Indonesia, keterlibatan CIA dapat ditelusuri setidaknya sejak tahun 1958, ketika mereka mendukung aksi kelompok pemberontak yang berusaha menggoyang kekuasaan Sukarno.

Satu dekade kemudian, peran CIA semakin intensif. Mereka menjadi mitra bagi militer Indonesia dalam menumpas kelompok komunis.

Peristiwa 1965-1966 diperkirakan telah menyebabkan jutaan orang tewas, hilang, dan dipenjara, menjadikannya salah satu genosida politik terburuk di abad ke-20.

Manipulasi Pemilu, Bantuan Senjata, hingga Film Porno

Ketika pemerintahan AS beralih dari Harry Truman ke Dwight Eisenhower, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia akan menjadi salah satu front komunis terbesar di Asia Tenggara, bahkan dunia.

Pemerintah AS memiliki beberapa alasan untuk kekhawatiran ini: luas wilayah Indonesia, jumlah populasi yang besar, serta cadangan sumber daya alam yang melimpah.

Selain itu, pemerintahan Truman sebelumnya dikritik karena dianggap gagal mencegah China jatuh ke tangan komunis pada tahun 1949.

Faktor lain yang membuat AS was-was adalah sosok Sukarno.

Baca juga:
* Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
* Soeharto ‘koordinir’ operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen

Saat itu, Sukarno memutuskan bahwa Indonesia tidak akan memihak blok manapun: Barat atau Timur. Indonesia memilih untuk netral.

Menurut AS, sikap netral inilah yang menyimpan potensi bahaya. Asumsinya: tidak memihak sama dengan memihak kelompok Timur—komunis.

Terlebih lagi, menurut AS, Sukarno—di balik netralitasnya—justru cenderung mendekat ke Timur dalam beberapa kesempatan.

Pada tahun 1955, Sukarno mencuri perhatian dunia dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, yang dihadiri oleh negara-negara nonblok.

Sukarno adalah seorang orator ulung yang mampu membangkitkan semangat rakyat. Pesan-pesan populis dalam pidatonya seringkali bernuansa sosialis dan disukai oleh masyarakat Indonesia.

Dengan posisi Sukarno yang sedemikian kuat, AS melihatnya sebagai ancaman. Kehilangan Indonesia ke spektrum politik Kiri akan merugikan AS yang sedang membangun kekuatan di Asia Tenggara.

Upaya untuk menjegal pengaruh Sukarno kemudian ditempuh AS melalui CIA.

Saat Pemilu 1955 berlangsung, CIA mencoba memanipulasi prosesnya dengan memberikan US$1 juta secara diam-diam kepada Masyumi, partai Islam yang juga antikomunis, seperti yang tertulis dalam buku Four Who Dared: The Early Years of the CIA karya Evan Thomas (2006).

Namun, langkah CIA ini gagal total. Partai Komunis Indonesia (PKI) justru meraih posisi keempat nasional dengan enam juta suara, di bawah PNI, NU, dan Masyumi. Bersamaan dengan itu, Sukarno pun semakin kuat.

Usaha untuk “mengalahkan” Sukarno bahkan mencapai tahap yang mungkin tidak pernah terbayangkan.

Menurut penuturan agen CIA di Far East Division, Samuel Halpern, kepada mantan analis politik di Asian Studies Center, Washington, Kenneth Conboy, pada Maret 1998, satu divisi di CIA pernah bekerja sama dengan studio di Hollywood untuk memproduksi film porno.

Film tersebut menggambarkan Sukarno seolah-olah sedang tidur dengan mata-mata Uni Soviet—yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan.

Rencananya, film ini akan disebarluaskan di Asia melalui surat kabar dan majalah. Namun, seorang perwira senior di CIA menyadari bahwa hal itu merupakan senjata makan tuan dan memutuskan untuk tidak memublikasikannya.

CIA tidak menyerah. Tidak lama setelah Pemilu 1955 dan kegagalan film “porno,” mereka kembali menemukan “momentum” untuk meruntuhkan posisi Sukarno.

Kali ini, momentum tersebut datang dari kelompok pemberontak di beberapa daerah yang dimotori oleh para kolonel TNI yang tidak puas dengan cara Sukarno memerintah.

Menurut Barbara S. Harvey dalam bukunya, Permesta: Half a Rebellion (2009), di Sulawesi, Letnan Kolonel Herman “Ventje” Sumual menyatakan darurat militer di Indonesia Timur—sampai ke Maluku—setelah Jakarta tidak mengabulkan tuntutan tentang otonomi wilayah.

Sumual merasa bahwa Jakarta tidak adil terhadap masyarakat Sulawesi dengan memonopoli perdagangan kopra. Hasil perdagangan tersebut tidak didistribusikan secara merata, dan uang hanya berputar di Jawa.

Oleh karena itu, Sumual menuntut otonomi. Dalam pandangannya, otonomi yang lebih besar—setidaknya di bidang ekonomi—merupakan konsep yang berharga.

Pada Maret 1957, Sumual dan kelompoknya menandatangani piagam pendirian Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) setelah menyatakan darurat militer. Menurut Barbara Harvey, gerakan ini secara sepihak menyatakan niat untuk memiliki kewenangan khusus di bidang militer, politik, dan ekonomi. Singkatnya, Permesta ingin mengurangi campur tangan Jakarta.

Situasi serupa juga terjadi di Sumatra. Puluhan perwira TNI bersatu dan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap Jakarta. Salah satu tokoh yang paling vokal adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein.

Dia merasa bahwa aspirasi daerah, seperti tempat kelahirannya di Padang, tidak diindahkan oleh Jakarta, dalam hal ini Sukarno. Pemerintah pusat dianggap gagal mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang jauh dari kekuasaan.

Pada akhir tahun 1957, Husein mengambil alih siaran radio lokal dan mengumumkan secara terbuka bahwa Sumatra tidak akan mematuhi keputusan Jakarta.

Pada Februari 1958, kelompok pemberontak di Sumatra menyatakan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Syafruddin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi dan mantan Gubernur Bank Indonesia, ditunjuk sebagai perdana menteri.

Selain Syafruddin, nama Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom dan ayah dari Prabowo Subianto (presiden saat ini), juga muncul. Dia bergabung dengan kabinet PRRI dan menjabat sebagai penanggung jawab informasi dan pendidikan.

Di tengah situasi ini, Amerika Serikat melihat kesempatan emas untuk mewujudkan misinya: menyingkirkan Sukarno.

Kenneth Conboy dan James Morrison mencatat dalam riset mereka yang dibukukan dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 (2018) bahwa AS berpikir kolonel-kolonel militer yang memberontak dan membangun kekuatan mereka sendiri adalah pintu masuk strategis untuk menangani masalah di Indonesia.

Namun, menurut Conboy dan Morrison, tujuan para perwira yang memberontak bukanlah untuk menarik perhatian Washington. Mereka memiliki alasan sendiri—etnis dan ekonomi—untuk melawan otoritas pusat di Jawa serta Sukarno.

Faktor “menyingkirkan komunisme,” sebagaimana yang digaungkan oleh AS, bukanlah tujuan utama kelompok pemberontak.

Meskipun demikian, kedua kepentingan ini akhirnya bertemu karena faktor “kebutuhan senjata.”

PRRI dan Permesta menyadari bahwa kekuatan mereka tidak akan cukup kuat jika harus berkonfrontasi dengan TNI. Siapa yang memiliki pasokan senjata yang melimpah? Amerika Serikat.

Pemerintah AS kemudian meminta CIA untuk turun tangan. Agen-agen lapangan diterjunkan untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin PRRI dan Permesta. Sejak awal, meskipun antusias dengan “dukungan” di Indonesia, pemerintah AS memerintahkan para agennya untuk tidak mengambil keputusan apa pun, seperti yang tertulis dalam buku Feet to the Fire.

Setelah melalui serangkaian pertemuan, CIA sampai pada kesimpulan bulat: memasok persenjataan untuk kelompok pemberontak di Indonesia.

Menurut informasi yang dia dapatkan dari agen-agen di lapangan, Direktur CIA saat itu, Allen Dulles, dengan optimis memberi tahu Presiden Eisenhower bahwa kelompok pemberontak berpotensi menciptakan kekacauan bagi pemerintahan Sukarno.

Dulles menjelaskan bahwa kekuatan kelompok pemberontak tidak hanya berpusat di Padang (PRRI) atau Minahasa (Permesta), tetapi juga berpotensi menyebar ke Kalimantan, Maluku, hingga Jawa.

Menurut buku Feet to the Fire, bantuan CIA terwujud, misalnya, melalui setengah lusin senapan mesin kaliber yang diberikan kepada Permesta. Senjata-senjata ini dibungkus kain kanvas dan diangkut menggunakan pesawat C-47 dari Filipina.

Sedangkan untuk PRRI di Sumatra, CIA menyediakan ribuan senjata bermacam jenis, dari senapan M1, bazoka, granat, hingga peluncur roket. Pembagian senjata dilakukan dengan dua cara: melalui laut dan udara.

Di laut, CIA mengandalkan kapal tongkang. Di udara, giliran pesawat C-54 yang ditugaskan.

Conboy dan Morrison menulis, “Begitu C-54 berada di udara, kabar segera disampaikan ke Padang. Beberapa jam sebelumnya, agen CIA mengambil sebuah jeep dan melaju ke pedalaman untuk mengoordinasikan kelompok yang menerima senjata.”

Senjata-senjata itu dijatuhkan dari udara. Pasukan PRRI mengambil kotak-kotak berisi senjata dari hutan “dan menumpuknya di atas enam truk yang menunggu dalam satu barisan,” seperti yang tertulis dalam Feet to the Fire.

Keterlibatan CIA dalam misi rahasia di Indonesia ini diberi kode “Haik.” Proyek Haik menonjol karena efisiensinya. Berbeda dengan misi CIA yang merepresentasikan kebijakan luar negeri AS yang masif, Haik adalah operasi yang disetujui dalam lingkup terbatas—presiden beserta lingkaran elite CIA saja.

Namun, nasib PRRI dan Permesta tidak bertahan lama. Dalam kurun waktu tiga tahun sejak mereka mengobarkan perlawanan, TNI, di bawah komando AH Nasution, berhasil meredam gerakan mereka. Salah satu momen penting adalah penangkapan pilot AS, Allen Pope, yang dituduh hendak mengebom sebuah kampung di Ambon, Maluku.

Penangkapan Pope turut membongkar keterlibatan intens CIA dalam pemberontakan PRRI dan Permesta.

Dalam analisisnya, Kenneth Conboy dan James Morrison mengungkapkan bahwa kegagalan PRRI dan Permesta disebabkan oleh lemahnya dukungan politik di kalangan akar rumput. Dari sisi eksternal, atau campur tangan CIA, retorika antikomunisme ternyata dianggap tidak terlalu mendesak untuk diperjuangkan.

Conboy dan Morrison melanjutkan bahwa kegagalan PRRI dan Permesta menjadi tamparan keras bagi CIA yang sebelumnya, dengan penuh percaya diri, mengklaim bahwa pemerintahan Sukarno dapat dikendalikan.

Gagal di Permesta dan PRRI, CIA kemudian ‘menebusnya’ pada Peristiwa 1965.

Metode Jakarta

Seperti yang diarsipkan oleh J. D. Legge dalam Sukarno: A Political Biography (1972), menguatnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kecenderungan Sukarno untuk merapat ke mereka telah membuat TNI Angkatan Darat (AD) sekaligus Washington cemas.

Memasuki dekade 1960, PKI menjelma sebagai kekuatan politik besar di Indonesia, dengan total keanggotaan resmi mencapai tiga juta orang—belum termasuk organisasi yang terafiliasi dengan mereka seperti Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), atau Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Angka tiga juta orang ini ditulis oleh sejarawan Geoffrey B. Robinson dalam bukunya yang berjudul The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66 (2018).

Angka tersebut menjadikan PKI sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah China dan Uni Soviet.

Kekuatan PKI turut memengaruhi kebijakan di tingkat nasional. Contohnya: reforma agraria. Dalam praktiknya, PKI menempuh apa yang disebut dengan “aksi sepihak” untuk “mengembalikan” kepemilikan tanah kepada para petani.

Selain reforma agraria, Sukarno mengusulkan pembentukan “Angkatan Kelima,” yang berisikan rakyat biasa yang dipersenjatai.

Baik reforma agraria, atau aksi sepihak, dan Angkatan Kelima sama-sama membuat militer geram karena menyenggol kepentingan-kepentingan yang selama ini mereka jaga.

Maka, dari situ, tentara dan Washington—pemerintah AS—bersekutu dalam rangka membangun kemitraan antikomunis, seperti yang tertulis dalam buku The Jakarta Method (2020) yang disusun oleh Vincent Bevins.

Indikatornya terlihat, contohnya, melalui pengiriman tentara Indonesia untuk mempelajari taktik operasi, intelijen, dan logistik ke Amerika. Menurut The Jakarta Method, pada tahun 1962, terdapat lebih dari 1.000 tentara yang menuju ke basis militer di AS, mayoritas di Fort Leavenworth, sehubungan dengan kegiatan pelatihan.

Dinamika politik antara TNI, PKI, dan Sukarno berubah menjadi ketegangan dan memuncak pada September 1965 dengan pembunuhan enam perwira tinggi di tubuh militer, salah satunya Ahmad Yani, yang saat itu menjabat Panglima TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Menurut analisa John Roosa dalam Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia (2006), militer lalu bereaksi dengan menjadikan PKI sebagai dalang di balik pembunuhan para jenderal dan turut menuduh mereka hendak mengudeta pemerintahan Sukarno.

Perburuan orang-orang Kiri, serta yang terhubung ke PKI, dijalankan secara besar-besaran tidak lama setelahnya.

Di sinilah CIA—dan Amerika Serikat—punya kontribusi yang tidak sedikit.

Menurut The Jakarta Method, pada Oktober 1965, kantor CIA di Bangkok memasok persenjataan kepada kontak militernya di Jawa Tengah “untuk digunakan melawan PKI,” bersamaan dengan persediaan medis yang akan dikirim dari kantor yang sama.

Tidak cuma senjata dan obat-obatan, CIA memberikan elemen lain yang begitu penting: informasi.

Bevins menulis, “Anda tidak membutuhkan persenjataan yang sangat canggih untuk menangkap warga sipil yang hampir tidak memberikan perlawanan. Namun, bagi tentara [Indonesia], yang benar-benar dibutuhkan adalah informasi.”

Analis CIA membantu pihak Kedutaan Besar AS menyusun daftar yang memuat nama-nama yang termasuk anggota atau diduga PKI. Jumlahnya ribuan. Daftar ini diserahkan kepada tentara sehingga dapat dibunuh dan dicoret, terang Bevins.

Seorang pejabat Kedubes AS di Jakarta mengatakan bahwa daftar itu “benar-benar membantu tentara.”

“Mungkin saya memiliki banyak darah di tangan saya. Tapi, itu bukan hal yang sepenuhnya buruk,” tegasnya.

Bevins menyebutkan bahwa ini adalah kali ketiga sepanjang sejarah saat taktik “pembuatan daftar komunis” dirumuskan oleh intelijen AS dan pejabat kedutaan besar. Yang pertama di Guatemala (1954). Kedua di Iran (1963).

Namun, skala kerusakan di Indonesia melampaui apa yang sudah terjadi di dua negara sebelumnya.

Saskia Wieringa menjelaskan dalam Propaganda and Genocide in Indonesia: Imagined Evil (2018) bahwa distribusi daftar “orang komunis” dibarengi dengan gencarnya militer memproduksi propaganda buruk terhadap PKI; bahwa mereka menyiksa jenderal TNI secara sadis dan telah menyiapkan kuburan massal bagi orang-orang yang akan mereka bunuh.

Wakil Menteri Luar Negeri AS, George Ball, saat 1965 meletus, dilaporkan menghubungi Direktur CIA, Richard Helms, guna menanyakan apakah mereka “berada dalam posisi yang secara tegas dapat menyangkal keterlibatan operasi CIA di Indonesia.”

Seperti yang dituturkan di The Jakarta Method, Helms membalas “ya.”

Dalam sebuah kabel rahasia, CIA mengaku sudah mengetahui sosok Soeharto setidaknya sejak September 1964.

Di situ, CIA menyatakan Soeharto sebagai salah satu jenderal militer yang dianggap “bersahabat” dengan kepentingan AS dan antikomunis. Kabel tersebut juga mengajukan gagasan ihwal koalisi militer dan sipil antikomunis yang mampu merebut kekuasaan dari rezim sebelumnya.

Pembantaian 1965 adalah kemenangan besar untuk AS dan CIA yang kemudian diterapkan dengan akurasi yang kurang lebih serupa di operasi lain, seperti yang terjadi di Chile.

Di Chile, CIA memegang peran krusial dalam menurunkan kekuasaan Salvador Allende dari Partai Sosialis yang berhaluan Kiri. Jargon yang diusung Allende terangkum dalam “La via chilena al socialismo” atau sosialisme Chile.

Amerika tidak suka dengan Allende dan mulai mempreteli pemerintahannya. CIA membikin propaganda dan membiayai politikus Kanan untuk bertarung melawan Allende dalam pemilu.

Tak cukup, CIA bersekutu dengan militer dan memutuskan mengudeta Allende pada September 1973. Posisi Allende digantikan jenderal bernama Augusto Pinochet. Didukung Amerika, rezim Pinochet memberangus semua yang terhubung ke komunis. Ribuan orang hilang, dibunuh, dan dimasukkan penjara.

Peter Dale Scott menjelaskan dalam The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967 (1985) bahwa operasi penyingkiran Allende dikenal dengan “Operation Jakarta,” sebuah metafora dan kode yang dipercaya terinspirasi dari penggulingan Sukarno dan pembantaian massal terhadap kaum kiri pada 1965-1966.

Di Amerika Latin, ujar Bevins, nama “Jakarta” menemukan makna baru. Dia tak lagi dikenal sebatas “ibu kota Indonesia,” tapi juga wajah bagaimana CIA—dan Amerika—menciptakan teror maupun kekerasan kepada kelompok Kiri.

Bevins menuturkan, “Penghancuran PKI, kejatuhan pendiri gerakan Dunia Ketiga [Third World Movement], serta kebangkitan kediktatoran militer antikomunis di Indonesia memicu tsunami politik di hampir setiap sudut dunia.”

“Skala kemenangan gerakan antikomunis dan metode pemusnahan yang kejam di Indonesia lantas mengilhami pembasmian komunis yang sama di berbagai tempat. Itu menjadi bayang-bayang di balik ibu kota Jakarta.”

* Kisah Aldrich Ames, mata-mata CIA yang membocorkan rahasia untuk Uni Soviet
* Dokumen rahasia JFK – Lima hal yang perlu diketahui soal pembunuhan Kennedy dan CIA
* Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI ‘tak akan ubah sejarah’

* Wacana permintaan maaf negara ke Sukarno, sejarawan: ’Pintu masuk meluruskan sejarah G30S dan membebaskan dari trauma masa lalu’
* ‘Apakah kamu ingin pamerkan celana kolorku?’ — Mengapa Bung Karno membongkar rumah Proklamasi yang bersejarah
* ‘Pencabutan’ Tap MPRS 33/1967 menjadi tonggak penting pemulihan nama baik Sukarno, tetapi apa yang masih perlu diluruskan?

* Siapa Sumitro Djojohadikusumo, ayah Presiden Prabowo Subianto?
* Apakah relevan mengaitkan Peristiwa 65 dan Pemberontakan PKI di Madiun 1948?
* Tentara merampas tanah rakyat secara sistematis saat Tragedi 1965 – Dicap komunis, lahannya dipakai berbisnis

* Foto-foto yang disembunyikan jadi saksi peristiwa kekerasan 1965 – Dari pawai meriah PKI hingga dua jenazah tanpa nama
* Pengakuan anak-anak ‘algojo’ pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’
* Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?

* ‘Pikiran saya tak bisa beranjak dari petaka 1965’ – Anak petinggi PKI menanti jawaban di mana ayahnya dikuburkan
* Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
* ‘Madiun 1948 adalah tragedi, saya minta maaf’, upaya rekonsiliasi ‘tokoh PKI’ dan kerabat pesantren di Magetan

Daftar Isi

Ringkasan

Artikel ini membahas jejak kelam CIA di Indonesia, khususnya keterlibatannya dalam berbagai operasi rahasia, dimulai dari dukungan terhadap pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1958 hingga peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966. CIA berusaha menjegal pengaruh Sukarno karena dianggap condong ke blok Timur, bahkan sampai memanipulasi pemilu dan membuat film porno propaganda. Kegagalan di PRRI/Permesta membuat CIA kemudian berperan dalam tragedi 1965 dengan memasok senjata dan informasi kepada militer Indonesia untuk menumpas PKI.

Keterlibatan CIA pada tahun 1965 termasuk memberikan daftar nama anggota atau yang diduga anggota PKI kepada militer, yang kemudian digunakan untuk penangkapan dan pembunuhan. Operasi ini, yang dikenal sebagai “Metode Jakarta,” menjadi model bagi operasi serupa di negara lain, seperti Chile, di mana CIA menggulingkan Salvador Allende. Peristiwa 1965 di Indonesia menjadi kemenangan besar bagi AS dan CIA dalam membendung komunisme, namun meninggalkan luka mendalam dan trauma bagi bangsa Indonesia.

Leave a Comment