Gugat UU Disabilitas, Penyintas Thalassemia Minta Keadilan ke MK

Photo of author

By AdminTekno

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi saksi bisu perjuangan untuk keadilan, khususnya bagi para penyintas kondisi kronis tak tampak. Dalam sebuah sidang penting yang membahas perluasan definisi disabilitas fisik, Fadel Nooriandi, seorang penyintas Thalassemia, hadir sebagai saksi. Kesaksiannya yang penuh empati dan menggugah hati membuka mata publik akan tantangan yang kerap terabaikan.

Sejak usia delapan bulan, hidup Fadel telah diwarnai oleh keharusan menjalani transfusi darah rutin seumur hidup. Kondisi ini adalah konsekuensi dari Thalassemia Mayor, sebuah penyakit genetik yang menghambat tubuh memproduksi hemoglobin secara normal. Namun, di balik perjuangan medis yang tak berkesudahan, ada realita sosial yang jauh lebih berat: diskriminasi, stigma, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan serta pekerjaan yang sering ia hadapi.

Di hadapan majelis hakim MK, Fadel mengungkapkan, “Bagi saya yang paling berat bukan transfusinya.” Ia menekankan bahwa beban terberat adalah terus-menerus harus membuktikan kepada masyarakat bahwa ia tetap mampu beraktivitas normal. Ironisnya, banyak penyintas seperti dirinya ditolak bekerja hanya berdasarkan hasil pemeriksaan medis, atau dianggap tidak kompeten semata-mata karena kondisi fisik mereka yang berbeda. Akibatnya, tak sedikit dari teman-teman penyintas harus putus sekolah, sulit mendapatkan pekerjaan, dan terpaksa berprofesi sebagai wirausaha kecil, pengemudi ojek daring, bahkan berakhir dalam situasi menganggur.

Data dari Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) menguatkan pernyataan Fadel, menunjukkan bahwa hanya sekitar 30 persen penyintas Thalassemia dewasa yang berhasil memiliki pekerjaan tetap. Lebih dari 60 persen bahkan mengalami penolakan di tahap pemeriksaan kesehatan prakerja, menutup pintu kesempatan mereka sebelum sempat bersaing. Tidak hanya di dunia kerja, hambatan serupa juga mencuat di sektor pendidikan, di mana siswa dengan Thalassemia sering dicap tidak disiplin karena keharusan menjalani transfusi rutin di rumah sakit. Namun, di tengah segala tantangan ini, Fadel menegaskan bahwa perjuangan hidup dengan Thalassemia justru telah membentuknya menjadi pribadi yang tangguh dan reflektif.

Dengan suara bergetar, Fadel berucap, “Saya tumbuh di antara jarum transfusi dan tatapan stigma.” Namun, setiap kali rasa lemah menyergap, ia teringat akan teman-teman seperjuangan yang telah berpulang. Mereka pernah berbagi ruang transfusi, saling menguatkan, berbagi rasa takut, dan harapan. “Kini, hanya nama mereka yang tersisa,” lanjut Fadel, menyoroti memori pahit sekaligus motivasi mendalam di balik perjuangannya.

Fadel menegaskan bahwa perjuangan ini jauh melampaui kepentingan pribadinya; ini adalah upaya untuk memastikan generasi Thalassemia selanjutnya tidak kehilangan hak atas pendidikan dan pekerjaan hanya karena kondisi kronis tak tampak yang mereka sandang. Ia secara tegas mendorong agar regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas secara eksplisit mencakup kondisi kronis tak tampak sebagai bagian integral dari definisi disabilitas. “Negara harus hadir untuk memastikan keadilan yang setara bagi semua warga,” pungkas Fadel, menyerukan agar para penyintas kondisi kronis tidak lagi diperlakukan berbeda di sekolah, tempat kerja, maupun di tengah masyarakat luas.

Leave a Comment