
Wacana pengangkatan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional menuai kritik tajam dan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa usulan ini berpotensi besar mengakhiri cita-cita luhur reformasi yang lahir dari penjatuhan Soeharto dari kekuasaan.
“Upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah suatu bentuk pengkhianatan terbesar atas mandat rakyat sejak 1998. Jika usulan ini terus dilanjutkan, reformasi berpotensi berakhir di tangan pemerintahan Prabowo,” ungkap Usman Hamid dalam keterangannya pada Jumat (24/10), menyoroti potensi kemunduran dalam upaya penegakan keadilan dan hak asasi manusia di Indonesia.
Menurut Usman, pengusulan gelar ini bukan sekadar insentif, melainkan sebuah langkah sistematis yang terencana untuk membersihkan citra buruk rezim Orde Baru. Rezim yang selama ini dikenal sarat dengan praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), serta berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sistematis dan meluas.
Selama 32 tahun masa kepemimpinannya, Soeharto telah menjalankan kekuasaan secara otoriter. Rezim Orde Baru yang dipimpinnya secara nyata mengekang kebebasan berekspresi, membungkam suara-suara oposisi, dan menormalisasi pelanggaran HAM secara sistematis. Kebijakan ini meninggalkan luka mendalam bagi banyak pihak.
Usman Hamid secara tegas menyatakan bahwa pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja dengan mengabaikan penderitaan tak terhingga yang dialami para korban dan keluarga mereka. Hingga kini, para korban dari beragam peristiwa kelam tersebut masih menantikan keadilan yang tak kunjung datang.
Amnesty International Indonesia mencatat berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah kekuasaan Soeharto. Daftar kelam ini mencakup pembantaian massal 1965–1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982–1985, tragedi Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan yang merajalela di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga kasus penghilangan paksa aktivis 1997–1998 yang masih menyisakan misteri.
“Negara telah mengakui peristiwa-peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat, baik melalui Ketetapan MPR pada awal reformasi maupun pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada Januari 2023. Namun, hingga kini, tidak satu pun aktor utama termasuk Soeharto yang dimintai pertanggungjawaban,” tutur Usman, menyoroti inkonsistensi antara pengakuan negara dan proses penegakan hukum.
Maka dari itu, Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah untuk mengalihkan fokus dari pemberian penghargaan kepada pihak yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Sebaliknya, pemerintah diminta untuk lebih serius dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, baik melalui jalur yudisial maupun non-yudisial, demi tegaknya keadilan bagi para korban.
“Kami mengecam dan menolak pengusulan Soeharto sebagai pahlawan. Pemerintah harus mengeluarkan Soeharto dari daftar nama-nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional. Hentikan upaya pemutarbalikkan sejarah ini,” tegas Usman, menyerukan agar sejarah tidak dipolitisasi dan fakta tetap ditegakkan.
Informasi mengenai usulan ini berawal ketika Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menyerahkan dokumen berisi daftar 40 nama calon pahlawan nasional kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang juga menjabat Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), pada Selasa (21/10). Secara mengejutkan, nama Presiden ke-2 RI Soeharto termasuk dalam daftar tersebut.
Selain Soeharto, daftar panjang itu juga mencakup beberapa tokoh penting lainnya. Di antaranya adalah aktivis buruh Marsinah, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan Menteri Pertahanan Keamanan M. Jusuf, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Sejumlah ulama berpengaruh juga diusulkan, seperti Syaikhona Muhammad Kholil dari Bangkalan, KH Bisri Syansuri, dan KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang.
Daftar 40 nama calon pahlawan nasional ini merupakan hasil sidang tim GTK dan selanjutnya akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk diputuskan lebih lanjut. Proses penetapan pahlawan nasional ditargetkan akan rampung sebelum peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November mendatang, menambah sorotan publik terhadap keputusan final pemerintah.