Laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah mengungkap sebuah fakta mengejutkan: gletser di seluruh dunia, di luar lapisan es Greenland dan Antarktika, diperkirakan telah kehilangan 450 miliar ton es pada tahun 2024. Angka fantastis ini setara dengan sebuah blok es raksasa setinggi 7 kilometer yang cukup untuk mengisi 180 juta kolam renang berstandar Olimpiade. Perlu diketahui, satu kolam renang Olimpiade sendiri mampu menampung hingga 2,5 juta liter air, menggambarkan betapa masifnya volume es yang hilang tersebut.
Fenomena pencairan gletser ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah realitas pahit yang disaksikan langsung oleh para ahli. Matthias Huss, seorang peneliti terkemuka, menggambarkan krisis iklim ini melalui kenangan pribadinya. Tiga puluh lima tahun lalu, saat ia pertama kali mengunjungi Gletser Rhône di Swiss, hamparan es tersebut hanya berjarak beberapa langkah dari tempat orang tuanya memarkir mobil. Namun, pemandangan itu kini jauh berbeda; es tersebut harus ditempuh selama setengah jam berjalan kaki dari titik parkir yang sama. “Setiap kali saya kembali, saya masih ingat betul bagaimana gletser itu terlihat saat saya masih anak-anak,” tutur Huss, yang kini menjabat sebagai Direktur Pemantauan Gletser di Swiss (GLAMOS).
Data terbaru dari GLAMOS minggu ini semakin mempertegas perubahan drastis yang disaksikan Huss. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa gletser di Swiss telah kehilangan seperempat dari total massanya hanya dalam sepuluh tahun terakhir. Huss sendiri mengakui, “Sangat sulit untuk memahami sejauh mana pencairan ini,” menggarisbawahi skala kehancuran yang terjadi.
Kisah pilu mengenai pencairan gletser ini tak hanya terjadi di Swiss. Fenomena serupa melanda banyak gletser di seluruh dunia, mengubah sungai-sungai es beku menjadi aliran air yang meluruh dengan cepat, jauh berbeda dari kondisi beberapa dekade lalu. “Gletser mencair di seluruh dunia,” tegas Profesor Ben Marzeion dari Institut Geografi Universitas Bremen. “Mereka berada dalam iklim yang sangat tidak ramah saat ini karena pemanasan global.”
Kenyataan ini pun terekam jelas melalui berbagai dokumentasi visual. Foto-foto, baik dari ruang angkasa maupun darat, menunjukkan transformasi dramatis yang terjadi. Gambar satelit Gletser Rhône, misalnya, memperlihatkan perubahan signifikan sejak tahun 1990—periode di mana Huss pertama kali mengunjunginya. Kini, bagian depan gletser tersebut dihiasi oleh sebuah danau es, menjadi bukti nyata dampak perubahan iklim.
Para glasiolog di Pegunungan Alpen sempat menganggap laju pencairan es sebesar 2% dalam setahun sebagai “sesuatu yang ekstrem”. Namun, angka tersebut kini terasa kecil dibandingkan dengan realitas yang terjadi pada tahun 2022, di mana es yang mencair di Swiss mencapai hampir 6% dari total massa yang tersisa dalam satu tahun. Laju pencairan gletser ini kian signifikan pada tahun 2023, 2024, dan 2025. Profesor Regine Hock, seorang glasiolog dari Universitas Oslo yang telah mengamati Pegunungan Alpen sejak tahun 1970-an, menyatakan, “Apa yang kita lihat sekarang adalah perubahan yang sangat besar dalam beberapa tahun terakhir.”
Beberapa contoh nyata menunjukkan betapa seriusnya situasi ini:
Gletser Clariden di Swiss timur laut, yang dulunya relatif stabil hingga akhir abad ke-20—dengan jumlah es yang terbentuk seimbang dengan yang mencair—kini mengalami pencairan masif di abad ini.
Bagi gletser-gletser kecil, seperti Gletser Pizol di Pegunungan Alpen Swiss bagian timur laut, dampak dari pencairan ini sangatlah fatal. “Ini adalah salah satu gletser yang saya amati, dan sekarang sudah hilang sepenuhnya. Ini benar-benar membuat saya sedih,” kenang Huss.
Rekaman visual dan data historis juga memberikan perspektif yang lebih luas. Gletser Gries, di selatan Swiss dekat perbatasan Italia, telah mundur sekitar 2,2 kilometer dalam seratus tahun terakhir. Lokasi yang dulunya merupakan ujung gletser kini digantikan oleh sebuah danau gletser yang luas.
Di bagian tenggara Swiss, Gletser Pers yang dulu mengalir menyatu dengan Gletser Morteratsch yang lebih besar, kini telah terpisah sepenuhnya.
Bahkan Gletser Aletsch Besar, gletser terbesar di Pegunungan Alpen, telah menyusut sekitar 2,3 kilometer dalam 75 tahun terakhir. Area yang sebelumnya tertutup es kini ditumbuhi pepohonan, menandai perubahan ekosistem yang tak terhindarkan.
Secara alami, gletser memang mengalami siklus perluasan dan penyusutan yang berlangsung selama jutaan tahun. Pada periode pendinginan antara abad ke-17 hingga ke-19, yang dikenal sebagai bagian dari Zaman Es Kecil, gletser secara teratur meluas. Perluasan ini bahkan dianggap sebagai kutukan spiritual dalam mitologi Alpen, karena mengancam pemukiman dan lahan pertanian warga. Tak heran jika ada kisah tentang penduduk desa yang memanggil pendeta untuk “berbicara” dengan roh gletser agar mereka kembali ke puncak gunung.
Namun, pola penyusutan gletser mulai berubah sekitar tahun 1850 di Pegunungan Alpen, bertepatan dengan era industrialisasi yang masif, di mana pembakaran batu bara sebagai sumber bahan bakar mulai memanaskan atmosfer Bumi. Meskipun gletser secara inheren dapat berubah secara alami, laju pencairan yang sangat cepat selama 40 tahun terakhir jelas bukan merupakan fenomena alami. Para ahli sepakat, tanpa campur tangan manusia yang memicu pemanasan global melalui pembakaran bahan bakar fosil dan pelepasan emisi karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar, gletser kemungkinan besar akan tetap relatif stabil. “Kita hanya bisa menjelaskannya jika memperhitungkan emisi CO2,” tegas Prof Marzeion, menegaskan peran krusial aktivitas manusia dalam krisis ini.
Sayangnya, kekhawatiran terbesar terletak pada fakta bahwa butuh puluhan tahun bagi massa es ini untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim yang telah terjadi. Ini berarti, bahkan jika suhu global berhasil distabilkan esok hari, gletser akan tetap terus mencair. “Sebagian besar pencairan gletser di masa depan sudah telanjur terjadi. Perubahan iklim lebih cepat,” jelas Prof Marzeion, menyoroti momentum yang telah terbentuk.
Sebuah penelitian yang akan diterbitkan pada tahun 2025 di jurnal Science mengungkapkan skenario yang mengkhawatirkan sekaligus memberikan harapan: setengah dari es yang tersisa di gletser pegunungan di seluruh dunia masih dapat dipertahankan jika pemanasan global berhasil dibatasi hingga 1,5°C. Namun, dengan tren pemanasan saat ini yang mengarah pada sekitar 2,7°C, potensi hilangnya tiga perempat es di dunia menjadi ancaman nyata.
Konsekuensi dari pencairan es ini sangat luas. Air lelehan tersebut akan menambah volume air di sungai dan pada akhirnya mengalir ke lautan, menyebabkan kenaikan permukaan laut yang mengancam populasi pesisir di seluruh dunia. Tak hanya itu, masyarakat pegunungan yang selama ini bergantung pada gletser sebagai sumber air tawar utama mereka juga akan merasakan dampak yang sangat mendalam.
Gletser sejatinya berfungsi layaknya bendungan raksasa alami, menampung air dalam bentuk salju yang kemudian membeku menjadi es selama periode dingin dan basah. Air ini kemudian dilepaskan sebagai air lelehan selama periode hangat, berperan penting dalam menstabilkan aliran sungai, terutama di musim panas yang kering. Oleh karena itu, hilangnya sumber air krusial ini akan menimbulkan efek domino bagi kehidupan. Masyarakat bergantung pada air lelehan gletser untuk berbagai keperluan, mulai dari irigasi pertanian, pasokan air minum, pembangkit listrik tenaga air, hingga mendukung lalu lintas kapal.
Meskipun Swiss merasakan dampak signifikan, tantangan ini jauh lebih mendalam di pegunungan tinggi Asia, yang dijuluki “Kutub Ketiga” karena volume esnya yang masif. Di wilayah ini, sekitar 800 juta orang bergantung pada air lelehan gletser, khususnya untuk kebutuhan pertanian mereka. Contohnya adalah cekungan sungai Indus bagian atas, yang mengairi wilayah-wilayah penting di Tiongkok, India, Pakistan, dan Afghanistan. Di daerah dengan musim panas yang lebih kering, air lelehan es dan salju bisa menjadi satu-satunya sumber air yang signifikan selama berbulan-bulan. “Di situ, kita melihat kerentanan terbesar. Itu menyedihkan,” ungkap Prof Hock, menyiratkan krisis kemanusiaan yang membayangi.
Lantas, bagaimana kita dapat menjaga masa depan gletser di dunia yang kian memanas ini? Jawabannya terletak pada tindakan kolektif. “Jika Anda mengurangi karbon dan jejak karbon, Anda dapat melestarikan gletser,” pungkas para ahli. Ini adalah pengingat bahwa kita, sebagai manusia, memegang kunci untuk menentukan nasib gletser dan, pada akhirnya, masa depan planet kita.
- Gletser-gletser di dunia mencair lebih cepat akibat perubahan iklim
- Perubahan iklim: Tak ada lagi gletser di Taman Nasional Lorentz Papua pada 2050, apa dampaknya bagi masyarakat setempat?
- Jasad pendaki bertato dari 5.000 tahun lampau dan perempuan bersepatu aneh – Kisah-kisah yang terungkap saat gletser mencair
- Perubahan iklim: Tak ada lagi gletser di Taman Nasional Lorentz Papua pada 2050, apa dampaknya bagi masyarakat setempat?
- Perubahan iklim: Gletser meleleh, ribuan ton bakteri merebak ke lingkungan
- Suara gletser mencair di Islandia ungkap isu perubahan iklim
- Suara gletser mencair di Islandia ungkap isu perubahan iklim
- Pemandangan desa di Swiss yang terkubur longsor gletser akibat perubahan iklim
- Di balik foto kawanan anjing yang berlari di atas lautan es Greenland yang mencair