
Para akademisi dan aktivis menilai usulan gelar pahlawan nasional untuk Marsinah dan Soeharto secara bersamaan sebagai “upaya transaksional dan manipulasi sejarah” untuk “menutup pintu keadilan” dan “menghapus dosa rezim” terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Peneliti Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif, Ruth Indiah Rahayu, menilai pengusulan Marsinah sebagai pahlawan nasional merupakan cara lain dari pemerintah agar publik bisa menerima pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Padahal, kasus pembunuhan Marsinah terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Pemerintah pada masa itu dituduh tidak serius dalam mengusut tuntas kasusnya. Bahkan, pemerintah saat itu diduga terlibat dalam upaya rekayasa persidangan yang menghasilkan pembebasan para terdakwa di tingkat kasasi.
“Sekarang, [Soeharto] disandingkan dengan Marsinah. Ingat, kasus pembunuhannya belum ada keadilan, belum diakui negara. Kok tiba-tiba dikasih gelar kepahlawanan? Keadilannya dulu. Ini kan manipulatif, untuk membius massa, memanipulasi kesadaran massa,” kata Ruth.
“Seolah-olah negara sudah adil. Ada Soeharto sebagai penguasa dan juga Marsinah yang disebut korban. Ini manipulasi politik dan manipulasi sejarah yang sangat luar biasa,” cetusnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan: “Ini seperti jalur melingkar dengan menjadikan Marsinah pahlawan baru kemudian Soeharto. Ini sekaligus jalan pintas untuk menutup kasus Marsinah.”
Damairia Pakpahan yang merupakan aktivis perempuan, buruh, dan hak asasi manusia, melihat cara pemerintah memandang pengusulan gelar pahlawan kepada Marsinah dan Soeharto sebagai “rekonsiliasi”.
“Tapi yang kita mau kan kebenarannya. Kalau tidak begitu, sejarah bangsa ini semakin kabur nanti dan tidak jujur,” ucap Damairia.

Nama Soeharto sudah berulang kali diusulkan sebagai pahlawan nasional sejak 2010. Akan tetapi, hal itu tidak terpenuhi karena Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Namun pada 2024, usulan ini kembali berembus diikuti pencabutan nama Soeharto yang termaktub pada Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Pada Maret 2025, Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) resmi mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Marsinah diajukan memperoleh gelar pahlawan baru pada Mei 2025 usai Presiden Prabowo Subianto menyatakan dalam pidatonya, “Kalian berembuk usul dari kaum buruh bagaimana [misalnya] Marsinah? Asal pimpinan buruh sepakat saya akan dukung Marsinah jadi pahlawan nasional.”
Secara terpisah, Menteri Sosial Syaifullah Yusuf tetap berpegang bahwa nama-nama yang diusulkan telah memenuhi syarat. “Lewat penelitan dan pengkajian. Kab/kota, provinsi dan tim kemensos.”
Ada 40 nama yang diusulkan menjadi pahlawan nasional. Segelintir baru diajukan pada 2025, termasuk Marsinah. Sebagian besar merupakan usulan yang tertunda, seperti Presiden kedua, Soeharto, yang diajukan sejak 2010.
Selain keduanya, ada Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.
Upaya populis pemerintahan Prabowo?
Wahyu Susilo, adik aktivis Wiji Thukul yang hilang pada 1998, menyampaikan kemunculan nama Marsinah sebagai usulan salah satu pahlawan nasional memang merupakan jawaban saat Hari Buruh pada Mei 2025. Namun pesan kuat yang tertangkap dalam jawaban itu adalan upaya populis Prabowo untuk mendapat dukungan dari kelompok buruh.
“Dia ingin dicitrakan sebagai pemimpin populis yang proburuh, berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Tapi, ia tidak mau diungkit masa lalunya. Ini persis cara sebelum-sebelumnya dengan merangkul korban penculikannya karena tidak mau dosa dalam penculikan diungkap,” ucap Wahyu.
Wahyu berkata, pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan beban politik Prabowo karena dia merupakan bagian dari pemerintahan era Soeharto.
Militer yang merupakan latar belakang Prabowo juga menjadi bagian utama dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang menimpa Marsinah dan Wiji Thukul yang hingga kini tak diketahui rimbanya.
Baca juga:
- Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?
- Serangan Umum 1 Maret 1949 dan wawancara Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada BBC Seksi Indonesia tentang ‘siapa penggagas serangan’
- Soeharto ‘koordinir’ operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
Wiji Thukul merupakan sosok yang kritis dan aktif membela hak kaum marjinal, baik melalui aksi maupun karya seninya berupa puisi. Pascaperistiwa 27 Juli 1996, Wiji yang dituding sebagai salah satu dalang peristiwa itu diburu rezim Orde Baru.
Wiji berpindah-pindah kota demi menghindari aparat. Wahyu pun turut membantu melindungi kakaknya yang butuh tempat persembunyian. Saat itu, Wahyu sudah berada di Jakarta dan bergabung dengan Solidaritas Perempuan untuk membela buruh migran.
“Sangat tidak pantas Soeharto menjadi pahlawan. Soeharto bertanggung jawab atas kasus pelanggaran HAM masa lalu termasuk kasus penghilangan paksa,” ucap Wahyu.
“Pemahlawanan Soeharto adalah bentuk dari politik impunitas rezim Prabowo yang menegasikan pelanggaran HAM masa lalu,” tambahnya.

Ketua bidang pendidikan Indoprogress Institute for Social Research and Education (IISRE), Ruth Indiah Rahayu, menyatakan apa yang dilakukan rezim saat ini dengan mengusung Marsinah sebagai pahlawan seperti “gula-gula” karena keadilan yang semestinya diberikan justru tidak diupayakan.
Baginya, hal yang dilakukan rezim Prabowo ini menyalahi prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran HAM yang semestinya mengedepankan keadilan transisional.
Syarat utama dari keadilan transisional, kata Ruth, adalah pengungkapan kebenaran dari para korban atas apa yang mereka alami. Selanjutnya, ada proses yudisial yang berkaitan dengan pengadilan terhadap pelaku, meski pelakunya sudah meninggal tetap mungkin dilakukan.
Kemudian, proses rehabilitas atau reparasi untuk mengembalikan nama baik dan menghapus stigma pada korban. Hal ini dialami korban dan keluarganya, baik pada tragedi 1965, Talang Sari, dan kasus pelanggaran HAM lainnya. Lalu, adanya pemulihan terhadap hak-hak para korban dan keluarganya yang selama ini ikut dihilangkan.
“Ini sudah digagas setelah reformasi. Kemudian, zaman Gus Dur undang-undangnya dibuat terkait KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) tapi dianulir. Nah, katanya mau kembali dibahas di DPR tapi saya juga enggak tahu dengan situasi sekarang,” kata Ruth.
Menurut dia, proses keadilan transisional melalui mekanisme KKR ini di seluruh dunia merupakan syarat menuju demokrasi, bukan semata-mata langsung masuk pada pemilihan umum secara langsung. “Ini kan kita melompat. Akibatnya yang terpilih kan juga orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu.”
Ia pun menyinggung, cara “gula-gula” semacam ini berulang kali digunakan rezim. Selain merangkul korban penculikan, Prabowo pernah mengundang keluarga korban orang hilang dengan dalih silaturahmi lalu memberikan uang yang diduga mencapai Rp1 miliar.
Joko Widodo juga pernah membuat program Program Penyelesaian HAM (PPHAM) dengan memberikan bantuan uang pada korban dan keluarganya yang kemudian disebut sebagai penyelesaian non-yudisial yang sudah disepakati. Ruth menegaskan itu menyalahi prosedur keadilan transisional.
“Sekarang kasus Marsinah. Sepanjang reformasi ini, proses yudisial dan pengadilan kepada para pelaku pasti dihindari karena rezim yang berkuasa ini semua adalah rombongan para pelaku,” ujar Ruth.

Secara terpisah, Damairia Pakpahan yang pada era Orde Baru aktif di Solidaritas Perempuan dan turut memperjuangkan pengungkapan kasus Marsinah, berkata tindakan pemerintah saat ini makin menebalkan penggunaan kekuasaan dalam mengambil kebijakan.
“Mereka tidak memakai logika, pakainya kekuasaan,” ucap Damairia ketika menjawab mengenai penempatan Marsinah dan Soeharto sebagai pahlawan.
Ia menambahkan, pemerintah akan mengklaim telah bertindak sesuai syarat karena para pelaku pernah diadili. Padahal yang diadili adalah pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.
Pemilik perusahaan yang menjadi tempat Marsinah bekerja, Yudi Susanto, mengungkap pengakuannya sebagai pelaku karena dipaksa dan disiksa saat ditahan di Kodim V Brawijaya.
“Bahkan dibuat skenario yang ngaco, yang enggak mutu. Rezim akan membuat sendiri ceritanya agar tidak sampai pada kebenaran faktanya,” ujar Damairia.
Ini sejalan dengan apa yang terungkap dalam buku Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan. Secara umum, ada tiga versi asumsi motif yang dikemukan polisi:
- Pertama, berkaitan dengan perebutan warisan keluarga di Surabaya. Versi pertama langsung mentah karena Marsinah datang dari keluarga miskin dan tidak ada harta yang diwariskan, apalagi diperebutkan.
- Kedua, alasan klasik cinta segitiga. Marsinah disebut sudah menikah tapi pisah ranjang dan kemudian berselingkuh sehingga suaminya cemburu buta dan membunuh Marsinah. Asumsi ini juga gugur karena siapa suami dan “pria lain” tidak pernah ditemukan disertai kesaksian dari pemilik kos yang ditempati Marsinah.
- Ketiga, kaitan dengan demonstrasi dan aksi mogok kerja pada 3-4 Mei 1993 yang kemudian hanya direduksi menjadi persoalan buruh dengan pemilik usaha saja.
Pada masa itu, militer bisa menyeruak masuk dalam berbagai urusan, termasuk urusan perusahaan apalagi berkaitan dengan unjuk rasa buruh. Sering kali pemilik perusahaan juga meminta militer turun dengan alasan penertiban umum.
Namun dalam kasus Marsinah, pemilik perusahaan dan jajaran manajemen yang sempat bekerja sama dengan miiter malah ditahan dan disiksa untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan Marsinah.
“Cara rezim militeristik bekerja saat itu adalah ‘kamu tidak tunduk ya harganya nyawa’. Kalau dipikir, Marsinah ini demo kok sampai harus mati dan disiksa. Sampai ada yang ke Koramil dan Kodim setelah unjuk rasa buruh itu,” kata Damairia.
“Jadi, hati-hati karena sekarang ini bisa dibilang bangkitnya neo-Orba dan Soehartoisme. Apalagi yang berkuasa bagian dari rezim saat itu juga.”
Bagaimana gerakan buruh dan perempuan pada masa Orde Baru?
Ruth Indiah Rahayu yang mendalami mengenai sejarah gerakan, terutama gerakan buruh dan perempuan, melihat Marsinah merupakan perintis pejuang buruh perempuan. Sebab, saat itu tantangannya sangat berat berhadapan dengan tekanan dari rezim Orde Baru pimpinan Soeharto yang tidak segan menindas pihak yang bertentangan dengan aturannya.
Industrialisasi berkembang pesat di Indonesia pada 1970-an, tapi gerakan yang berkaitan dengan serikat kerja baru muncul pada 1980-an.
“Melawan dalam arti melawan eksploitasi yang dialami buruh itu muncul pada 1980-an. Kemudian gerakan feminis, gerakan mahasiswa melawan militerisme, pembangunanisme, dan kejahatan lainnya yang berupa pelanggaran HAM ini ada pada 1980-an.”
Baca juga:
- Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’
- Dari 1965 hingga slogan ‘piye kabare enak jamanku toh’: Suharto dibenci, Suharto dirindukan
- 20 tahun reformasi: Lini masa foto dan video BBC sejak Soeharto berkuasa hingga jatuh
Memasuki dekade 1990-an, aksi unjuk rasa dan mogok kerja ini makin marak karena kondisi makin tidak layak yaitu beban kerja dan upah tidak sepadan. Permasalahan perempuan mulai diangkat, misal mengenai jam lembur, cuti haid, cuti hamil, hingga promosi posisi yang diatur juga dalam konvensi Organisasi Buruh Internasional.
Hal ini pula yang dilakukan Marsinah bersama rekan perempuannya Mutmainah, dan rekan buruh lainnya. Selain memperjuangkan upah layak, uang lembur, tunjangan hari raya, dan uang makan, mereka menuntut hak cuti haid dan cuti hamil dengan kompensasinya.
Saat itu, tidak punya perempuan yang berani bersuara karena labelisasi negatif terhadap perempuan yang tidak mau tunduk. Namun, Marsinah berani sehingga kemudian menerima represi. Pada masa itu, represi melalui militer kerap dilakukan. “Dalihnya tentara kan menjaga keamanan.”
Berbagai gerakan, kata Ruth, juga menghadapi persoalan yang serupa mengenai represi. Namun, gerakan buruh menghadapi stigma sebagai PKI. Alasannya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berdiri pada 1946 terafiliasi PKI dan menjadi organisasi sayap.
Meski pada 1966 kelompok ini dibubarkan, gerakan buruh yang merekah pada 1990-an kemudian dilabeli berhubungan dengan PKI. “Bahkan Marsinah pun juga dicap PKI bersama teman-temannya. Apalagi perempuan juga dicap Gerwani.”

Alex Supartono dalam buku Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan menuliskan dari kumpulan kesaksian. Salah satunya: Seorang petugas Koramil lalu berkata pada para buruh ini, “Kalian menghalangi niat baik orang untuk bekerja! Itu sabotase! Itu cara-cara PKI!”
Pengakuan buruh yang dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan saat memenuhi panggilan di Kodim 0816 Sidoarjo juga menyebut tudingan PKI kepada para buruh.
Salah satunya berasal dari M. Yasin: “Kami semua di sini dituduh sebagai dalang pemogokan dan kami juga dituduh telah melakukan rapat gelap, mengadakan sabotase, mengadakan intimidasi. Serta juga dikatakan/caci maki sebagai organisasi terlarang PKI.”
Baca juga:
- Penulisan ulang sejarah Indonesia – Rawan dijadikan alat legitimasi, meminggirkan perempuan dan sejarah Papua
- Suharto, suara dari Timur: antara ‘diktator sukses’ dan ‘penindas kejam’
- Tentara merampas tanah rakyat secara sistematis saat Tragedi 1965 – Dicap komunis, lahannya dipakai berbisnis
Represi buruh dan stigma terhadap buruh langgeng berjalan pada era Soeharto, menurut para aktivis dan sejarawan. Tidak hanya itu, sejumlah pelanggaran HAM terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut oleh sebagian pihak sebagai bapak pembangunan.
“Soeharto disebut berhasil dalam pembangunan. Oh salah besar, Soeharto sebagai pejahat kemanusiaan belum masuk mekanisme yudisial keadilan transisional sehingga tidak patut mendapatkan gelar kepahlawanan,” tutur Ruth.
Sebutan kejahatan kemanusiaan ini disematkan karena sepanjang 32 tahun menjadi presiden, banyak peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan militer di bawah kendalinya selain kasus Marsinah dan Munir, seperti: Tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumoh Geudong Aceh 1989, Penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Wasior & Wamena, hingga Jambu Keupok.
Deretan peristiwa pelanggaran HAM ini banyak yang belum melalui mekanisme yudisial. Soeharto yang juga patut bertanggungjawab tidak pernah diadili.
Bahkan untuk kasus korupsi terkait dugaan penyelewengan dana yayasan Supersemar yang merugikan negara hingga Rp11,5 triliun, gugatan terhadap Soeharto pada 2000 akhirnya dihentikan pada 2006 karena yang bersangkutan telah meninggal.
Siapa Marsinah yang diusulkan jadi pahlawan?
Marsinah merupakan aktivis buruh yang meninggal pada usia 24 tahun karena dibunuh secara sadis pada 8 Mei 1993. Lebih dari tiga dekade berselang, aktor intelektual pembunuhannya tidak pernah terungkap
Ia bekerja sebagai buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, Jawa Timur kala itu. Seraya bekerja, perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur ini selalu aktif membela hak-hak buruh.
Beberapa hari sebelum berpulang, Marsinah ikut dalam aksi mogok kerja yang berlangsung pada 3-4 Mei 1993 sekaligus menjadi perwakilan buruh PT CPS bersama 23 rekan lainnya.
Melalui aksi mogok ini, para buruh menuntut upah layak, bayaran lembur, jaminan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan dan pesangon, hingga jaminan upah ketika cuti haid dan cuti hamil.
Kesepakatan tercapai pada hari kedua aksi mogok. Akan tetapi, sebagian buruh justru dipanggil ke Markas Kodim 0816 Sidoarjo.
Pada 5 Mei 1993, Marsinah bersama rekan-rekannya berupaya agar mereka yang dipanggil bisa dipulangkan. Mereka pulang setelah dipaksa mengundurkan diri.
Namun justru Marsinah yang tidak pernah kembali setelah terakhir terlihat pada tanggal tersebut sekitar pukul 21.30 WIB.
Jasadnya ditemukan Jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, pada 9 Mei 1993. Akan tetapi, hasil visum menunjukkan waktu kematiannya terjadi sehari sebelum ditemukan.
Penyebab kematian Marsinah adalah akibat tusukan benda runcing. Ia diculik, disiksa, dan diperkosa hingga berujung kematian, mengacu pada visum RSUD Kabupaten Nganjuk.
Dugaan kuat, ada keterlibatan aparat TNI dalam kematiannya. Polisi yang kemudian turun tangan berspekulasi mengenai motif pembunuhan dengan berbagai macam versi. Pegiat HAM menaruh curiga terhadap arah penyelidikan polisi.
Keterkaitan dengan unjuk rasa dan pemogokan pada 3-4 Mei 1993 pun menjadi motif terkuat dari pembunuhan Marsinah. Yudi Susanto, pemilik PT CPS dijadikan tersangka dan divonis 17 tahun penjara. Namun, Yudi dibebaskan Mahkamah Agung lewat kasasi.
Kuasa hukum Trimoelja D. Soerjadi membongkar peradilan sesat terhadap kasus Marsinah yang mengkambinghitamkan sejumlah orang sebagai pelaku melalui rekayasa oknum Kodim.
Kasus pembunuhan Marsinah kemudian menjadi isu internasional, hingga dijadikan catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Pada 1996, tim independen dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap beberapa bukti dalam kasus pembunuhan Marsinah.
Temuan itu menunjukkan polisi telah membuat beberapa kesalahan dalam penyelidikan, termasuk penempatan barang bukti yang salah. Salah satunya, hasil visum kedua menyimpulkan Marsinah meninggal karena tembakan.
Hingga kini, kebenaran dan keadilan bagi penerima penghargaan Yap Thiam Hien ini masih gelap. Walau demikian, pemerintah berkeras mengusulkan untuk memberinya gelar pahlawan.
- Prabowo janji dukung Marsinah jadi pahlawan nasional di hadapan ribuan buruh – Siapa Marsinah dan mengapa dia dibunuh?
- Keluarga korban penculikan 97-98 diklaim diberi ‘uang Rp1 miliar’ oleh petinggi Gerindra – ‘Upaya sistematis menutup pertanggungjawaban Prabowo’
- Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus – Tiga hal yang perlu diketahui tentang Orde Baru dan sepak terjangnya
- Prabowo janji dukung Marsinah jadi pahlawan nasional di hadapan ribuan buruh – Siapa Marsinah dan mengapa dia dibunuh?
- ‘Bapak pembangunan’ dan pelanggar HAM – Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?
- Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran