Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menegaskan kepada para kepala daerah mengenai pentingnya dukungan terhadap program strategis nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah menjadi sorotan. Ketidakpatuhan terhadap arahan ini, menurut Tito, dapat berujung pada sanksi, bahkan pemberhentian oleh Presiden Prabowo Subianto.
Ancaman yang dilontarkan Tito ini menuai kritik. Beberapa pakar hukum menilai, tindakan ini mencerminkan pendekatan militeristik dalam pemerintahan Prabowo. Kekhawatiran muncul bahwa kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat kini hanya berfungsi sebagai pelaksana kegiatan atau *event organizer* belaka.
“Jika pemberhentian kepala daerah hanya didasarkan pada penilaian subjektif pemerintah pusat, ini sangat berbahaya,” tegas Herdiansyah Hamzah, seorang ahli hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang.
Egi Primayogha, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menambahkan bahwa upaya pemerintah pusat untuk menjalankan program strategis dengan dukungan penuh dari kepala daerah berpotensi mengabaikan kepentingan masyarakat.
Berkaca pada pengalaman satu dekade terakhir, Egi mengungkapkan bahwa banyak program dan proyek strategis yang ditetapkan pemerintah pusat justru merampas ruang hidup masyarakat dan merusak lingkungan.
“Seharusnya, kepala daerah tidak berhenti menyuarakan masalah yang timbul akibat kebijakan pemerintah pusat, karena dampaknya sudah terbukti merugikan warga,” imbuhnya.
Lantas, ancaman apa yang sebenarnya dilontarkan Tito kepada para kepala daerah? Benarkah kepala daerah dapat dicopot jika dianggap tidak mendukung program strategis nasional?
Tito Karnavian dengan tegas menyatakan, “Program strategis nasional wajib didukung oleh kepala daerah. Ada sanksi jika tidak mendukung,” ujarnya di Jatinangor, Jawa Barat, pada Selasa (28/10).
“Jika program strategis nasional tidak berjalan karena kepala daerahnya, maka kepala daerah bisa diberhentikan,” lanjutnya.

Pernyataan ini disampaikan Tito dalam forum yang mempertemukan para sekretaris daerah dan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) se-Indonesia.
Tito merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang 23/2014 sebagai dasar hukum pernyataannya.
Berdasarkan aturan yang disahkan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, kepala daerah yang dianggap tidak menjalankan program strategis nasional dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Dalam Negeri berupa teguran tertulis.
Jika setelah dua teguran tertulis, kepala daerah tetap dianggap tidak melaksanakan program strategis nasional, maka ia dapat diberhentikan sementara selama tiga bulan oleh Menteri Dalam Negeri.
Sanksi terberat adalah pemberhentian secara permanen dari jabatan kepala atau wakil kepala daerah.
“[Pemberhentiannya] tidak perlu menunggu DPRD,” klaim Tito. “Mekanismenya bisa langsung berjalan melalui Kemendagri,” tegasnya.
Perlu dicatat, ini bukan kali pertama Tito mengingatkan para kepala daerah mengenai program strategis nasional, termasuk ancaman yang dapat dijatuhkan kepada mereka.
Pada pertengahan Juni 2025, Tito juga menekankan peran kepala daerah dan DPRD dalam mempercepat realisasi berbagai program yang berlabel strategis tersebut.
Manakah yang menjadi acuan, program atau proyek strategis?
Tito pernah menjelaskan bahwa hanya program strategis nasional yang memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan oleh kepala daerah. Menurutnya, program strategis nasional adalah program unggulan yang tercantum dalam dokumen visi-misi presiden.
Tito membedakan antara program strategis nasional dengan proyek strategis nasional. Proyek strategis nasional, menurutnya, adalah pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bendungan, kereta cepat, dan kawasan ekonomi khusus.

Namun, regulasi terbaru yang dikeluarkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada akhir September lalu tidak mendefinisikan secara gamblang perbedaan antara program dan proyek strategis nasional.
Merujuk Peraturan Menko Perekonomian bernomor 16/2025, terdapat 25 program strategis nasional, antara lain MBG, Program 3 Juta Rumah, Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, Sekolah Unggul Garuda, Cek Kesehatan Gratis, dan Lumbung Pangan.
Pembangunan smelter untuk industri nikel, bauksit, tembaga, dan pasir besi yang menuai kritik karena memicu degradasi lingkungan juga masuk dalam daftar program strategis nasional tersebut.
Proyek lumbung pangan di Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel, Papua Selatan, juga masuk kategori program strategis tersebut.
Di sisi lain, terdapat 226 proyek strategis nasional dalam peraturan yang diteken Airlangga tersebut, yang meliputi pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, jaringan kereta api, hingga pengembangan kawasan industri.
Apa saja kritik kepala daerah terhadap program strategis nasional?
Sebagian besar kepala daerah dalam setahun terakhir telah menyatakan dukungan mereka terkait program strategis yang dicanangkan Prabowo, terutama MBG, yang diklaim pemerintah telah diterima oleh 36,7 juta siswa.

Namun, di tengah berbagai kasus keracunan dan tuntutan penghentian MBG, beberapa kepala daerah mengusulkan evaluasi program tersebut.
Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, pada akhir September lalu, memanggil pimpinan Badan Gizi Nasional (BGN) di provinsinya setelah peristiwa keracunan di Kubu Raya dan Ketapang. Dalam pertemuan itu, ia meminta BGN mengevaluasi pelaksanaan MBG.
“Kita harus meminta pertanggungjawaban dari penyedia makanan tersebut,” ujar Norsan.
Norsan mengatakan bahwa protes warga terhadap MBG sering kali diarahkan kepada pemerintah daerah, bukan kepada pemerintah pusat.
“Setiap ada masalah keracunan, yang dituju selalu pemerintah daerah, padahal ini program nasional,” tuturnya.
Meski begitu, Norsan menekankan kepada pers bahwa ia mendukung MBG.
“Bagaimanapun, kami ini kan perpanjangan dari pemerintah pusat untuk daerah, apalagi ini bagian dari program Asta Cita Presiden Prabowo, maka kami mau tidak mau harus mendukung program ini,” ujar Norsan.

Peristiwa keracunan juga mendorong Gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, untuk angkat bicara pada Juni silam.
Ia menilai pelaksanaan MBG yang bergantung pada Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) tidak efektif. Anggaran program ini juga disebutnya “dipotong oleh berbagai pihak”.
“Demi efektivitas pelaksanaan program di lapangan, kami akan mengusulkan kepada pemerintah agar program MBG langsung dikelola masing-masing sekolah,” kata Muhidin kepada pers.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, juga melontarkan kritik terhadap MBG.
Menurutnya, SPPG tidak akan mampu menyediakan makanan layak santap untuk ribuan siswa, meski telah mendapat sertifikat higienis.
Sultan Hamengku Buwono X menyarankan pemerintah mengevaluasi teknis pelaksanaan MBG secara menyeluruh.
“Misalnya diawasi, terus punya sertifikat, tapi kalau dapurnya cuma pakai arang atau pakai LPG tapi dibebani 2 atau 3 ribu porsi, tidak akan bisa,” ujarnya.
“Rumah makan saja tidak ada yang buka sampai 3.000 porsi terus. Tidak akan mampu,” tuturnya.
Selain MBG, kritik terhadap program strategis nasional juga pernah disampaikan oleh Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa. Diberitakan oleh Cenderawasih Pos, salah satu media lokal terbesar di Papua, Paskalis secara pribadi menolak program lumbung pangan yang merugikan masyarakat adat.
“Jangan sampai hutannya digusur, masyarakat lokal digeser,” ujarnya.
Paskalis mengatakan bahwa program pemerintah pusat semestinya melibatkan seluruh warga dan pemerintah daerah. Tujuannya, kata dia, untuk menghindari program yang bersifat *top-down* tanpa memberikan solusi terbaik bagi warga.
“Masyarakat harus diberdayakan, diberi edukasi dan pendampingan,” kata Paskalis.
“Apakah kepala daerah tak boleh perjuangkan warganya?”
Regulasi serta ancaman pemberhentian bagi kepala daerah yang tidak mendukung program strategis nasional dinilai bermasalah oleh Herdiansyah Hamzah, pakar hukum di Universitas Mulawarman. Karena mekanisme pemberhentian ini rentan didasarkan pada penilaian subjektif, regulasi itu disebut Herdiansyah “sangat berbahaya”.
“Bagaimana mungkin kepala daerah diberhentikan oleh pemerintah pusat, padahal yang memilih mereka adalah masyarakat?” kata Herdiansyah.

Menurut Herdiansyah, pemberhentian kepala daerah harus melalui jalur yang melibatkan sejumlah lembaga negara. Prosesnya, kata dia, harus dimulai dengan usulan DPRD yang didasarkan pada putusan Mahkamah Agung.
“Tidak bisa pemberhentian itu dilakukan begitu saja oleh pemerintah pusat,” ujarnya.
Merujuk UU 23/2014 tentang Pemda, mekanisme pemberhentian yang tidak perlu melibatkan Mahkamah Agung hanya berlaku jika kepala daerah meninggal dunia, mengundurkan diri, habis masa jabatannya, atau karena tidak bisa menjalankan tugas selama enam bulan berturut-turut.
Ancaman pemberhentian kepala daerah jika tidak mendukung program strategis nasional, menurut Herdiansyah, berpusat pada logika sentralisasi kebijakan pemerintah pusat. Selain tidak partisipatif, program strategis nasional disebutnya selama ini “lebih banyak menimbulkan duka” bagi warga di daerah.
“Kalau pemerintah daerah menjalankan prinsip bahwa mereka harus membela kepentingan masyarakat, saya kira sah-sah saja mereka berbeda pendapat dengan pemerintah pusat,” kata Herdiansyah.
“Keputusan pusat tidak melibatkan pemda, lalu pemda dipaksa mengikuti keinginan pusat. Ini sama saja seperti menempatkan pemda dalam urusan teknis belaka, pemda sudah seperti *event organizer* saja,” ujarnya.
Lebih dari itu, Herdiansyah menganggap ancaman pemberhentian yang diucapkan Tito menunjukkan nuansa militeristik rezim Prabowo. “Jika Anda tidak setuju, Anda akan dipecat. Ini tidak sesuai dengan gaya kepemimpinan sipil,” tuturnya.
“Bisa Berujung Transaksional”
Relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) berpotensi diwarnai ketegangan, terutama karena partai politik yang berkuasa di tingkat pusat belum tentu memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Analisis ini disampaikan oleh Egi Primayogha, Koordinator Divisi Advokasi ICW.
Situasi politik ini, menurut Egi, dapat memicu ketegangan antara kepala daerah tertentu dengan pemerintah pusat, karena kepentingan di antara mereka belum tentu sejalan.
“Akibatnya, Pemda yang semestinya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat bisa ‘membangkang’ dengan tidak menjalankan kebijakan pusat,” ujar Egi.

Dalam kondisi tersebut, kata Egi, bisa muncul ironi berupa penyelesaian ketegangan melalui politik transaksional.
Bagaimanapun, menurut Egi, Pemda saat ini berada dalam posisi “kelimpungan”. Dalam setahun terakhir, keuangan daerah mengalami kesulitan karena pemotongan anggaran dari pemerintah pusat, yang sering disebut dengan istilah transfer pusat ke daerah.
Situasi keuangan ini, seperti yang diberitakan sebelumnya, menjadi salah satu alasan Pemda menaikkan pungutan pajak, yang kemudian ditentang oleh warga, termasuk melalui gelombang demonstrasi di Pati dan Makassar.
Egi mengatakan bahwa warga tidak hanya menanggung keuangan daerah yang bermasalah, tetapi juga harus menanggung dampak negatif dari program dan proyek strategis nasional selama bertahun-tahun.
“Kepala daerah dalam kondisi tersebut mestinya tidak berhenti menyampaikan masalah yang terjadi akibat kebijakan pemerintah pusat, karena dampaknya sudah terbukti merugikan warganya,” kata Egi.
“Pemerintah pusat juga mesti lebih melibatkan Pemda dalam pengambilan kebijakan.”
“Mereka justru bisa mendapatkan gambaran utuh tentang masalah yang terjadi melalui Pemda atau partisipasi warga, sehingga kebijakan mereka lebih bersifat *bottom-up*,” ujar Egi.
Baca artikel terkait
- Ribuan kasus keracunan akibat MBG – Evaluasi SPPG dan standar higienis jadi prioritas pemerintah
- Sekolah-sekolah yang mengelola dapur mandiri di tengah ribuan kasus keracunan MBG
- Bagaimana militer, pengusaha, dan partai politik menopang kekuasaan Prabowo Subianto?
- Elegi Suku Malind Anim di balik PSN Merauke – ‘Sedang dalam pemusnahan’
- Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk *food estate* di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
Baca artikel terkait lainnya
- Koperasi Merah Putih diresmikan Prabowo – Potensi korupsi dan kebocoran anggarannya diperkirakan triliunan rupiah, bisakah dicegah?
- Cek kesehatan gratis di sejumlah puskesmas ‘sepi peminat’ – ‘Saya belum daftar, takut kuota internet tersedot’
- Setumpuk masalah di balik investasi China – ‘Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat’
Ringkasan
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, kembali mengingatkan kepala daerah untuk mendukung program strategis nasional, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), dengan ancaman sanksi hingga pemberhentian jika tidak patuh. Dasar hukumnya adalah Pasal 67 Undang-Undang 23/2014, yang memungkinkan sanksi administratif hingga pemberhentian sementara atau permanen oleh Menteri Dalam Negeri jika program strategis nasional tidak berjalan karena kepala daerah.
Ancaman ini menuai kritik dari pakar hukum dan peneliti ICW. Mereka menilai tindakan ini mencerminkan pendekatan militeristik dan potensi pengabaian kepentingan masyarakat, serta berisiko membuat kepala daerah hanya menjadi pelaksana kegiatan. Beberapa kepala daerah juga mengkritik program strategis nasional seperti MBG dan lumbung pangan, mengusulkan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan demi efektivitas dan menghindari kerugian bagi masyarakat.