Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Puan Maharani, menegaskan komitmen lembaganya untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan adanya keterwakilan perempuan di setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Keputusan ini menandai langkah penting dalam upaya memperkuat kesetaraan gender dalam politik nasional.
Menghormati putusan MK yang bersifat konstitusional, final, dan mengikat, Puan menyatakan bahwa DPR RI akan segera berkoordinasi dengan seluruh fraksi. Diskusi intensif akan dilakukan untuk membahas secara mendalam teknis pelaksanaan keputusan MK ini, terutama pada tingkatan komisi, guna memastikan implementasi yang efektif dan merata. Pernyataan ini disampaikan Puan dalam keterangannya pada Jumat (31/10).
Puan Maharani menyoroti fakta bahwa separuh dari populasi Indonesia adalah perempuan, dan ia optimistis bahwa peningkatan keterlibatan perempuan di parlemen akan membawa dampak positif yang signifikan bagi kinerja lembaga legislatif. Harapannya, langkah ini akan bermuara pada peningkatan kualitas kinerja DPR yang pada akhirnya manfaatnya dapat dirasakan lebih luas oleh seluruh rakyat.
Lebih lanjut, Ketua DPR RI itu juga menyoroti pencapaian historis terkait jumlah perempuan di DPR periode 2024–2029. Dengan keterwakilan mencapai sekitar 21,9 persen atau 127 dari 580 anggota DPR, angka ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah parlemen Indonesia. Kendati demikian, Puan mengakui bahwa angka tersebut masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia.
Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi yang monumental ini merupakan hasil dari dikabulkannya uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Melalui putusan bernomor 169/PUU-XXII/2024, MK secara tegas mewajibkan setiap AKD di DPR memiliki keterwakilan perempuan.
AKD yang dimaksud mencakup beragam badan penting dalam struktur DPR, antara lain Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), hingga Panitia Khusus (Pansus).
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, Kalyanamitra, dan Titi Anggraini. Mereka menilai bahwa aturan yang termuat dalam UU MD3 sebelumnya belum secara memadai menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur keanggotaan DPR. Oleh karena itu, MK menyatakan bahwa fraksi-fraksi di DPR kini wajib menempatkan anggota perempuan secara proporsional di setiap AKD.
Sebagai contoh konkret, salah satu pasal yang mengalami perubahan adalah Pasal 90 ayat (2) terkait keanggotaan Badan Musyawarah. Jika sebelumnya pasal tersebut hanya mengatur perimbangan jumlah anggota setiap fraksi, kini fraksi diwajibkan untuk turut memperhatikan pemerataan jumlah anggota perempuan dalam penyusunan keanggotaan Bamus. Ini menegaskan komitmen konstitusional terhadap inklusi dan kesetaraan gender di parlemen.
Ringkasan
DPR RI berkomitmen menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan keterwakilan perempuan di setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Ketua DPR, Puan Maharani, menyatakan koordinasi intensif akan dilakukan dengan seluruh fraksi untuk membahas teknis pelaksanaan keputusan MK, memastikan implementasi yang efektif di tingkat komisi.
Putusan MK ini merupakan respons atas uji materi UU MD3, mewajibkan fraksi menempatkan anggota perempuan secara proporsional di setiap AKD, termasuk Bamus, Komisi, dan badan lainnya. Meskipun keterwakilan perempuan di DPR periode 2024-2029 mencapai rekor tertinggi sekitar 21,9 persen, Puan mengakui bahwa angka ini masih jauh dari target ideal 30 persen, sehingga implementasi putusan MK menjadi krusial.