Megawati: Penjajahan Kini Hadir Lewat Algoritma dan Data

Photo of author

By AdminTekno

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, kembali menyuarakan peringatan krusial di tengah derasnya arus teknologi global. Dalam pidato kuncinya pada seminar internasional 70 Tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11), Presiden ke-5 RI ini menegaskan bahwa wajah kolonialisme belumlah pudar, melainkan hanya berevolusi.

Beliau secara gamblang mengibaratkan, “Jika dulu penjajahan hadir dengan meriam dan kapal perang, maka kini ia datang melalui algoritma dan data.” Pernyataan ini menjadi fondasi pandangannya mengenai lahirnya bentuk imperialisme baru yang didorong oleh kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI), big data, serta sistem keuangan digital lintas batas. Dalam skema baru ini, Megawati menyoroti bagaimana negara-negara maju memegang kendali penuh sebagai pemilik dan pengelola data, sementara negara berkembang tereduksi menjadi sekadar konsumen algoritma yang telah diatur.

“Negara-negara maju menjadi pemilik data, sementara negara-negara berkembang menjadi sekadar konsumen algoritma. Manusia direduksi menjadi angka, data menjadi komoditas,” demikian tegas Megawati. Ia menekankan bahwa tantangan di era digital ini jauh melampaui dimensi ekonomi; ini adalah persoalan fundamental kemanusiaan dan kedaulatan bangsa. Tanpa kendali yang kuat terhadap teknologi dan data, menurutnya, kemerdekaan sejati akan tetap menjadi impian yang sulit digapai.

Menyikapi ancaman ini, Megawati menyerukan pentingnya “a new global ethics—aturan moral global baru—untuk menata kembali kekuasaan dalam ranah teknologi, ekonomi, dan informasi.” Beliau lantas menyoroti potensi besar nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman etik dunia digital. Baginya, kemajuan teknologi mutlak harus dibingkai dalam etika kemanusiaan, menciptakan “Dunia yang tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani, tetapi oleh nilai-nilai Pancasila yang memuliakan kehidupan.”

Dalam kesempatan yang sama, Megawati tidak luput menyoroti kerentanan Indonesia sendiri, terutama terkait ketergantungan terhadap vendor asing. Sebuah riset dari Universitas Indonesia bahkan memproyeksikan bahwa pada tahun 2025, 72 persen lembaga publik di tanah air masih belum memiliki tata kelola data yang memadai, sebuah fakta yang semakin mempertegas urgensi isu kolonialisme digital ini.

Ketergantungan ini, menurut Megawati, bagai gema perlawanan dekolonisasi tahun 1955 yang kini berhadapan dengan neokolonialisme digital abad ke-21. Beliau menyerukan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan keberanian moral serupa yang pernah ditunjukkan oleh Proklamator, Soekarno. “Kita membutuhkan keberanian moral seperti yang pernah ditunjukkan Bung Karno. Dunia kini memerlukan regulasi baru agar teknologi tidak menjadi alat penindasan bentuk baru,” tegasnya. Mengakhiri pidatonya dari Blitar, kota kelahiran sekaligus tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, Megawati melontarkan seruan global yang menggema: “Dari Blitar ini, dari pusara Bung Karno, saya menyerukan kepada dunia: mari kita bangun dunia baru! Dunia yang tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani.”

Leave a Comment