Temuan dua kerangka di gedung yang terbakar di Kwitang – Bagaimana kaitannya dengan demonstran yang masih hilang?

Photo of author

By AdminTekno

Dua kerangka manusia ditemukan di dalam sebuah gedung di Kwitang, Jakarta Pusat, yang terbakar kala demo akhir Agustus lalu meletus. Dua kerangka itu dikaitkan pada dua demonstran yang keberadaannya tak diketahui hingga saat ini, usai sempat berunjuk rasa di depan markas Brimob, 29 Agustus lalu.

Polres Metro Jakarta Pusat menyatakan sedang menguji kecocokan DNA dua kerangka itu dengan keluarga demonstran yang hilang.

Hasil tes DNA itu bakal diumumkan ke publik, pada 5 November mendatang.

“Keluarga dari yang dilaporkan hilang oleh KontraS sudah ambil data DNA pembanding di RS Kramat Jati dan Labfor Polri,” tutur Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Pusat, AKBP Robby Herry Saputra, tatkala dikonfirmasi wartawan, Minggu (2/11).

Kerangka manusia pertama kali dilihat petugas yang sedang melakukan renovasi di gedung tersebut. Petugas itu kaget dan melaporkannya ke polisi.

“Jenazah hangus terbakar dan tertumpuk sisa material kebakaran. Sedangkan gedung tidak digunakan lagi setelah kebakaran,” papar Robby.

Kedua demonstran yang nasibnya belum terang itu adalah Farhan Hamid dan Reno Syahputeradewo.

Laporan KontraS menunjukkan keduanya terakhir kali terlihat di sekitar Kwitang, Jakarta Pusat, yang menjadi salah satu titik kerusuhan demo akhir Agustus silam.

Catatan yang dikumpulkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan setidaknya lebih dari 3.000 orang diringkus selama demonstrasi berlangsung, sejak 25 sampai 31 Agustus 2025.

Tidak hanya ditangkap, sekitar 1.042 mengalami luka-luka dan 10 lainnya meninggal, termasuk pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, akibat dilindas rantis Brigadir Mobil (Brimob) di Pejompongan, Jakarta Pusat. Data YLBHI diperoleh di 20 kota di Indonesia.

Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan aparat kepolisian turut diduga melakukan praktik penghilangan paksa setelah protes massa. KontraS, pada 1 September 2025, membuka posko pengaduan orang hilang.

KontraS menuturkan “menerima lonjakan laporan terkait individu yang hilang secara tiba-tiba terutama dari wilayah-wilayah yang menjadi pusat mobilisasi massa—Jakarta & Bandung.”

Korban, menurut KontraS, ditahan aparat negara “secara incommunicado” atau dihalangi akses sekaligus komunikasi dari dunia luar seperti keluarga. Korban, imbuh KontraS, juga “tidak diperbolehkan menerima pendampingan hukum sesuai pilihan mereka.”

“Dalam kata lain, aparat kepolisian telah melakukan penyembunyian nasib dan keberadaan orang-orang yang ditahan,” tegas KontraS.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mendesak aparat kepolisian membuka seluruh data identitas orang-orang yang ditangkap dan ditahan selama aksi pada 25-31 Agustus 2025.

Farhan dan Reno yang dihilangkan paksa

Sudah dua bulan keberadaan Farhan dan Reno belum bisa diketahui. Laporan investigasi Harian Kompas menyebut saksi melihat sosok mirip Farhan terluka di Kwitang yang mendapat bantuan oksigen di posko medis sebelum dibawa tukang ojek ke RSPAD Gatot Subroto.

Keluarga, di lain sisi, menguatkan kehadiran Farhan di lokasi melalui ciri pakaiannya. Sementara Reno terlihat menuju Kwitang setelah berpamitan kepada rekannya.

Investigasi Harian Kompas turut mengemukakan kejanggalan digital usai Farhan hilang. Akun media sosial miliknya, mengutip temuan Harian Kompas, aktif serta merespons. Dugannya: akun Farhan dibajak pihak lain sehingga menyulitkan pelacakan.

Tanggal terakhir keduanya terlihat: 29 Agustus 2025—sama dengan waktu gedung lokasi kerangka manusia berada hangus dibakar massa.

Farhan serta Reno merupakan salah dua dari puluhan orang yang hilang selama demonstrasi berjalan, dari 25 sampai 31 Agustus 2025. Kejadian ini tersebar di berbagai kota atau kabupaten seperti Jakarta Pusat sampai Karawang, Jawa Barat.

Dari keseluruhan laporan yang masuk, sebanyak 33 orang dikategorikan KontraS sebagai korban penghilangan paksa di mana “mereka sengaja dan tanpa izin ditahan oleh aparat keamanan.”

Sisanya, 8 orang, “dilaporkan hilang kontak bukan karena mengalami penghilangan paksa melainkan adanya miskomunikasi atau kesalahpahaman yang menyebabkan hubungan antara korban dan pelapor terputus sementara,” demikian tulis KontraS.

Perkembangan terkini, tinggal Farhan dan Reno yang masih berstatus hilang.

KontraS memberi label “penghilangan paksa” dengan acuan bahwa terdapat upaya “menyembunyikan nasib maupun keberadaan” para korban oleh aparat. Selepas ditangkap, korban diangkut ke kantor polisi.

Data KontraS memperlihatkan verifikasi atas pencarian korban penghilangan paksa berujung ke markas kepolisian, dari level polres sampai polda.

Tidak ada informasi apa pun yang diberikan kepada orang terdekat, keluarga, maupun pendamping hukum selama korban tidak diketahui posisinya—rata-rata dalam kurun waktu 12 sampai 72 jam.

Korban sendiri, pada waktu yang sama, tidak mendapatkan akses, tidak terkecuali bantuan hukum.

Dalam hal ini, sambung KontraS, para korban menghadapi penghilangan paksa jangka pendek (short-term enforced disappearances).

Tindakan-tindakan semacam itu menunjukkan negara masih mempertahankan impunitas (kekebalan) dan belum secara serius menghapus penghilangan paksa, “sekalipun dalam bentuk yang lebih halus dan sistematis,” KontraS menegaskan.

“Situasi ini, secara langsung, memenuhi unsur penghilangan paksa sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa [ICPPED], terutama terkait unsur penahanan rahasia dan tanpa komunikasi,” papar KontraS.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menuntut aparat kepolisian membuka seluruh data identitas orang-orang yang diringkus dan menjalani penahanan sepanjang demonstrasi.

“Informasi ini sangat penting sebagai transparansi ke publik,” ungkapnya.

Dimas turut mendesak lembaga seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, serta LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk menginvestigasi tindakan penghilangan paksa kala protes massa pecah.

“Kami juga meminta pemerintah segera meratifikasi konvensi internasional sebagai upaya pencegahan penghilangan paksa ini berulang di kemudian hari, di samping penting untuk memasukkan penghilangan paksa menjadi sebuah delik pidana agar para pelaku dapat dihukum secara pidana,” tegas Dimas.

Di Indonesia, aturan ihwal penghilangan paksa hanya termuat dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Pasal itu menyatakan semua orang memiliki hak untuk bebas dari penghilangan paksa.

Sayangnya, norma tersebut “belum diintegrasikan di ketentuan pidana di Indonesia,” Dimas menanggapi.

Masalah tidak berhenti di situ. Tidak sedikit korban ditemukan dengan kondisi diduga mengalami kekerasan fisik serta serangan psikologis.

Beberapa di antaranya menunjukkan luka memar, sobek di kulit, dan trauma kuat imbas perlakuan aparat ketika ditahan, imbuh KontraS.

Dari total 41 orang yang berhasil ditemukan dalam periode 1 sampai 8 September 2025, sebanyak 15 orang kondisinya terluka, 4 sehat, serta 22 lainnya belum diketahui secara pasti.

Berdasarkan hasil pendampingan, KontraS mendapati adanya praktik penyiksaan oleh kepolisian. Tindak kekerasan bahkan terjadi meski korban tidak melawan.

Kepolisian, sebut laporan KontraS, turut dituding menyajikan informasi yang tidak akurat.

“Aparat seringkali memberikan informasi yang menyesatkan, dengan menyatakan bahwa orang yang dicari tidak berada dalam penguasaan mereka,” terang KontraS.

“Namun, setelah dilakukan pengecekan berulang kali dan koordinasi dengan unit kepolisian yang lain, akhirnya ditemukan bahwa nama-nama korban tersebut sebenarnya tercatat dan berada dalam pengawasan aparat atau dalam hal ini ditahan oleh aparat kepolisian.”

Kebohongan semacam itu, KontraS menggaris bawahi, menggambarkan upaya sistematis guna menutupi keberadaan korban yang pada akhirnya menghambat transparansi sekaligus akuntabilitas penanganan kasus orang hilang.

‘Hari ini Reno dan Farhan, besok bisa jadi diri kita sendiri’

Lamanya pengungkapkan kasus Reno dan Farhan disebabkan dugaan konflik kepentingan yang melibatkan institusi kepolisian, menurut Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana.

Dari aspek teknis, Arif melanjutkan, polisi semestinya tidak sulit mencari keberadaan Reno serta Farhan.

“Mereka punya kemampuan teknis, dari penyelidikan sampai penyidikan, sangat lengkap. Secara kapasitas memadai, dan bisa mengungkap kasus-kasus seperti ini,” ucapnya saat dihubungi BBC News Indonesia, Senin (3/11).

“Masalahnya, saya menduga, ada keterlibatan, peran, aparat negara. Makanya ini terkesan sulit dibongkar, sulit dibuka. Ada konflik kepentingan, konflik politik, di baliknya.”

Sejak awal, Arif bercerita, koalisi sipil mendesak dibentuknya tim pencari fakta independen dengan harapan “kekerasan, pengrusakan fasilitas publik, serta kematian yang diakibatkan demonstrasi maupun kerusuhan diungkap secara terang benderang.”

“Karena kita tahu bahwa kepolisian menjadi pelaku penyiksaan, kekerasan, dan bahkan pembunuhan dalam kasus pengemudi ojek online Affan Kurniawan. Itu pentingnya tim pencari fakta independen,” sebut Arif.

Tekanan kepada kepolisian agar menuntaskan kasus hilangnya Reno dan Farhan sangat krusial untuk ditempuh, imbuh Arif. Ini lantaran demi mencegah normalisasi kekerasan aparat.

Kepolisian, tegas Arif, tidak boleh menutup-nutupi proses pencarian terhadap Farhan dan Reno. Publik berhak tahu di mana keduanya kini berada.

Kalaupun Reno serta Farhan tidak “dihilangkan,” polisi harus menjelaskannya ke masyarakat, begitu juga sebaliknya ketika ternyata ada campur tangan polisi dalam raibnya mereka.

“Hari ini Reno dan Farhan. Besok bisa jadi kita, keluarga kita, atau orang yang kita kenal,” pungkas Arif.

“Sama seperti siklus kejahatan negara yang selama ini terjadi.”

‘Masalahnya cuma polisi mau atau tidak’

Hilangnya Reno dan Farhan, merujuk analisa Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabarina, merepresentasikan dua masalah serius yang dihadapi tubuh kepolisian.

Pertama, agenda reformasi Polri. Gina berpendapat jika Polri benar-benar ingin memperbaiki kinerjanya, mereka harus menyelesaikan penghilangan paksa ini.

Kedua, keberadaan Reno serta Farhan yang tak kunjung clear “menjustifikasi persoalan tentang penundaan berlarut (undue delay) dalam kasus-kasus yang ditangani kepolisian,” tambah Gina.

“Karena sering kali orang yang mencari keadilan itu dihadapkan pada penundaan berlarut, dari kasus remeh sampai kemudian kasus orang hilang,” papar Gina.

Nah, padahal ini harusnya tidak boleh dilakukan, dan ini semakin menunjukkan dalam kasus yang krusial saja mereka melakukan penundaan berlarut dengan sengaja seperti itu.”

Dalam konteks undue delay, solusinya terletak di perkara “kemauan,” tegas Gina. Pendek kata: apakah polisi mau atau tidak menyelesaikan penanganan perkara yang dipegang?

Jawabannya, dengan sumber daya yang dimiliki kepolisian, “sangat bisa,” Gina meneruskan.

“Jadi, ada banyak sumber daya yang bisa dilakukan, termasuk kemudian menggunakan teknologi mencari keberadaan orang. Apalagi, misalnya, Instagram-nya sempat aktif,” tandas Gina.

Nah, dan bisa itu dilacak. Atau, misalnya, soal mendeteksi wajah. Itu sangat bisa dilakukan. Tapi, memang enggak ada willingness saja.”

Gina menilai kepolisian menjadikan kasus Farhan dan Reno sebagai “nilai tawar.” Polisi seperti ingin melontarkan sinyal kepada publik supaya tidak terus-menerus “menghantam.” Semakin publik mengkritik, semakin lama pula polisi mengambil tindakan.

“Jadi, saya juga menangkap ada pesan seperti itu sebenarnya yang coba dikirim. Kalau kalian “menghantam” kami terus, kami juga lama ini [mencari Reno dan Farhan],” terang Gina.

Hampir seribu orang dijadikan tersangka

Tidak lama usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit mengumumkan akan menangkapi para pendemo yang membuat rusuh demi terciptanya keamanan.

“Perintah beliau [presiden] untuk segera mengembalikan keamanan, mengembalikan situasi yang ada sehingga masyarakat bisa melaksanakan kegiatannya, perekonomian bisa kembali tumbuh,” kata Listyo, 1 September.

Arahan presiden lalu diterjemahkan kepolisian dengan menempuh penangkapan secara masif di lapangan.

Di Jakarta, lebih dari 1.400 orang ditangkap polisi dengan 43 di antaranya sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Minggu ini, Polda Metro Jaya menambah 16 tersangka anyar atas perusakan fasilitas umum.

Di Jawa Barat, 42 orang ditetapkan tersangka atas tuduhan perusakan fasilitas umum hingga penyebaran konten yang diklaim provokatif di media sosial. Polda Jawa Barat sendiri, sebelumnya, menahan 727 orang.

Dalam penetapan puluhan tersangka itu, polisi menyita barang bukti sejumlah buku dan zine—buklet publikasi yang difotokopi atau dicetak sendiri.

Rekapitulasi LBH Bandung mengatakan sekitar 230 aduan masuk dari peserta aksi massa pada periode 29 Agustus sampai 8 September 2025.

Sebanyak 100 orang sudah dibebaskan, 13 ditetapkan tersangka, 48 mengalami luka-luka, dan 69 sisanya berstatus tidak jelas.

Pendampingan LBH Bandung sempat mengalami jalan buntu tatkala Polda Jawa Barat dipandang menutupi informasi mengenai status dan keberadaan ratusan tahanan.

Bergeser ke Bali, polisi menahan 170 orang dan menjadikan 14 pihak di dalamnya sebagai tersangka. Ratusan orang ini dituduh menghasut massa sewaktu demonstrasi.

Tak jauh dari Bali, 580 orang ditangkap Polda Jawa Timur sehubungan demonstrasi di enam kota. Sebanyak 479 orang telah dipulangkan, 89 diproses secara hukum, serta 12 lainnya sedang diperiksa.

Ombudsman Jawa Timur meminta Polda Jawa Timur membuka data perihal puluhan orang yang masih ditahan.

“Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa anarkis,” sebut Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin.

Lalu di Jawa Tengah dan Yogyakarta, mengutip pendampingan LBH Yogyakarta, 159 orang ditangkap sebab demonstrasi Agustus silam.

Penangkapan tersebar di Magelang, Banyumas, dan Yogyakarta. Mayoritas yang diringkus aparat merupakan anak-anak di bawah umur.

Versi Polda Jawa Tengah: 1.747 orang ditangkap ketika unjuk rasa di berbagai daerah di Jawa Tengah pada 29 Agustus sampai 1 September 2025. Sekitar 46 orang diberi status tersangka.

Demonstrasi di Jawa Tengah, tepatnya di Semarang, diselimuti kabar duka kematian mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), Iko Juliant Junior, pada 30 Agustus 2025.

Pusat Bantuan Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unnes menerangkan kematian Iko dipenuhi kejanggalan seperti luka lebam di bagian wajah.

Pengakuan saksi yang menyebut Iko mengigau dipukuli aparat semakin mempertebal ketidakwajaran atas kepergian Iko.

Polda Jawa Tengah mengungkapkan Iko meninggal murni lantaran kecelakaan kendaraan.

Apabila ditotal, Polri menangkap 5.444 orang, dengan 4.800 sudah dipulangkan dan 583 sisanya berada dalam proses hukum.

Keterangan paling anyar menjelaskan sekitar 959 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka kala demonstrasi pecah pada akhir Agustus 2025.

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), yang berisikan gabungan organisasi nonpemerintah, menyatakan sejumlah pola pelanggaran berulang ditemukan, seperti kekerasan aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan yang melebihi batas, dan proses hukum yang tidak transparan.

Dugaan pelanggaran tersebut tergambar, salah satunya, melalui kasus yang sedang ditangani LBH Yogyakarta. Polres Magelang dituding LBH Yogyakarta tidak menerapkan prosedur ketika menangani demonstran.

Kasus di Magelang menimpa anak di bawah umur yang saat ditangkap sedang tidak terlibat dalam aksi, menurut LBH Yogyakarta.

“Dia tidak [gabung] demo. Dia, waktu itu, cuma COD [Cash on Delivery] saja. Dan dia ada acara [peringatan] 17 Agustus di desanya lalu tiba-tiba ditangkap,” sebut Direktur LBH Yogyakarta, Julian Prasetya.

Di tahanan, korban dipaksa mengaku bahwa yang bersangkutan mengikuti demo, tambah LBH Yogyakarta.

Nah, ketika sudah dilepaskan, datanya disebar bahwa ini adalah pelaku demo anarkis. Datanya disebar ke mana-mana, foto-fotonya [korban] juga dikirim ke mana-mana,” papar Julian.

Pihak keluarga yang tidak terima dengan perlakuan aparat kemudian melaporkan secara resmi dua pejabat di Polres Magelang ke Polda Jawa Tengah atas dugaan salah tangkap.

Kapolres Magelang, AKBP Anita Indah Setyaningrum, membantah personelnya melakukan tindakan pelanggaran hukum. Kendati begitu, Anita mengaku siap mengikuti prosedur yang ada, termasuk pengusutan dari pihak Polda Jateng.

Julian menegaskan mayoritas anak di bawah umur yang ditangkap polisi “tidak didampingi orangtua atau wali” saat diperiksa. Bagi Julian, kepolisian sudah “melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak.”

Pernyataan Julian dikonfirmasi temuan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) yang menyebutkan dari keseluruhan laporan penahanan yang masuk, setengahnya menyeret anak-anak muda di bawah 18 tahun.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, mengatakan pemandangan tersebut adalah tanda bahaya. Anak-anak muda ini, jelas Arif, ditangkap tanpa bukti yang kuat, selain dituduh sebagai dalang demonstrasi.

“Belum didukung dengan alat bukti yang kuat, tapi polisi sudah berani merilisnya ke publik bahwa mereka adalah penghasut, mereka adalah dalang. Dan dari situ, polisi menangkap lebih banyak lagi anak-anak muda di berbagai daerah,” tandas Arif.

Arif memandang arah penangkapan besar-besaran ini ialah “kriminalisasi terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.”

“Ini sebetulnya ancaman karena demonstrasi itu dianggap [tindakan] kriminal oleh kepolisian, oleh pemerintah, hari ini,” tuturnya.

Situasi tak kalah pelik muncul di lapangan manakala tim advokat maupun organisasi sipil mesti berhadapan dengan keterbatasan sumber daya.

Arif mengaku kuantitas atau ketersediaan pengacara publik tidak berbanding lurus terhadap jumlah orang yang ditangkap.

Aduan yang diterima Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mencapai lebih dari 500. Dari jumlah itu, “kami mungkin baru bisa menjangkau sebagian,” papar Arif.

“Sebagian besar [yang kami tangani] berhasil kami dorong untuk dibebaskan karena anak berhadapan dengan hukum,” ucapnya.

“Tapi, sisanya, pada akhirnya, belum terjangkau oleh kami.”

Arif turut mengkritik pihak aparat yang dia nilai cenderung menghalang-halangi akses bantuan hukum kepada korban. Arif mencontohkan bahwa “untuk bertemu [korban] saja sulit sekali.”

Konsekuensi dari kendala tersebut berdampak langsung pada korban. Sebab tidak dapat ditemani oleh organisasi sipil imbas faktor-faktor di atas, maka mereka “diberi pengacara dari polisi,” terang Arif.

Pengacara yang ditunjuk kepolisian tidak jarang hanya sebatas “formalitas.” Artinya, mereka diminta mewakili untuk sekadar membubuhkan tanda tangan pemberian kuasa dari korban.

Pada praktiknya, para pengacara itu “tidak pernah mendampingi [korban],” ungkap Arif.

“Juga selama perjalanannya tidak pernah memberikan pembelaan, dan mungkin korban akhirnya tidak beruntung ketika di [proses pembuatan] BAP [Berita Acara Pemeriksaan],” ujar Arif.

Arif menyesalkan betapa kepolisian tidak membuka ruang pendampingan terhadap korban dengan ideal. Pasalnya, secara prinsip, kebutuhan akan pengacara dijamin sebagai hak yang melekat pada mereka yang dihadapkan di depan hukum.

“Yang saya takutkan juga bisa jadi mereka mengalami tekanan dan lain sebagainya. Belum tentu apa yang mereka sampaikan juga dicatat oleh kepolisian,” pungkas Arif.

‘Jangan buru-buru menyimpulkan penghilangan paksa’

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan keberadaan Farhan serta Reno sudah mulai diketahui. Tapi, “lebih baik belum kami ungkapkan,” jelas Yusril, 26 September lalu.

“Baru bisa kami umumkan kalau sudah ketemu,” tambahnya.

“Kemungkinan juga tidak terlibat langsung dengan demo yang terjadi kemarin.”

Tekanan untuk menemukan demonstran yang tidak diketahui nasibnya menguat dan direspons pihak kepolisian dengan membentuk posko pencarian. Kepolisian juga disebut mengerahkan tim gabungan untuk menelusuri jejak mereka yang masih hilang.

“Kami akan melakukan langkah-langkah, baik itu langkah teknis maupun kerja sama, dalam hal ini dengan lembaga-lembaga termasuk Komnas HAM, KontraS, Kompolnas, dan seluruhnya yang terkait,” janji Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko, di Jakarta.

Trunodoyo meminta pihak keluarga korban memberikan informasi kepada kepolisian supaya “pencarian lebih optimal dan intens.”

Sedangkan perwakilan pemerintah yang lain mengatakan publik sebaiknya tidak perlu terburu-buru menyimpulkan Farhan serta Reno sebagai korban penghilangan paksa.

Pasalnya, dua orang yang sebelumnya dikabarkan hilang sudah ditemukan.

“Kita enggak bisa terburu-buru menyatakan, menyimpulkan, itu sebagai penghilangan paksa,” jawab Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM, Munafrizal Manan.

“Kita sudah dengar bersama-sama [kabar dua orang yang ditemukan]. Jauh sekali dari sebutan seperti itu [penghilangan paksa].”

Tidak lama usai pemerintah mengutarakan komitmennya untuk mencari demonstran yang hilang, Bima Permana Putra tiba-tiba muncul ke publik dengan keterangan: berjualan mainan barongsai di Malang, Jawa Timur.

Bima sebelumnya masuk bagian orang yang hilang selepas mengikuti demo.

Setelah Bima, Eko Purnomo, yang dilaporkan hilang dalam rangkaian demonstrasi, juga menyeruak ke permukaan dengan menjadi nelayan di Kalimantan Tengah.

Eko, berdasarkan keterangan polisi, mengabari kedua orangtuanya melalui WhatsApp bahwa dia hendak merantau ke Kalimantan.

‘Mematahkan semua masyarakat sipil’

Perburuan kepada demonstran yang dibarengi dengan penangkapan serta penghilangan secara masif merupakan cara pemerintah “memperingatkan” masyarakat luas, ujar pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, Bivitri Susanti.

Pemerintah, imbuh Bivitri, memang tidak mau ada kritik sedikit pun, dan menandakan secara gamblang sebuah ciri khas “pemerintahan yang otoriter.”

Dengan menangkapi orang-orang yang mendemo kebijakan pemerintah, banyak orang yang kemudian berpikir ulang sekaligus mempertanyakan setiap langkah yang akan diambil.

“Misalnya ketika ingin mem-posting sesuatu, berpikirnya apakah nanti ditangkap polisi? Atau saat mau ikut demonstrasi, orang jadi takut karena nanti dibilangnya perusuh,” paparnya.

Jika demikian, “tujuan pemerintah membungkam kritik sebenarnya sudah tercapai,” tambah Bivitri.

“Semacam diberi peringatan bahwa ini yang akan kamu dapatkan kalau kamu menentang rezim,” katanya.

“Jadi, mematahkan semua oposisi, masyarakat sipil, atau siapa saja.”

  • Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
  • Polisi dituduh ‘melampaui batas’ dalam atasi demo Agustus 2025 – ‘Kewenangan membesar tanpa pengawasan berarti’
  • Apa itu tuntutan 17+8? – Mahasiswa akan terus demo sampai tuntutan dipenuhi, DPR berikan tanggapan
  • Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran – ‘Arah balik demokrasi’ dan apa saja tantangan yang mungkin dihadapi ke depan?
  • Survei kinerja Prabowo – Apakah gelombang unjuk rasa diperhitungkan dan sejauh mana bias dalam klaim kepuasan publik?
  • Siapa aktivis hingga TikToker yang jadi tersangka penghasutan demo Agustus?
  • Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’
  • Demo UU Cipta Kerja warnai satu tahun periode kedua Jokowi, bagaimana nasib demokrasi Indonesia?
  • Demo tolak Omnibus Law di 18 provinsi diwarnai kekerasan, YLBHI: ‘Polisi melakukan pelanggaran’
  • Trauma kerusuhan 1998 usai rentetan aksi penjarahan – ‘Rumah dijaga TNI bisa dijarah, bagaimana rumah rakyat biasa?’
  • TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?
  • Sepuluh orang meninggal dalam gelombang demonstrasi – ‘Negara harus menjawab tuntutan masyarakat’
  • ‘Pemerintah pusat lepas tanggung jawab, pemda terjepit’ – Mengapa gerakan warga disebut satu-satunya cara batalkan kenaikan pajak?
  • Demo DPR: Kendaraan polisi melindas pengemudi ojol hingga tewas, Istana minta maaf dan tujuh polisi diperiksa
  • Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut ‘martir demokrasi’ – Apakah aksi massa bakal membesar?
  • Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT
  • Demo mahasiswa ‘Indonesia Gelap’ di berbagai daerah bikin ‘legitimasi pemerintahan Prabowo oleng’
  • Demonstrasi mahasiswa menentang UU TNI berlangsung maraton dan menyebar ke banyak kota, apa maknanya?

Leave a Comment