‘Makan yang Anda suka, bayar sesuai isi dompet’ – Cerita pasangan koki melawan ketimpangan ekonomi di ibu kota Meksiko

Photo of author

By AdminTekno

Sebuah restoran di Mexico City telah menggagas sebuah konsep revolusioner yang memungkinkan pelanggan membayar hidangan sesuai kemampuan finansial mereka. Pertanyaan besarnya, bagaimana model bisnis inovatif ini bisa bertahan dan bahkan berkembang di tengah kerasnya industri kuliner?

Pasangan koki terkemuka, Norma Listman dan Saqib Keval, tengah menghadiri perayaan kolega di New York, Amerika Serikat, ketika sebuah kabar mengejutkan tiba: restoran mereka dianugerahi bintang Michelin. Penghargaan ini, yang diberikan secara rahasia oleh juri Michelin kepada restoran-restoran yang dianggap menyajikan kualitas makanan terbaik di berbagai negara, merupakan pengakuan prestisius yang sangat didambakan.

“Manajemen restoran kami menelepon, tapi kami tidak mengangkatnya,” kenang Listman sambil tertawa. “Lalu, manajer yang paling serius di kantor yang menelepon. Saya langsung berpikir, ‘pasti ada sesuatu yang tidak beres.’ Ternyata, kami sedang tampil di panggung penghargaan Michelin!”

Listman dan Keval dikenal sebagai pelopor inisiatif yang dianggap revolusioner dalam dunia restoran: “eat what you want, pay what you can”. Dalam bahasa Indonesia, konsep itu dapat diterjemahkan sebagai “makan yang Anda suka, bayar sesuai isi dompet Anda”. Filosofi mereka lebih mengakar pada advokasi sosial melalui makanan ketimbang mengejar penghargaan bergengsi, sebuah prinsip yang tercermin dari keputusan mereka untuk menghadiri perayaan rekan koki yang mereka kagumi alih-alih seremoni Michelin itu sendiri.

Konsep unik “bayar sesuai kemampuan” ini diwujudkan di restoran mereka, Masala y Maiz. Beberapa kali dalam setahun, pengunjung dapat menikmati hidangan khas yang memadukan cita rasa Meksiko, Afrika, dan India. Setelah bersantap, mereka akan menerima sebuah amplop untuk memasukkan pembayaran sesuai kemampuan ekonomi atau harga yang mereka anggap pantas.

Pada hari-hari khusus ini, tidak ada tagihan resmi, tidak ada kewajiban membuat reservasi, dan sistem antrean diberlakukan berdasarkan prinsip siapa yang datang pertama akan dilayani. Namun, ada satu syarat penting yang membuat konsep ini semakin berarti: setiap pelanggan wajib menuliskan berapa persentase nominal yang mereka inginkan untuk dialokasikan kepada staf dapur dari uang yang mereka bayarkan. Melalui pendekatan inovatif ini, Listman dan Keval bercita-cita memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat di kota mereka, tanpa memandang status ekonomi, dapat menikmati hidangan berkualitas tinggi di restoran mereka.

Di Masala y Maiz, hidangan ikonik seperti camarones pa’pelar —udang yang dimasak dengan vanila, jeruk nipis, dan ghee— serta kuku poussin —ayam goreng kecil disajikan dengan keju, selada, dan saus asam jawa— menjadi bintang utama. Saat konsep “bayar semampunya” berlaku, kedua hidangan ini tetap disajikan dengan ukuran dan kualitas standar restoran bintang lima, hanya saja, tanpa label harga di buku menu.

Hebatnya, pasangan koki ini menegaskan bahwa mereka tidak pernah merugi dengan penerapan konsep ini. Sebagian besar pelanggan menunjukkan apresiasi dengan memberikan pembayaran, bahkan ada yang menyumbangkan karya seni asli untuk staf. Yang lebih mengejutkan, banyak pula yang membayar lebih, terkadang hingga tiga kali lipat dari harga normal, membuktikan bahwa kepercayaan dapat berbuah kemurahan hati yang tak terduga.

Bagi Listman dan Keval, konsep yang membiarkan pelanggan membayar sesuai kemampuan adalah sebuah langkah krusial di tengah kota yang kian dihantam masalah gentrifikasi dan pariwisata berlebihan. “Ada begitu banyak ketimpangan kelas, ada banyak ketimpangan ekonomi di kota ini. Ada orang yang menghasilkan semua uang dan orang yang melakukan semua pekerjaan,” ungkap Listman.

Ia melanjutkan, “Konsep restoran seperti ini diharapkan dapat menjembatani kesenjangan kelas dan ekonomi tersebut, serta membuat restoran dapat diakses oleh semua orang—setidaknya untuk satu hari.” Ini adalah upaya nyata untuk menciptakan inklusivitas dalam dunia kuliner.

Meskipun tak pernah menyangka restoran mereka akan masuk daftar Michelin, Listman dan Keval menyadari bahwa bintang prestisius ini dapat membawa manfaat signifikan. Penghargaan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran akan konsep “bayar semampunya”, tetapi juga berpotensi menginspirasi restoran lain di Mexico City, bahkan di seluruh dunia.

Antusiasme terhadap konsep ini sudah mulai menyebar. Pada 27 Agustus 2025, untuk pertama kalinya, lebih dari 20 restoran lain di Mexico City akan turut serta menjalankan konsep “bayar semampunya”. Keval berharap gerakan ini akan meluas secara global. “Kami telah menerima kontak dari orang-orang di Chili, Kolombia, bagian lain Meksiko, serta Peru yang ingin bergabung dalam gerakan ini,” katanya kepada BBC.

“Saya tidak melihat mengapa ini tidak bisa menjadi ‘bayar sesuai kemampuan internasional’,” tambahnya, optimis. Tahun ini, berbagai jenis bisnis makanan, mulai dari toko roti keluarga kecil seperti Panadería Valle Luna di Colonia Juarez, hingga Expendio de Maíz—salah satu tempat berbintang Michelin di Mexico City yang berfokus pada masakan tradisional Meksiko berbahan dasar jagung—turut berpartisipasi. Listman dan Keval memperkirakan jumlah usaha kuliner yang terlibat akan terus bertambah setiap tahunnya.

“Kami termotivasi oleh semangat kebersamaan,” ujar Ximena Igartúa dari Loup Bar di Distrik Cuauhtémoc, salah satu peserta acara ini. “Ini adalah pesan kolektif tentang persatuan dan solidaritas, serta undangan untuk mencoba memecahkan stereotip. Ini juga cara untuk membalas kebaikan kepada pelanggan kami atas segala yang kami terima,” jelasnya.

Keval berharap gerakan ini dapat memicu tren global yang lebih besar, sebuah impian yang tampaknya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perwujudannya. Skema “bayar sesuai kemampuan” memang sudah ada di beberapa tempat lain, seperti Annalakshmi Restaurant di Singapura atau Rethink Cafe di Brooklyn, NY, yang meskipun independen dari inisiatif Mexico City, menunjukkan adanya kebutuhan serupa.

Kedua pemilik Masala y Maiz ini memiliki visi agar semakin banyak restoran dan lebih banyak orang dapat menikmati hidangan lezat dengan harga yang terjangkau. “Bekerja di restoran sangat melelahkan dan keuntungan yang didapat semakin berkurang. Margin keuntungan begitu tipis sehingga sulit untuk memiliki ruang untuk bermimpi,” kata Keval.

“Namun, ini adalah suatu langkah yang bisa dilakukan,” ujarnya penuh harap, menunjukkan bahwa inovasi sosial dan bisnis yang berkelanjutan adalah mungkin.

Artikel ini pertama kali terbit di BBC Travel dengan judul Pay what you can for a michelin starred meal

  • Bagaimana cara restoran mendapatkan bintang Michelin?
  • Sejarah di balik penghargaan makanan terlezat oleh Michelin
  • Mengapa harga pangan terus melonjak dan apakah era makanan murah sudah berakhir?
  • Mengapa harga daging dunia mencapai rekor tertinggi?

Leave a Comment