Apa bukti Soeharto terlibat pembantaian massal 1965?

Photo of author

By AdminTekno

Soeharto dianggap tidak terlibat dalam genosida politik 1965 yang menyebabkan jutaan orang hilang, tewas, serta dipenjara tanpa melewati proses peradilan. BBC News Indonesia menelusuri sejumlah penelitian, buku, dokumen rahasia yang sudah dirilis, serta mewawancarai sejarawan maupun akademisi untuk mengetahui kebenaran klaim tersebut.

Hasilnya: Soeharto dengan sadar memerintahkan pembersihan—berujung pembantaian—kepada anggota, simpatisan, hingga yang dituding Partai Komunis Indonesia (PKI).

Salah satu dokumen yang dikirim Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta ke Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tertanggal 30 November 1965 menyatakan “TNI hendak melanjutkan kampanye represi PKI atas perintah Jenderal Soeharto.”

Temuan lainnya menyebut segala yang dilakukan Soeharto pada Oktober 1965 menunjukkan bahwa dia sedang melaksanakan rencana serangan antikomunis—bukan sekadar merespons kematian enam perwira di TNI Angkatan Darat.

Sementara riset intensif peneliti Australia mengemukakan Soeharto, tidak lama usai para jenderal dibunuh, mengirimkan telegram di lingkup internal militer yang berpesan “PKI perlu ditumpas.”

Pemerintah, diwakili Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menegaskan campur tangan Soeharto dalam pembantaian massal 1965 tidak pernah terbukti.

“Enggak pernah ada buktinya, kan? Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” katanya di Istana Kepresidenan, Rabu (5/11) kemarin.

“Apa faktanya? Ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah, fakta, dan data, gitu. Ada enggak? Enggak ada, kan?”

Nama Soeharto masuk ke daftar 49 tokoh yang bakal diberi status pahlawan oleh pemerintah. Pemerintah meyakini Soeharto layak menjadi pahlawan nasional berkat jasa-jasanya.

Langkah pemerintah direspons kritik oleh, misalnya, kelompok sipil yang menilai Soeharto mempunyai dosa dan pelanggaran HAM besar seperti yang muncul dalam Peristiwa 1965.

Senin ini (10/11), bertepatan dengan Hari Pahlawan, hasil final diambil pemerintah: status Soeharto tidak lagi cuma mantan presiden, melainkan pahlawan nasional.

Dokumen rahasia AS: pengakuan Soeharto kepada Nixon

Pada Mei 1970, menurut satu dokumen, Soeharto melawat ke Amerika Serikat untuk bersua Presiden AS kala itu, Richard Nixon. Ini kunjungan pertama Soeharto ke AS selepas menjabat presiden. Pertemuan turut dihadiri penasihat keamanan presiden AS, Henry Kissinger.

Dalam perjumpaannya bersama Nixon, Soeharto “dengan jujur mengakui telah melemahkan kekuatan Partai Komunis Indonesia,” jelas dokumen tersebut.

“Yang tampaknya merujuk pada pembunuhan massal terhadap terduga anggota PKI, dan menyatakan bahwa puluhan ribu anggotanya [PKI] telah diinterogasi dan ditahan,” tambah dokumen bersangkutan.

Nixon dideskripsikan “membatasi dirinya pada pertanyaan dan pernyataan terkait dukungan Amerika Serikat terhadap rezim Soeharto.”

Selama kunjungan dua hari, Gedung Putih meyakinkan para pejabat—termasuk Soeharto—ihwal komitmen berkelanjutan mereka di Asia Tenggara.

“Dan berjanji untuk meningkatkan bantuan militer menjadi US$18 juta agar Indonesia dapat membeli 15.000 senapan M-16,” terang dokumen itu.

Dokumen berikutnya, yang dibikin Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada November 1965, menuturkan Jenderal AH Nasution bertekad melanjutkan kampanye represi PKI yang telah mencapai tahap eksekusi massal di beberapa provinsi di Indonesia atas perintah Jenderal Soeharto.

“Baik di provinsi-provinsi maupun di Jakarta, represi terhadap PKI berlanjut, dengan masalah utama yang dihadapi yaitu apa yang akan diberikan kepada para tahanan untuk dimakan dan di mana mereka akan ditempatkan,” demikian bunyi penggalan isi dokumen.

“Banyak provinsi tampaknya berhasil mengatasi masalah ini dengan mengeksekusi tahanan PKI mereka, atau dengan membunuh mereka sebelum ditangkap, sebuah tugas di mana kelompok pemuda Muslim memberikan bantuan.”

Baca juga:

  • Soeharto ‘koordinir’ operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
  • Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI ‘tak akan ubah sejarah’
  • Dari 1965 hingga slogan ‘piye kabare enak jamanku toh’: Suharto dibenci, Suharto dirindukan

Berjarak setahun dari dokumen di atas, 1966, Kedutaan Besar AS kembali membuat laporan. Dokumen dengan titimangsa 22 Juni 1966 itu merinci fragmentasi valuta asing di Indonesia.

Setelah Oktober 1965, mengutip dokumen tersebut, pejabat AS mengamati—dan menyetujui—elite militer “yang bersekutu dengan Jenderal Soeharto” mendekati perusahaan asing serta meminta agar mereka menyetor royalti maupun uang sewa ke rekening bank yang dikuasai Angkatan Darat.

Tujuannya: sebagai alat “meruntuhkan pengaturan valuta asing [pemerintahan] Sukarno” dan mempercepat runtuhnya Indonesia sehingga melegitimasi “pengambilalihan kekuasaan” oleh Angkatan Darat.

Pada Mei 1967, sebuah laporan internal AS mengatakan rezim Soeharto berupaya mendorong perusahaan-perusahaan Barat untuk kembali ke Indonesia melalui penyusunan undang-undang investasi asing baru, selain penandatanganan kesepakatan konsesi dengan perusahaan minyak, tambang, sampai kayu.

Akhir 1986, laporan CIA memperlihatkan gambaran positif mengenai Soeharto dan rezim Orde Baru yang dibentuk selepas menggulingkan Sukarno. Belasan bulan pascapembantaian 1965, “pemerintahan Soeharto memberi Indonesia kepemimpinan yang relatif moderat,” ucap CIA.

“Tidak ada kekuatan di Indonesia saat ini yang dapat secara efektif menentang posisi tentara, terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah Soeharto menggunakan instrumen kekuasaan dengan cukup ringan,” CIA melaporkan.

CIA menggaris bawahi betapa kecil kemungkinan berkembang ancaman atas keamanan dalam negeri Indonesia “yang tidak dapat dibendung militer.”

“Tentara, yang mungkin dipimpin Soeharto, hampir pasti akan mempertahankan kendali pemerintah selama periode ini [tiga hingga lima tahun ke depan],” jelas CIA.

Laporan-laporan ini dikumpulkan Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University berdasarkan puluhan ribu halaman dokumen pemerintah AS yang sudah dibuka ke publik (deklasifikasi).

Catatan yang disusun Kedutaan Besar AS di Jakarta, CIA, serta badan-badan pemerintah AS lainnya memperlihatkan bagaimana AS mengetahui—serta memberi dukungan—kepada rezim militer Soeharto dalam “pembersihan” PKI maupun pembentukan Orde Baru.

Soeharto, di mata AS, merupakan tokoh sentral di balik itu semua.

“Dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasi ini, yang merinci catatan panjang dukungan AS terhadap salah satu orang paling brutal dan korup di abad ke-20, akan berkontribusi pada pemahaman kita tentang pemerintahan Soeharto dan dukungan AS yang memungkinkan hal itu,” papar peneliti dan pengarsip di National Security Archive, Bradley Simpson.

Soeharto dan penyebaran propaganda ‘jahat’ kepada PKI

Vincent Bevins lewat bukunya The Jakarta Method (2020) mengungkapkan Peristiwa 30 September 1965 adalah efek dari konflik di tubuh Angkatan Darat. PKI sama sekali tidak berperan.

Vincent mengutip analisis dua Indonesianis, Benedict Anderson & Ruth McVey, yang menuangkan konklusi itu ke dalam A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1966).

Berdasarkan keterangan mantan Menteri Luar Negeri, Subandrio, dua pemimpin Gerakan 30 September, Letnan Kolonel Untung serta Kolonel Latief, sempat bertemu Soeharto sebelum huru-hara pecah.

Keduanya mengabarkan tentang operasi yang direncanakan. Soeharto menjanjikan dukungan kepada mereka.

“Tapi sebaliknya: Soeharto menahan diri dan menggunakan pemberontakan sebagai dalih untuk merebut kekuasaan,” ucap Vincent di The Jakarta Method.

Profesor sejarah di University of Amsterdam, Saskia Wieringa, memaparkan kendati faktor pendorong Gerakan 30 September masih belum sepenuhnya jelas, setidaknya Soeharto paham mengenai apa yang sedang terjadi.

Saskia, bersama Nursyahbani Katjasungkana, menulis buku Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagined Evil (2019).

“Jika dia tidak memerintahkan itu, dia tahu itu [Gerakan 30 September] karena Untung dan Latif, keduanya, mendatangi rumah Soeharto beberapa kali pada September sebelum aksi, dan mereka mendiskusikan itu,” tutur Saskia kala dihubungi BBC News Indonesia.

“Untung dan Latif sudah mengaku tentang hal tersebut. Jadi minimal Soeharto tahu bahwa mereka akan dieksekusi.”

Pada 1 Oktober 1965, mayoritas orang Indonesia tidak tahu siapa Soeharto. CIA, badan intelijen Amerika Serikat, tidak demikian.

Sejak September 1964, “CIA mencantumkan Soeharto dalam sebuah kabel rahasia sebagai salah satu jenderal Angkatan Darat yang dianggap bersahabat dengan kepentingan antikomunis AS,” ujar Vincent.

Kabel tersebut turut pula mengemukakan gagasan koalisi militer dan kelompok sipil antikomunis yang dapat meraih kekuasaan.

Soeharto, merujuk The Jakarta Method, merupakan “mayor jenderal berusia 40 tahun yang pendiam dari Jawa Tengah.” Dia menjabat kepala Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD).

Soeharto pernah belajar di bawah bimbingan pria bernama Suwarto, perwira ‘pemikir’ yang memperkenalkan teori modernisasi militer di Indonesia sekaligus kawan karib konsultan RAND Corporation, Guy Pauker. RAND Corporation merupakan lembaga think tank kebijakan global asal Amerika Serikat.

Sebelum 1965 pecah, Soeharto pernah tertangkap basah melakukan penyelundupan. Dia dipecat AH Nasution dan ditampar Ahmad Yani.

Saat konfrontasi ‘Ganyang Malaysia’ digalakkan Sukarno, Soeharto “memastikan pasukan di sepanjang perbatasan dengan Malaysia kekurangan personel serta perlengkapan,” mengacu The Jakarta Method.

“Dan menggunakan kekuasaannya untuk meminimalkan konflik Indonesia dengan Inggris—dan AS—pada saat itu,” imbuh Vincent di The Jakarta Method.

Pagi hari pada 1 Oktober 1965, seperti dikronologikan di The Jakarta Method, Soeharto tiba di KOSTRAD. Dia merebut kendali TNI Angkatan Darat serta memerintahkan pasukan “Gerakan 30 September” untuk membubarkan diri. Kalau tidak, Soeharto akan menyerang balik.

Perubahan peran Soeharto dalam Peristiwa 1965 dengan mengambil alih TNI Angkatan Darat menggambarkan dia “sedang melaksanakan rencana serangan balasan antikomunis yang telah dibayangkan sebelumnya,” merujuk The Jakarta Method.

Keputusan Soeharto berbuah hasil. Jakarta Pusat bisa diamankan disusul munculnya pengumuman lewat radio: Gerakan 30 September sudah dikalahkan.

Mulanya, Sukarno meminta jenderal lainnya, Pranoto Reksosamudro, agar menemuinya di Bandara Halim Perdanakusuma serta memimpin TNI AD. Soeharto melarang Pranoto dan menyuruh Sukarno pergi meninggalkan Jakarta.

Dari situ, kewenangannya Soeharto semakin luas.

Soeharto, berdasarkan The Jakarta Method, mengontrol semua media massa. Dia menyebarkan propaganda jahat ihwal PKI yang memicu kebencian masif terhadap komunis di seluruh penjuru negeri.

Militer menyebarkan cerita PKI adalah dalang kudeta Sukarno yang gagal. Soeharto dan anak buahnya mengklaim PKI membawa para jenderal ke Bandara Halim untuk memulai ritual keji.

Soeharto dan militer, pada saat bersamaan, mengatakan anggota Gerwani, organ perempuan yang terafiliasi ke PKI, memutilasi tubuh para jenderal: mencongkel mata hingga memotong alat vital mereka.

Media massa milik militer, Angkatan Bersendjata, lalu mencetak foto-foto jenazah jenderal yang tewas, menyebut mereka “telah dibantai dengan kejam dan brutal” dalam tindakan penyiksaan yang “menyakitkan bagi kemanusiaan.”

Tak ketinggalan, militer menuduh PKI memiliki daftar panjang orang yang akan dibunuh beserta kuburan massalnya. Soeharto dan tentara juga menyatakan China—secara rahasia—mengirim senjata ke Pemuda Rakyat, onderbouw PKI.

“Cerita konspirasi tentang komunis jahat yang mengambil alih negara dengan menyiksa prajurit-prajurit telah menjadi semacam bagian dari agama nasional di bawah kediktatoran Soeharto,” sebut Vincent di The Jakarta Method.

Dua dekade usai 1965 meledak, sejarawan Cornell University, Benedict Anderson, membuktikan narasi kekejaman PKI tidak pernah terjadi; semata merupakan propaganda untuk memuluskan kekuasaan Soeharto.

Kekuatan di satu tangan

Dalam konteks pembantaian 1965, konsolidasi kekuatan sekaligus pengaruh Soeharto di militer kian tidak terbendung dengan serangkaian jabatan atau posisi strategis yang melekat kepadanya.

Di luar KOSTRAD, Soeharto, pada Oktober 1965, membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Dia menunjuk diri sebagai panglimanya.

Merujuk buku Exposed: A Visual History of the Destruction of the Indonesian Left (2025)—selanjutnya Exposed—yang disusun Geoffrey Robinson serta Douglas Kammen, Kopkamtib “bukan entitas baru dengan struktur staf dan pasukan sendiri.”

Penunjukan Soeharto menjadi Panglima Kopkamtib (Pangkopkamtib) memberikan Soeharto wewenang di luar lingkup jabatan Komandan Konstrad, menurut Exposed.

Secara efektif, jabatan Pangkopkamtib memungkinkan Soeharto mengabaikan rantai komando militer serta dapat mengerahkan personel “dalam struktur teritorial tentara yang luas,” tambah Geoffrey serta Douglas.

Berselang sebentar setelah menjabat Pangkopkamtib, Soeharto mengeluarkan instruksi untuk “membersihkan” Angkatan Darat dari semua unsur yang “secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam” atau “bersimpati terhadap” Gerakan 30 September.

Dari ruang militer, instruksi ini kemudian diterapkan dalam skala besar—menyasar sipil. Kopkamtib membagi mereka yang dituding bagian dari Gerakan 30 September atau PKI ke tiga kelompok.

Kelompok pertama, Golongan A, berisi mereka yang terlibat langsung “upaya kudeta” atau menjadi anggota PKI.

Lalu Golongan B, yang kedua, adalah orang-orang yang secara tidak langsung terlibat.

Sementara Golongan C, atau ketiga, menampung mereka yang diasumsikan terlibat aktif maupun tidak dalam kudeta serta PKI.

Penggunaan definisi yang samar-samar di pengelompokan tersebut, tulis Douglas dan Geoffrey, memberikan diskresi serta wewenang luar biasa bagi Soeharto guna memberangus PKI.

Konsolidasi kekuatan Soeharto bertambah kokoh selepas dia memperoleh kursi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Dia lantas memerintahkan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Kolonel Sarwo Edhie, turun gunung membantai serta menangkapi “orang-orang Kiri.”

Di Jawa Tengah, masih mengutip Exposed, RPKAD mengirimkan tiga kompi pasukan, satu kompi kavaleri, serta satu kompi polisi militer ke Semarang melalui jalur darat. Dari Semarang, pasukan bergerak ke Magelang menuju Yogyakarta sebelum akhirnya mendarat di Surakarta. Selesai di Jawa Tengah, pasukan bergeser ke Jawa Timur dan Bali.

Pada pertengahan November 1965, Soeharto, merujuk keterangan yang terpacak di Exposed, “melakukan kunjungan mendadak ke Jawa Tengah” guna “bertemu Sarwo Edhie dan mengamati situasi [yang berkembang].”

Dalam merealisasikan misinya, tentara sering kali menggaet masyarakat sipil, kelompok agama, hingga pemuda.

Kombinasi antara pengerahan pasukan serta kategorisasi “orang-orang Kiri” berandil dalam menciptakan banjir darah hingga penangkapan besar-besaran. Penciptaan “stabilitas” ala Soeharto dipakai menjadi dalih pembunuhan massal.

Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, melaporkan lewat telegram diplomatik bahwa “Jenderal Soeharto telah memerintahkan komandan militer di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk menembak anggota PKI yang tidak terlibat dalam Gerakan 30 September serta menahan mereka guna diinterogasi.”

Tidak berhenti di Jawa serta Bali, kekerasan aparat turut ditemukan di Sulawesi, Kalimantan, serta Sumatra.

‘Itu rencana Soeharto’

Akademisi The University of Sydney, Jess Melvin, berdasarkan penelitiannya terhadap ribuan dokumen primer kepunyaan militer, mengungkap pembantaian 1965 dikoordinir langsung oleh Soeharto. Riset Jess dibukukan dengan judul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018).

Jess menyebut militer mengaktifkan rantai komando yang telah dibentuk sebelum Oktober 1965 dalam rangka menuntaskan operasi pembasmian.

Operasi pembasmian ini diterapkan secara teritorial serta struktural, mencakup keterlibatan Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Operasi Tertinggi (KOTI), RPKAD, dan Kostrad. Soeharto memantau sekaligus mengawasi langsung jalannya operasi, tutur Jess.

“Ada telegram yang keluar dari Soeharto, pada 1 Oktober pagi. Dia mengumumkan kepada pimpinan militer harus siap,” ucapnya saat diwawancarai BBC News Indonesia.

“Setelah itu, sudah ada perintah langsung dari militer bahwa PKI perlu ditumpas. Untuk melakukan itu, militer memakai rantai komando yang mereka sudah siapkan untuk ini.”

Pembunuhan massal, kata Jess, punya pola. Pertama, militer menargetkan pemimpin politik PKI. Kedua, militer menyasar pentolan organisasi-organisasi yang terhubung dengan PKI seperti Gerwani sampai Pemuda Rakyat.

“Lalu ada keluarga mereka. Ada istri-istri, ada anak-anak, yang juga ikut dibunuh waktu itu. Orang yang mungkin satu kampung dengan orang PKI, mereka juga diserang dan dituduh PKI,” tandas Jess.

Bagi Jess, pembantaian 1965 adalah “kampanye nasional sehingga memerlukan organisasi yang sangat kuat di belakangnya.” Siapa organisasi besar yang memiliki kemampuan tersebut? Militer. Segala kebutuhan terkait penumpasan PKI disiapkan militer secara detail dan rapi, imbuh jess.

“Jadi kita ada riset dari semua rapat-rapat [militer] yang ada. Kita tahu apa yang mereka putuskan di situ dan bagaimana pembunuhan itu dilakukan, termasuk sampai rekaman berapa orang yang dibunuh di jalan waktu itu,” ungkap Jess.

“Mereka sangat tahu apa yang terjadi waktu itu.”

Kekerasan demi kekerasan yang ditujukan kepada anggota maupun simpatisan PKI tidak sekadar aksi tanpa kepentingan; dia merepresentasikan ambisi Soeharto.

“Apa yang dia ingin capai dengan itu? Sangat jelas, jabatan presiden. Pada akhirnya, dia [Soeharto] menggantikan Sukarno,” ucap profesor sejarah University of Amsterdam, Saskia Wieringa, kepada BBC News Indonesia.

“Itu ide besarnya; melemahkan Sukarno. Itu ide Soeharto. Rencana Soeharto.”

Kekerasan 1965 termasuk genosida, kata Pengadilan Rakyat Internasional

Pembantaian 1965 dibawa ke pembahasan di tingkat internasional oleh forum sipil bernama International People Tribunal 1965 (IPT 1965). Forum ini bertujuan “memperbaiki sejarah yang cenderung menyepelekan, mentolerir, menyisihkan, dan mengaburkan kejahatan-kejahatan pasca 30 September.”

Pada 2016, IPT mempublikasikan laporan akhir tentang kekerasan 1965 yang menyatakan Indonesia bersalah serta bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan usai 30 September.

Pelakunya ialah militer yang beraksi melalui garis komando. Soeharto, yang saat itu menjabat Pangkopkamtib, turut disebut sebagai pihak yang mesti diusut.

IPT menilai kekerasan 1965 dapat dikategorikan sebagai genosida, sesuai dengan Konvensi Genosida 1948.

Salah satu indikator yang terang terlihat yakni pembunuhan masif dan sistematis dengan korban meninggal diasumsikan menyentuh 400.000 sampai 500.000 jiwa, menurut IPT 1965.

IPT 1965 menambahkan 600.000 orang dipenjara di bawah “kondisi yang tidak manusiawi,” selain banyak korban lainnya yang mengalami perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, hingga kekerasan seksual.

Laporan IPT 1965 ditanggapi publik dengan desakan serta tuntutan kepada pemerintah agar meminta maaf secara terbuka kepada keluarga penyintas 1965.

Pemerintah sendiri menyertakan Peristiwa 1965 ke dalam daftar pelanggaran HAM berat masa lalu dan mengupayakan penyelesaian lewat pemulihan hak korban secara nonyudisial.

Meski begitu, pemerintah tidak mengeluarkan permintaan maaf.

‘Akhir cerita dari Reformasi’

Pembantaian 1965 bukan satu-satunya pelanggaran HAM berat yang melekat pada sosok Soeharto. Selama Orde Baru berkuasa, babak kekerasan datang silih berganti mengiringi laju roda pemerintahan sekaligus kediktatorannya.

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua 1969 menjadi pintu masuk eksploitasi bermotif ekonomi serta dominasi militer di Papua yang dampaknya masih dirasakan sampai sekarang. Pelaksanaan Pepera dianggap manipulatif serta di bawah tekanan, ujar pendiri TAPOL, organisasi HAM di Inggris, Carmel Budiardjo.

Usaha memasukkan Timor Timur ke Indonesia sejak 1975 diwarnai serangkaian operasi militer yang menewaskan sekurang-kurangnya 102.800 orang, mengacu laporan Commission for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR).

Sementara kebijakan sapu bersih kriminal yang digaungkan pada periode 1983 sampai 1985 dan populer dengan “penembakan misterius” telah menyebabkan lebih dari 5.000 orang tewas, merujuk penelitian bertajuk Crime, Law, and State Authority in Indonesia (1990) yang digarap David Bourchier.

Penerapan asas tunggal Pancasila, yang secara garis besar menolak ideologi politik lain kecuali buatan Orde Baru, turut melahirkan peristiwa Tanjung Priok (1984) serta Talangsari (1989). Keduanya menimbulkan korban yang tidak sedikit, didominasi muslim.

Terlepas dari rentetan pelanggaran HAM berat yang muncul sepanjang Soeharto berkuasa, namanya tetap tertulis dalam daftar calon pahlawan nasional.

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, selaku perwakilan pemerintah yang mengurusi seleksi nama-nama calon pahlawan nasional, menjelaskan Soeharto adalah satu dari banyak tokoh yang diusulkan daerah.

Dia memastikan masuknya nama Soeharto telah melewati proses penyerapan aspirasi, diskusi, hingga pembahasan yang komprehensif.

Keputusan final mengenai penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional berada di tangan tim independen bentukan Dewan Gelar, Penghargaan, dan Tanda Jasa yang diketuai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.

“Kami sudah serahkan langsung ke Pak Fadli Zon. Nanti keputusan akhirnya tetap di Dewan Gelar dan akan diteruskan ke presiden,” sebutnya.

Sedangkan Fadli Zon, dalam kesempatan terpisah, menerangkan sudah menerima 49 nama calon pahlawan nasional dari Kementerian Sosial. Dari jumlah tersebut, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan akan menyeleksi 24 nama yang diprioritaskan sebagai calon pahlawan nasional.

Fadli tidak mengatakan dengan pasti apakah daftar prioritas itu memuat Soeharto atau sebaliknya. Namun, dia menegaskan Soeharto memenuhi syarat.

“Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat, termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan,” terangnya awal November silam.

“Jadi memenuhi syarat dari bawah. Dari beberapa layer itu sudah memenuhi syarat. Enggak ada masalah dan itu datangnya dari masyarakat juga.”

Soeharto pada akhirnya dipilih sebagai pahlawan nasional bersama “kurang lebih sepuluh nama lainnya,” ujar Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi. Presiden Prabowo Subianto bakal menyampaikannya secara langsung Senin ini, bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan.

Upaya menetapkan Soeharto menjadi pahlawan nasional dipandang sebagai cara pemerintah “menulis lembar sejarah baru,” menurut dosen studi sosiologi Universitas Nasional, Andi Achdian.

Permasalahannya, Andi meneruskan, keputusan itu memiliki konsekuensi yang tidak kecil.

“Dan sebenarnya secara hukum jelas konsekuensinya kalau dia dijadikan pahlawan nasional, artinya adalah menutup semua pintu bagi apa yang disebut pelanggaran HAM berat,” ucapnya ketika diwawancarai BBC News Indonesia.

“Jadi selesai sudah. Tidak akan ada lagi pembicaraan itu. Apa pun yang dilakukan oleh aktivis-aktivis HAM, sudah tidak punya konsekuensi lagi.”

Dalam pandangan yang lebih luas, penetapan pahlawan nasional yang dialamatkan ke Soeharto menandakan “demokrasi kita semakin rusak,” imbuh Andi.

“Karena prinsip dasar dari demokratisasi Indonesia adalah penegakan HAM, seperti yang ada di dalam agenda Reformasi. Tapi, itu dilunturkan dengan pelaku pelanggaran HAM berat bisa jadi pahlawan nasional,” tegas Andi.

“Artinya, ini cerita akhir Reformasi.”

  • ‘Bapak pembangunan’ dan pelanggar HAM – Mengapa Soeharto dianggap tak layak jadi pahlawan nasional?
  • Suharto, suara dari Timur: antara ‘diktator sukses’ dan ‘penindas kejam’
  • Dari 1965 hingga slogan ‘piye kabare enak jamanku toh’: Suharto dibenci, Suharto dirindukan
  • Mengapa ‘merindukan’ sosok Suharto?
  • Kontradiksi gelar pahlawan nasional untuk Marsinah dan Soeharto – ‘Ini manipulasi politik dan sejarah yang luar biasa’
  • 20 tahun reformasi: Lini masa foto dan video BBC sejak Soeharto berkuasa hingga jatuh
  • Sejarah Dwifungsi ABRI: Panggilan sejarah, kelemahan pemimpin sipil, atau hasrat militer berkuasa?
  • Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’
  • ‘Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon’ – Jejak kekerasan 1965 di Tanah Gayo dan ikhtiar penyembuhan
  • Pengakuan anak-anak ‘algojo’ pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’
  • Suara-suara keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Jika bapak saya PKI, tetap saja dia tidak boleh dibunuh’
  • Mafia Berkeley, Ali Moertopo, hingga Opsus – Tiga hal yang perlu diketahui tentang Orde Baru dan sepak terjangnya
  • Pasang surut gerakan mahasiswa dan kebijakan depolitisasi kampus pada masa Orde Baru
  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru
  • Foto-foto yang disembunyikan jadi saksi peristiwa kekerasan 1965 – Dari pawai meriah PKI hingga dua jenazah tanpa nama
  • Tragedi 1965 dan ‘mantra ampuh’ di balik citra surgawi pariwisata Bali
  • ‘Rumah kami dirampas paksa’ – Korban Peristiwa 1965 menuntut pemulihan aset keluarga

Leave a Comment