Influencer TikTok, Mariam Cisse Diculik, Saat Senja Dibawa ke Lapangan dan Dieksekusi Mati

Photo of author

By AdminTekno

Kita Tekno – , MALI — Seorang influencer TikTok ditembak mati di depan kerumunan di Mali. Korban diketahui bernama Mariam Cissé.

Seperti dilaporkan the Guardian, Cissé sering mengenakan pakaian tempur untuk mengunggah video dukungan bagi militer negara tersebut kepada lebih dari 100.000 pengikut di TikTok.

Menurut Yehia Tandina, wali kota wilayah Timbuktu, ia diculik di sebuah pasar pada Jumat oleh orang-orang bersenjata tak dikenal.

“Saat senja keesokan harinya, orang-orang yang sama membawanya kembali ke Lapangan Kemerdekaan di Tonka dan mengeksekusinya di depan kerumunan,” ujar Tandina kepada Associated Press.

Mayor tersebut mengatakan Cissé, yang diyakini berusia 20-an, menerima ancaman pembunuhan sebelum kematiannya.

Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Namun milisi terkait Alqaidah kerap patroli Tonka, yang berjarak sekitar 90 mil dari Timbuktu.

“Perempuan muda ini hanya ingin mempromosikan komunitasnya melalui unggahan TikTok dan menyemangati tentara Mali dalam menjalankan misinya melindungi rakyat dan harta benda mereka,” demikian laporan di TV pemerintah.

 

Konflik di Mali dimulai pada 2012 ketika pemberontakan oleh pemberontak Tuareg ‘dibajak’ oleh kelompok-kelompok garis keras kanan yang terkait dengan Alqaidah dan kemudian ISIS.

Meskipun ada intervensi yang dipimpin Prancis dan misi perdamaian PBB, kekerasan menyebar ke selatan karena para pemberontak mengeksploitasi keluhan lokal, korupsi, dan pemerintahan yang lemah.

Militer mengambil alih kendali negara itu melalui kudeta berturut-turut pada 2020 dan 2021, yang kemudian meningkatkan ketegangan dengan sekutu Barat.

Junta militer mengusir pasukan Prancis dan PBB, menuduh mereka ikut campur dalam isu-isu hak asasi manusia, dan beralih ke Rusia untuk mendapatkan dukungan, termasuk dari tentara bayaran Wagner.

Tentara gagal mengakhiri pemberontakan, meskipun telah berjanji untuk meningkatkan keamanan, dan ketegangan telah meningkat di dalam jajarannya.

“Perebutan kekuasaan hanya memperdalam perpecahan, memecah belah tentara antara loyalis rezim yang memiliki hak istimewa dan mereka yang dikirim ke garis depan,” kata Rama Yade, direktur senior Pusat Afrika di lembaga think tank Atlantic Council.

Ditambah dengan kepergian pasukan internasional dari Mali. Fragmentasi ini menyebabkan posisi-posisi strategis ditinggalkan dan senjata jatuh ke tangan separatis. Milisi garis keras memperluas kekuasaan mereka di wilayah pedesaan utara.

Mereka telah memperketat kendali atas rute pasokan utama dari negara tetangga Pantai Gading, Mauritania, dan Senegal. Para pejuang dari JNIM (kelompok terkait Alqaidah) telah memberlakukan blokade bahan bakar sejak September, melumpuhkan transportasi dan membuat rumah sakit kesulitan. Sementara pemerintah terpaksa menutup sekolah tanpa batas waktu.

Di Bamako, ibu kota, dan kota-kota lain, antrean mengular hingga bermil-mil untuk mendapatkan bahan bakar dan makanan yang semakin mahal.

Prancis, AS, Jerman, dan Italia telah mengeluarkan peringatan kepada warganya untuk segera meninggalkan Mali dengan penerbangan komersial, dengan alasan jalan-jalan di sekitar ibu kota tidak aman.

Meskipun junta masih bertahan untuk saat ini. Para analis dan pengamat mengatakan jatuhnya rezim kemungkinan akan terjadi dalam beberapa minggu atau bulan ke depan.

Dalam sebuah pernyataan pada Ahad, Uni Afrika menyatakan keprihatinan yang mendalam atas situasi keamanan yang memburuk dengan cepat di Mali. Mereka menyerukan koordinasi internasional yang mendesak dan pembagian informasi intelijen untuk membantu junta memulihkan stabilitas.

Ketidakamanan yang memburuk telah menyebabkan lonjakan penculikan. Kima pekerja India diculik pada Kamis lalu di dekat Kobri di Mali barat. Pada Ahad, JNIM mengaku bertanggung jawab atas penculikan tiga warga negara Mesir dan menuntut 5 juta dolar AS untuk pembebasan mereka.

Leave a Comment