Sosok di balik kesuksesan The Beatles yang tewas overdosis – ‘Saya tahu betul lagu-lagu yang akan populer’

Photo of author

By AdminTekno

Brian Epstein adalah sosok visioner yang berhasil mengangkat The Beatles dari panggung sederhana Cavern Club di Liverpool hingga menjadi fenomena global. Namun, 58 tahun lalu, kepergiannya yang mendadak membuat band legendaris itu limbung, seperti kapal yang kehilangan nahkodanya.

Pada tanggal 27 Agustus 1967, kabar meninggalnya manajer mereka, Brian Epstein, di kediamannya di London, Inggris, menyelimuti The Beatles dengan kepanikan. Paul McCartney, dalam biografinya tahun 1997, Many Years from Now, mengungkapkan perasaannya: “Itu sangat menghancurkan, menyedihkan, dan sedikit menakutkan.”

Peran Epstein dalam melambungkan karier The Fab Four sangat fundamental. Ia tak hanya membantu mereka mendapatkan kontrak rekaman dan mengelola seluruh urusan bisnis, tetapi juga membentuk citra awal mereka dan memberikan dukungan tanpa henti. Dari panggung klub lokal Liverpool, Epstein melihat potensi besar yang akan menjadikan The Beatles sebagai band terbesar di dunia.

Keyakinan Epstein terhadap The Beatles begitu kuat. Dalam profilnya di acara Panorama BBC pada tahun 1964, impresario pop ini menegaskan bahwa sejak mengontrak band tersebut pada tahun 1961, ia sudah memiliki firasat teguh bahwa mereka akan menjelma menjadi “salah satu band terbesar di dunia.”

Pada masa wawancara Panorama tersebut, Epstein telah sukses menaungi beberapa musisi lain seperti Gerry and the Pacemakers, Cilla Black, dan Tommy Quickly. Reporter BBC, Michael Charlton, memuji “penilaian uniknya tentang apa yang akan menjadi hit dan siapa yang akan berhasil.” Charlton menambahkan bahwa di tengah persaingan ketat industri musik di mana hanya segelintir rekaman pop yang sukses, “para bintang muda Epstein telah menduduki tangga lagu hit di seluruh dunia.”

Meski cemerlang di dunia pop, perjalanan Epstein menuju sana terbilang tidak biasa. Charlton mencatat bahwa Epstein awalnya tampak seperti “orang luar” bagi industri ini. “Dia sendiri tampaknya bukan bagian dari dunia ini, namun dia benar-benar tersentuh oleh kaum muda dan antusiasme mereka,” kata Charlton, menggambarkan kepekaan Epstein terhadap budaya pop yang berkembang.

Lahir pada tahun 1934 sebagai putra sulung dari keluarga Yahudi pemilik bisnis ritel sukses di Liverpool, Epstein muda sebenarnya bercita-cita mengejar karier kreatif. Dalam wawancara radio BBC tahun 1964 dengan Bill Grundy, Epstein berujar, “Ketika saya lulus sekolah pada usia 16 tahun, saya memiliki ambisi untuk menjadi perancang busana dan juga menjadi aktor, tapi keluarga saya tidak terlalu setuju dengan ini, dan saya membiarkan diri saya terpengaruh untuk masuk ke bisnis keluarga.” Ia juga mengakui, “Saya pikir saya lebih tertarik untuk meninggalkan sekolah karena saya tidak menikmatinya.”

Pada tahun 1952, saat ia mulai terlibat dalam bisnis keluarga, Epstein menjalani wajib militer sebagai juru tulis di Korps Layanan Angkatan Darat Kerajaan Bersatu. Namun, disiplin ketat kehidupan militer justru membuatnya sangat menderita. Setelah berkonsultasi dengan psikiater militer, ia direkomendasikan untuk pemberhentian dini atas dasar medis, dan segera kembali bergabung dengan perusahaan keluarganya.

Meski begitu, hasrat Epstein terhadap dunia akting tak padam. Ia berhasil meyakinkan orang tuanya untuk mendaftar sebagai mahasiswa di Royal Academy of Dramatic Art (RADA) yang bergengsi di London pada tahun 1956, melanjutkan usahanya mengejar passion yang sempat tertunda.

Perjalanan Menuju The Beatles dan Perubahan Citra

Masa-masa di RADA menjadi titik balik bagi Epstein, di mana ia menerima identitasnya sebagai seorang gay. Pada era 1950-an di Inggris, homoseksualitas merupakan tindakan ilegal, menjadikan hidup Epstein sebagai seorang pria gay yang tertutup penuh dengan kerentanan terhadap serangan kekerasan, pemerasan, dan ancaman penjara yang terus-menerus.

Puncak dari kesulitan itu terjadi pada tahun 1957 ketika ia ditangkap oleh polisi berpakaian preman atas tuduhan “menginginkan hubungan seks terus-menerus” di luar toilet stasiun bawah tanah London. Meskipun dijatuhi hukuman dua tahun penjara yang ditangguhkan, insiden ini memaksa Epstein keluar dari RADA dan kembali ke Liverpool.

Namun, kepulangan ini justru membuka jalan bagi penemuan karier sejatinya. Ketika ayahnya menunjuknya sebagai kepala departemen rekaman di North End Music Stores (NEMS) milik keluarga, Epstein menemukan bakat terpendamnya. Dengan keahliannya memprediksi tren musik populer dan kemampuannya menata toko agar menarik, NEMS dengan cepat bertransformasi menjadi magnet bagi para remaja Liverpool.

Suatu hari, seorang pelanggan remaja datang ke NEMS mencari rekaman The Beatles, My Bonnie. Momen ini memicu rasa penasaran Epstein. Ia mengetahui bahwa John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan drummer mereka kala itu, Pete Best, telah merekam lagu tersebut sebagai band pengiring untuk penyanyi Tony Sheridan saat berada di Hamburg pada tahun 1961, membuatnya sempat mengira mereka adalah musisi Jerman.

Ketika The Beatles kembali ke Liverpool, Epstein memutuskan untuk menyaksikan mereka tampil langsung. Ia mendatangi Cavern Club saat sesi makan siang, awalnya hanya berniat mencari tahu cara memesan rekaman My Bonnie. Namun, begitu ia melangkah ke ruang bawah tanah yang gelap dan dipenuhi kepulan asap, ia terpaku oleh suara yang didengarnya.

“Saya sangat menyukai mereka. Saya langsung menyukai suara yang saya dengar,” ungkap Epstein. Ia menggambarkan penampilan awal mereka: “Saya mendengar sayup suara mereka sebelum benar-benar melihat aksi panggungnya. Mereka berpakaian agak lusuh, dalam artian lusuh yang apik, atau istilah lainnya, dalam cara yang paling menarik.” Penampilan mereka, dengan jaket kulit hitam, jins, dan rambut panjang, serta aksi panggung yang “agak berantakan dan tidak terlalu memikirkan seperti apa penampilan mereka,” justru memancarkan karisma unik.

Epstein terpesona oleh energi The Beatles yang riuh, humor spontan, dan kehadiran panggung yang memukau. Ia merasakan bahwa “mereka segar dan jujur” dan memiliki “daya tarik” serta “kualitas bintang” yang akan disukai banyak orang. Keyakinan ini mendorongnya untuk menawarkan diri sebagai manajer mereka.

Sebuah anekdot lucu terjadi saat pertemuan pertama Epstein dengan The Beatles. Setelah menunggu 45 menit, Paul McCartney belum juga terlihat. Epstein mengisahkan pada BBC tahun 1964: “Saya meminta salah satu personel untuk meneleponnya dan dia kembali, lalu dia berkata, ‘Dia baru bangun, dia sedang mandi.'” Epstein yang mulai geram, merasa “ini benar-benar memalukan.” Namun, George Harrison dengan santai menimpali, “Yah, dia mungkin terlambat, tapi dia sangat bersih,” yang menjadi ciri khas humor mereka.

Meskipun Epstein lebih tua dan lebih fasih, The Beatles setuju ia menjadi manajer mereka. Uniknya, Epstein sengaja tidak meneken kontrak pertamanya, memberikan kesempatan bagi The Beatles untuk membatalkan perjanjian jika ia gagal memenuhi ekspektasi mereka.

Dengan visi jangka panjang, Epstein segera berupaya mencarikan tempat pertunjukan yang lebih besar dan bergengsi bagi The Beatles. Ia menyadari pentingnya membenahi citra mereka untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama di televisi. Oleh karena itu, Epstein membujuk The Beatles untuk secara bertahap meninggalkan jaket kulit dan jins mereka, dan mulai mengenakan setelan jas seragam yang kemudian menjadi ikonik. Ia juga meminta mereka untuk berhenti mengumpat, merokok, dan minum di atas panggung.

“Saya akan katakan bahwa ini berkat kami berlima, bukan hanya karena saya,” kata Epstein, menunjukkan kolaborasi dalam perubahan citra tersebut. Prosesnya dilakukan perlahan; setelah larangan jaket kulit, Epstein menganjurkan sweater, sebelum akhirnya mereka dengan enggan namun patuh mengenakan jas, sebuah langkah transisi yang krusial.

Dampak Manajemen Epstein dan Ledakan Beatlemania

Gaya manajemen Epstein sangat berbeda dari kebanyakan manajer saat itu. Ia tidak pernah mendikte lagu apa yang harus dimainkan atau bagaimana seharusnya suara The Beatles. “Saya tidak tahu tentang musik,” katanya pada tahun 1964, “tapi saya pikir saya tahu tentang lagu populer.” Kepekaannya terhadap potensi hit adalah aset utamanya.

Fokus Epstein adalah mengurus logistik konser dan mengatur publisitas untuk meningkatkan profil band. Dengan gigih, ia mengunjungi berbagai label rekaman hingga akhirnya berhasil mengamankan kontrak dengan Parlophone, anak perusahaan EMI, setelah bertemu dengan produser musik George Martin. Martin sendiri terbukti vital, membantu The Beatles mengasah suara dan mewujudkan ide-ide musikal mereka.

Ketika Lennon, McCartney, dan Harrison memutuskan untuk mengganti Pete Best dengan Ringo Starr, mereka meminta Epstein untuk menyampaikan kabar pemecatan itu. Meskipun Epstein sempat keberatan, ia tetap memprioritaskan kepercayaan pada “anak-anaknya” (sebutan akrabnya untuk personel The Beatles) dan penilaian musikal George Martin, menunjukkan dedikasinya pada visi band.

Sebagai manajer, Epstein menjalin hubungan yang luar biasa dekat dengan setiap personel The Beatles, terutama dengan John Lennon. Ia bahkan menjadi pendamping pria Lennon saat menikah dengan Cynthia Powell pada tahun 1962. Tak hanya itu, Epstein membiayai pesta pernikahan mereka dan menyediakan apartemennya di Falkner Street, Liverpool, tanpa meminta sewa, bahkan ketika Lennon dan Powell menyambut anak pertama mereka, Julian.

Epstein mengungkapkan perasaannya: “Saya pikir mereka semua adalah orang-orang hebat, dan saya sungguh-sungguh mengatakannya.” Ia juga mengutip tulisan tentang dirinya: “Baru-baru ini ditulis tentang saya bahwa saya mungkin paling menikmati kebersamaan dengan artis-artis saya, dan saya pikir itu benar. Itu ditulis dalam konteks bahwa saya tidak memiliki banyak kehidupan sosial dan sebagian besar waktu saya habis bersama mereka.” Kalimat ini menggarisbawahi betapa The Beatles adalah pusat kehidupannya.

Dalam kurun waktu hanya 10 bulan setelah Epstein mulai memanajeri, The Beatles merilis lagu pertama mereka, “Love Me Do”. Kesuksesan pun menyusul dengan cepat; pada Maret 1963, lagu kedua mereka, “Please Please Me,” yang juga menjadi judul album, berhasil menduduki posisi nomor satu di tangga lagu Inggris.

Tahun 1963 menjadi krusial. Epstein berhasil menegosiasikan penampilan perdana The Beatles di televisi Amerika Serikat, tepatnya di acara Ed Sullivan’s, program hiburan CBS yang sangat populer. Penampilan mereka pada Februari 1964 terbukti menjadi titik balik bersejarah, disaksikan oleh sekitar 73 juta penonton. Momen itu memicu ledakan histeria penggemar yang dikenal sebagai Beatlemania, dan puncaknya, pada April 1964, The Beatles secara bersamaan mendominasi lima posisi teratas tangga lagu Billboard.

Seiring kesuksesan The Beatles meroket secara internasional, kehidupan pribadi Epstein justru semakin bergejolak. Beban kerja yang kian berat mendorongnya mengonsumsi stimulan, yang kemudian ia imbangi dengan obat penenang untuk membantunya tidur, menandai awal mula ketergantungan obat yang menghantuinya.

Menjelang akhir tahun 1966, The Beatles sendiri sudah kelelahan dan memutuskan untuk berhenti melakukan tur. Sepanjang tahun 1967, saat band sedang menggarap album revolusioner mereka, Sgt Pepper’s Lonely Hearts Club Band, Epstein berulang kali keluar-masuk Priory, klinik swasta di London, dalam upaya mengatasi ketergantungannya.

Meski berjuang dengan masalah pribadinya, profesionalisme Epstein tak luntur. Ia tetap menjalankan jadwalnya, bahkan harus meninggalkan Priory untuk menjadi tuan rumah pesta peluncuran Sgt Pepper’s di kediamannya di Belgravia, London, pada Mei 1967. Lebih dari itu, ia berhasil menegosiasikan penampilan The Beatles membawakan “All You Need Is Love” di hadapan 400 juta penonton di 25 negara melalui sambungan televisi satelit pertama di dunia, sebuah pencapaian monumental.

Tragisnya, tak lama setelah kematian ayahnya, Brian Epstein ditemukan tewas pada usia 32 tahun pada Agustus 1967, akibat overdosis obat yang tidak disengaja. Kepergian mendadak ini sangat mengguncang The Beatles.

Meskipun beberapa keputusan bisnisnya sempat dipertanyakan, termasuk oleh personel The Beatles sendiri, Epstein adalah sosok yang tak tergantikan dalam menjaga arah dan momentum band. John Lennon, dalam wawancaranya dengan Jann Wenner dari Rolling Stone pada tahun 1970, mengakui, “Saya tahu bahwa kami berada dalam masalah saat itu.”

Lennon sangat meyakini bahwa kematian Epstein adalah pemicu perpecahan band. “Saya benar-benar tidak menyangka tentang kemampuan kami untuk melakukan apa pun selain bermain musik, dan saya takut. Saya berpikir, ‘Tamatlah riwayat kami sekarang.'” Dan memang benar, kurang dari tiga tahun setelah kepergian manajer visioner itu, The Beatles resmi bubar, mengakhiri era keemasan yang tak terulang.

Versi Bahasa Inggris dari artikel ini berjudul ‘I know about hit songs, hit numbers, hit sounds’: The man who turned The Beatles into superstars dapat anda baca di BBC Culture

Leave a Comment