Perkembangan penggemar K-pop, atau yang dikenal dengan istilah fandom, di Indonesia melaju pesat seiring dengan kemudahan akses internet, menjamurnya berbagai platform media sosial, serta ekspansi industri hiburan Korea Selatan. Namun, dimensi fandom lebih dari sekadar hubungan antara penggemar dan idola; ia adalah sebuah ekosistem kompleks yang melampaui batas-batas tersebut.
Adalah Kim Seok-jin, salah satu personel grup musik Bangtan Boys atau BTS, yang pertama kali menarik hati Kerigit, seorang perempuan muda di Jakarta. Ketertarikan Kerigit pada BTS bermula saat Jin, nama panggung Kim Seok-jin, menyanyikan lagu “Epiphany.” Awalnya, musikalitas lagu itulah yang memikatnya, tanpa memahami lirik berbahasa Korea Selatan. Namun, melalui mesin penerjemah, Kerigit menyelami makna di balik “Epiphany.”
“Aku langsung suka dan beralih ke lagu Jin yang lain,” ungkap Kerigit, menjelaskan titik balik di mana ia mulai mengenal BTS. Menurutnya, lagu “Epiphany” mengisahkan “bagaimana kita belajar mencintai diri sendiri,” sebuah pesan yang sangat menyentuh perasaannya.
“Mungkin pada saat itu momennya pas. Aku lagi merasa jatuh sekali. Lagi ada masalah pribadi juga,” kata Kerigit kepada BBC News Indonesia. Momen tersebut menjadikan Jin dan “Epiphany” jembatan baginya untuk lebih dekat dengan BTS, membawanya pada pemahaman tentang koneksi antarpersonel grup vokal tersebut.
Meskipun usia para member BTS masih sangat muda saat Kerigit pertama kali mengenal mereka, ia memandang mereka sebagai figur yang bijaksana. Sebagai contoh, dari Jin, Kerigit belajar bahwa “kita tidak perlu mengejar pengakuan orang lain,” melainkan yang terpenting adalah “kita mengakui diri kita sendiri sebaik mungkin.”
“Jin itu di antara semua member BTS, dia adalah yang paling tidak punya background untuk menjadi idol. Dia tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari. Tapi, dia belajar, dan akhirnya, sekarang, kalau konser, misalnya, suara Jin itu yang paling stabil,” jelas Kerigit, yang dari situ ia mengambil pelajaran untuk selalu melakukan yang terbaik. “Maksudnya, I’ve done my job, and I’ve done my best. That’s it,” tuturnya.
Kerigit percaya bahwa BTS, melalui lagu-lagu mereka, mengajak pendengar dan penggemar untuk berefleksi tentang berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan sudut pandang personal. Ia bahkan merasakan mendengarkan dan mengikuti karya BTS sebagai pengalaman spiritual.
Ia mengklaim BTS telah menyelamatkannya dari keputusasaan. “Mungkin sekarang aku sudah masuk ke ‘jurang’ yang paling dalam,” jika saja dulu tidak mengenal BTS, tuturnya. “Karena lagu-lagu mereka ada saat aku menemukan kebahagiaan, pada saat aku menemukan ketenangan, pada saat aku merasa mereka itu berada di dalam hampir semua situasi yang aku alami sehari-hari.”
Pengalaman inilah yang membuatnya semakin mendalami BTS dan menjadi seorang ARMY, sebutan untuk fandom yang terafiliasi dengan BTS. Menurut Kerigit, ARMY bukan sekadar fandom, melainkan juga representasi dari relasi sesama penggemar yang dilandasi solidaritas, yang mereka sebut, “ARMY jaga ARMY.”
Sikap saling menjaga ini terwujud nyata saat BTS mengadakan konser. Di lokasi konser, misalnya, ARMY akan membagikan berbagai kebutuhan, seperti minuman, makanan, hingga aksesori, kepada ARMY lain secara gratis. Bahkan, jika ada ARMY yang hamil di tengah pertunjukan, mereka akan membuka antrean agar yang bersangkutan dapat segera masuk ke arena dengan aman.
Bagi Kerigit, “aksi kecil” semacam itu adalah gambaran konkret bagaimana ARMY menerapkan pesan-pesan yang disampaikan BTS lewat lagu mereka. “Biasanya yang penggemar yang berbuat negatif mengidolakan member sampai tidak melihat pesan yang disampaikan BTS secara keseluruhan. Bahkan ada juga yang, misalnya, sampai saling menjelek-jelekkan segala macam,” kata Kerigit.
Kerigit menyadari bahwa kecintaan pada K-pop, atau dalam kasusnya “kegemaran terhadap BTS,” seringkali diasumsikan sebagai sikap fanatik yang membela idola mati-matian. Meskipun ia “cinta dengan BTS,” Kerigit mengaku sering mengingatkan sesama anggota ARMY “untuk tetap bernalar dan waras.”
“Aku selalu bilang sama teman yang lain: mereka [personel BTS] itu manusia. Seperti halnya manusia pada umumnya, mereka juga bisa bikin salah,” tegas Kerigit.
Fandom K-pop Erat dengan Stigma
Antara 2019 hingga 2020, kelompok penggemar K-pop menjadi motor penggerak dalam meramaikan tagar-tagar penting di media sosial, berdasarkan riset peneliti media sosial Drone Emprit. Pada kurun waktu dua tahun tersebut, demonstrasi meluas di Indonesia dengan tajuk ‘Reformasi Dikorupsi’ dan ‘Mosi Tidak Percaya’. Tagar #MosiTidakPercaya, yang menargetkan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja, digaungkan oleh akun-akun dengan foto idola K-pop. Menurut Drone Emprit, berbagai akun ini “dalam waktu singkat bersatu mengangkat tagar tersebut dan tagar-tagar lain sehingga menjadi trending topic dunia.”
Riset berjudul Break the Structure: BTS ARMY Digital Activism and State Surveillance in Indonesia’s Omnibus Law Protest yang disusun Karlina Octaviany menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi karena fandom K-pop memiliki kapasitas untuk meruntuhkan hierarki sistem sosial, sehingga memudahkan budaya partisipatoris dalam mempraktikkan nilai kolektif. “Fandom K-pop, yang mayoritas perempuan, bertumbuh seperti rhizoma yang egaliter, tanpa komando, dan dalam identitas internet yang anonim,” kata Karlina kepada BBC News Indonesia.
Karlina melanjutkan, fandom K-pop di Indonesia telah mengalami lokalisasi dengan kekhasan yang mudah dikenali. Di luar aktivisme digital seperti yang terlihat dalam protes ‘Reformasi Dikorupsi’ atau penolakan UU Cipta Kerja, fandom K-pop juga identik dengan lelucon, meme, fanedit ala sinetron, bahkan donasi untuk Palestina. Namun, Karlina berpandangan bahwa kehadiran fandom K-pop kerap dimaknai secara tidak utuh.
“Selayaknya fandom K-pop maka dia erat dengan stigma patriarki dan diskriminasi gender seperti histeris, obsesif, bocil gila, sampai budhe kurang kasih sayang,” ujarnya. “Fandom K-pop juga kerap mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO). Media di Indonesia pun menarasikan stigma ini dalam pemberitaan.”
Menurut Karlina, publik tidak seharusnya menyalahkan fandom tanpa mengkritisi patriarki dan perlindungan komunitas di media sosial. Berdasarkan pemantauannya, fandom K-pop, yang sebagian besar perempuan, justru berada dalam situasi terjepit. Media sosial, kata Karlina, memelihara algoritma berdasarkan tingkat engagement konten yang tinggi, termasuk “merekomendasikan fan war dan ujaran kebencian terhadap fandom tertentu.”
Beragam topik yang menyenggol K-pop, menurut Karlina, turut menjadi ajang bagi netizen dan brand untuk mendulang viralitas, “tidak terkecuali komentar yang negatif.” “Platform media sosial merekomendasikan paparan konten negatif secara terus-menerus karena potensi viralitas itu tadi sehingga sulit untuk melihat penyebab awalnya,” kata Karlina. “Hanya tampak ujung ketika terjadi fan war, misalnya, hingga konten itu yang terus mengemuka.”
Keadaan ini, tutur Karlina, “makin sulit dihentikan sebab keterlibatan buzzer yang meniru anonimitas avatar K-pop dalam mengatur pengalihan narasi yang trending.” “Penelitian saya menemukan ketika terjadi avatar K-pop tiruan, justru fandom yang bisa mendeteksi karena lingo dan konteks tentang idola mereka sudah khatam. Tapi, sulit untuk menjelaskan ketika misinformasi beredar di luar komunitas, apalagi ketika dikompori opini stigma negatif fandom tertentu,” sebut Karlina.
Kekhawatiran Karlina meluas seiring dengan posisi fandom K-pop di Indonesia yang, menurutnya, “sudah menjadi aktor non-negara dengan kekuatan siber yang penting mengingat jumlahnya besar di media sosial.” Partisipasi aktif fandom K-pop dalam beberapa kesempatan politis membuat peran mereka tidak sebatas pembahasan atau permasalahan K-pop semata. Fenomena aktivisme digital fandom K-pop tidak menutup kemungkinan lahirnya pengawasan sistematis (surveillance), manipulasi konten dalam rangka memancing kemarahan (rage baiting), hingga doxxing maupun perisakan terstruktur.
“Padahal fandom bisa menjadi ruang aman kebebasan berekspresi dan merasakan emosi, meregulasi emosi tanpa takut penghakiman,” ujar Karlina.
Saya Dituduh Memprovokasi Serangan kepada ARMY
Prasetya memandang keributan antarpenggemar K-pop sebagai sesuatu yang lumrah. Ia telah berkali-kali menyaksikan fandom K-pop saling berdebat panjang di media sosial, membela idola masing-masing. Baginya, itu adalah bagian dari “dinamika kelompok ketika sebuah komunitas terbentuk.” “Tapi, selama itu hanya ribut-ribut di media sosial, seharusnya tidak terlalu signifikan dampaknya ke dunia nyata. Itu tidak terlalu saya pusingkan,” cerita Prasetya, seorang pekerja di Jakarta, saat dihubungi BBC News Indonesia.
Namun, Prasetya ternyata keliru. Beberapa hari belakangan, platform X (sebelumnya Twitter) diramaikan keriuhan yang melibatkan ARMY—pendukung BTS—dengan warganet. Penyebabnya adalah tudingan ARMY kepada netizen yang merisak pentolan BTS, Kim Nam-joon, atau RM. Tuduhan ARMY ini ramai-ramai dibantah netizen.
Perdebatan tersebut meluas ke platform lain ketika sebuah brand perawatan melakukan sesi live di TikTok. Saat itu, Prasetya kebetulan mengikuti live tersebut untuk mencari diskon. Di tengah-tengah sesi, ia merasakan keanehan. “Saya melihat jumlah pesertanya naik tinggi banget. Yang awalnya cuma puluhan, ini sampai ratusan. Dan komentarnya berisi kemarahan. Mereka menyebut BTS,” ujarnya.
Prasetya lalu menengok ke platform sebelah, X, dan berupaya mengurai asal-usul kemarahan itu. ARMY menganggap brand tersebut turut serta mengolok-olok RM. Namun, Prasetya tidak mendapati tudingan para ARMY itu. “Ketika saya baca lagi, tidak ada mengejek. Karena memang sebuah brand, bagi saya, untuk bisa pemasaran mereka akan mencoba relevan [terhadap yang lagi ramai],” tuturnya.
Keriuhan di sesi live dari brand itu terus berlanjut. Prasetya mulai tidak nyaman karena komentar-komentar yang ditujukan justru mengganggu pembawa acara live yang, menurut Prasetya, tidak ada sangkut pautnya dengan keributan di X. Sang host bahkan meminta maaf kepada akun-akun yang menyambangi live tersebut. Dari situ, Prasetya merekam bentuk-bentuk gangguan di sesi live dan mengunggahnya ke X, mengingatkan agar ARMY tidak mengusik pekerjaan host. Unggahan Prasetya viral, dan huru-hara kian panjang.
Yang tidak diperkirakan Prasetya adalah unggahan di X mendorong beberapa ARMY untuk melaporkannya ke kantor tempatnya bekerja. Ia dituding melakukan manipulasi opini publik, dan atasannya diminta menegurnya. Laporan tidak hanya disampaikan melalui email, tetapi ARMY juga menelepon kantor Prasetya dengan tujuan yang sama.
“Di awal email, pengirim ini mengaku adalah individu biasa yang merasa sangat resah. Tapi, setelahnya muncul kalimat bahwa perilaku saya menimbulkan keresahan serta memprovokasi serangan kepada komunitas ARMY dan BTS,” papar Prasetya. “Kemudian di email itu saya juga mengecek bahwa penerima email ada BIGHIT dan Hybe, dua-duanya label dan agensi BTS.”
Prasetya bingung dengan kemunculan email tersebut. Ia mengklaim, semata-mata ingin meredam aksi yang ia pandang sudah tidak kondusif. Kantor Prasetya merespons laporan itu dengan investigasi internal, mencari kebenaran atas tuduhan “provokasi” serta “manipulasi opini publik.” Hasilnya: Prasetya tidak melakukan hal seperti yang disebut pengirim email. Ia hanya bisa tertawa.
Di luar surat yang membawa embel-embel ARMY, perbincangan di linimasa X masih bersambung, bahkan berujung saling doxxing (pembukaan identitas) antara dua kubu: warganet dan mereka yang mengaku ARMY.
Kalau Ingin Viral Sentil Saja K-pop
Perkenalan Nabiri Tata dengan dunia K-pop dimulai lebih dari satu dekade lalu, tepatnya 2011. Kala itu, Tata, panggilan akrabnya, terpukau saat menyaksikan video musik BIGBANG karena merasa lagu mereka “tidak biasa.” Tidak butuh waktu lama baginya untuk menobatkan diri sebagai penggemar BIGBANG yang disebut ‘V.I.P.’ Intensitasnya terhadap dunia K-pop perlahan tumbuh, melibatkan diri dalam interaksi sesama penggemar.
Tata, beserta V.I.P. lainnya, aktif membahas album BIGBANG, proyek masing-masing personel, konser, bahkan beragam rumor yang menerpa mereka. Pada taraf tertentu, komunikasi antarpenggemar dapat berujung perdebatan sengit. Lingkup aksi ini menyasar dua jangkauan, menurut Tata. “Dulu kebanyakan perang antara fandom. Tapi, war juga bisa terjadi di satu fandom yang sama,” terangnya saat dihubungi BBC News Indonesia.
Dalam konteks “perang” semacam ini, pemicunya tidak pernah tunggal dan biasanya berkutat seputar “kualitas.” “Misalnya fans BIGBANG merasa lagu paling keren, ya, [punya] BIGBANG. Apa itu Super Junior yang cuma joget-joget doang,” cerita Tata. “Padahal kalau mau dilihat, dua grup ini berbeda. Tidak bisa disamakan. Perang antarfandomnya seperti itu.” Sepengalaman Tata, fandom pada eranya “jarang berdebat gara-gara urusan fisik,” merujuk pada klaim siapa penyanyi K-pop yang paling rupawan.
Kecintaan terhadap K-pop, di sisi lain, Tata tuangkan pula dalam perkara akademis. Tugas akhirnya membahas soal fan fiction, salah satu medium yang dipakai para penggemar untuk menyusun cerita fiksi dengan idola mereka bertindak sebagai karakternya. Lambat laun, fokus Tata tidak sepenuhnya ditujukan untuk K-pop. Kesibukan bekerja serta berkeluarga, ia mengakui, “membuat euforia terhadap K-pop sudah habis.” “Sekarang cuma suka dengar-dengar saja. Tapi, untuk tahu ini grup mana, sudah tidak tahu lagi,” tuturnya disusul gelak tawa.
Meski demikian, ada satu grup yang ia familier: BTS. Bagi Tata, dinamika dalam dunia fandom K-pop tidak mengalami perubahan signifikan dari pertama kali ia terjun dengan situasi saat ini. Keributan sesama fandom atau di luar penggemar seringkali menyeruak ke permukaan. Tata berpandangan “keriuhan” fandom K-pop, yang tak jarang disebut bernuansa negatif, didorong setidaknya tiga faktor.
Faktor pertama adalah karakter fandom yang “terlalu cepat memberikan reaksi” terhadap penghinaan-penghinaan yang diterima idola mereka. “Karena merasa memiliki, karena merasa harus membela, mereka masih banyak tenaga untuk melakukan itu,” tandasnya. Tata mendeskripsikan penggemar seperti ini ke dalam kategori “fans tahap awal.” Sifat meledak-ledak yang lahir di fase pertama bergabung ke fandom K-pop bakal berkurang mengikuti pertambahan usia, jelas Tata.
Lalu yang kedua adalah platform media sosial yang semakin banyak tersedia. Tata berkisah bahwa dulu komunikasi antarpenggemar mayoritas dibangun di Facebook dan Twitter (X). Kini, “ada Instagram, YouTube, sampai TikTok,” ucap Tata. “Bahkan sekarang sampai ke fitur live segala,” tambahnya. Dengan keberadaan platform yang beragam, maka distribusi perbincangan yang melibatkan fandom akan menemui audiens yang berlipat, menjadikannya viral.
Dan terakhir, ketiga, Tata melihat sifat fandom K-pop yang reaksioner tersebut “dimanfaatkan banyak pihak guna memperoleh exposure.” Pendek kata: ajak berdebat penggemar K-pop dan kelak ‘ketenaran’ bakal di tangan. “Kalau ingin viral di Indonesia, sentil saja konsep agama atau penggemar K-pop. Rumusnya seperti itu, kalau dari aku,” katanya.
Saat BIGBANG begitu tenar di kalangan anak muda Indonesia, Tata mengingat, seorang stand-up comedian “mencari gara-gara” dengan ‘menyenggol’ penggemar BIGBANG. Tak lama, sorot perhatian ke komika itu meningkat. “Nah, untuk sekarang ini yang ‘kena’ adalah ARMY. Karena apa? Dia fandom paling besar dan reaksinya juga cukup cepat,” terang Tata.
Tata tidak menampik pernah berada dalam posisi yang disebutnya “fanatisme berlebihan.” Ia berpendapat hal itu mampu menuntun kepada tindakan-tindakan yang merugikan seperti perisakan atau penyebaran identitas pribadi tanpa persetujuan (doxxing). Ia berharap penggemar K-pop bisa menahan diri agar tidak terjebak dalam siklus yang berulang: perdebatan maupun keributan tanpa henti di media sosial. Penggemar K-pop, dalam pandangan Tata, “mesti mulai melihat dunia secara lebih luas dan dari banyak sudut pandang.”
“Aku sendiri juga mengakui K-pop itu kalau bereaksi memang terlalu cepat. Kami itu terlalu cepat terpancing,” tegasnya. “Pada intinya adalah jika menyukai sesuatu kalau terlalu berlebihan, apa pun itu, memang tidak baik.” Tidak sekadar kepada fandom K-pop, Tata juga mengingatkan “untuk pihak luar yang tidak menggemari K-pop” bahwa—pertama-tama—tidak perlu merespons fandom secara agresif. Pasalnya, “kita berada di sepatu yang berbeda,” ujar Tata.
“Misalnya kalian menganggap mereka berlebihan banget dari dulu, itu mungkin berlebihan untuk kalian, tapi itu wajar untuk mereka,” paparnya. “Kalau, misalnya, kegiatan fangirling itu bisa menjadi wajah seseorang untuk healing, untuk mendapatkan hiburan, untuk seseorang bisa menenangkan hati dia, ya sudah biarkan saja. Kita punya dunia sendiri-sendiri.”
Fandom di Antara Hallyu dan ‘Kesamaan Nilai’
Kultur fandom K-pop hari ini dapat dilacak sejak 1996, bersamaan dengan debut boyband H.O.T. di bawah agensi SM Entertainment, demikian kata dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Annisa Pratamasari. “Meskipun kalau lagu [K-pop], mungkin, sudah ada dari Seo Taiji and Boys pada 1992 sampai 1996. Cuma, kalau maksudnya dari prototipe fandom culture-nya yang punya warna, kultur fandom seperti menulis fan fiction atau menjodohkan member, itu dimulai dari H.O.T.,” Annisa menjelaskan kepada BBC News Indonesia.
Perkembangan fandom kemudian mengikuti pembagian babak periode. Setidaknya, sejauh ini, terdapat lima generasi fandom. Generasi pertama muncul pada awal 1990 hingga 2002 dengan grup seperti H.O.T., SECHSKIES, sampai SHINWA. Lalu di generasi kedua, yang masa debutnya mulai 2004 sampai 2011, ada kelompok musik seperti BIGBANG, Girls Generation, KARA, SHINee, Super Junior, hingga Secret.
Generasi ketiga diisi oleh BTS, EXO, Blackpink, Red Velvet, sampai NCT, yang masa debutnya dimulai pada 2011 hingga 2017. Sedangkan generasi keempat, 2018 sampai 2023, memuat NewJeans, Aespa, TREASURE, hingga Rocket Punch. Dan terakhir, generasi kelima, menyertakan nama-nama seperti BABYMONSTER, BOYNEXTDOOR, hingga ZEROBASEONE, yang kemunculannya diyakini pada 2023.
Kelahiran fandom, di waktu yang sama, tidak terpisahkan dari gelombang hallyu (hallyu wave) tatkala produk budaya populer Korea Selatan—film, musik, serial—diekspor ke mancanegara, termasuk Indonesia. Penerimaan positif atas hallyu disebut Annisa karena cultural proximity, kedekatan budaya. Masyarakat menilai kebudayaan Indonesia serta Korea Selatan tidak jauh berbeda lantaran sama-sama berasal dari Asia.
Dalam konteks K-pop, Annisa melanjutkan, “musiknya sendiri sebetulnya sudah digabung dengan hip-hop serta pengaruh genre dari Barat sehingga audiens Indonesia tidak susah menerimanya.” “Ada yang disebut cultural hybridity. Jadi kultur ini meskipun dia Korea Selatan, meskipun dia menyanyi dengan bahasa Korea, tapi ini sesuatu yang terlihat seperti Hollywood,” ucap Annisa. Annisa, yang turut meneliti mengenai fenomena budaya populer Korea Selatan, melihat fandom dulu dan sekarang memiliki kemiripan. Komunikasi sesama penggemar terbentuk atas dasar kesukaan terhadap boyband. Mereka rajin mengoleksi album, mendatangi konser, serta tidak ragu bergesekan dengan fandom lainnya.
Geliat fandom yang kian masif, menurut Annisa, didorong oleh kemunculan teknologi media sosial. “Kalau saya melihatnya karena kebanyakan orang Indonesia punya akses ke media sosial. Dengan begitu, kita jadi semakin mudah mengakses informasi atau join ke fandom tertentu,” tandasnya. Laporan We Are Social pada 2024, misalnya, menunjukkan pengguna internet di Indonesia menyentuh 185,3 juta orang, naik 0,8% dari tahun sebelumnya. Penggunaan smartphone (dan internet) untuk media sosial berada di angka 97,8%, tertinggi daripada kebutuhan lain seperti streaming, berita, atau musik.
Fenomena fandom, dalam perspektif Annisa, tidak seharusnya ditempatkan di balok yang berbeda. Kemunculan fandom K-pop, pada dasarnya, “sama seperti penggemar di bidang lainnya,” ujar Annisa. Eksistensi fandom apa pun, entah itu sepak bola, musik, atau film, “diikat oleh satu common value [kesamaan nilai] yang membikin mereka kompak,” jelas Annisa. “Kalau orang suka Manchester United, walaupun dia kalah terus, fans akan tetap di situ karena seperti itulah model fans,” kata Annisa.
Semua Sengaja Didesain oleh Industri K-pop
Data yang disusun Chartmetric pada 2024 memperlihatkan Indonesia merupakan pangsa pasar K-pop terbesar di dunia, sekitar 18,47%. Indonesia mengungguli Amerika Serikat, Filipina, sampai negara asal K-pop itu sendiri: Korea Selatan. Riset Katadata Insight Center yang ditempuh Juni 2022 menunjukkan K-pop berada di posisi kedua serta ketiga jenis hiburan Korea Selatan yang dinikmati responden di Indonesia, dengan angka 55,1% untuk boyband dan 50,5% di girlband. Di atas K-pop terdapat K-drama dengan 60,3%.
Jika dibedah lagi, BTS menjadi boyband yang paling digemari (46%), unggul dari NCT (26%), EXO (21%), Super Junior (14%), dan Seventeen (11%). Dari sisi girlband, Blackpink jawaranya dengan 46,3%—melewati TWICE (17,4%), Girls’ Generation (17,3%), Red Velvet (16,6%), serta ITZY (11,8%). Sementara dari aspek fandom, ARMY paling dominan (32,3%), disusul BLINK (Blackpink), EXO-L (EXO), dan NCTZen, masih mengacu pada temuan Katadata Insight Center. Keempatnya merupakan penggemar dari idola generasi ketiga.
Selain mereka, fandom dari idola generasi kedua yang masuk 10 besar ialah E.L.F (Super Junior) serta SONE (SNSD). Sisanya diisi fandom generasi empat: STAY (Straykids), MOA (TXT), MY (aespa), dan Teume (Treasure). Masifnya fandom K-pop di Indonesia dipengaruhi oleh desain industri K-pop yang berorientasi kepada keuntungan, atau profit, ungkap dosen Hubungan Internasional di Universitas Brawijaya, Amalia Nur Andini.
Industri K-pop, Andini menerangkan, menyediakan berbagai elemen dalam pemasaran mereka guna menarik sebanyak-banyaknya orang bergabung menjadi seorang penggemar. “Mereka jualan merchandise seperti lightstick atau tawaran membership. Keduanya seperti wajib dipenuhi kalau kita sudah masuk fanbase NCT, Super Junior, atau BTS,” ujar Andini yang beberapa kali meriset perihal K-pop. “Semakin kita banyak mengumpulkan perintilan-perintilan itu, semakin mengokohkan identitas kita sebagai fans K-pop sejati.”
Indikator lainnya tersaji melalui konstruksi “kedekatan” emosional antara idola dengan fandom yang sejak awal, lagi-lagi, dirancang menjadi pintu masuk mengumpulkan massa dalam volume yang besar, tambah Andini. Hubungan yang terjalin antara idola dan fandom kerap didefinisikan sebagai parasosial. Artinya, Andini menuturkan, penggemar “merasa mempunyai kedekatan emosional kepada idola mereka.” “Walaupun idola mereka juga bahkan tidak tahu kita itu siapa. Mereka tidak kenal kita. Tapi, di sini, kita merasa sedekat itu dengan idola,” ujarnya.
Cara industri K-pop memupuk sisi emosional tersebut adalah dengan menyodorkan konten-konten di luar profesi idola, seperti aktivitas keseharian atau behind the scene, supaya semakin merekatkan kedekatan bersama fandom. “Kalau dulu waktu awal-awal generasi dua, saya melihat idola itu ada dance practice. Dari situ kita bisa lihat kehidupan idola di luar panggung itu seperti apa. Tahu cara mereka berbicara, hobinya apa, makanan favoritnya apa, bahkan warna kesukaannya apa,” sebut Andini. “Hal-hal seperti ini, yang kemudian membikin fandom jadi seperti obsesif, itu memang sengaja dilakukan dari industri K-pop.”
Andini menambahkan bahwa melihat fandom K-pop tidak seharusnya bertumpu semata hanya pada individu-individu di dalamnya. Segala konsekuensi yang dilahirkan fandom, baik positif maupun negatif, merupakan output dari pengelolaan, atau kapitalisasi, industri K-pop. Andini menganggap dinamika fandom akan senantiasa bergulir, termasuk dengan kemungkinan-kemungkinan perseteruan, perisakan, atau “pembelaan yang berlebihan.”
Walaupun demikian, langkah preventif tetap dapat diambil, menurut Andini. “Salah satu cara untuk mencegah ini adalah dengan memperkuat relasi digital dan hubungan di dalam fandom itu sendiri, dan saya melihat pentingnya peran admin [grup fandom] karena dia yang memoderasi informasi yang masuk,” paparnya. “Kalau dari platform media sosial, kita bisa responsif untuk melaporkan ketika ada akun-akun yang, misalnya, menyulut emosi atau ada peluang melakukan bullying.”
Ringkasan
Penggemar K-pop di Indonesia berkembang pesat berkat kemudahan akses internet dan ekspansi industri hiburan Korea Selatan. Fandom K-pop bukan hanya tentang hubungan penggemar dan idola, tetapi juga ekosistem kompleks yang melampaui batas-batas tersebut. Kisah Kerigit, seorang penggemar BTS, menggambarkan bagaimana musik K-pop dapat memberikan makna dan dukungan emosional yang mendalam, bahkan dianggap sebagai pengalaman spiritual dan penyelamat dari keputusasaan. Ia juga menekankan solidaritas antar anggota ARMY (sebutan penggemar BTS) yang saling menjaga dan menerapkan pesan-pesan positif dari lagu-lagu BTS.
Namun, fandom K-pop di Indonesia seringkali mendapat stigma negatif, seperti fanatisme berlebihan dan diskriminasi gender. Aktivisme digital fandom K-pop dalam isu-isu sosial dan politik, seperti protes terhadap UU Cipta Kerja, seringkali tidak dipahami secara utuh. Selain itu, media sosial dan brand sering memanfaatkan fandom K-pop untuk mendulang viralitas, termasuk melalui komentar negatif dan fan war. Meskipun demikian, fandom K-pop memiliki potensi sebagai ruang aman untuk berekspresi dan meregulasi emosi, serta didorong oleh desain industri K-pop yang berorientasi pada keuntungan dengan menciptakan kedekatan emosional antara idola dan penggemar.