
Kasus penculikan anak BR yang tengah ramai dibicarakan karena perpindahan dari Makassar hingga ke pedalaman Jambi menunjukkan kelompok rentan, seperti anak hingga masyarakat adat, selalu rawan menjadi korban eksploitasi. Situasi mereka yang rentan acap kali dimanfaatkan, kata para ahli.
Di sisi lain, penelusuran pada pelaku utama dalam perkara semacam ini kerap mandek.
Sementara itu, perlindungan dan pemenuhan hak bagi kelompok rentan, seperti masyarakat adat dan anak, sangat minim sehingga membuka peluang menjadi korban berulang.
Begendang, salah-seorang anggota Orang Rimba di pedalaman Jambi, menjadi tempat terakhir dari BR setelah tiga kali berpindah tangan dari Makassar hingga Jambi.
“Dari pada dibawa ke mana-mana lebih baik kami yang ganti rugi supaya kami rawat seperti anak sendiri. Itu pikiran kami, tidak ada yang lain. Untuk menyelamatkan jiwa anak itu, dari pada dilempar keluar,” kata Tumenggung Sikar, ayah Begendang, kepada M Sobar Alfahri untuk BBC Indonesia, Kamis (13/11/2025).
Polisi sempat menyebut proses negosiasi sangat alot, bahkan menuding masyarakat adat enggan melepas hingga disepakati penukaran dengan sebuah mobil oleh pelaku. Media sosial pun riuh dan berujung stigma pada masyarakat adat.
Padahal menurut pengakuan Begendang, Orang Rimba yang bersama BR, ia didatangi orang dan diminta bantuan untuk mengurus BR karena keluarga tidak mampu mengurusnya lagi.
Istri Begendang jatuh sayang sehingga bersedia merawatnya.
Tumenggung Sikar juga menegaskan tidak ada penukaran, berbeda dengan yang dinarasikan polisi.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Mamik Sri Supatmi meminta aparat dan publik untuk tidak serta merta menyudutkan, bahkan menghakimi, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang memang punya niat jahat.
“Mereka dimanfaatkan dan dieksploitasi. Para penjahat utamanya memanfaatkan situasi rentan mereka. Yang harus dikejar adalah otak dari kejahatan sebenarnya dan yang paling banyak mendapatkan keuntungan,” ujar Mamik.
Antropolog dari KKI Warsi, Robert Aritonang juga berpendapat serupa.
Masyarakat adat, termasuk Orang Rimba ini telah kehilangan hutan yang menjadi sumber kehidupan.
Ruang hidupnya berubah menjadi perkebunan dan konsesi sehingga mereka kehilangan akses terhadap pangan, air, dan sumber penghidupan, katanya.
“Dalam kondisi semacam itu, Orang Rimba sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak luar yang memiliki kepentingan tertentu,” ujar Robert.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah juga merasa janggal dan mengharuskan penyidikan yang hati-hati karena kecenderungan masyarakat adat yang hidup sederhana dan mengandalkan alam ini justru dimanfaatkan oleh pelaku utama.
Ada kekhawatiran juga keberadaan masyarakat adat di pedalaman, kata Ai, sengaja dipilih pelaku sebagai tempat transit karena tidak terduga. Sementara itu, masyarakat adat tak mengetahui hal ini.
Selain itu, menurutnya, ruang ramah anak yang selalu disebut pemerintah nyatanya hanya berpegang pada pembangunan infrastruktur tanpa sistem keamanan yang memadai.
Media sosial yang menjadi pintu masuk kejahatan perdagangan anak, bahkan yang melalui penculikan ini, juga patut dibongkar agar kelompok rentan tidak terus menjadi korban, tambah Ai.
Bagaimana kronologi penculikan BR?
- Kesaksian orang tua
Kejadian hilangnya balita berinisial BR ini bermula dari Taman Pakui Sayang yang berada di Jalan AP Pettarani, Makassar, pada Minggu pagi (02/11).
Ayah BR, Dwi Nurmas rencananya mengajar tenis sejumlah ibu-ibu pada pukul 08.00 WITA. Namun agenda itu tak terlaksana karena para ibu batal berlatih. Rekan Dwi kemudian mengajaknya lanjut bermain tenis.
Tadinya, BR bermain ponsel tapi kemudian meminta izin kepada ayahnya untuk main di taman bermain yang berada tepat di samping lapangan tenis.
Kondisi lapangan yang terbuka dan kemudahan memantau anaknya membuatnya tak ragu melepaskan BR ke taman bermain.
“Main pertama, saya panggil namanya. Dia masih jawab ‘iya bapak’. Setelah gim kedua, saya panggil masih ada. Gim ketiga, anak saya sudah tidak ada,” ujar Dwi Nurmas di rumahnya, Makassar, Sulawesi Selatan kepada wartawan Darul Amri untuk BBC News Indonesia.
Dwi dan temannya langsung mencari Bilqis ke seluruh taman dan sekitarnya. Menurut Dwi, suasana di taman bermain cukup ramai pada Minggu pagi itu. Ada sejumlah anak yang bermain juga di lokasi tersebut.
Dwi juga sempat menghubungi istrinya karena mengira anaknya sudah dijemput pulang tanpa sepengetahuannya. Namun, istrinya menyebut belum meninggalkan rumah sejak keduanya pergi ke Taman Pakui.
Pada hari itu, ia tidak langsung melapor ke polisi. Ia mencoba dulu meminta penerawangan dari “orang pintar”.
Cerita Dwi, dari hasil penglihatan “orang pintar” itu diduga Bilqis disembunyikan mahluk gaib dan masih ada di sekitar lokasi.
Namun karena tidak terlalu yakin, Dwi bersama istri dan keluarga kembali lagi ke lokasi di hari ketiga pencarian. Saat itu, pihak kafe di Taman Pakui berinisiatif berkomunikasi dengan keluarga Bilqis terkait rekaman CCTV.
“Hari itu, saya masih mencari tapi dari pihak kafe itu bilang katanya ada ini rekaman CCTV. Itu Selasa kalau tidak salah. Setelah saya lihat itu rekaman baru saya melaporkan ke Polrestabes Makassar,” jelas Dwi.
Dari rekaman CCTV, tertangkap sosok BR tengah digandeng seorang perempuan mengenakan jilbab.
Di CCTV lain, BR terlihat lagi sudah mengenakan topi bersama perempuan tanpa jilbab dan dua anak kecil lain.
Kabar hilangnya BR pun mulai disebarluaskan, termasuk melalui media sosial.
- Versi polisi
Setelah laporan ke polisi dimasukkan dan publik ramai membicarakan di media sosial, perempuan dalam CCTV yakni Sri Yuliana (30) atau Ana ditangkap pada 5 November. Akan tetapi, ia menyatakan BR telah dijual pada pihak lain pada 3 November 2025 karena ia mengaku butuh uang.
Ana menawarkan lewat Facebook. Nadia Hutri (29), warga Sukoharjo, Jawa Tengah, menyambut tawaran tersebut dan sepakat dengan harga Rp3 juta.
Nadia berangkat ke Makassar dan mengambil BR dari Ana. Dari Nadia yang ditangkap pada 6 November di Sukoharjo, BR disebut dibawa ke Jambi menggunakan pesawat yang transit di Jakarta.
Setibanya di Jambi, Nadia membawa BR ke pasangan Adit (36) dan Meriana (42) dan menjualnya seharga Rp30 juta. Pasangan ini mengaku sudah sembilan tahun berusaha tapi belum dikaruniai anak sehingga ingin adopsi.
Namun rupanya Adit dan Meriana bersandiwara. Sebelum B, mereka sudah pernah menjual sembilan bayi dan satu anak.
BR pun bernasib serupa. Ia dijual sebesar Rp80 juta ke Suku Anak Dalam yang disebut ingin mengadopsi. Adit dan Meriana juga menyertakan surat pernyataan palsu yang disebut berasal dari orang tua BR.
Kepala unit Reserse Kriminal Polsek Panakkukang Makassar, Iptu Nasrullah menyampaikan tim Polrestabes Makassar langsung terbang ke Jambi setelah dari Sukoharjo.
“Tidak sampai 24 jam, kami langsung bergerak,” ujar Nasrullah.
Pada 8 November 2025, BR ditemukan dan dijemput dari masyarakat adat di hutan yang berada di Merangin, Jambi. Adit dan Meriana juga ditangkap.
Tim gabungan melakukan perjalanan ke daerah Kerinci selama 12 jam.
“Mentawak itu di wilayah Polres Merangin, itu di Suku Anak Dalam. Kami jelaskan ke pihak-pihak di sana bahwa kasus ini adalah kasus penculikan. Proses negosiasinya berjalan alot, cukup panjang sekitar dua malam satu hari,” kata Nasrullah.
Pihak kepolisian menduga, para pelaku penculikan dan perdagangan B ini terindikasi masuk dalam sindikat tindak pidana perdagangan orang yang terhubung dalam grup sosial media.
“Ini kami masih dalam tahap pendalaman, masih dilakukan penyelidikan dari telekomunikasi serta informasi di wilayah terduga. Sekarang baru empat pelaku yang kita amankan,” ujar Nasrullah.
BR akhirnya kembali ke pelukan orang tuanya pada 9 November 2025. Pendampingan psikologis terhadap BR dilakukan pasca kepulangannya.
- Kesaksian Orang Rimba
Berdasarkan keterangan Begendang dari Suku Anak Dalam, ia dan istrinya didatangi orang luar membawa seorang anak perempuan bernama BR ke kelompok mereka di sekitar Mentawak, Merangin.
Orang luar ini meminta anak ini dirawat karena berasal dari keluarga kurang mampu. Begendang merasa iba. Namun, ia sempat ragu tentang asal-usul anak tersebut dan takut bermasalah ke depannya.
Meriana meyakinkan Begendang dengan menyebut BR merupakan bagian dari keluarganya dan menunjukkan selembar surat pernyataan penyerahan dari ibu kandung bermaterai Rp10 ribu sehingga tidak akan ada tuntut menuntut di kemudian hari.
Begendang sebenarnya tidak bisa membaca sehingga tidak bisa memastikan isi surat itu. Namun, ia memutuskan percaya pada Meriana.
Begendang kemudian memberikan uang Rp 85 juta kepada Meriana sebagai uang pengganti biaya perawatan sebelumnya. Uang puluhan juta ini diketahui merupakan hasil berkebun dan kegiatan ekonomi lainnya selama bertahun-tahun.
Begendang yang sudah memiliki lima anak kandung ini tulus merawat BR dan tidak ada tujuan lain. Kelima anak ini langsung akrab dengan BR sehingga mereka bermain di sekitar sudung (pondok tempat tinggal Suku Anak Dalam) yang berada di tengah hutan dan perkebunan sawit di Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Tumenggung Sikar, ayah Begendang, menjelaskan kelompoknya maupun Begendang tidak mengenal Meriana. Sikar pun heran Meriana bisa sampai ke permukiman Suku Anak Dalam dan membawa anak untuk diadopsi.
“Kami meminta dia (Meriana) mengantarkan ke rumahnya di Bangko. Jadi, kalau ada masalah, kami bisa ke sana,” katanya.
Namun sekitar dua hari berikutnya, ada informasi tentang penculikan. Ternyata anak yang dirawat Begendang merupakan korban penculikan.
Sikar bersama Tumenggung Jon, Temenggung Roni, dan tiga petugas Dinas Sosial PPA Merangin, kepolisian, dan pihak lainnya, kemudian melakukan mediasi dan bersepakat mengembalikan BR ke orang tuanya pada 8 November.
Akan tetapi, pelaku penculikan BR harus mengembalikan uang Rp85 juta yang sebelumnya sudah diserahkan Begendang.
Rupanya uang tersebut sudah habis digunakan menurut pengakuan pelaku. Akhirnya, mobil Pajero pelaku dijadikan jaminan.
“Jadi, saya tanya sama si pelaku apa yang dipegang supaya bisa kita menyelesaikan masalah ini. Ya mobil ini. Dititiplah mobil ini di tempat aku. Biar aku kasih biaya Rp85 juta [untuk diserahkan kepada Begendang]. Ada kuitansinya. Makanya kami sakit hati ada yang bilang B ditukar,” kata Jon.
Tidak hanya itu, Jon dan Sikar sempat meminta pelaku diserahkan kepada Suku Anak Dalam agar bisa dihukum secara adat. Namun, pihak kepolisian tidak menyetujui.
“Kalau kami ini sebenarnya lebih ingin pelaku itu supaya bisa dihukum di dalam (secara adat). Cuma pihak [polisi] Makassar bilang tidak bisa, orang itu harus diamankan. Jadi kami mengalah,” kata Jon.
Usai dua jam mediasi, BR dijemput di Bukit Suban yang membutuhkan waktu selama dua jam untuk sampai ke sana.
Mengapa masyarakat adat rentan dimanfaatkan?
Antropolog dari KKI Warsi, Robert Aritonang menyampaikan kelompok yang disebut terlibat dalam kasus ini adalah Orang Rimba Sawitan, yang hidup di wilayah sekitar perusahaan besar.
Hilangnya ruang hidup telah menimbulkan “crash landing sosial” yakni kondisi di mana Orang Rimba tiba-tiba harus berhadapan dengan perubahan dunia luar yang tidak mereka pahami.
“Dalam situasi yang tidak mereka mengerti, Orang Rimba bisa dengan mudah percaya pada cerita atau bujukan dari orang luar. Mereka tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan,” ujar Robert.
Melalui kasus ini, problemnya bukan lagi hanya penculikan anak.
Robert menyoroti Orang Rimba merupakan korban dari sistem yang lebih besar: korban dari kemiskinan struktural, kehilangan wilayah hidup, dan ketidakadilan sosial.
“Ada pihak lain yang memanfaatkan kerentanan mereka. Melalui narasi palsu, janji ekonomi, atau bujukan emosional, Orang Rimba dijadikan alat dalam jejaring kejahatan yang mereka sendiri tidak pahami,” kata Robert.
Robert yang bertahun-tahun mendampingi mereka mengungkapkan kondisi hidup mereka sekarang ini sudah tidak seperti ketika hutan masih luas. Habisnya areal hutan ikut mengikis sumber akar budaya dan penghidupan mereka, ujarnya.
Saat ini, sekitar 5.500 jiwa Orang Rimba berada di lima kabupaten di Jambi. Sekitar 60%, kata Robert, sudah hidup tidak di hutan. Kelompok yang ramai diberitakan kali ini merupakan “kelompok yang hutannya sudah lama pergi”.
“Artinya, hutannya sudah hilang, terutama karena dikonversi untuk perkebunan sawit dan area transmigrasi. Kalau dulu, mereka banyak menggantungkan hidup pada berburu babi hutan untuk dijual. Sekarang sudah hampir punah, apalagi pasca covid,” ucap Robert.
Mereka pun beralih mengumpulkan sawit, kadang yang sudah sisa.
“Jangan dibayangkan seperti masyarakat umum yang bisa macam-macam profesi. Mereka tersingkir dari sistem sosial ekonomi akibatnya makin terpojok dan tersudutkan karena tidak diterima sistem yang umum.”
Pembangunan yang terjadi, kata Robert, juga tidak berpihak pada mereka dan tidak memfasilitasi supaya mereka bisa beradaptasi.
Akibatnya, banyak akses mendasar yang sulit diperoleh, seperti pendidikan dan kesehatan.
Selama ini, Orang Rimba dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kehidupan, menjaga hutan, dan hidup dengan adat yang menghindari konflik.
Meski diakuinya, ada cara hidup yang mulai bergeser seperti mulai mengenal teknologi, seperti handphone hingga kendaraan.
Terlepas dari hal ini, labelisasi negatif akibat tindakan segelintir orang justru dapat memperparah stigma dan diskriminasi terhadap seluruh komunitas.
Robert meminta agar publik dan aparat berhati-hati melihat perkara ini dan tidak menjadikan Orang Rimba sebagai kambing hitam atas persoalan sosial yang lebih luas.
“Yang perlu diusut bukan hanya siapa yang terlibat, tetapi siapa yang memanfaatkan Orang Rimba dan menciptakan kondisi yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini,” ucap Robert.
Persoalan masyarakat adat sebagai kelompok rentan dialami juga di berbagai belahan dunia. Hal ini karena lahan tinggal mereka yang tergerus korporasi dan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan data PBB, ada 476 komunitas masyarakat adat di dunia.
Jumlah mereka hanya sekitar 6% dari populasi global, tapi 19% dari keseluruhan masyarakat adat ini tercatat sebagai kelompok miskin ekstrem.
Harapan hidup mereka juga 20 tahun lebih rendah dibanding yang bukan masyarakat adat.
Di Indonesia, jumlah masyarakat adat mencapai 64,8 juta atau sekitar 30% dari jumlah penduduk saat ini.
Mengapa perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia masih minim?
Kriminolog UI, Mamik Sri Supatmi menegaskan dalam pendekatan hak asasi manusia dengan konteks hak-hak anak, kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak anak terletak pada negara.
Mestinya negara belajar dari peristiwa-peristiwa penculikan anak hingga perdagangan anak yang banyak terjadi sebelumnya untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa ini.
“Karena korban terutama anak-anak akan mengalami dampak traumatis, juga ancaman tumbuh kembang dan kekerasan-kekerasan yang lain yang dialami selama waktu penculikan atau trafficking.”
Selain negara, tanggung jawab pengawasan ada pada orang dewasa dan komunitas.
“Orang tua tidak sibuk sendiri yang kemudian lalai, orang tua juga bisa semestinya diminta pertanggungjawaban juga orang-orang di sekitar,” kata Mamik.
“Tapi ini juga menunjukkan bahwa kepedulian kita sebagai masyarakat terhadap anak-anak atau orang-orang di sekitarnya juga tidak terlalu baik. Artinya tidak peka pada anak yang dibawa oleh orang asing hanya karena yang membawa perempuan dan bersama anak-anak.”
Menurut Mamik, modus atau cara-cara ini sudah dipersiapkan oleh para penjahat utama sehingga orang yang melihat akan berasumsi perempuan tersebut adalah ibunya. Apalagi ada anak lain yang seakan tampak seperti keluarga.
Dengan situasi dan modus seperti ini, sistem perlindungan anak yang masih sangat lemah, serta kepedulian negara, komunitas, masyarakat yang minim perlu diperkuat.
Wakil Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah berpendapat selama ini upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak masih menjumpai hambatan.
Program ruang ramah anak yang digagas pemerintah juga menitikberatkan pada ketersediaan infrastruktur tanpa ada faktor pendukungnya.
Menurut Ai, para pelaku sepertinya sudah memetakan tempat-tempat yang kerap menjadi lokasi berkumpul anak-anak.
Saat sekolah, jam berangkat dan pulang ini menjadi waktu krusial dan berpotensi menciptakan kesempatan pelaku penculikan bekerja.
Kemudian, taman bermain hingga perpustakaan juga memungkinkan.
“Ruang publik ramah anak yang terawasi dengan baik ini sangat mendesak dan masih perlu diadvokasi bersama,” ujar Ai.
Mengacu pada kejadian yang menimpa BR yang diculik ketika bermain di taman bermain ini karena diyakini penculik yang merupakan sindikat sudah memantau titik-titik yang memungkinkan.
Karena itu, sarana dan prasarana yang disediakan harus juga disertai kamera pengawas bahkan petugas yang sigap dan sistem pengaduan yang cekatan.
Ai berkata, perlindungan dan pemenuhan hak anak selalu dititikberatkan pada orang tua.
Hal ini benar, tapi lingkungan sekitar bahkan negara juga turut bertanggungjawab pada perlindungan dan pemenuhan hak anak mengingat anak-anak juga menjalani kehidupan sosial dan berbaur dengan masyarakat.
“Basis pengawasan ini harus tetap langgeng, tidak boleh kendor. Dari keluarga, orang yang dipercaya menjaga anak, tetangga itu harus terkoneksi. Di lingkungan yang lebih luas, ada sekolah, pengajar, hingga masyarakat umum,” ujar Ai.
Pekerja Sosial Ahli Pertama Dinas Sosial PPA Merangin, Nurul Anggraini Pratiwi yang merupakan satu-satunya orang yang diperbolehkan menjemput BR di Bukit Suban mengakui BR sempat menolak dibawa.
“Saya meminta maaf. Saya memeluk induknya. Peluk anaknya juga. Karena tidak mau, saya minta izin untuk membawa BR. Akhirnya, mereka setuju dan legowo. Cuma, anak itu memang tidak mau. Karena mungkin, sebelumnya dia kan berpindah-pindah. Jadi, saat di sana dia sudah merasa aman,” kata Nurul.
“Dari induk juga ngomong tidak tahu penculikan dan semacamnya. Yang kami tahu dia diterlantarkan oleh orang tuanya.”
Setelah dibawa, Nurul mengungkapkan BR sempat ketakutan tapi ia terus meyakinkan BR sudah berada di tempat yang aman dan akan kembali ke keluarganya.
Fifi Syahrir dan Dwi Nurmas, orang tua BR, menyampaikan kondisi anaknya kini ceria apalagi ketika bermain bersama sepupu.
Diakui keduanya, BR kadang tantrum saat meminta sesuatu.
Mengenai pengalamannya, Fifi memilih menghindari membicarakannya, meski sesekali BR menyebut mengenai hutan, om, tante, adik bayi, dan anjing.
Berdasarkan Laporan Kinerja Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2024, Indeks Pemenuhan Hak Anak masih belum mencapai target dengan berada pada angka 60,75.
Program Kota Layak Anak yang digagas nyatanya tidak selalu sebanding dengan hasil Indeks Pemenuhan Hak Anak.
Predikat Kota Layak Anak tidak menjamin perlindungan terhadap anak di daerah tersebut optimal. Makassar pada Agustus 2025 memperoleh predikat Kota Layak Anak.
Di sisi lain, mengutip dari Laporan Kinerja ini, pemenuhan hak anak juga tidak terpenuhi karena pengasuhan tidak layak.
Persoalannya, pengasuhan tidak layak ini disebabkan juga minimnya pemahaman orang tua atau orang yang mengasuh mengenai pengasuhan berbasis hak anak.
Unicef juga menyoroti anggaran pemerintah untuk melindungi anak-anak dari kekerasan hanya kurang dari 0,1% dari total anggaran.
Prosedur administrasi publik yang kompleks juga mengakibatkan kesulitan dalam menyediakan layanan yang efektif untuk anak-anak.
Selain itu, problem kepemilikan akta kelahiran pada anak juga menjadi perhatian pemerintah dan lembaga dunia.
Tidak adanya akta kelahiran ini bisa makin memuluskan perdagangan anak, meski terbuka juga kemungkinan pemalsuan dokumen, seperti yang dilakukan pelaku pada kasus BR.
Bagaimana sindikat perdagangan anak bekerja?
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi berpendapat pelaku penculikan BR ini terorganisir atau memiliki sindikat. “Kalau digambarkan, organisasi kriminal ini semacam piramida bentuknya.”
Pertama, melibatkan orang-orang yang disebut sebagai aktor utama. Biasanya, mereka merancang dan mendesain kejahatan. Mereka juga akan merekrut orang yang bertanggungjawab merekrut anggota lain.
Di posisi paling bawah, umumnya melibatkan orang-orang miskin atau mereka yang dalam situasi mendesak sehingga tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kehidupannya.
Ia juga menyoroti penggunaan Facebook sebagai wadah sindikat dalam perkara penculikan anak ini.
“Jadi, memang Facebook telah menjadi berbagai macam kerjaan penipuan termasuk penculikan anak. Bisa jadi tujuannya untuk adopsi ilegal yang memang menjadi salah satu tujuan dari penculikan anak mengacu pada undang-undang khusus perdagangan orang,” kata Mamik.
“Memperhatikan dan belajar dari para pelaku penculikan dan perdagangan anak pada balita BR ini sampai berpindah tangan beberapa kali. Ini kan menunjukkan bekerjanya kejahatan yang terorganisir. Dan ini menjadi salah satu hal yang semestinya sudah bisa diantisipasi, diawasi karena sudah berulang kali terjadi.”
Namun, pengawasan kejahatan yang difasilitasi oleh internet atau cybercrime, baik penipuan perbankan, penipuan dengan menggunakan data diri, doxing, hingga perdagangan anak terbilang minim padahal harusnya mudah dideteksi oleh pemerintah.
Mamik berkata tiap satuan kepolisian memiliki unit khusus penanganan kriminal siber, bahkan ada satuan khusus sehingga semestinya bisa dikerahkan untuk memantau kejahatan terorganisir semacam ini.
Apalagi sepak terjang grup adopsi ilegal dan perdagangan anak ini terbuka di Facebook, tapi urung diberantas.
“Aparat penegak hukum dan pihak-pihak seperti yang punya otoritas terkait akses pada internet dan surveillance ini kalau memantau warga yang kritis, sigap sekali. Bahkan mengkriminalisasi suara-suara yang kritis itu sangat berlebihan, sangat represif,” ujar Mamik.
“Tapi ketika berhadapan dengan para penjahat yang sesungguhnya, seperti para trafficker anak, para pelaku cybercrime seperti pornografi online, prostitusi online, dan lain-lain kejahatan yang difasilitasi internet, termasuk juga yang difasilitasi oleh platform-platform media sosial seperti Facebook dan platform yang lain, cukup berbeda.”
Menurut Mamik, pemilik platform media sosial juga harus bertanggungjawab dan wajib diminta pertanggungjawabannya.
“Enggak bisa bilang bahwa ini kan kami hanya menyiapkan sehingga yang terjadi di ruang yang mereka ciptakan bukan tanggung jawab mereka. Enggak bisa lepas tangan begitu.”
Ia menambahkan kasus penculikan anak yang mengarah pada perdagangan orang seperti yang terjadi pada BR umumnya menargetkan perempuan dan anak-anak. Ada anggapan, kata Mamik, perempuan dan anak-anak ini punya nilai jual tinggi.
‘Melihat utuh problem kelompok rentan’
Bak tertimpa tangga, Begendang tidak hanya kehilangan anak angkat, dia dan keluarganya turut dirundung stigma. Berbagai konten telah menuduh Suku Anak Dalam terlibat dalam sindikat penculikan anak.
“Anak kami dijebak,” kata Tumenggung Sikar, ayah Begendang.
Tidak hanya itu, dia dituduh menukarkan BR dengan uang dan mobil Pajero. Padahal, dia hanya meminta uangnya sebesar Rp85 juta dikembalikan dan mobil Pajero hanya menjadi jaminan dari pelaku karena belum bisa mengembalikan uang tersebut.
Suku Anak Dalam juga dituduh menculik seorang anak bernama Kenzi yang tinggal di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, yang dinyatakan hilang pada 2022 lalu. Tuduhan ini didukung dengan foto seorang anak yang diduga mirip Kenzi.
“Cucu saya Bimo, Kenan, itu disamakan dengan anak yang hilang di daerah Bungo. Sedangkan yang hilang, itu berumur dua tahun. Kalau sekarang seharusnya enam tahun. Kok disamakan dengan cucu saya berusia dua tahun?”
“Di situlah konflik kemarin. Masuk dari Dinas Sosial, Polres Bungo, Polres Merangin, untuk mengecek anak itu,” kata Temenggung Sikar.
Tumenggung Jon berharap tidak ada konten hoaks terkait Suku Anak Dalam.
“Kita telusuri, jangan menuduh. Makanya saya tegaskan, sekali lagi diviralkan, akan saya tuntut. Kami minta pada pemerintah, tolong dituntut yang menuduh ini. Kalau beredar terus, saya lapor ke penegak hukum,” katanya.
Merujuk PBB, terdapat beberapa kelompok yang diklasifikasi sebagai kelompok rentan karena rawan dimanfaatkan dan memperoleh stigma. Tiga di antaranya: Anak-anak, masyarakat adat, dan masyarakat miskin.
Tiga hal ini pula yang menjadi benang merah persoalan sosial yang berujung tindakan kriminal, berupa penculikan hingga perdagangan anak.
Ditilik dari sudut pandang kriminologi, Mamik berkata kemiskinan disebut rentan karena menjadi mudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh para aktor utama dari kejahatan yang terorganisir.
Apalagi secara ekonomi, permintaannya tinggi dari orang yang bisa membayar puluhan juta untuk seorang anak.
“Ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat kenapa kejahatan ini terus terjadi, selain juga lemahnya sistem perlindungan anak dan penegakan hukum dalam mencegah keberulangan penculikan dan trafficking pada anak-anak,” katanya.
Terkait masyarakat adat dalam persoalan BR ini, Mamik meminta aparat mengkonstruksi secara hati-hati.
“Masyarakat adat harus dilihat secara sensitif dan peka. Jangan lupa untuk melihat struktur sosial yang tidak adil dan eksploitatif yang menempatkan mereka sebagai kelompok rentan,” katanya.
Menurut dia, perlu analisis yang memahami secara mendalam situasi masyarakat adat dalam tatanan masyarakat yang kapitalis dan patriarkis ini.
“Apalagi mengenai hukum, harus berhati-hati melihat dan menganalisis secara cermat sehingga kemudian bisa menempatkan dan memberikan keadilan tidak hanya pada BR dan keluarga, tapi juga memberikan keadilan pada kelompok rentan yang dianggap terlibat di dalam ini,” ucap Mamik.
Pekerja Sosial Ahli Muda Dinas Sosial PPA Merangin, Azrul Affandi yang kerap menangani persoalan yang dialami Suku Anak Dalam juga sepakat masyarakat adat masuk dalam kelompok rentan karena rawan dimanfaatkan oleh orang tidak bertanggung jawab.
Apalagi sebagian besar dari mereka belum bisa membaca. “Walau tahu uang, sebagian besar mereka tidak tahu baca. Mereka biasa merekam omongan lalu disampaikan ke komunitas,” kata Azrul.
Robert Aritonang dari KKI Warsi berkata kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk melihat secara utuh problematika Orang Rimba, dan mulai langkah-langkah untuk pemulihan persoalan sosial mereka, dengan memperluas akses terhadap pendidikan, layanan dasar, dan pengakuan hak atas wilayah hidup.
Tidak hanya itu masyarakat adat, tapi juga anak dan golongan miskin, tandas Robert.
- Polisi tangkap dalang sindikat penjualan bayi berkedok adopsi ke Singapura – Seperti apa modus operandinya?
- Skandal adopsi ilegal: ‘Saya diculik dan dijual’
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly7v95r00lo