Jakarta, IDN Times – Pemerintahan Donald Trump sekali lagi memicu gelombang kontroversi setelah merilis pedoman baru yang secara signifikan memperketat syarat visa Amerika Serikat. Kini, calon imigran dengan kondisi kesehatan tertentu, seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung, hingga gangguan metabolik, berisiko tinggi menghadapi penolakan visa. Kebijakan ini, yang terungkap dalam dokumen resmi Departemen Luar Negeri dan telah diverifikasi oleh KFF Health News, mengamanatkan petugas visa untuk menilai potensi pemohon sebagai “beban publik” bagi AS, terutama karena kemungkinan membutuhkan biaya perawatan jangka panjang.
Mengutip laporan dari KFF Health News, pedoman ini memberikan wewenang yang lebih luas kepada petugas visa untuk melakukan evaluasi kesehatan pelamar, bahkan berdasarkan proyeksi medis mengenai biaya yang mungkin timbul di masa depan. Para ahli menilai langkah ini sebagai bagian integral dari strategi besar pemerintahan Trump untuk membatasi imigrasi AS secara menyeluruh, yang juga mencakup penangkapan massal, pembatasan pengungsi, serta larangan masuk dari negara-negara tertentu.
1. Kesehatan Menjadi Krusial dalam Penentu Visa
Pedoman baru ini menjadikan aspek kesehatan sebagai fokus utama dalam proses aplikasi bagi hampir seluruh pemohon yang berkeinginan untuk tinggal permanen di Amerika Serikat. Petugas visa kini diinstruksikan untuk secara cermat mempertimbangkan keberadaan penyakit kronis seperti kondisi kardiovaskular, kanker, diabetes, gangguan pernapasan, hingga masalah kesehatan mental yang dapat memengaruhi status imigrasi.
Dalam dokumen tersebut disebutkan secara eksplisit bahwa “kondisi medis tertentu dapat memerlukan biaya perawatan senilai ratusan ribu dolar,” yang secara langsung mengindikasikan potensi seorang pemohon menjadi beban publik. Evaluasi ini tidak hanya menyasar pemohon itu sendiri, tetapi juga meluas hingga mencakup anggota keluarga yang menjadi tanggungan mereka, yang semakin memperluas jangkauan kebijakan ini.
Perluasan kebijakan ini menandai pergeseran signifikan dari regulasi sebelumnya yang hanya berfokus pada pemeriksaan penyakit menular seperti tuberkulosis dan riwayat vaksinasi. Kini, kondisi seperti obesitas, yang berpotensi menimbulkan asma, sleep apnea, atau tekanan darah tinggi, juga dijadikan dasar penolakan. Ini menunjukkan transformasi kebijakan kesehatan menjadi instrumen seleksi imigrasi yang jauh lebih ketat dan komprehensif.
2. Kekhawatiran Para Ahli atas Penilaian Subjektif dan Tanpa Pelatihan
Para pakar imigrasi telah melontarkan kritik keras terhadap pedoman ini, terutama karena memberikan kewenangan medis kepada petugas visa yang sama sekali tidak memiliki latar belakang atau pelatihan di bidang kesehatan. Charles Wheeler, seorang pengacara senior dari Catholic Legal Immigration Network, menegaskan bahwa redaksi dalam dokumen tersebut bertentangan dengan Foreign Affairs Manual, yang secara tegas melarang penolakan berdasarkan skenario “bagaimana jika”.
Wheeler berpendapat bahwa pedoman baru ini justru mendorong petugas untuk membuat proyeksi biaya medis berdasarkan interpretasi pribadi yang sangat rentan terhadap bias. “Mereka tidak terlatih secara medis dan tidak seharusnya membuat proyeksi semacam itu,” ujar Wheeler, menyoroti risiko penilaian yang tidak akurat.
Sophia Genovese, pengacara imigrasi dari Universitas Georgetown, menambahkan bahwa arahan ini membuat proses visa menjadi semakin spekulatif dan berpotensi diskriminatif terhadap individu dengan riwayat penyakit kronis. Ia khawatir kebijakan ini akan menimbulkan masalah besar dalam wawancara konsuler, mengingat standar penilaian yang menjadi sangat luas dan subjektif.
3. Implikasi bagi Imigran: Pemeriksaan Lebih Ketat dan Risiko Penolakan Berlipat
Sebelumnya, para imigran memang diwajibkan menjalani pemeriksaan medis oleh dokter yang ditunjuk kedutaan, mencakup skrining penyakit menular, riwayat penggunaan obat atau alkohol, serta kepatuhan vaksinasi. Namun, dengan kebijakan terbaru ini, proses tersebut tidak lagi sekadar verifikasi kesehatan dasar. Ini telah berevolusi menjadi penilaian menyeluruh tentang potensi biaya medis seumur hidup yang mungkin ditimbulkan oleh pemohon.
Dokumen tersebut secara tegas menyatakan bahwa petugas visa harus menilai apakah pemohon memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk menanggung biaya perawatan tanpa bergantung pada bantuan publik. Tanpa bukti kemampuan finansial yang kuat, pelamar dengan penyakit kronis kini berisiko tinggi untuk ditolak permohonan visanya.
Tidak hanya itu, pedoman ini juga mempertimbangkan kondisi kesehatan keluarga yang menjadi tanggungan, seperti anak dengan disabilitas atau orang tua yang memerlukan perawatan intensif. Ini berarti, imigran yang membawa serta anggota keluarga berpotensi menghadapi hambatan berlapis dalam proses aplikasi. Secara keseluruhan, kebijakan ini dipandang sebagai bagian dari strategi besar kebijakan imigrasi Trump untuk membatasi imigrasi melalui pendekatan yang melibatkan aspek kesehatan, ekonomi, dan administratif secara komprehensif.
Ringkasan
Pemerintahan Trump memperketat syarat visa AS dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan calon imigran. Penyakit seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung dapat menjadi alasan penolakan visa, karena pemohon dinilai berpotensi menjadi “beban publik” akibat biaya perawatan jangka panjang. Petugas visa diberi wewenang untuk mengevaluasi kesehatan pelamar, bahkan berdasarkan proyeksi biaya medis di masa depan.
Kebijakan ini menuai kritik karena memberikan kewenangan medis kepada petugas visa tanpa latar belakang kesehatan. Para ahli khawatir penilaian menjadi subjektif dan diskriminatif terhadap individu dengan penyakit kronis. Imigran kini menghadapi pemeriksaan lebih ketat dan risiko penolakan berlipat jika tidak mampu membuktikan kemampuan finansial untuk menanggung biaya perawatan, termasuk bagi anggota keluarga yang menjadi tanggungan.