
Mahasiswa Diskors karena Diskusi Soeharto, Politisi Dilaporkan: Bayang-Bayang Orde Baru Kembali?
Seorang mahasiswa dijatuhi hukuman skorsing oleh pihak universitas karena menyelenggarakan diskusi yang mengkritisi wacana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan. Di sisi lain, seorang politikus dilaporkan ke polisi atas pernyataannya yang menilai Soeharto bertanggung jawab atas kematian jutaan orang selama era Orde Baru. Para sejarawan melihat dua peristiwa ini sebagai sebuah “kemunduran besar” yang mengkhianati semangat Reformasi 1998.
Pekan lalu, Damar Setyaji Pamungkas, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, menerima surat skorsing dari kampusnya. Ia dianggap melanggar tata tertib kampus karena mengadakan diskusi mengenai kemungkinan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Alasannya, saya dianggap melakukan kegiatan politik praktis yang dilarang oleh aturan kampus,” ungkap Damar kepada wartawan BBC News Indonesia, Riana Ibrahim, pada Minggu (16/11).
Damar mengaku kebingungan dengan tuduhan tersebut. Menurutnya, tujuan diskusi tersebut adalah untuk “mendorong mahasiswa berpikir kritis dan memaknai kembali Hari Pahlawan dari perspektif rakyat, bukan dari sudut pandang kekuasaan. Ini murni kegiatan akademis,” tegasnya.
Nasib serupa juga dialami politikus PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning.
Ribka dilaporkan ke polisi pada 12 November oleh Aliansi Rakyat Anti-Hoaks dengan tuduhan memutarbalikkan fakta. Pelaporan ini dipicu oleh pernyataan Ribka yang menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat” sehingga tidak pantas menyandang gelar pahlawan.
Penulis Soe Tjen Marching juga menjadi sasaran persekusi di media sosial setelah menceritakan pengalaman keluarganya di bawah rezim Soeharto.
“Saya menerima berbagai ancaman. Ada yang mengatakan saya pantas dihabisi. Saat demonstrasi besar Agustus lalu, saya diancam akan diperkosa karena ikut berbicara tentang demo tersebut,” tutur Soe Tjen kepada BBC News Indonesia.
Sejarawan Asvi Warman Adam melihat situasi terkini ini sebagai indikasi “kembalinya Orde Baru.”
Menurutnya, indikasi tersebut telah terlihat sejak Prabowo memenangkan Pemilu 2024. Asvi menunjuk pada penghapusan nama Soeharto dalam Ketetapan MPR pada akhir September 2024, penulisan ulang sejarah nasional yang direncanakan diluncurkan pada Desember 2025, hingga wacana penetapan Soeharto sebagai pahlawan.
“Saya membaca draf [penulisan ulang sejarah nasional] pada Juli 2025 lalu. Isinya pengagungan Orde Baru melalui rangkaian pembangunan, sekaligus menghilangkan masa kelam Prabowo. Kita lihat nanti apa yang dimuat tentang Mei 1998,” jelas Asvi kepada BBC News Indonesia.
Sejarawan Peter Carey juga menyoroti pembubaran diskusi di kampus sebagai sinyal kembalinya “bayang-bayang Orde Baru.” Ia mengungkapkan keprihatinannya atas situasi ini.
“Dalam demokrasi, setiap orang harus bebas membicarakan hal-hal politik dan memiliki pandangan serta pendirian masing-masing. Sejak reformasi, semua menjadi lebih terbuka. Departemen Penerangan bahkan dibubarkan oleh Gus Dur,” kata Peter Carey kepada BBC News Indonesia.
“Jika ini benar-benar terjadi, ini adalah sebuah kemunduran besar dan bayang-bayang dari Orde Baru,” tegasnya.
Bagaimana Kronologi Pembubaran Diskusi di Kampus hingga Skorsing Mahasiswa?
Damar Setyaji Pamungkas dan rekan-rekannya merencanakan sebuah diskusi di kampus Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta. Fokus diskusi ini adalah pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Diskusi rencananya akan diadakan di kantin kampus.
Damar menjelaskan bahwa acara tersebut bertujuan untuk “merefleksikan dan mengkritisi status kepahlawanan Soeharto secara edukatif.”
“Tujuan diskusi ini adalah mendorong mahasiswa berpikir kritis dan memaknai kembali Hari Pahlawan dari perspektif rakyat, bukan dari sudut pandang kekuasaan. Jadi, ini adalah kegiatan akademis,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Namun, pada 10 November 2025, sekitar pukul 11.10 WIB, Damar, yang merupakan mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Ilmu Sosial (FEBIS), dipanggil oleh dekan setelah mengikuti Ujian Tengah Semester.
Ketua Eksekutif Wilayah LMID Jakarta Raya ini dipanggil secara lisan. Dalam pertemuan tersebut, pihak dekan menyampaikan keberatan atas kegiatan diskusi yang akan dilaksanakan sore harinya di area kantin kampus.
Alasannya, kegiatan tersebut dianggap mengandung unsur “politik praktis” dan bukan kegiatan akademik.
Damar menolak tuduhan bahwa dirinya melakukan politik praktis di dalam kampus.
“Ini adalah kebebasan akademik, otonomi keilmuan, mimbar akademik. Hal itu dijamin oleh aturan kampus, aturan negara, dan aturan internasional. Ini adalah hak dan ini adalah kegiatan akademis,” tegas Damar.
“Membahas sejarah politik Soeharto adalah bentuk tanggung jawab intelektual dan moral mahasiswa, bukan politik praktis.”
Dekan mengakui bahwa rektorat didatangi oleh polisi dari Polda Metro Jaya terkait dengan diskusi yang akan diselenggarakan pada pukul 16.00 WIB.
Di area kampus, aparat kepolisian dan Babinsa dilaporkan melakukan “sterilisasi.”
Pihak kampus juga memasang spanduk besar di area kantin yang bertuliskan “DILARANG MELAKSANAKAN KEGIATAN POLITIK PRAKTIS DI KAMPUS UTA’45 JAKARTA. BAGI YANG TERLIBAT AKAN DIKENAKAN SANKSI SKORSING/DO.”
Beberapa jam setelah pemanggilan, sekitar pukul 14.50 WIB, area kantin kampus yang telah disiapkan sebagai lokasi acara ditutup dan digembok.
Mahasiswa yang sudah berada di kantin diminta untuk membubarkan diri. Bahkan, para pedagang kantin pun diminta menutup warungnya dan meninggalkan kantin.
Pintu belakang kantin, yang menjadi akses utama kegiatan, kemudian dikunci rapat, sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang bisa masuk ke area tersebut. Alasannya adalah demi menjaga ketertiban kampus.
Padahal, selama ini kantin tersebut merupakan ruang publik bagi aktivitas mahasiswa.
Sekitar pukul 15.30 WIB, Damar dipanggil kembali tanpa surat resmi oleh pihak fakultas dan Kepala Program Studi.
Dalam pertemuan kedua tersebut, pihak fakultas dan Prodi langsung menyampaikan keputusan untuk menjatuhkan sanksi skorsing dengan mengeluarkan Surat Keputusan No.693/FEBIS.UTA45/SS/XI/2025 Tentang Sanksi Skorsing Mahasiswa.
Dari surat tersebut, skorsing direkomendasikan oleh Ketua Program Studi Manajemen.
Namun, keputusan ini diduga menyalahi mekanisme prosedural yang telah ditetapkan dalam Panduan Akademik Universitas.
Jika mengacu pada Panduan Akademik Universitas, tuduhan kegiatan politik praktis seharusnya berujung pada sanksi berupa teguran dan surat peringatan, bukan skorsing.
Damar pun mengirim surat audiensi kepada rektor tertanggal 12 November 2025 untuk meminta klarifikasi terkait dasar dan proses penerbitan surat skorsing.
Namun, permohonan audiensi itu tidak direspons oleh pihak rektorat. Staf Rektorat hanya menyampaikan bahwa rektor sedang berada di luar negeri.
Dari Pelaporan hingga Serangan Daring
Selain kejadian di Universitas 17 Agustus Jakarta, politisi PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dilaporkan ke Bareskrim oleh Aliansi Rakyat Anti-Hoaks karena menyebut Soeharto sebagai “pembunuh jutaan rakyat.”
Ribka menyampaikan hal ini ketika berada di Sekolah Partai PDIP, Jakarta pada 28 Oktober.
Ribka menanggapi pernyataan mengenai usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Menurut Ribka, ia menolak keras hal itu karena selama berkuasa banyak pelanggaran HAM yang terjadi.
Bahkan pasca 1965, tragedi menyasar jutaan orang, baik yang tewas, ditangkap, hingga hilang.
Atas dasar itu, Ribka berpandangan Soeharto telah membunuh jutaan rakyat.
Dua hari setelah Soeharto resmi diumumkan sebagai pahlawan, kelompok yang mengaku Aliansi Rakyat Anti-Hoaks melaporkan Ribka ke polisi.
Ia dilaporkan karena dituduh melakukan pencemaran nama baik dan penistaan terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tidak hanya di Bareskrim, kelompok lain juga melaporkan Ribka di Polres Klaten.
Pada 15 November, laporan juga masuk ke Polres Blitar dari kelompok Jaring & Investigasi Kejahatan Aparat terkait ucapan Ribka mengenai Soeharto.
“Saya siap diperiksa. Bisa nanti dengan kesaksian (Tim Ad Hoc Komnas HAM) bagaimana mereka menemukan korban-korban pelanggaran HAM Soeharto itu,” ujar Ribka melalui keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia.
“Seperti pembunuhan massal, penghilangan paksa, penanganan sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan kemerdekaan fisik, dan kekerasan seksual.”
Komnas HAM, kata Ribka, telah menyelidiki berbagai pelanggaran HAM berat ini.
Laporan Komnas HAM itu menyebut pihak yang bertanggung jawab ialah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang berada di bawah kendali Soeharto.
Secara terpisah, penulis Soe Tjen Marching menyebut dirinya mengalami persekusi di media sosial, karena unggahan mengenai ayahnya yang dipenjara dan disiksa ketika rezim Soeharto.
Di media sosial, Soe Tjen diserang dengan menyebut bahwa “PKI tak beragama, tak bertuhan, membahayakan Indonesia”, hingga dia disebut sebagai “penghasut rakyat dan pemecah-belah persatuan”.
Kalimat-kalimat itu bermunculan di kolom komentar dari pernyataan Soe Tjen di media sosial. Bahkan ada juga yang bernada ancaman untuk “menghabisi”, ungkapnya.
“Kalau saya lihat ini sudah kebangkitan Orde Baru sejak Prabowo jadi presiden. Dan mereka modalnya banyak. Jadi, mereka mampu bayar buzzer. Kelihatan kalau saya lihat akunnya, walau kadang enggak semua,” ujar Soe Tjen.
Ia memahami, di luar sepak terjang buzzer, ada yang tetap menganggap Orde Baru dan Soeharto memberikan kontribusi positif mengingat propaganda selama 32 tahun itu menempel lekat.
Ia bahkan mengaku sempat terjebak dengan propaganda tersebut hingga mulai merasakan kejanggalan saat SMA.
Keluarga Soe Tjen yang khawatir dan masih dilanda ketakutan memilih menutupi alasan mengapa ayahnya dipenjara saat itu.
“Mama bilang Papa difitnah, tapi kakak bilang Papa ikut suatu organisasi yang menolong orang kecil tapi organisasinya dituduh komunis. Saya dibiarkan percaya ideologi Orde Baru dan percaya kalau komunis itu jahat.”
Akibatnya, hubungan dengan ayahnya memburuk bahkan ketika ayahnya meninggal pada 1997 relasi keduanya sukar kembali hangat.
“Saya menyesal karena Papa saya adalah korban. Saya merasa dihasut dan dikelabui, banyak yang seperti ini juga,” kata Soe Tjen.
Akan tetapi, Soe Tjen kemudian menggali dari berbagai sumber karena kecurigaan pada sejumlah hal.
Menurut Soe Tjen, pemerintah Orde Baru terus-menerus mendengungkan apa yang dilakukannya itu mulia dan demi kebaikan bangsa.
Namun menurutnya, segala tindak tanduk rezim Orba itu paranoid.
Dia mencontohkan, mulai pelarangan buku-buku, pembredelan media massa, pembatasan informasi mengenai komunis, kasus Kedung Ombo, hingga simpang siur Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966). Ini semua memantik rasa ingin tahunya.
“Bahkan katanya saat itu kudeta [1965] gagal, kalau kudeta gagal kan harusnya presidennya [Soekarno] enggak ganti. Ini mencurigakan.”
Namun, ia memahami tidak semua orang berniat untuk menggali lebih dalam apalagi curiga terkait peristiwa itu.
Hal ini yang kemudian memunculkan orang-orang yang kemudian mempersekusinya di media sosial di luar para buzzer.
Ia pun berpikir situasi semacam ini akan terus dipelihara oleh pemerintah saat ini.
Soe Tjen menilai, pemerintahan saat ini ini tak kalah paranoid seperti rezim Orde Baru.
“Narasi anti-komunisme dengan embel-embel tak bertuhan dan tak beragama kembali digaungkan tiap ada kritik yang masuk ke pemerintah saat ini. Lagi-lagi tanpa ada penjelasan valid mengenai paham tersebut,” paparnya.
‘Berujung pada Malapetaka Negara’
Sejarawan Asvi Warman Adam berkata bentuk propaganda yang diusung Orde Baru mulai diadopsi oleh pemerintah saat ini.
Selain penulisan ulang sejarah dan pemahlawanan Soeharto, Asvi juga mendapati propaganda melalui budaya pop melalui film.
“Desember nanti akan ada juga film yang akan rilis judulnya Timur dan produser eksekutifnya istrinya Raffi Ahmad. Ceritanya tentang operasi Mapenduma 1996, itu kan tentang Prabowo. Ini mengingatkan film Janur Kuning dan Serangan Fajar yang dibuat pada masa Orde Baru,” ujar Asvi.
Dengan berbagai bentuk propaganda ini, menurutnya, pelurusan sejarah yang sudah berjalan sejak Reformasi 1998 berpotensi diputarbalikkan lagi sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di sinilah, demikian Asvi, hal-hal yang berbau persekusi terhadap mereka yang kritis juga diprediksi bisa makin marak.
Asvi menyebutkan kasus-kasus pelaporan ke polisi, penangkapan oleh aparat terhadap aktivis, hingga pembubaran diskusi belakangan ini.
Menurut Asvi, situasi semacam ini sering terjadi di zaman Orde Baru, tapi informasinya kadang sumir karena media massa saat itu sangat dikontrol dan diawasi sangat ketat.
Di zaman Orba, kegiatan politik mahasiswa mulai dibatasi secara ketat oleh pemerintah setelah Peristiwa 15 Januari atau Malari 1974.
Dan pembatasan itu terus berlanjut. Pada 1978, pemerintah mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Isinya jelas-jelas berusaha menjinakkan kegiatan politik mahasiswa. Mereka misalnya saja melarang keberadaan Dewan Mahasiswa.
“Ada [pula mahasiswa] yang ditangkap karena berdiskusi tentang buku Pram (Pramoedya Ananta Toer),” ungkap Asvi.
Menyikap kejadian di Universitas 17 Agustus pekan lalu, Asvi mengaku heran.
“Universitas 17 Agustus itu dulu yang saya dengar itu sekolah yang dimiliki atau dikelola oleh kelompok nasionalis. Namanya saja 17 Agustus. Tapi saya heran sekarang kok seperti sekolahnya sudah dikooptasi oleh penguasa,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Damar Setyaji Pamungkas, mahasiswa Universitas 17 Agustus Jakarta, menilai kampusnya sudah lama melakukan represi terhadap mahasiswa.
Padahal, menurutnya, kampusnya ikut berada dalam demonstrasi Reformasi 1998 menuntut Soeharto dilengserkan.
“Sejak 2013, kampus sudah tidak ada BEM sampai sekarang. Dibubarkan rektor dan ada mahasiswa yang dikeluarkan karena protes pembubaran tersebut. Sampai ke pengadilan dan menang, tapi putusan tidak dijalankan rektor,” ucap Damar.
Berdasarkan informasi dari LBH Jakarta yang mengawal perkara ini, rektor membubarkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), baik di tingkatan Universitas maupun Fakultas, Senat Mahasiswa Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Pecinta Alam UNTAG ’45 Jakarta (PATAGA), Resimen Mahasiswa, dan Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang seni.
Belakangan hanya sejumlah UKM dan Himpunan Mahasiswa Jurusan yang mulai aktif.
Sepakat dengan Asvi, sejarawan Peter Carey menilai ada kemiripan pemerintah saat ini dengan Orde Baru.
Bahkan pemaksaan pada narasi pemerintah ini mengingatkan pada rezim fasis dalam buku 1984 karya George Orwell.
“Jadi ini sama sekali tidak masuk akal bahwa semua orang yang pernah bermasalah dengan Orde Baru ketika menceritakan apa yang mereka alami justru dipersekusi,” ujar Carey.
Pembubaran diskusi akademik di lingkungan kampus disebutnya sebagai gejala fasisme.
“Ini tidak bisa diterima,” cetus Carey.
Peter Carey kemudian mengkritik sikap ngotot pemerintah yang menyematkan gelar pahlawan kepada Soeharto.
Dia juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menuliskan ulang sejarah yang mengabaikan catatan sejarah lainnya.
Walaupun demikian, Carey mengatakan, langkah pemerintah itu bakal sia-sia, mengingat zaman sekarang sumber informasi alternatif yang valid mudah diperoleh.
Dia memberi contoh, saat Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan tidak ada pemerkosaan massal pada 1998 atau Soeharto disebut tidak terlibat pada 1965, hal ini mudah dibantah dengan menggunakan sumber-sumber lain yang valid.
“Baik berupa riset hingga temuan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk Presiden B.J. Habibie,”ujarnya.
Hanya saja, Carey menyayangkan sikap Fadli yang disebut berkukuh dengan kebijakannya.
“Ini semacam holocaust denial. Mau menolak realitas satu sejarah dan itu bisa akan berujung malapetaka untuk satu negara,” ujar Carey.
Pentingnya Sejarah Alternatif
Kendati demikian, Carey cukup optimis mengingat masa kini memiliki piranti daring yang bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan sejarah alternatif yang valid.
“Sekarang sudah merajalela di mana-mana. Bukan buku, bukan arsip, bukan perpustakaan, tapi sumber online. Memang ada saja yang tidak valid, tapi ada juga yang sangat valid,” jelasnya
Menurut Carey, sejarah alternatif ini amatlah penting.
Ini ditekankan Carey karena pemerintah saat ini melakukan rangkaian tindakan yang berpotensi sebagai propaganda bagi generasi muda yang tidak mengalami tragedi 1965 hingga pergerakan yang berujung pada reformasi pada 1998.
Carey juga memutuskan untuk mengunggah berbagai catatan dan arsip miliknya secara daring sehingga semua orang mudah mengakses informasi sejarah valid yang dikerjakannya.
Ia pun memberi contoh di Kasuran, Sleman, Yogyakarta yang kemudian menggagas blog dan situs dan mengunggah tulisan Carey.
“Jadi ada semacam demokratisasi knowledge, dari pengetahuan yang sekarang bertumbuh biak di akar rumput. Jadi, saya kira tidak masuk akal bahwa sejarah versi tunggal bisa berdiri dan bisa tidak ada salah satu versi kontra,” kata Carey.
“Sebab, ada macam-macam orang Indonesia, macam etnis dan beraneka ragam sekali. Mereka harus punya hak untuk sejarah masing-masing dan sejarah tidak bisa hidup kalau itu satu versi tunggal.”
Karena itu, ia tidak khawatir dengan milenial, generasi Z, bahkan generasi alpha ke depannya.
Ia yakin generasi ini akan menggali dari internet dan mencari fakta yang beragam lalu mengembangkan perspektifnya.
Bahkan apabila pemerintah nekad membredel informasi daring, dampaknya bisa fatal. Bahkan Indonesia bisa pudar pamornya di dunia internasional.
Asvi juga sepakat komunikasi lewat internet secara digital itu lebih terbuka saat ini sehingga pelaporan terhadap Ribka, serangan terhadap Soe Tjen, bahkan pembubaran diskusi bisa disebarluaskan dan mengundang berbagai reaksi bahkan penolakan. “Dulu tidak mungkin seperti itu.”
Asvi juga mendorong keberanian bersuara dari banyak pihak dengan berbasis data dan fakta agar bisa membangun perspektif dengan tepat.
Soe Tjen pun merasa perlawanan harus berasal dari akar rumput, karena pemerintah jelas tidak bisa diharapkan.
“Akar rumput yang harus bergerak. Tulis terus menerus. Karena kita ini sudah diteror kembali.”
* Pasang surut gerakan mahasiswa dan kebijakan depolitisasi kampus pada masa Orde Baru
* Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru
* ‘Pemerintah gadaikan keselamatan masyarakat’ – Prabowo perluas peran TNI di ranah sipil, tanda kembalinya ‘dwifungsi ABRI’ ala Orde Baru?
Ringkasan
Artikel ini membahas dua peristiwa yang dianggap sebagai indikasi kembalinya bayang-bayang Orde Baru. Pertama, seorang mahasiswa diskors karena mengadakan diskusi yang mengkritisi wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Kedua, seorang politisi dilaporkan ke polisi atas pernyataannya yang menilai Soeharto bertanggung jawab atas kematian jutaan orang selama era Orde Baru.
Sejarawan melihat kejadian ini sebagai kemunduran besar dan mengkhawatirkan adanya upaya penulisan ulang sejarah nasional yang mengagungkan Orde Baru, serta menghilangkan catatan kelam masa lalu. Mereka juga menyoroti pembubaran diskusi di kampus sebagai sinyal kembalinya pembatasan kebebasan berpendapat yang mirip dengan era Orde Baru, dan menekankan pentingnya sejarah alternatif yang valid di tengah upaya propaganda pemerintah.