Putusan MK larang polisi duduk di jabatan sipil, polisi dituntut mematuhinya – ‘Pemerintah cuma mau menjalankan, kalau bermanfaat buat mereka’

Photo of author

By AdminTekno

Pemerintah dituding menerapkan prinsip ‘tebang pilih’ dalam menaati berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut para pengamat, kepatuhan terhadap putusan MK cenderung mengendur ketika menyangkut kepentingan pemerintah. Fenomena ini kembali terlihat dalam penanganan putusan MK yang secara tegas melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil, sebuah keputusan yang dinilai progresif dan membawa dampak positif bagi publik.

Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang diumumkan pada 13 November 2025, secara gamblang menganulir frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Implikasi dari putusan ini sangat jelas: anggota Polri kini hanya diperbolehkan menempati jabatan di luar struktur kepolisian setelah mereka secara resmi mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Namun, putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini justru tidak segera diimplementasikan oleh pihak kepolisian. Bahkan, seorang pejabat dilaporkan menafsirkan putusan tersebut secara berbeda, menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di kalangan masyarakat.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menegaskan bahwa kepolisian harus segera menindaklanjuti putusan tersebut. Jika tidak dilaksanakan, sikap institusi kepolisian bisa dianggap “inkonstitusional”. “Pasti ada transisi untuk pemindahan, tapi tidak butuh waktu yang lama. Karena kalau diteruskan ini jelas inkonstitusional. Apa landasan hukum terkait penempatan personel di luar struktur kan?” ujar Bambang kepada wartawan Riana Ibrahim dari BBC News Indonesia, Rabu (19/11).

Senada dengan Bambang, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti, juga melontarkan penilaian serupa. Ia menegaskan bahwa putusan MK secara otomatis berlaku sejak dibacakan, sehingga para perwira polisi yang saat ini menduduki posisi sipil “harus mundur”. Susi Dwi Harijanti mengamati bahwa putusan MK cenderung diabaikan apabila menyentuh kepentingan pemerintah atau institusi tertentu.

“Itu mereka cherry picking. Hanya mengambil atau menjalankan putusan kalau itu memberikan manfaat bagi mereka. Jadi compliance terhadap putusan MK itu sangat tergantung pada sampai sejauh mana ada kepentingan-kepentingan non-hukum di dalamnya,” jelas Susi kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/11). “Kalau misal kepentingan non-hukum itu tidak terlalu signifikan bagi mereka, ya mereka enggak peduli. Putusan MK terkait batas usia wapres cepat diberlakukan kan. Kenapa putusan yang lain tidak? Padahal kepentingannya besar untuk masyarakat,” tambahnya, menyoroti inkonsistensi pemerintah.

Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa putusan MK wajib dijalankan, namun menurutnya tidak berlaku surut. Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho mengemukakan bahwa keputusan untuk menarik anggotanya dari jabatan sipil “tergantung pada laporan dari tim Pokja yang diserahkan pada Kapolri,” menunjukkan adanya proses internal yang sedang berjalan.

Namun, Koordinator Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, berpandangan bahwa rangkap jabatan, termasuk penempatan polisi di jabatan sipil, sarat dengan potensi konflik kepentingan. Praktik ini, menurut Wana, berisiko menjadi ajang bagi-bagi jabatan dan alat kekuasaan untuk mengontrol jabatan sipil.

“Hal lainnya, khususnya terkait polisi aktif di jabatan sipil berpotensi memberikan proteksi hukum ketika ada perkara yang terjadi di suatu institusi. Ini punya kecenderungan abuse of power dan besar konflik kepentingannya,” ucap Wana, menyoroti bahaya penyalahgunaan wewenang.

Mengapa polisi harus melaksanakan putusan MK?

Prof. Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, menekankan pentingnya pemerintah segera menjalankan putusan MK yang progresif, termasuk larangan polisi aktif di jabatan sipil. Susi memahami pandangan bahwa putusan MK bisa berlaku prospektif atau tidak berlaku surut, seperti yang disampaikan Menteri Hukum. Namun, ia menegaskan bahwa prinsip tersebut tidaklah mutlak. Terlebih, berdasarkan teori, putusan pengadilan harus mempertimbangkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara seimbang.

“Misal ada pertanyaan untuk kepastian hukum kan berlaku ke depan, bukan ke belakang. Tapi bagaimana dengan keadilan? Keadilan bagi orang-orang, bagi ASN-ASN, bagi orang-orang sipil yang seharusnya dia bisa menduduki jabatan itu? Mereka jadi terhalang karena diduduki oleh polisi atau mereka yang rangkap jabatan, padahal mereka juga punya kompetensi,” tutur Susi. “Dari aspek itu, terutama yang berkaitan dengan hak konstitusional warga maka harus berlaku saat itu juga.”

Oleh karena itu, pernyataan Menteri Hukum dinilainya kurang memperhatikan aspek keadilan, mengingat landasan permohonan putusan MK ini berkaitan erat dengan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Saat ini, mengacu pada data Badan Pusat Statistik, jumlah pencari kerja di Indonesia pada Agustus 2025 mencapai sekitar 7,46 juta orang. Para pencari kerja ini, yang mayoritas hanya bisa memilih profesi sipil, dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak jabatan sipil telah diduduki oleh polisi aktif, bahkan oleh pejabat yang merangkap jabatan. Data menunjukkan peningkatan signifikan jumlah polisi yang bertugas di luar struktur kepolisian: dari 3.424 orang pada 2023 (dengan 1.026 perwira) menjadi 3.824 orang pada 2024, dan melonjak hingga 4.351 orang pada 2025 (dengan 1.184 perwira).

Susi juga mengingatkan kembali kasus Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak dibahas ulang oleh pemerintah, melainkan diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang kemudian memicu gelombang protes dari masyarakat sipil dan kelompok buruh. Ini menunjukkan pola respons pemerintah terhadap putusan hukum yang dinilai tidak sesuai keinginan.

‘Jangan dirancukan lagi dengan Undang-undang ASN’

Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, mengamini penilaian tersebut. Bambang menegaskan bahwa pasca putusan MK, anggota polisi aktif yang menduduki jabatan sipil harus segera mundur atau pensiun dari dinas kepolisian. Ia secara khusus menyoroti Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kerap dijadikan rujukan oleh sejumlah pejabat dalam menafsirkan putusan MK ini. Padahal, Pasal 19 ayat (3) UU ASN menyebutkan bahwa anggota polisi dapat menduduki jabatan sipil “sebagaimana diatur dalam UU Polri”.

“Jadi, balik lagi harus merujuk ke undang-undang lembaganya [polisi]. Yang artinya harus mengundurkan diri atau pensiun. Dan ini semakin clear dengan putusan MK. Jangan dirancukan lagi dengan Undang-undang ASN,” ujar Bambang, memperjelas batasan hukum.

Ia juga menjelaskan latar belakang mengapa UU Polri sempat mengatur mengenai kemungkinan anggota polisi menduduki jabatan sipil. Menurutnya, pasca-Reformasi, banyak lembaga baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Narkotika Nasional yang memang membutuhkan bantuan penyidik polisi pada saat itu. “Tapi kan seiring waktu lembaga-lembaga itu juga menyusun atau membentuk penyelidik-penyelidik tersendiri,” kata Bambang, menunjukkan perkembangan kapasitas internal lembaga-lembaga tersebut.

Merujuk Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang kini sebagian penjelasannya telah dihapus oleh MK, Bambang kembali menegaskan keharusan untuk mengundurkan diri atau pensiun dari Polri sebelum menduduki jabatan di luar struktur. Bahkan, alasan perintah dari lembaga terkait atau surat perintah Kapolri pun, menurut Bambang, tidak dapat dibenarkan lagi. “Walaupun saya melihat perkembangannya semakin masif sejak 10 tahun terakhir ini. Bagaimana personel kepolisian itu diletakkan di lembaga-lembaga yang nyaris juga tidak terkait dengan bidang kepolisian,” ujar Bambang. “Jadi, penjelasan ayat 3 seperti itu, ada di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Pariwisata dan lain-lain. Ini kan tidak terkait dengan tugas-tugas kepolisian. Walaupun dicantol-cantolkan semua hal bisa berhubungan dengan kepolisian tapi tidak berhubungan langsung.”

Bagaimana respons Kompolnas?

Anggota Kompolnas Irjen Pol (Purn) Ida Oetari Poernamasasi menyatakan bahwa putusan MK tersebut harus dihormati. Meskipun begitu, ia menjelaskan bahwa penempatan polisi di jabatan sipil selama ini memang sesuai dengan kebutuhan dan atas dasar permintaan dari kementerian/lembaga terkait. Ida kemudian merujuk pada situasi pasca-Reformasi 1998 ketika TNI dan Polri dipisahkan, diikuti dengan lahirnya beleid yang menempatkan polisi sebagai institusi sipil. Dalam konteks ini, menurutnya, seharusnya tidak ada masalah bagi polisi untuk menduduki jabatan sipil.

“Sejak reformasi 1998 dengan dipisahkan TNI dengan Polri itu, sebenarnya Polri sudah bukan lagi militer, dan dia adalah institusi sipil karena tunduk pada peradilan sipil juga,” jelas Ida. Selain itu, Ida berpegang pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyatakan bahwa anggota kepolisian diperbolehkan menduduki jabatan sipil. “Yang diajukan ke MK kan bukan UU ASN. Kami melihatnya dengan berlandaskan UU ASN selama ada tugas pokok dan kompetensi yang diharapkan dari anggota polisi seumpamanya sebagai penegakan hukum, saya pikir itu bisa dilakukan,” ucap Ida. “Tetapi bagi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tugas pokok Polri, memang itu menurut saya harus dievaluasi, kemudian ditata, dilihat, dan diklasterkan, mana yang bisa diduduki oleh anggota Polri.”

Ida menjelaskan bahwa sebenarnya hanya ada beberapa kementerian/lembaga yang relevan untuk diduduki anggota kepolisian. “Saat ini, kami menyarankan untuk melihat kembali yang berkaitan atau tidak dengan tugas pokok Polri. Lalu, melihat juga ada permintaan atau tidak. Judulnya harus ada permintaan dulu dari kementerian/lembaga. Selanjutnya, ada undang-undang yang mengatur seperti BNN atau BNPT itu sudah diatur di situ,” papar Ida, menunjukkan pentingnya regulasi yang jelas dan permintaan yang rasional.

Mengapa harus mengambil jatah jabatan sipil?

Koordinator Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, sekali lagi menyoroti praktik rangkap jabatan dan penempatan polisi di jabatan sipil. Menurutnya, hal ini dilakukan karena memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai alat kekuasaan guna mengontrol jabatan sipil. Akibatnya, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berasal dari latar belakang sipil dapat mengalami kekhawatiran dan hambatan dalam menyusun serta mengambil suatu kebijakan.

Di sisi lain, pemerintah kerap mengklaim bahwa keberadaan polisi aktif di jabatan sipil dapat memberikan jaminan hukum saat terjadi perkara di institusi, khususnya di tempat polisi itu ditugaskan. “Sebab, mereka masih memiliki pengaruh di institusi kepolisian yang jika hal ini terjadi akan menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi abuse of power,” ujar Wana kepada wartawan Riana Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (19/11).

Meski berujung pada persaingan yang tidak sehat, bahkan di kalangan ASN atau publik secara luas, pola penempatan polisi ini diduga juga didorong oleh praktik bagi-bagi jabatan terhadap mereka yang merangkap jabatan dan memperoleh posisi tinggi di kementerian/lembaga.

Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, juga sependapat dengan analisis ini. “Kalau saya melihat secara politik, hegemoni kekuasaan itu tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan tapi melalui konsensus. Penempatan personel Polri di luar struktur selama 10 tahun terakhir ini adalah salah satu bentuk konsensus yang dilakukan oleh kekuasaan,” tuturnya.

Menurut Bambang, polisi bisa ditundukkan melalui pemberian jabatan tersebut. Padahal, polisi seharusnya menjadi alat negara yang independen dalam menjalankan tugas pokoknya, bukan alat penguasa. Oleh karena itu, aturan yang selama ini dibuat sebenarnya berupaya sangat jelas untuk membatasi agar polisi tidak terjerumus dalam hegemoni kekuasaan.

Apa dampak jika putusan MK tidak dipatuhi pemerintah?

Prof. Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, menegaskan bahwa ketidakpatuhan pemerintah dan jajarannya terhadap putusan MK akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan budaya hukum dan persepsinya di masyarakat. “Kalau pejabat-pejabat itu memperlihatkan mereka tidak patuh pada putusan MK, berarti secara proses akan memengaruhi budaya hukum, tepatnya budaya tidak patuh pada hukum,” kata Susi.

“Kalau itu terus-menerus terjadi, bagaimana kemudian masyarakat melihatnya? Mereka saja enggak patuh pada putusan MK, terus masyarakat yang disuruh patuh hukum? Pada akhirnya, sulit sekali membentuk apa yang disebut sebagai law abiding society atau masyarakat yang patuh pada hukum,” tambahnya, menyoroti erosi kepercayaan publik terhadap hukum. Menurut Susi, pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan semestinya memiliki konsekuensi hukum. Namun, Indonesia belum memiliki mekanisme yang kuat untuk itu, yang menjadi celah bagi pemerintah atau pembuat undang-undang untuk menunda atau tidak segera menjalankan putusan.

Salah satu mekanisme yang diterapkan di sejumlah negara, kata Susi, adalah konsep legislative omission yang dapat digunakan untuk menilai apakah lembaga pembentuk undang-undang sudah menjalankan putusan atau belum. Terlebih untuk putusan pengadilan yang berkaitan dengan konstitusi, sifatnya mengikat semua pihak sehingga harus dijalankan, tegasnya. Untuk itu, ia menilai perlu adanya penguatan MK dengan regulasi dan pengawasan, sehingga putusannya benar-benar dipatuhi. Jika tidak, maka yang dipertaruhkan adalah independensi dan akuntabilitas yudisial secara keseluruhan. “Negara wajib menghormati putusan MK sebagai final dan mengikat dengan cara mematuhinya,” pungkas Susi.

  • ‘Kalau milih-milih kerja, bisa enggak makan’ – Susah cari kerja, lulusan sarjana mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor
  • Penundaan pengangkatan CPNS jadi ‘blunder ekonomi’ di tengah gelombang PHK – ‘Saya jadi pengangguran’
  • Angka kemiskinan turun tapi jumlah penduduk miskin di perkotaan meningkat, apa yang terjadi?
  • MK larang polisi aktif duduki jabatan sipil – Apa dampak keputusan ini?
  • Tiga hal penting dalam Putusan MK soal UU Ciptaker yang bakal berpengaruh besar pada gaji karyawan dan ekonomi Indonesia
  • ‘Sekarang sudah lega’ – Mengapa putusan MK jadi kabar bahagia masyarakat adat yang tinggal di hutan?
  • Rangkap jabatan menteri – ‘Kalau menteri saja dilarang, apalagi wakil menteri’

Leave a Comment