Darurat perundungan di Indonesia – ‘Anak saya meninggal karena bullying, apa tanggung jawab sekolah?’

Photo of author

By AdminTekno

Persoalan perundungan atau bullying di lingkungan sekolah terus menunjukkan tren peningkatan, merujuk pada data resmi berbagai lembaga. Kasus terbaru terjadi di SMPN 19 Tangerang Selatan, Banten, yang menyebabkan siswa berinisial MH meninggal dunia.

Untuk menangani masalah kekerasan di lingkungan sekolah, pemerintah sudah menerbitkan aturan yang mewajibkan setiap sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tapi aturan itu dianggap cuma “macan kertas” oleh berbagai pihak.

BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah orang tua siswa yang anaknya mengalami perundungan.

Mereka menyebut tidak pernah mengetahui keberadaan TPPK dan tak tahu seperti apa mekanisme pengaduan kekerasan di sekolah.

‘Anak saya meninggal karena bullying, apa tanggung jawab sekolah?’

Dedik Handi Kusuma harus kehilangan anaknya yang berinisial TA.

Siswa kelas 3 SDN di Wonosobo, Jawa Tengah, itu meninggal pada usia sembilan tahun setelah diduga mengalami perundungan oleh empat teman sekelasnya pada Oktober lalu.

“Kejadian [perundungan] hari Senin, sebelum upacara Hari Kesaktian Pancasila,” kata Dedik mengawali perbincangan dengan wartawan Kamal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dedik bercerita, pada waktu itu dia tidak tahu apa yang menimpa anaknya. Ia hanya diberi tahu sang istri kalau TA mengeluh sakit pada perutnya dan harus dibawa ke rumah sakit.

Hingga Sabtu (04/10), kesehatan TA tak kunjung membaik dan kembali dilarikan ke rumah sakit oleh istrinya. Mendengar itu, Dedik yang sedang bekerja di luar kota, jadi makin gelisah dan memutuskan pulang untuk melihat kondisi anaknya.

“Tanggal 4 Oktober 2025 hari Sabtu, magrib, anak saya dibawa ke rumah sakit karena mengeluh sakit,” ucapnya.

“Saat ditanya dokter apakah habis berkelahi, anak saya masih tidak bercerita apa-apa, karena memang pendiam.”

Dedik tiba di Wonosobo pada Sabtu malam. Tapi, keadaan anaknya kian genting.

“Ketika saya sampai rumah sakit jam 8 malam, kondisi [sudah] di IGD, diinfus dan diberi oksigen,” ungkapnya.

“Minggu jam 10 pagi, saya tanyain apakah di sekolah ada yang nakal atau gimana,” ungkap Dedik pada TA yang kala itu, menurutnya, sudah terbaring lemas dan kritis.

“Terus anak saya bilang, ‘Ada Pak, namanya ini mukul perut’. Saya konfirmasi ke dokter kemudian ditangani di ICU,” sambungnya.

“Bahkan anak saya juga minta untuk pindah sekolah.”

Kalau merunut pada sakit sang anak, Dedik mengaku baru mengetahui anaknya menjadi korban perundungan di sekolah sekitar lima hari setelah bocah itu diduga mengalami pengeroyokan.

Musababnya, ada informasi yang sampai ke telinganya kalau TA dipukuli oleh empat teman sekelasnya.

“Ada yang menyebut di perpustakaan, ada yang mengatakan di aula,” tuturnya.

“Dokter menyebutkan dari hasil rontgen dan pemeriksaan ada tulang rusuk yang retak atau patah dan ada pendarahan infeksi di paru-paru,” tambah Dedik.

Dari situ, ia langsung menghubungi wali kelas dan orang tua terduga pelaku yang merupakan teman anaknya sejak Taman Kanak-Kanak (TK).

Yang paling dia sesalkan, mengapa pihak sekolah tidak menyampaikan kepadanya atau istrinya soal kejadian yang menimpa TA.

Wali kelas, katanya, baru datang pada Senin (01/10) siang ke rumah sakit.

“Dia bilang, ‘Mohon maaf atas kelalaian saya.’ Tapi kan, kalau dari pertanyaan itu berarti guru tahu, tapi diam-diam saja,” ungkapnya penuh kecewa.

“Ada yang melihat anak saya dikeroyok, dipukuli, diinjak. Bahkan sampai muntah darah dan pingsan, kemudian bangun sendiri tanpa ada guru yang menolong,” klaimnya.

Beberapa hari dalam perawatan dokter, keadaan TA tidak juga membaik. Bocah itu akhirnya meninggal dunia pada Selasa (07/10) sekitar pukul 22.30 WIB.

Peristiwa ini rupanya viral di media sosial dan membuat polisi turun tangan dengan melakukan ekshumasi atau pembongkaran makam TA untuk menyelidiki penyebab kematiannya yang diduga korban perundungan.

Namun, hampir sebulan berlalu, Dedik masih belum mendapat penjelasan siapa yang bertanggung jawab atas meninggalnya sang anak.

Sependek ingatannya, Dedik mengklaim tidak pernah mendengar adanya sosialisasi anti-bullying maupun prosedur penanganan bullying di sekolah anaknya.

Bahkan, setelah anaknya meninggal, pihak sekolah tidak terlihat berkunjung untuk memberikan bantuan berupa pendampingan psikologis maupun hukum kepada keluarganya.

“Cuma minta maaf atas kelalaian terus berduka, gitu aja, berdoa terus pulang,” akunya.

“Enggak pernah ada yang datang ke rumah, seperti menanyakan keluarga korban untuk kelanjutannya bagaimana. Tanggung jawab sekolah di mana? Itu [kejadian perundungan] kan di sekolah.”

Ia hanya berharap, pelaku yang merundung anaknya dihukum sesuai aturan yang berlaku.

‘Tidak ada kanal pengaduan’

Edo, orang tua dari Bibim, pelajar kelas 3 SDN di Padang Pariaman, Sumatra Barat, juga tak pernah menyangka anaknya menjadi korban perundungan.

Mulanya, ia bercerita, tak tahu sama sekali apa yang menimpa putri kecilnya itu. Satu hal yang terasa ganjil, Bibim berubah murung. Tak ceria seperti biasanya.

Bocah, sembilan tahun tersebut, malah sempat sakit dan tidak nafsu makan. Padahal, dulu setiap makan selalu nambah.

“Tiba-tiba hanya makan dengan porsi sedikit,” aku Edo kepada Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Waktu itu, ia dan sang istri, tak curiga sama sekali dengan perubahan perilaku anak mereka dan menganggapnya hanya karena tak sedang selera makan.

“Dia juga tiba-tiba jadi lebih suka olahraga dan melakukan kegiatan lain, sampai dia memaksakan diri dan drop sampai keluar darah dari hidung,” tuturnya.

Usai kejadian itu, Edo buru-buru membawa Bibim ke rumah sakit, khawatir sang anak mengidap penyakit. Tetapi, berdasarkan pemeriksaan dokter menyatakan sang anak cuma kelelahan dan kekurangan karbohidrat.

“Setelah itu, saya tanya anak saya. Pengakuannya, dia diet ketat karena sering dikatain gendut oleh teman-temannya,” ujar Edo mengulang pengakuan anaknya.

Mendengar itu, Edo tersulut emosi.

Tanpa pikir panjang, dia membuat pernyataan soal apa yang menimpa anaknya di status WhatsApp, yang rupanya mendapat tanggapan dari sejumlah pihak, salah satunya kepala sekolah Bibim.

“Malam itu saya langsung dihubungi oleh pihak sekolah dan meminta saya ke sekolah keesokan harinya untuk meminta keterangan juga kepada Bibim soal kejadian itu.”

Dari pertemuan tersebut, pihak sekolah memanggil beberapa orang siswa yang diduga sebagai pelaku perundungan.

Sampai pada akhirnya dengan segala pertimbangan, kata Edo, dia dan pihak sekolah memutuskan berdamai.

Edo juga bilang, di sekolah anaknya tidak pernah mendengar sosialisasi anti-bullying maupun prosedur penanganan bullying, atau aturan pelaporan jika terjadi perundungan.

Ia hanya cukup senang, karena setelah kejadian itu, anaknya tidak lagi mengalami perundungan verbal atau fisik di sekolah. Dia pun selalu berpesan pada kedua putranya agar tidak merundung siapapun.

Sekolah harus punya tim pencegahan kekerasan, apa tugasnya?

Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), misalnya, mencatat pada 2020, perkara yang terkait kekerasan ada 91. Kemudian pada 2021, angkanya naik menjadi 142 kasus.

Pada 2022, terus meroket hingga 194 dan 2023 bertambah hingga 285 kasus. Terbaru yakni 2024 melonjak hampir dua kali lipat, mencapai 573 kasus.

JPPI menyebut, dari total tersebut, sekitar 31% berkaitan langsung dengan perundungan.

Adapun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), juga melaporkan sepanjang 2023 terdapat 3.800 kasus perundungan, yang hampir separuh di antaranya terjadi di sekolah dan pesantren.

Lalu, pada 2024, lembaga ini menerima 2.507 pengaduan terkait perlindungan anak, dengan 954 kasus sudah ditindaklanjuti.

Meski jumlah pengaduan menurun dibandingkan tahun sebelumnya, tren perundungan tetap konsisten tinggi dan menunjukkan, sekolah masih menjadi ruang yang rentan untuk anak-anak.

Jenis-jenis perundungan yang paling banyak terjadi, menurut data JPPI dan KPAI, adalah bullying fisik dengan persentase sekitar 55,5% yang mencakup pemukulan, penendangan, atau bentuk kekerasan fisik lainnya.

Disusul bullying verbal atau psikis menempati posisi kedua dengan 29,3%. Bentuknya mulai dari hinaan, ejekan, atau pengucilan yang membuat korban merasa tertekan secara emosional.

Lembaga lain, SAFEnet, juga melaporkan ada tren cyber bullying atau perundungan siber. Pada triwulan pertama 2024, kasus perundungan siber meningkat lebih dari 100% dibandingkan tahun sebelumnya yakni 480 kasus.

Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menyebut kasus kekerasan di lingkungan sekolah sudah sangat mengkhawatirkan. Kalau merujuk pada data yang ada, baginya, pemerintah sudah gagal melindungi anak-anak.

Sejak 2023, katanya, pemerintah memang telah menerbitkan aturan Permendikbud Ristek Nomor 46 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Tertuang di situ, kewajiban tiap-tiap satuan pendidikan, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dalam rangka melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.

Keanggotaan TPPK berjumlah minimal tiga orang, yang terdiri dari perwakilan pendidik, komite sekolah atau perwakilan orang tua, dan jika diperlukan dapat ditambah dari unsur tenaga administrasi yang berasal dari perwakilan tenaga kependidikan.

TPPK punya banyak tugas, antara lain: menyampaikan usulan atau rekomendasi program pencegahan kekerasan kepada kepala satuan pendidikan, memberikan saran mengenai fasilitas dan program terkait pencegahan kekerasan, menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan kekerasan, hingga melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program terkait pencegahan kekerasan.

Baca juga:

  • Bullying dan bentuk tubuh, masalah terberat remaja 15 tahun
  • Ciptakan superhero anti-bullying, pelajar Indonesia menang lomba komik dunia

Disebutkan juga tugas TPPK: melakukan penanganan terhadap temuan adanya dugaan kekerasan, memeriksa laporan dugaan kekerasan, memberikan rekomendasi sanksi, mendampingi korban dan/atau pelapor kekerasan, memfasilitasi pendampingan oleh ahli atau layanan lainnya yang dibutuhkan korban maupun pelapor.

Berdasarkan aturan, satuan pendidikan PAUD diberikan waktu satu tahun untuk membentuk TPPK setelah Permen disahkan. Sedangkan SD hingga SMK diberi target waktu enam bulan.

TPPK hanya formalitas belaka?

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menyebut kalau merujuk pada pengakuan sejumlah orang tua siswa korban perundungan yang tidak pernah mendengar sosialisasi anti-bullying maupun prosedur penanganan bullying di sekolah.

Artinya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) belum terbentuk di satuan pendidikan tersebut.

Kalaupun sudah ada, ia menilai keberadaannya cuma formalitas, sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi perundungan.

“Karena ada semacam pembiaran, barangkali seperti itu. Sebab laporan tidak ditanggapi dengan serius,” ucapnya.

“Kami sudah menyampaikan langsung kepada Pak Menteri dan direspons bagus. Artinya akan ada evaluasi tentang Permen yang terkait TPPK.”

Ia berharap pemerintah serius membentuk TPPK mengingat kasus-kasus perundungan sudah sangat darurat.

Untuk pelatihan, menurutnya, pemerintah bisa melakukan secara daring.

Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, sepakat. Menurutnya, tenaga pendidik yang masuk dalam TPPK sulit untuk fokus pada penanganan kekerasan lantaran disibukkan dengan pekerjaan harian mengajar.

Menurut, pemerintah tak bisa hanya menambah beban guru tanpa mengimbanginya dengan anggaran yang sesuai.

“Dia [guru] sibuk ngurusin mata pelajaran, tapi juga harus dampingin korban, emang bisa gratisan? Kita tahu sendiri kesejahteraan guru, banyak yang kerja sambilan. Guru sengsara loh hidupnya,” cetus Ubaid.

Apa kata pemerintah?

Maraknya kasus perundungan ternyata direspons Presiden Prabowo Subianto. Saat mengunjungi SMPN 4 Bekasi untuk meresmikan digitalisasi pembelajaran, dia minta Menteri terkait mengatasi masalah kekerasan di lingkungan sekolah.

“Itu harus kita atasi ya,” ucap Prabowo.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengatakan pihaknya akan menerbitkan peraturan menteri yang baru untuk memitigasi banyaknya kasus kekerasan di sekolah.

Peraturan yang baru tersebut akan memperbaiki peraturan yang sebelumnya.

“Nanti kami akan membentuk tim yang ada di sekolah dengan pendekatan yang lebih humanis, komprehensif, dan partisipatif. Nanti melibatkan orang tua, melibatkan murid dan juga masyarakat,” katanya pada kesempatan bersamaan di SMPN 4 Bekasi.

Dia berharap tim ini akan mencegah berbagai kekerasan sekolah dan tidak terulang kembali.

  • Tiga pelajar di Sukabumi dan Sawahlunto bunuh diri, mengapa bunuh diri di kalangan remaja marak terjadi?
  • Kasus bullying di Binus School Serpong, motif dan kronologi – Polisi tetapkan empat tersangka
  • Kisah anak-anak penghayat kepercayaan yang mengalami perundungan di sekolah
  • Kematian mahasiswa Timothy Anugerah dan dugaan perundungan di Universitas Udayana
  • Kasus siswa bakar sekolah di Temanggung, karena diduga ‘sering dirundung’ – ‘Bullying di Indonesia sudah mengkhawatirkan’
  • Mata siswi SD di Gresik ditusuk hingga buta – ‘Perundungan di Indonesia sudah darurat’
  • Kesaksian korban dugaan bullying di pendidikan dokter spesialis: Mulai ‘jam kerja panjang’, sediakan ‘tiket pesawat’, hingga ‘menjadi babu’ para senior
  • Perundungan, gim, dan tantangan viral – ‘Sekolah masih tergagap-gagap menghadapi kasus bully’
  • Taruna STIP tewas dianiaya senior, pimpinan sekolah dinonaktifkan – Mengapa kekerasan sulit diberantas di lingkaran sekolah ikatan dinas?
  • Pelaku peledakan di SMAN 72 Jakarta ‘tergabung dalam grup True Crime Community’, kata BNPT – ‘Dia meniru supaya bisa dibilang hebat’
  • Cara-cara yang efektif melawan perundungan di sekolah
  • Bisakah teknologi ini menghentikan perundungan?
  • Tiga pelajar di Sukabumi dan Sawahlunto bunuh diri, mengapa bunuh diri di kalangan remaja marak terjadi?
  • Pemerintah hendak batasi gim tembak-menembak usai ledakan SMA 72 Jakarta – Apakah itu langkah tepat?
  • Kematian mahasiswa Timothy Anugerah dan dugaan perundungan di Universitas Udayana

Leave a Comment