
Ilmuwan UK dan Indonesia berhasil menemukan tanaman langka Rafflesia hasseltii yang mulai mekar di kawasan hutan Sumatra Barat. Pencarian tanaman itu awalnya digagas untuk meneliti 42 tanaman nenek moyang Rafflesia di Asia Tenggara. Namun, penemuan ‘tak disengaja’ ini justru menyingkap tempat ‘parasit terindah di dunia’ yang disebut hanya bisa tumbuh di hutan yang sehat.
Chris Thorogood, ahli tumbuhan parasit dari Universitas Oxford, mengingat kembali momen keajaiban yang dia bagikan di media sosial X, ketika menemukan Raflessia hasseltii—salah satu jenis Rafflesia yang hidup di Indonesia.
Memang ini bukan temuan pertama kalinya di Indonesia. Pada 2023-2024, Rafflesia hasseltii juga mekar di Bengkulu, menurut Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu.
Dalam video yang Chris bagikan, Septian Andriki, atau akrab dipanggil Deki, seorang pemerhati Rafflesia dari Bengkulu, terisak ketika menemukan jenis Rafflesia yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Allahuakbar, ya Allah,” sebut Deki dalam video yang dibagikan di X oleh Chris Thorogood.
“Tenang, tenang, kita berhasil,” kata Chris menenangkan Deki.
Penantian Deki selama 13 tahun terbayar sudah ketika melihat langsung Raflessia hasseltii. Dia tak dapat menyembunyikan luapan emosinya pada pertengahan November lalu, ketika malam menjemput di tengah Hutan Sumpur Kudus, Sumatra Barat.
Perjalanannya dari Bengkulu bersama Chris dan peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), memakan waktu lebih dari 20 jam menuju daerah yang tidak terjangkau sinyal ponsel di Kecamatan Sumpur Kudus.
“Kami berangkat dari Bengkulu itu seperti bertaruh,” kata Deki, karena tidak terlalu yakin bahwa Raflessia hasseltii yang dimaksud bisa mekar ketika mereka datang.

Setibanya di titik awal masuk hutan pada sore hari, mereka langsung melanjutkan perjalanan menuju hutan dipandu Iswandi dari Lembaga Pengelola Hutan Nagari Sumpur Kudus, pihak yang telah mengawasi keberadaan Rafflesia di hutan itu selama sepekan.
“Saya pikir medannya mudah, ternyata tanjakannya hampir 90 derajat, naik turun dengan bebatuan yang mudah lepas dari tanah,” kata Deki.
Deki mengetahui dari Iswandi bahwa hutan tempat ia menapak merupakan jalur perlintasan harimau Sumatra.
Informasi itu sempat membuatnya takut, tetapi Deki yakin Rafflesia yang akan ia temui sebentar lagi, akan mekar, setelah menyusuri hutan selama tiga jam.
Sesampai di titik Rafflesia Hasselti itu tumbuh, Deki lemas seketika, mengetahui bahwa Rafflesia itu tidak akan mekar malam ini.
Baca juga:
- Bunga Rafflesia terancam punah, kisah sukses konservasi di Indonesia jadi sorotan
- Bunga bangkai terbesar dunia ditemukan di Riau
- Elegi Suku Malind Anim di balik PSN Merauke – ‘Sedang dalam pemusnahan’
“Pak Iswandi bilang, belum akan mekar, tapi ternyata dia tidak melihat ada bukaan di pinggirnya, dan ternyata itu adalah proses mekarnya Rafflesia,” jelas Deki.
Ketika hari sudah mulai gelap, keajaiban mulai terjadi.
“Perjalanan melelahkan, ditambah harus berkejaran dengan waktu karena harimau Sumatra akan berburu pada malam hari, termasuk penantian saya selama 13 tahun terakhir, maka saya merasa sangat emosional sekali,” kata Deki.
Sementara Chris menyebutnya sebagai momen ajaib karena rangkaian penelitian kerja sama BRIN dan Universitas Oxford itu adalah sebuah keberuntungan.
Chris tetap tenang, dan memilih menyimpan ekspresi kegembiraannya, untuk ia tuangkan di atas kertas dalam bentuk ilustrasi botani di kemudian hari.
“Saya telah melihat 11 jenis Rafflesia di wilayah Asia Tenggara, dan ini [Raflessia hasseltii] adalah yang terindah,” ujar Chris.

Luapan emosi kegembiaraan yang Deki alami dan peristiwa yang disebut Chris sebagai momen ajaib, menurut ahli Rafflesia, Profesor Agus Susatya, merupakan hal wajar.
“Itu termasuk bunga yang jarang dijumpai, dibanding jenis Rafflesia lainnya, dan yang paling cantik,” kata Agus.
Jenis Rafflesia hasseltii, menurut Agus, punya corak yang berbeda dengan Rafflesia arnoldii yang dikenal masyarakat awam.
“Pola totol putihnya agak besar, kemudian warnanya cenderung merah marun keunguan. Ini termasuk yang paling cantik,” ucap Agus.
Adapun Rafflesia arnoldii memiliki pola totol yang lebih kecil, dan warnanya oranye tua.
Ukurannya pun berbeda. Rafflesia hasselti lebih kecil, seperti yang ditemukan Chris dan Deki, bunga parasit itu berdiameter 70 sentimeter.
Rafflesia, titik awal konservasi ekosistem hutan di tengah ‘planet yang kelaparan’
Menurut Chris, Rafflesia bukan tanaman yang bisa digali lalu ditanam di tempat lain.
“Rafflesia merupakan tumbuhan parasit yang sangat rapuh, satu-satunya cara untuk melindunginya adalah dengan melindungi hutan hujan tempat ia tumbuh,” ujar Chris.
Cara hidup manusia modern menuntut banyak dari alam sehingga dapat mengganggu keutuhan hutan, kata Chris.
Seperti praktik penambangan emas yang mereka saksikan di sungai, beberapa jam sebelum sampai di Sumpur Kudus.
Padahal, menurut Profesor Agus Susatya, Rafflesia hanya bisa hidup di hutan yang bagus. Ekosistem yang mendukung juga menyediakan sediaan air bersih dari hulu bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia hingga hilir.
“Indikator adanya satwa langka seperti harimau Sumatra dan Rafflesia hasseltii, maka ekosistem hutannya masih baik,” jelas Agus.
Namun, lanjut Agus, “kadang kita terjebak bahwa konservasi hanya harus melindungi Rafflesia hasseltii atau harimaunya, tanpa melihat pendekatan konservasi yang lebih menyeluruh terhadap ekosistem.”
Menurut Agus, bagi masyarakat yang hidup di sekitar area konservasi dengan kebutuhannya ekonomi yang semakin melonjak, ekowisata merupakan salah satu alternatif yang paling baik ketimbang merusak ekosistem yang disediakan oleh alam dengan cara yang paling destruktif.

Komunitas lokal juga berperan untuk kelestarian hutan tempat Rafflesia tumbuh di inangnya.
Setidaknya di Bengkulu, yang dijuluki Bumi Rafflesia, terdapat Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu.
Komunitas itu didirikan oleh Sofian, 15 tahun lalu. Dia mengajak orang-orang yang terlibat di dalamnya dari berbagai latar belakang profesi yang aktif dalam bidang konservasi Rafflesia.
Mereka kerap memberikan pemahaman kepada masyakarat dari desa ke desa tentang Rafflesia yang dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024, termasuk menjadi pemandu dalam ekowisata tanpa menganggu ruang hidup Rafflesia.

Setidaknya ada lima jenis Rafflesia di Bengkulu. Namun, upaya pelestariannya terhambat alih fungsi lahan.
Sejumlah lokasi di Bengkulu kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. “Sudah hilang, benar-benar hilang habitat Rafflesia di lokasi itu,” kata Sofyan.
Menurut KPPL bengkulu, terdapat sembilan titik habitat Rafflesia yang sudah rusak di provinsi itu, tak hanya perkebunan sawit, perkebunan lain seperti kopi juga menggerus ruang hidup Rafflesia.
Sofian menambahkan, “lahan yang tadinya hutan, kini berubah jadi perkebunan, kerap kali Rafflesia tumbuh di kebun mereka dan dibabat karena dianggap hama.”
Setidaknya, pemerhati Rafflesia seperti Deki dan komunitas yang dibentuk Sofyan di Bengkulu berusaha memastikan Rafflesia bisa menemukan inangnya di dalam hutan yang sehat.
Mengingat tumbuhan itu butuh waktu rata-rata empat sampai lima tahun, tergantung spesiesnya.
Tumbuhnya juga melalui dua siklus hingga bisa mekar sempurna hanya dalam beberapa hari.
“Dua sampai tiga tahun pertama parasit ini ada di dalam inang, lalu setelah itu muncul semacam bintil sebesar genggaman tangan dan bertumbuh dua tahun kemudian,” jelas Agus.
Kata ahli Rafflesia itu, begitu bunganya mekar sempurna setelah dua atau tiga hari, pada hari ke-empat bunga mulai membusuk.
Di sisi lain, kehadiran komunitas bentukan Sofian juga penting dalam penelitian ini.
“Mereka yang membantu kami ketika ada informasi Rafflesia yang akan mekar, berarti Rafflesia di lokasi itu masih eksis [tidak punah],” kata Ridha Mahyuni, Ahli Taksonomi BRIN.
Dengan kata lain, semakin sulit dijangkau, semakin besar pula kesempatan bagi ekosistem Rafflesia untuk tetap sehat.
Mencari asal-usul Rafflesia
Rangkaian penelitian gabungan BRIN dan Universitas Oxford ini juga mengumpulkan sampel Rafflesia di Indonesia.
Ahli taksonomi dari BRIN, Ridha Mahyuni mengungkap penemuan Raflessia hasseltii itu sebagai ‘bonus’, karena dari sejumlah rapat sebelumnya antara kedua belah pihak, belum diketahui secara pasti lokasi keberadaan Raflessia hasseltii yang sedang dicari.
“Apalagi kala itu tidak ada target untuk menemukan jenis Rafflesia yang spesifik,” tambah Ridha.
Namun, ketika Deki memberi tahu informasi tentang peluang besar untuk menemukan Rafflesia yang dimaksud, tim dari BRIN bersama Chris langsung bergegas ke Bengkulu.
“Ini merupakan proyek besar antara Indonesia, Malaysia dan Filipina kaitannya dengan paleogenomik,” kata Ridha.
Paleogenomik merupakan bidang ilmu yang didasarkan pada rekonstruksi dan analisis informasi genetik dari sisa-sisa peninggalan organisme purba pada masa lampau.
Dengan bahasa sederhanya “Menghubungkan kekerabatan Rafflesia satu dengan lainnya berdasarkan sebarannya secara geografis,” tambah Ridha.
Lebih lanjut, Ridha mengungkap, di Indonesia Rafflesia hidup di Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem kekerabatan semua jenis Rafflesia yang hidup di Indonesia, Malaysia, FIlipina dan tidak menutup kemungkinan di Thailand bagian selatan.

“Kita sedang mencari tahu, lokasi awal nenek moyang Rafflesia hidup,” kata Ridha.
Namun, semua itu butuh waktu, untuk mendata sampel, butuh sekuens genom secara menyeluruh, “ada ratusan ribu sekuens Rafflesia, dan datanya akan diproses lewat perangkat lain seperti superkomputer genomik.”
Hasilnya diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan.
Temuan Raflessia hasseltii oleh Deki dan Chris bukan ekspedisi yang terakhir, peneliti BRIN itu mengungkap bahwa eksplorasi akan dilanjutkan ke Kalimantan Barat dalam waktu dekat.
Rafflesia yang tumbuh di Asia Tenggara terdiri dari 42 jenis, menurut peneliti BRIN. Sementara di Indonesia, terdapat 17 jenis.
Namun, jumlah itu juga bisa bertambah seiring jalannya eksplorasi Rafflesia ini.
“Kami memiliki beberapa kandidat spesies baru, dan saat ini sedang tahap persiapan publikasi,” ungkap Ridha.
Penelitian ini juga diharapkan akan menjawab perdebatan para peneliti Rafflesia, tentang cara penyebaran Rafflesia sehingga puunya ragam spesies dan menyebar di Asia tenggara.
Profesor Agus menyebut itu “masih jadi misteri dalam sains.”
“Sampai sekarang belum ada penelitian yang menerangkan bagaimana Rafflesia dapat masuk ke dalam tumbuhan inangnya,” jelas Agus yang telah meneliti Rafflesia selama 20 tahun terakhir.
Selama ini, belum jelas pula pola perkembangannya, antara vegetatif (perkembangbiakan tanpa melalui perkawinan) atau generatif (perkembangbiakan melalui perkawinan).
“Karena komposisi perbandingan antara bunga jantan dan betina itu enam banding satu,” kata Agus.
Itu pun jarang mekar secara bersamaan. Di sisi lain, jika pun perkembangannya vegetatif, jelas Agus “ketika biji masuk ke dalam inang, itu pun masih belum jelas penyebarannya.”
Pilihan mencari Rafflesia hasseltii, terhalang begal atau bertemu harimau
Deki kini lebih sering ditemui di dalam hutan ketika memandu turis hingga peneliti menemukan Rafflesia. Dia mencoba memastikan jalur yang ia lewati aman dan tidak mengganggu bakal calon Rafflesia bertumbuh.
Namun, 2007 lalu, Deki merupakan guru olahraga di sebuah SD di Bengkulu. Tahun itu, merupakan titik balik dirinya mulai mencintai Rafflesia.
Kala itu, kenangnya, para siswa tidak bisa membedakan Amorphophallus (bunga bangkai) dan Rafflesia. “Di buku IPA, keduanya dijelaskan sebagai bunga bangkai,” ucapnya.
“Saya coba menjelaskan perbedaan jenis dan fisik keduanya,” kata Deki.
Lalu, salah satu siswa menantangnya untuk melihat langsung kedua bunga itu.
Tantangan itu baru terealisasi pada 2012 lewat ekspedisi yang Deki bilang “kecil-kecilan”.
“Kami menemukan satu habitat Amorphophallus kala itu,” ujar Deki.
Seiring waktu, lewat sejumlah ekspedisi, termasuk bersama Profesor Agus, Deki menemukan 10 lokasi Rafflesia, yang ia pikir adalah Rafflesia arnoldii.
Namun, dalam sebuah jurnal hasil ekspedisi itu pada 2017, tersebutlah spesies Rafflesia kemumu, spesies baru Rafflesia ke-31 di dunia, dan ke-15 di Indonesia kala itu.
Kecintaannya terhadap tumbuhan itu tak berhenti dalam ekspedisi menjelajah hutan saja, ketika anak pertamanya lahir, nama belakang anaknya adalah Rhizantes, masih keluarga Rafflesia dengan ukuran jauh lebih kecil dari Rafflesia tetapi terlihat terang karena berkelopak putih yang kontras dengan warna hutan.

Pada 2025 ini, Deki menceritakan, ada laporan dari jejaring KPPL bahwa Rafflesia hasseltii ada di sebuah daerah di Bengkulu. Namun, lokasinya sulit dijangkau dan rawan begal. Alternatifnya, ada laporan lagi yang menyebut akan mekar di hutan terdalam di Sumatra Barat.
“Saya tidak berani mengajak Chris kalau pergi ke daerah yang banyak kriminalnya,” jelas Deki.
Sofian dari KKPL Bengkulu, juga menyarankan agar Deki tidak pergi ke tempat itu.
Maka, Deki memutuskan untuk mencari jalan lain ke Sumatra Barat, meski harus berhadapan dengan jalur harimau yang juga berisiko.
Temuan Rafflesia hasseltii yang membuat Deki meluapkan emosinya itu memang bukan yang pertama kalinya di Indonesia, tetapi itu kali pertama baginya.
“[Emosi] campur aduk, bangga, karena tidak mudah untuk mencari Rafflesia hasseltii,” ungkap Deki.
Selama 13 tahun penantiannya dan telah melihat langsung 12 spesies Rafflesia, momen 18 November itu air mata bahagia mengalir deras dari matanya.
Pertemuannya dengan Chris pada momen haru itu bukan yang pertama. Dia telah memandu Chris setidaknya dalam lima tahun terakhir. “Dia [Chris] juga ilustrator botani, jadi mau lihat secara langsung warna dari Rafflesia hasseltii,” jelas Deki.
Perkenlannya dengan Chris bermula pada 2019 lalu, ketika Chris berniat meminta bantuan Deki, tetapi pada akhirnya tertunda karena Pandemi Covid-19.
Pada 2021, mereka mulai menjelajahi hutan Bengkulu selama sepekan. “Saya sempat menjanjikan Chris bahwa Bengkulu itu Bumi Rafflesia, ada lima spesies di sini, tetapi dalam ekspedisi kali pertama itu, kami hanya menemukan empat spesies,” tambah Deki.
Tahun berikutnya, masih di Bengkulu, mereka menemukan Rhizantes deceptor (kerabat Rafflesia), dari situ, Deki dapat inspirasi untuk nama anaknya.

Setelah itu, tak lama terdengar kabarnya, pada Maret 2025, Chris mengirim surat elektronik. Dia ingin mencari satu spesies yang pada 2021 lalu belum dilihatnya langsung.
Chris Thorogood, adalah Wakil Direktur Universitas Oxford Botanic Garden. Dia juga menulis sejumlah kajian yang menyoroti upaya konservasi global khususnya tanaman, yang masih tertinggal jika dibandingkan dengan upaya penyelamatan satwa.
Perjalanannya memasuki hutan di Sumatra Barat baginya bak masuk ke dimensi baru, karena dilakukan sore hingga malam hari.
“Satwa malam mulai terjaga, suara-suara serangga bersautan dengan kodok, terasa begitu hidup, menggambarkan kekayaan yang ada di dalam hutan itu,” kata Chris.
Dia menambahkan, orang Indonesia beruntung dapat hidup di antara keanekaragaman, yang tidak hanya beragam, tetapi mega-ragam.
Maka dia tidak sanksi lagi terhadap orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk lingkungan, termasuk Deki.
“Saya datang tak hanya untuk meneliti Rafflesia, tetapi juga bertemu orang-orang yang hidupnya begitu dekat dan peduli dengan hutan, walau saya datang dari negara yang jauh, kami sama-sama bertemu untuk menjaga kerja hebat alam ini.”