Membuat BBM dari sampah plastik di Cimahi – Solusi untuk masyarakat?

Photo of author

By AdminTekno

Keputusan pemerintah untuk mengatur pengolahan sampah menjadi energi terbarukan disambut baik pegiat sampah dan aktivis lingkungan yang selama ini berharap ada payung hukum dalam pengolahan limbah ke energi, terutama berkaitan dengan BBM alternatif bersumber sampah plastik.

Keputusan tersebut tercantum pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang penanganan sampah perkotaan melalui pengolahan sampah menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan.

“Itu sangat positif bagi para pelaku waste to energy,” ujar Heru Susanto, peneliti di Pusat Riset Sistem Industri dan Manufaktur Berkelanjutan, organisasi Riset Energi dan Manufaktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Heru, yang selama ini meneliti pengolahan sampah plastik menjadi BBM, menilai Perpres yang ditetapkan pada, 10 Oktober 2025 itu dapat mendorong produksi dan pemasaran BBM yang dihasilkan dari pengolahan sampah plastik.

Namun untuk menjual BBM yang bersumber dari plastik ke masyarakat umum, perjalanannya masih panjang dan ada beberapa tantangan, kata pakar konversi energi.

Saat ini, Indonesia berada di posisi lima besar penghasil sampah plastik terbesar di dunia.

Menurut studi para peneliti di University of Leeds yang dirilis dalam jurnal Nature pada September 2024, Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar ketiga di dunia. Dalam penelitian tersebut, Indonesia menghasilkan polusi plastik 3,4 metrik ton dalam setahun.

Kemudian, dalam laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China. Indonesia, menurut UNEP, memproduksi 3,2 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola setiap tahun. Dari jumlah itu, 1,29 juta ton di antaranya hanyut ke laut.

Mengenal BBM dari sampah plastik

Inovasi mengolah sampah plastik menjadi BBM sebetulnya sudah lama dilakukan oleh banyak pihak menggunakan metode pirolisis—proses pemanasan niroksigen yang mengubah plastik menjadi gas.

Salah satu komunitas yang pengolahan sampah plastik menjadi BBM adalah Bank Sampah Banjarnegara (BSB).

Dengan mesin pirolisis rakitan Budi Trisno Aji, BSB memproduksi minyak bakar dari sampah plastik sejak 2014. Mesin pirolisis yang dinamai Faspol itu terus dikembangkan agar menghasilkan BBM berkualitas.

Kendati mesin Faspol bisa menghasilkan bensin, tapi produksi minyak bakar lebih difokuskan pada BBM setara solar yang kemudian dilabeli jenama Petasol—akronim dari PE (Polyethylene, jenis plastik) to solar.

Replika Faspol—yang telah berkembang hingga generasi ke-6—telah dibuat oleh sedikitnya 55 kelompok masyarakat, terutama para pegiat sampah, di berbagai daerah. Satu di antaranya, Bank Sumberdaya Sampah (BSS ) Induk Melong 26 Cimahi yang menggunakan Faspol Gen-6 berkapasitas 100 kilogram.

Sejak mengoperasikan reaktor Faspol pada Februari 2025, BSS Melong telah mengolah 30 ton sampah plastik menjadi BBM setara solar.

“Produksi kami maksimal satu hari adalah untuk kapasitas 100 kilogram menghasilkan antara 60 liter-90 liter, kalau plastiknya bersih. Kalau plastiknya cenderung kotor, kami menghasilkan minimal 70 liter per hari,” ucap Wahyu Dharmawan, pendiri BSS Induk Melong 26 Cimahi, saat ditemui di lokasi produksi Petasol di Kota Cimahi, Sabtu (11/10).

Baca juga:

  • Ilmuwan ITB ubah bungkus mi instan menjadi bahan bakar minyak
  • Mahasiswa Indonesia juara dunia teknologi mobil berbahan bakar sampah plastik

Petasol produksi BSS Melong sementara ini digunakan secara terbatas oleh beberapa pemilik kendaraan. Pemasaran secara luas masih menunggu terbitnya petunjuk teknis dari Perpres No, 109/2025.

Namun, Wahyu menegaskan, tujuan utama BSS Melong memproduksi Petasol lebih pada misi lingkungan, yakni mengurangi timbulan sampah plastik bernilai rendah yang selama ini tidak dimanfaatkan.

Wahyu mengungkapkan, timbulan sampah plastik bernilai rendah (SPLV) ini mendominasi timbulan sampah nasional. Di Pulau Jawa saja, lanjut Wahyu, ada sekitar 45%-65% dari total timbulan sampah plastik di Indonesia.

“Poinnya adalah, kami berharap sampah plastik bernilai rendah ini tidak dibakar, tidak dibuang ke badan air, dan tidak dibawa ke TPA (tempat pembuangan akhir) karena sifat dimensinya itu besar, tapi ringan,” ungkap Wahyu.

Oleh karenanya, Wahyu mengatakan, masyarakat yang ingin memakai Petasol disyaratkan menyetor sampah plastik terlebih dahulu. Hal itu sekaligus mendorong terjadinya sirkular ekonomi, seperti yang diamanatkan undang-undang.

“Petasol digunakan oleh mereka-mereka yang sudah setor sampah plastik. Jadi tidak bisa kalau mereka tidak pernah setor sampah plastik kemudian menggunakan. Itu bukan cerita sirkular ekonomi. Kami goal-nya adalah sampah plastik low value diproses menjadi BBM, dikembalikan kepada masyarakat dan mereka berhak membeli,” kata Wahyu.

Menariknya, imbuh Wahyu, pengguna Petasol sejauh ini adalah pemilik kendaraan premium.

Tidak hanya itu, Petasol telah digunakan sebagai bahan bakar alat berat, traktor petani, dan perahu nelayan.

Bagaimana proses pembuatan Petasol?

Petasol diproduksi dalam beberapa hari melalui sejumlah tahapan. Mulai dari pemilahan sampah plastik hingga pengemasan.

Sampah plastik yang terkumpul dibersihkan dan dikeringkan. Kemudian, dipilah sesuai jenis plastik.

Untuk memproduksi Petasol, BSS Melong memanfaatkan sampah plastik dengan kode 2 High Density Polyethylene (HDPE), kode 4 Low Density Polyethylene (LDPE), kode 5 Polypropylene (PP), dan Kode 6 Polystyrene (PS).

Contoh sampah dengan jenis plastik tersebut, antara lain; kantong kresek, styrofoam, dan kemasan mie instan. Sedangkan plastik kode 3 Polyvinyl Chloride (PVC) sangat dihindari sebab terdapat unsur klorida yang bersifat korosif pada mesin.

Setelah dipilah dan dipilih sesuai jenis yang diinginkan, sampah plastik dimasukkan ke dalam tabung reaktor Faspol yang sudah dipanaskan dengan menggunakan kayu bakar. Ketika suhu sudah mencapai 100 derajat Celsius, proses ‘memasak” pun dimulai. Di akhir proses memasak, suhu bisa mencapai 450 derajat Celsius.

Pemanasan ini menyebabkan rantai polimer plastik yang panjang terpecah menjadi molekul hidrokarbon yang lebih pendek dan menghasilkan uap. Pada tahapan ini, kadang kala katalis ditambahkan untuk meningkatkan kemampuan rendemen atau konversi dari material kasar ke bahan minyak bakar yang dihasilkan.

Baca juga:

  • Kebijakan 10% etanol pada BBM dikhawatirkan memperparah deforestasi dan konflik lahan
  • Limbah plastik bisa dimanfaatkan menjadi bahan bangunan, bagaimana caranya?
  • Stok BBM di SPBU swasta nyaris nihil, apa dampak dugaan monopoli terhadap konsumen?

Sebagai gambaran, rendemen sampah plastik kotor antara 45%-55%. Dengan menambahkan katalis, rendemen bisa ditingkatkan hingga lebih dari 80% atau 1 kilogram sampah plastik menghasilkan 0,8 liter minyak bakar. Katalis juga dipakai untuk meningkatkan selektivitas BBM yang dihasilkan, yaitu bensin dan solar, bukan lilin atau arang.

Uap panas dari reaktor kemudian mengalir ke kondensor untuk proses pendinginan. Mesin Faspol menggunakan air sebagai media pendingin. Proses pendinginan ini mengubah uap menjadi cair atau minyak bakar.

“Kemudian ada pendinginnya di kondensor dan dengan fraksinasi dan destilasi itu ada yang menjadi bensin, ada yang menjadi setara solar. Dari situ kemudian kami matangkan untuk menjadi Petasol dengan treatment tertentu. Setelah melalui proses kebijakan berulang di internal, kami putuskan yang keluar adalah BBM alternatif setara solar,” tutur Wahyu.

Minyak bakar yang mengalir dari keran Faspol diproses lebih lanjut untuk menghasilkan Petasol dengan beberapa tahapan penyaringan. Di dalam proses yang disebut ‘treatment‘ ini ditambahkan zat absorbent dan aditif.

Treatment ini berarti diproses awalnya memang ada katalis yang dibersihkan. Kemudian ada absorbent, ada aditif karena kami harus menghilangkan tar. Tar ini potensi di mana BBM ini nanti waxing atau melilin. Kemudian kita harus menghilangkan kadar sulfurnya. Kemudian keasaman, aroma. Dan jangan lupa aroma dari sampah plastik low value ini setelah menjadi BBM, berbeda dengan BBM yang kita pakai dari minyak mentah langsung,” papar Wahyu.

Setelah proses treatment dilalui, minyak bakar tersebut berubah menjadi BBM terbarukan setara solar yang dilabeli Petasol.

Apakah Petasol aman dan laik sebagai BBM?

Pendiri BSS Induk Melong 26 Cimahi, Wahyu Dharmawan menyatakan, Petasol telah lolos uji 17 parameter yang disyaratkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yakni uji spesifikasi BBM, senyawa, dan emisi. Petasol pun melalui uji performa untuk memastikan keamanan dan kelaikan di kendaraan.

“Kami harus memastikan 17 parameter terpenuhi. Kemudian harus ada lagi yang namanya dyno test, uji performa. Dan itu berarti BBM ini digunakan pada saat kendaraan terus menerus melaju sepanjang katakanlah 40.000 kilometer. Setiap 10.000 kilometer diuji performa. Setelah aman dan nyaman dipakai untuk jangka panjang, maka ini dianggap sebagai produk yang layak untuk dikonsumsi oleh banyak pihak,” terang Wahyu.

Proses uji itu, imbuh Wahyu, memakan waktu hingga bertahun-tahun. Uji performa saja dilalui hingga empat tahun. Selama proses tersebut, BRIN ikut mengawal.

Peneliti di Pusat Riset Sistem Industri dan Manufaktur Berkelanjutan, organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Heru Susanto, mengatakan, Petasol telah memenuhi 17 parameter sesuai Keputusan Dirjen Migas Nomor 146.K/10/DJM/2020 Tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Solar yang Dipasarkan di Dalam Negeri.

Parameter yang diuji mulai dari cetane number, densitas, viskositas, water content, sulfur content, dan seterusnya. Pengujian itu dilakukan di laboratorium BRIN, Lemigas, dan Sucofindo.

“Di atas kertas, berdasarkan uji laboratorium bahan bakar yang dihasilkan oleh mesin kami dan dilanjutkan proses treatment itu, sudah setara dengan Dexlite atau B0 sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Ditjen Migas dengan 17 parameter yang dipersyaratkan. Tapi kami tidak bisa mengklaim karena kaitannya dengan regulasi. Nanti kena pasal peniruan atau pemalsuan dan seterusnya. Di atas kertas persyaratan yang kami ujikan itu sudah match semua,” klaim Heru.

Perihal kelaikan dan keamanan Petasol, Heru mengatakan, secara teknis sudah terbukti. Selama empat tahun menggunakan Petasol sebagai BBM mobil operasional kantor, Heru menyebut, tidak ada kendala.

“Dan tampaknya lebih irit, lebih nyaman, lebih enteng tarikannya,” ucapnya.

Mutu dan kualitas Petasol, Heru mengungkapkan, telah dituangkan dalam beberapa makalah dan jurnal ilmiah. Secara merek produk, Petasol telah dipatenkan, termasuk paten untuk mesin Faspol, katalis, dan Life Cycle Assessment (LCA) atau paten yang terkait dengan dampak lingkungan suatu produk.

Dalam lingkup terbatas, Petasol sudah digunakan untuk BBM beragam kendaraan. Mulai dari excavator di Karimun Jawa, traktor petani, hingga perahu nelayan di Semarang.

Beberapa pengendara mobil di Cimahi, Jawa Barat, juga memakai Petasol. Salah satunya, Rahman yang mengaku menggunakan BBM sintetis tersebut untuk kendaraan operasional kantor sejak Maret 2025. Menurut pria 28 tahun itu, Petasol lebih irit dan nyaman digunakan ketimbang BBM konvensional.

“Efeknya dari segi akselerasi sama keiritan, beda jauh sama [solar] Pertamina. Dari segi konsumsinya, biasanya saya per minggunya itu 30 liter [habis] kurang dari seminggu. Nah untuk sekarang pakai Petasol. BBM 30 liter itu lebih dari satu minggu. Untuk ke tenaga juga lebih bagus, dari segi tanjakan atau lurusan itu lebih enak dari Pertamina,” kata Rahman yang berprofesi sebagai sopir ini.

Baca juga:

  • Kisah warga Grobogan mandiri energi berkat gas rawa, mungkinkah jadi solusi kelangkaan elpiji 3kg?
  • Kota di Jepang memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber energi
  • ‘Jangankan di Banten, kami menolak geothermal di mana pun’ – Mengapa proyek geothermal di Indonesia menuai penolakan warga?

Dari segi harga, kata Rahman, Petasol bisa dikatakan bersaing dengan solar produk Pertamina. Namun karena durasi tempuhnya lebih panjang, Rahman menyebut Petasol jadi lebih irit dari BBM di pasaran.

Dia menghitung, satu liter solar biasanya habis dalam jarak tempuh delapan kilometer, sedangkan Petasol 13 kilometer. Di samping itu, imbuh Rahman, ada keuntungan lain yang didapat dari Petasol.

“Kita ngitung juga dari segi pemakaian. Kalau pemakaian per liternya lebih tinggi, ya mungkin sama solar hampir gak jauh beda. Tapi kan nyari keuntungannya itu dari segi akselerasi sama kenyamanan. Efek ke mesin lebih enak, lebih halus, gak terlalu berisik. Kalau solar biasa berisik, tapi kalau Petasol gak terlalu berisik,” ucap Rahman.

Namun, Petasol belum bisa dibeli secara bebas. Setiap kali hendak mengisi Petasol, Rahman harus ke BSS Melong.

“Harapan ke depannya, bisa lebih dibanyakin cabangnya [Petasol]. Biar enggak terlalu sulit buat mendapatkannya lebih banyak,” ungkap Rahman.

Peluang Petasol dijual bebas

Secara teknologi dan sumber daya, Wahyu mengaku siap memasarkan Petasol secara luas.

Mesin pirolisis kapasitas besar hingga 4 ton per batch sudah siap diaplikasikan. Bahkan, rencananya di tahun depan, akan digarap mesin dengan kapasitas 10-15 ton per batch.

Sementara itu, sumber daya sampah plastik juga cukup tersedia.

Mengacu pada data sampah Kementerian Lingkungan Hidup, potensi SPLV nasional 13.491 ton per hari atau 10% dari total timbulan sampah yang berjumlah 134.914 ton per hari. Wahyu menghitung, jika rendemen atau konversi SPLV 40%, maka akan dihasilkan sebanyak 5,4 juta liter BBM pirolisis.

Perhitungan secara ekonominya, jika BBM pirolisis dijual minimal Rp10.000 per liter, nilai transaksinya mencapai minimal Rp50 miliar per hari. Sementara Petasol, menurut Wahyu, memiliki kualitas di atas solar produksi Pertamina sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

“Kalau BBM di negara ini memang di angka cetane number 53. kami minimal 53 sampai 56 tergantung kondisi dari komposisi sampah plastik yang kami gunakan.”

“Kami sudah menemukan nilai kalori dan nilai kalori itu sebenarnya kalau disetarakan dengan energi semestinya Petasol ini punya harga di atas atau sekitar Rp18.000-an. Artinya, lebih tinggi dibanding yang lain, yang saat ini ada di pasaran,” sebut Wahyu.

Namun saat ini, BSS Melong menjual Petasol dengan rata-rata cetane number 54 seharga Rp11.000 per liter.

Menurut Wahyu, Petasol memiliki peluang untuk dipasarkan. Terlebih lagi cukup banyak yang memesan.

“Untuk saat ini sudah ada demand yang cukup besar, 50-100 kiloliter per hari,” ungkap Wahyu.

Dengan dukungan teknologi, sumber daya, dan peluang pemasaran yang besar, Wahyu mengatakan, Petasol menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi masalah sampah plastik sambil menyediakan sumber energi terbarukan serta mewujudkan ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan.

Terbitnya Perpres 109/2025 membuka peluang Petasol dan energi terbarukan lainnya dipasarkan secara luas. Kebijakan tersebut dapat pula menjadi dasar untuk pengembangan mesin pirolisis lebih lanjut.

“Langkah selanjutnya, kami menjadi tenang, lebih yakin, dan kemudian untuk ekspansi melakukan replikasi (Faspol) di lokasi yang lain dan menjual secara bebas, kami lebih bisa karena ada dasarnya. Jadi tidak dikenai, dihantui oleh pasal peniruan atau pemalsuan terkait dengan solar,” ungkap Heru.

Namun untuk menjual Petasol secara terbuka, perjalanannya masih panjang.

Tantangan pertama, pemerintah belum mengeluarkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) pirolisis. Sertifikat ini diperlukan jika Petasol akan dijual bebas. Wahyu mengatakan, pihaknya masih menunggu aturan pemerintah, apakah SNI dijadikan syarat atau tidak.

“SNI untuk pirolisis memang belum ada di Indonesia. Justru kami setengah menantang kepada pemerintah negara ini untuk kemudian mengeluarkan SNI terkait dengan pirolisis. Kami berjuang agar SNI untuk pirolisis ada.”

“Jika (SNI) bukan bagian yang dipersyaratkan, maka kami akan segera eksekusi untuk kapasitas besar,” ungkap Wahyu,

Pakar Konversi Energi ITB, Tri Yus Widjajanto mengatakan, masih banyak aturan yang perlu diterbitkan terkait perizinan dari kementerian teknis, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.

“Jadi di tingkat perpres kan cuma instruksi saja. Kemudian di kementerian masih harus (disusun aturan teknisnya). Untuk menyusun aturan pelaksanaannya nanti dirjen di bawahnya akan menentukan. Kalaupun misalnya, ada spesifikasi khusus, untuk itu harus diterbitkan dulu. Dari sisi administrasinya juga masih panjang, masih butuh proses. Apalagi ini baru bulan ini terbitnya. Mungkin baru tahun depan akan keluar segala macam juknis (petunjuk teknis) dari level dirjen,” kata Tri.

Tri juga menyoroti kebijakan tarif di daerah yang ditengarai menjadi hambatan lain. Kebijakan tarif sampah yang dikeluarkan pemerintah daerah akan membuat harga Petasol sulit bersaing dengan BBM konvensional,

“Nah ini masalahnya, biasanya dinas kebersihan menentukan tarif. Jadi sampahnya tidak bisa diambil secara gratis, tapi kemudian dihargai karena mereka merasa bahwa kalau itu diolah menghasilkan sesuatu yang punya nilai ekonomi. Beberapa kali rencana untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga sampah terkendala itu karena ternyata sampahnya, bahan bakunya, tidak gratis sehingga secara keekonomian tidak masuk,” jelasnya.

Baca juga:

  • ‘Mitos’ biodiesel ramah lingkungan – Papua dan Kalimantan berpotensi jadi sasaran utama penggundulan hutan
  • Setengah juta rumah tangga Indonesia hidup tanpa listrik, bisakah energi bersih jadi solusi?

Pemasaran Petasol, imbuh Tri, akan menghadapi tantangan berikutnya ketika dipasarkan secara luas.

Mau tidak mau, menurut Tri, produsen Petasol akan menggandeng SPBU milik Pertamina yang memiliki jaringan luas dalam pemasarannya. Kondisi tersebut, kata Tri, akan berpengaruh pada harga Petasol.

“Misalnya, ketika mau dijual sebagai bensin kalau hasil akhir produknya, harganya ternyata di atas harga bahan bakar yang sekarang beredar, kan gak ada yang mau beli. Kalaupun mau mendirikan SPBU sendiri, mahal. Jaringan yang seluas itu pasti akan minta dijualkan ke Pertamina. Nah Pertamina kan pasti ingin membelinya di bawah MOPS, Mean of Plats Singapore, karena dari situ dia akan mendapatkan marjin karena Pertamina kan sebagai persero harus untung juga, harus dividen juga. Jadi ujung akhirnya nanti ekonominya bisa memberikan prospek untuk membuat produk ini layak jual atau tidak,” papar Tri.

Kendati nanti bisa dijual bebas dan bermanfaat dari sisi lingkungan, Tri berpendapat, Petasol tidak akan bisa menggantikan BBM konvesional. Pasalnya, sumber daya sampah plastik yang bisa diolah terbatas. Selain itu, Petasol bakal menghadapi persaingan dengan BBM alternatif lainnya.

“Sekarang ini bahan bakar masih kebanyakan dari fosil, minyak bumi, tapi ke depan kan mulai banyak muncul bahan bakar alternatif, seperti pernyataan Menteri ESDM mau menggunakan Etanol 10%. Lalu akan menggunakan Biodiesel 50 persen, tahun depan. Nah itu kan pasti akan menjadi saingannya kan. Padahal itu jumlahnya cukup besar. Kalau di Biodiesel 50 persen itu sudah 19 miliar liter. Apakah dari proses pirolisis ini bisa mencapai volume yang sebesar itu? Jadi masih panjang banget untuk dipasarkan ke umum,” ujarnya.

Tapi setidaknya, kata Tri, Petasol bisa mengurangi volume impor BBM, di tengah tingginya kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai sekitar 38 miliar liter per tahun, baik untuk solar maupun bensin.

“Kalau misalnya bisa menggantikan 1% saja atau kalau 10%. luar biasa yah karena 10% 3,8 miliar liter. Tapi sepertinya enggak mungkin. Satu persen saja itu sudah cukup lumayan akan mengurangi impor bahan bakar,” sebutnya.

Petasol dan dampak terhadap lingkungan

Penggunaan mesin pirolisis sempat memicu kekhawatiran soal imbasnya ke lingkungan.

Terkait itu, Wahyu menegaskan, emisi yang dihasilkan mesin pirolisis dengan pemanasan tertutup lebih rendah dibanding pembakaran terbuka. Sejauh ini, kata Wahyu, tidak ada keluhan dari lingkungan sekitar.

“Kalau untuk pembakaran terbuka itu nilai emisinya sekitar 1.8 CO2 equivalent. (Mesin pirolisis) kami di sini hanya 0,38 CO2 equivalent. Artinya jauh lebih minim daripada pendekatan-pendekatan thermal lainnya,” ujar Wahyu.

Pakar Konversi Energi ITB, Tri Yus Widjajanto, menyatakan hal senada.

Proses pembakaran di mesin pirolisis tanpa melibatkan oksigen sehingga tidak memunculkan emisi CO2. Tetapi, Tri mengungkapkan, emisi CO2 akan tetap timbul ketika BBM pirolisis dijadikan bahan bakar kendaraan.

“Nanti kalau sudah menjadi bahan bakar ya akan menghasilkan CO2 juga. Tapi setidaknya bisa mengurangi lah karena tidak menggunakan bahan baku secara langsung dari energi fosil, walaupun plastik asalnya dari minyak bumi atau energi fosil juga,” ucap Tri.

Wartawan di Bandung, Yuli Saputra, berkontribusi untuk artikel ini.

  • Ilmuwan ITB ubah bungkus mi instan menjadi bahan bakar minyak
  • Mahasiswa Indonesia juara dunia teknologi mobil berbahan bakar sampah plastik
  • Kebijakan 10% etanol pada BBM dikhawatirkan memperparah deforestasi dan konflik lahan

Leave a Comment