Satu pekan yang mencekam di Aceh Tamiang, gelap gulita, penjarahan, dan bau bangkai menyengat – “Seperti kota zombie”

Photo of author

By AdminTekno

Kabupaten Aceh Tamiang menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya dampak banjir bandang dan longsor yang menghantam wilayah itu pada Rabu (26/11) silam. Sembilan hari lamanya, uluran tangan bantuan tak kunjung tiba, meninggalkan ribuan jiwa dalam keterasingan. Listrik padam, akses air bersih terputus, dan jaringan komunikasi lumpuh total, menjadikan Aceh Tamiang terisolasi dari dunia luar.

Kondisi pasca-bencana begitu memilukan. Arif, seorang warga Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru, menggambarkan daerahnya bagaikan “kota zombie” – porak-poranda dengan aroma bangkai menyengat di mana-mana. Gambaran ini mencerminkan kehancuran masif yang menimpa permukiman dan infrastruktur. Barulah pada Kamis (04/12) dini hari, Gubernur Aceh Muzakir Manaf berhasil menerobos masuk, membawa 30 ton bantuan berupa sembako dan obat-obatan, sedikit meredakan penderitaan warga. Sementara itu, pemerintah pusat telah berjanji untuk mempercepat penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga.

Detik-detik banjir tenggelamkan seisi kota
Detik-detik mencekam banjir bandang Aceh Tamiang masih terpatri jelas dalam ingatan Arif. Hujan deras mengguyur tak henti-henti sejak Minggu hingga Selasa, 24-26 November. Pada Rabu pagi, saat mengantar istrinya bekerja, ia dikejutkan oleh kantor yang sudah terendam selutut. Arif yang tinggal di Kampung Dalam, daerah dataran tinggi yang dianggap aman, terpaksa menampung beberapa kolega dan teman istrinya yang rumahnya mulai terendam pada 25 November siang. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Dini hari keesokan harinya, Arif terbangun oleh gedoran tetangga: “Bang, bangun… air sudah sampai halaman.” Tak menyangka air akan mencapai rumahnya, Arif bersama 14 orang lainnya segera melarikan diri ke masjid dua lantai di Kampung Dalam. Hanya dalam waktu tiga jam, air bah setinggi pinggang orang dewasa telah merendam seluruh kota dengan arus yang sangat deras.

Di dalam masjid, sekitar 500 orang mengungsi, mulai dari anak-anak, lansia, hingga seorang ibu hamil yang akhirnya melahirkan di tengah kepungan banjir. Arif berharap bantuan akan datang ke tempat berkumpulnya para pengungsi ini. Namun, setelah tiga hari berlalu, tak ada sebutir pun bantuan yang sampai. Kondisi semakin genting saat air mulai merangsek masuk ke lantai bawah masjid. Arif menggambarkan keputusasaan, “Mungkin sekitar satu meter lagi, banjir sudah masuk ke lantai 2. Bisa dibayangkan, kalau di jalanan berarti banjir setinggi tiga meter.” Di daerah pesisir, ketinggian air bahkan mencapai enam meter. Dari balkon masjid, Arif menyaksikan pemandangan mengerikan: seisi kota tenggelam, rumah-rumah kayu dan seng hanyut terseret arus. Anak-anaknya mulai merengek kelaparan dan kehausan, berebut air minum dan makanan yang terbatas di masjid.

Nekat menerobos banjir demi air minum
Dalam kondisi genting tersebut, pada Sabtu (29/11) pagi, Arif nekad menerobos banjir setinggi 1,5 meter demi menyelamatkan anak-anaknya. Berenang melawan arus, ia kembali ke rumahnya untuk mengambil air dari toren yang masih tersisa, lalu membawanya kembali ke masjid. Siangnya, air mulai surut hingga sepinggang. Momen ini dimanfaatkan Arif dan 15 rekannya untuk pulang ke rumah, tidur di loteng selama dua malam. “Dua malam kami tidur di loteng, karena mau evakuasi kemana pun, enggak bisa. Rumah sakit banjir, chaos semua,” kenangnya. Untuk bertahan hidup, mereka mengais sisa makanan yang masih bisa diselamatkan seperti beras terendam yang dibersihkan seadanya dan mi instan, dimasak menggunakan kompor yang untungnya masih berfungsi. Itulah bekal mereka selama dua hari yang menegangkan.

Di antara keputusasaan
Namun, perjuangan keluarga Arif belum usai. Anak sulungnya (6 tahun) dan si bungsu (2 tahun) mulai menunjukkan gejala fisik melemah: batuk dan gatal-gatal. Keputusasaan kian mendera karena tak ada satu pun personel pemerintah daerah, baik polisi, damkar, SAR, maupun BPBD, yang terlihat berupaya menyelamatkan warga. Minggu (30/11) menjadi puncak keputusasaan saat Arif menyaksikan penjarahan di berbagai toko swalayan dan grosir. Warga terpaksa masuk paksa demi mendapatkan makanan. “Penjarahan di mana-mana,” ujarnya, mengingat sebelumnya harga sembako melambung tinggi – paket seharga Rp80.000 dan beras 10 kg mencapai Rp250.000. Aceh Tamiang kala itu benar-benar seperti kota mati. Tanpa listrik, air bersih, dan komunikasi, mereka terperangkap. Jalanan dipenuhi lumpur setebal 50 sentimeter, kendaraan terbalik, rumah-rumah ambruk, dan bau bangkai hewan ternak yang menyengat di mana-mana. “Mungkin juga di balik reruntuhan, ada mayat [manusia] cuma tak nampak, tapi baunya ada,” tutur Arif miris. Wajah-wajah warga yang penuh lumpur dan kebingungan menambah kesan mencekam, seolah mereka benar-benar berada di “kota zombie.” Malam hari gelap gulita, sementara siang hari warga berhamburan di jalanan, hanya bisa berharap ada makanan.

Ada secercah harapan
Di tengah kegelapan, secercah harapan muncul pada Minggu (30/11) sore. Suami dari teman Arif tiba di Aceh Tamiang, menceritakan perjalanannya yang tak masuk akal: berjalan kaki tiga hari dari perbatasan Aceh-Sumut, naik perahu ke Kuala Simpang, lalu berjalan kaki lagi ke rumah Arif. Kisah ini membangkitkan tekad Arif untuk membawa anak-anaknya ke Medan, tempat mertua istrinya. Keesokan harinya, Arif dan 15 rekannya berjalan kaki dua kilometer menuju pasar Kuala Simpang yang kacau balau untuk mencari informasi. Mereka menemukan jalur laut menggunakan kapal nelayan menuju Kecamatan Pangkalan Susu di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Meskipun tanpa uang, mereka nekat meminjam Rp3 juta dari seorang kenalan pengusaha apotek untuk biaya transportasi. Dari Kuala Simpang, mereka naik truk melintasi perkebunan sawit sejauh 18 kilometer ke Salahaji, lalu melanjutkan perjalanan dua jam dengan kapal nelayan menuju Pelabuhan Pangkalan Susu. Di sanalah, jaringan internet kembali terhubung, memungkinkan mereka mengisi daya ponsel dan mengabari keluarga. Salah satu teman mereka bahkan sempat lumpuh kakinya karena syok, namun dengan cepat dibantu oleh Babinsa dan polisi, diberi makan, minum, dan perawatan medis sebelum akhirnya dijemput keluarga menuju Medan.

Melintasi jalur darat yang serba tak pasti
Sementara Arif dan kawan-kawan mengarungi laut, Dedy Tanjung menempuh jalur darat dari Medan menuju Aceh Tamiang, juga demi menjemput keponakannya yang berusia tujuh tahun. Bersama seorang kerabat, Dedy berkendara sejauh 129 kilometer dengan sepeda motor. “Sebetulnya kami juga waswas, tapi kami jemput ke sana, karena kondisinya sudah porak-poranda,” ujarnya kepada BBC News Indonesia pada Kamis (04/12). Perjalanan dimulai Selasa malam pukul sembilan, menembus kegelapan tanpa penerangan jalan, hanya mengandalkan senter. Rute mereka melewati Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Pangkalan Brandan, Balaban, Sungailiput, sebelum akhirnya tiba di Kabupaten Aceh Tamiang. Sepanjang perjalanan, Dedy menyaksikan banyak daerah masih terendam banjir, memaksa mereka turun dan mendorong motor. Meskipun beberapa ruas jalan Medan-Aceh Tamiang yang sebelumnya tertimbun longsor sudah bisa dilintasi satu jalur, pemandangan di Tanjung Pura sangat memilukan: rumah-rumah tenggelam dan hanyut.

Saat mendekati Aceh Tamiang, suasana gelap gulita semakin mencekam. Dedy harus berkendara perlahan dan sangat hati-hati karena jalanan dipenuhi lumpur dan sisa genangan air. Perjalanan yang biasanya hanya tiga jam, kala itu memakan waktu empat jam, tiba pukul 01.00 dini hari. Tak disangka, mereka dikejar oleh Wakil Bupati Aceh Tamiang yang terheran-heran melihat adanya senter, mengingat listrik sudah padam lima hari. Setelah menceritakan maksud kedatangan mereka untuk menuju Desa Babo di Kecamatan Bandar Pusaka, sang wakil bupati memperingatkan bahwa desa itu adalah hulu banjir dan sangat berbahaya di tengah malam. Akhirnya Dedy dan kerabatnya diminta beristirahat di posko polres. Desa keponakannya yang berada di hulu dekat sungai dan berbukit-bukit itu memang mengalami dampak paling parah. Banyak rumah kayu terseret arus deras, bahkan ada mobil tangki yang terbalik dan terangkat. Bau bangkai yang menyengat sangat terasa di sepanjang jalan. “Mencekam sekali di sana, seperti dihantam tsunami. Kota dipenuhi lumpur, sampah, kayu. Masyarakat juga enggak banyak kelihatan di jalan, enggak tahu kemana mereka,” klaim Dedy, menggambarkan kengerian yang ia saksikan. Beruntung, keponakannya berhasil ditemukan selamat di posko pengungsian. Mereka bertiga lantas pulang dengan berboncengan motor. “Makanya begitu jumpa rasanya macam ada mukjizat dari Allah. Dia bisa selamat gitu. Karena masyarakat di kampung itu juga banyak yang hilang,” ucap Dedy penuh haru.

Distribusi bantuan ke Aceh Tamiang
Secara geografis, Kabupaten Aceh Tamiang, yang terletak di bagian timur Provinsi Aceh, merupakan gerbang utama menuju provinsi tersebut dari Sumatera Utara. Pascabencana, wilayah ini sempat terisolasi total karena jembatan penghubung dari Provinsi Aceh terputus, membuat satu-satunya akses tersisa adalah melalui Medan, Sumatera Utara, itupun dengan beberapa ruas jalan yang tertimbun material longsor. Namun, ada kabar baik dalam upaya pemulihan Aceh Tamiang. Pada Kamis (04/12), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa jalur darat untuk distribusi logistik ke Aceh Tamiang sudah dapat ditembus dari Langkat, Sumatera Utara. Jalur darat lain yang mulai pulih meliputi akses dari Pidie Jaya ke Aceh Barat dan Aceh Tengah, serta dari Banda Aceh, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Gayo Luwes. Dengan terbukanya jalur ini, truk-truk BBM Pertamina mulai masuk ke Aceh Tamiang, sementara perbaikan jembatan terus dilakukan. Untuk penerangan, PLN telah memasok genset, meskipun pasokan listrik masih terbatas. “Genset juga akan dioptimalkan agar operasional RSUD yang hari ini sudah mulai dibersihkan bisa dapat beroperasi,” kata Abdul Muhari, Juru Bicara BNPB. Di hari yang sama, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, atau yang akrab disapa Mualem, tiba dini hari di tengah kegelapan Aceh Tamiang, membawa 30 ton sembako sumbangan warga Medan. Ia menjanjikan distribusi bantuan lanjutan dan membuka posko di Medan untuk para donatur, seraya menyampaikan duka cita mendalam kepada para korban, “Kita sedih dan pilu melihat kondisi ini. Kita harap rakyat Aceh tabah menghadapi cobaan banjir dan longsor.”

Berapa korban di Aceh Tamiang?
Data korban banjir dan longsor di Aceh Tamiang menunjukkan skala bencana yang memilukan. BNPB mencatat 42 korban meninggal dunia di Aceh Tamiang per Kamis (04/11), meskipun warga setempat meyakini angka sebenarnya jauh lebih tinggi karena banyaknya yang dinyatakan hilang. BPBD Aceh Tamiang melaporkan total 225.847 jiwa terdampak, dengan 215.652 jiwa dari 56.384 kepala keluarga mengungsi, sementara sisanya bertahan atau mengungsi ke rumah kerabat. Secara keseluruhan di Provinsi Aceh, total korban meninggal mencapai 471 jiwa, 354 orang hilang, dan 1.900 orang terluka.

Leave a Comment