
Bencana banjir dan longsor yang bertubi-tubi melanda sejumlah wilayah di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh kembali memicu pertanyaan mendasar: sejauh mana keseriusan dan kesiapan pemerintah dalam upaya mitigasi ke depan? Apa saja langkah strategis yang perlu diperbaiki, dan bagaimana komitmen kebijakan pemerintah menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi ini?
Para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menekankan bahwa mitigasi bencana banjir, khususnya yang terjadi di Sumatra, harus secara langsung menyasar akar permasalahannya. Mereka menjelaskan bahwa banjir di Sumatra sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan yang masif, terutama akibat pemberian izin konsesi kepada perusahaan. Oleh karena itu, penanggulangan bencana alam di masa mendatang mutlak harus menyertakan kondisi ini sebagai pertimbangan utama. “Untuk mitigasi, fungsi-fungsi [dari hutan] yang alami itu sebisa mungkin harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan,” tegas salah seorang peneliti BRIN.
Sumatra bukanlah kasus terisolasi dalam menghadapi banjir akibat perubahan alih fungsi lahan. Sebelumnya, musibah serupa pernah terjadi di Bali pada September lalu, serta di Kalimantan Selatan pada tahun 2021.
Pemerintah tampaknya mulai mengakui keterkaitan antara deforestasi dengan bencana banjir di Sumatra. Presiden Prabowo Subianto, melalui Ketua MPR Ahmad Muzani, disebut telah menerima laporan mengenai “dugaan pembalakan liar” sebagai salah satu pemicu banjir di wilayah tersebut. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bahkan menegaskan bahwa bencana ini menjadi “momentum yang baik untuk kita mengevaluasi kebijakan.” Namun, rincian mengenai wujud evaluasi tersebut belum dijelaskan lebih lanjut.
Lebih jauh, pemerintah telah menginstruksikan penelusuran praktik penggundulan hutan yang terindikasi dari gelondongan kayu yang terbawa arus banjir. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Praktikno, menyatakan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hutan (SPKH) telah diturunkan untuk menelusuri dugaan gelondongan kayu tersebut. “Pemerintah terus menelusuri pihak-pihak yang diduga melakukan pelanggaran melalui analisis citra satelit,” tambahnya.
Dari Kalimantan, Bali, sampai Halmahera: Banjir karena alih fungsi lahan
Awal tahun 2021 menjadi catatan kelam bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Banjir besar melanda 11 kabupaten dan kota, mengakibatkan lebih dari 300.000 orang terdampak, termasuk pengungsian, kehilangan, dan korban jiwa. Kerugian finansial yang ditimbulkan mencapai angka fantastis Rp1,3 triliun, mencakup kerusakan infrastruktur, hilangnya mata pencarian, hingga terhentinya roda perekonomian.
Pemerintah saat itu mengklaim bahwa penyebab banjir adalah curah hujan yang sangat tinggi—8 hingga 9 kali lipat dari biasanya—yang tak mampu ditampung oleh sungai. Mereka juga menyebut faktor lain seperti perbedaan elevasi hulu dan hilir yang ekstrem, mempercepat konsentrasi air dan memicu genangan di dataran banjir.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh organisasi sipil dan lingkungan seperti Walhi Kalimantan Selatan. Menurut mereka, banjir 2021 juga diperparah oleh melemahnya daya dukung alam akibat pembangunan yang tidak terkontrol. Data Walhi Kalsel menunjukkan hampir 50% dari 3,7 juta hektare luas wilayah tersebut telah dialihfungsikan menjadi area tambang dan perkebunan sawit. Tercatat ada 157 perusahaan tambang batu bara dengan 814 lubang tambang di Kalimantan Selatan. Akibatnya, hutan dengan fungsi ekologisnya, “terus menyusut dari tahun ke tahun.”
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sebelum dipecah), tutupan hutan di Kalimantan Selatan pada tahun 1990 masih sekitar 52% (1,9 juta hektare). Dua dekade kemudian, pada tahun 2019, tutupan hutan menyusut drastis menjadi kurang dari 1 juta hektare, atau hanya sekitar 24% dari luas wilayah. Pengurangan tutupan hutan paling masif terjadi pada periode 1996-2000, dengan hampir 840.000 hektare hutan lenyap, setara 208.000 hektare setiap tahunnya. Analisis tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2018 juga menunjukkan “perbedaan mencolok” antara kawasan hutan dan luas tutupan hutan, dengan hanya 48% kawasan hutan yang masih berupa hutan, sementara sisanya telah berubah menjadi area nonhutan. Secara keseluruhan, tutupan hutan di Kalimantan Selatan hanya tersisa 20,72% dari total area.
Kendati demikian, pemerintah menampik bahwa banjir disebabkan oleh efek perubahan alih fungsi lahan yang memengaruhi Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemerintah mengklaim bahwa posisi DAS di Kalimantan Selatan “masih terjaga dengan baik” dan menegaskan bahwa banjir disebabkan oleh “anomali cuaca,” serta “bukan soal luas hutan di DAS Kalimantan Selatan.”
Bergeser ke Maluku Utara, pada Juli 2024, Halmahera Tengah dan Halmahera Timur dilanda banjir setinggi tiga meter, yang melumpuhkan dan mengisolasi belasan desa serta memaksa ribuan warga mengungsi. Pemerintah menyebut intensitas hujan tinggi sebagai pemicu utama.
Namun, narasi pemerintah ini dibantah oleh dua organisasi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Data FWI menunjukkan bahwa hilangnya tutupan hutan memperparah kondisi banjir. Sepanjang 2021 hingga 2023, FWI mencatat 13% kehilangan tutupan pohon atau hutan di kawasan Halmahera Tengah. Hilangnya hutan ini berbarengan dengan pesatnya geliat penambangan nikel, yang pada akhirnya menciptakan degradasi lingkungan dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, termasuk banjir.
Laporan JATAM merinci bahwa 23 izin pertambangan nikel tersebar di atas lahan seluas lebih dari 227.000 hektare di Halmahera Tengah. Empat izin di antaranya bahkan melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Secara rinci, total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.000 hektare, sekitar 42% dari area Halmahera Tengah. Dari angka tersebut, 21.000 hektare telah dibuka untuk tambang, yang mayoritas berada di kawasan hutan maupun hulu sungai.
Tak lama berselang, pada September lalu, giliran Bali yang dihantam banjir. Belasan titik terdampak, dengan pemerintah menyebut gelombang ekuatorial yang memicu hujan lebat sebagai penyebabnya. Akibatnya, lebih dari 10 orang meninggal dunia, ratusan dievakuasi, dan kerugian materi diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Banjir di Bali saat itu bahkan disebut sebagai yang terparah dalam satu dekade terakhir, berdasarkan keterangan pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali.
Meski begitu, beberapa akademisi berpendapat bahwa banjir di Bali bukan sekadar fenomena alam. “Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam tanah. Aliran permukaan yang besar inilah yang dapat memicu banjir bandang,” jelas Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan dari Fakultas Geografi UGM, Djati Mardianto. Sementara itu, pakar perencanaan kota di Fakultas Teknik UGM, Bakti Setiawan, menilai bahwa “tata ruang dan perkembangan kota yang tidak terkontrol” adalah faktor penting yang tak bisa dilepaskan dari bencana banjir di Bali. “Jadi tantangan utamanya adalah penataan ruang dan kota yang lemah dalam mengantisipasi risiko bencana,” tegasnya.
Pantauan Walhi juga menyoroti bahwa Bali “menghadapi degradasi hutan mangrove yang sangat parah serta hilangnya kawasan pesisir yang menjelma kawasan perhotelan.” Sebagai contoh di Denpasar, hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai telah mengalami penyusutan seluas 62 hektare.
‘Pertahankan hutan di hulu, supaya di hilir tidak kena’
Data rekapitulasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara jelas menunjukkan tren peningkatan frekuensi bencana banjir di Indonesia. Selama lima tahun terakhir, jumlah peristiwa banjir rutin menembus angka di atas 1.000 setiap tahunnya. Pada tahun 2020, tercatat sekitar 1.500 bencana banjir, menjadi yang terbanyak dibandingkan bencana lainnya (32,69%). Setahun setelahnya, angka melonjak menjadi 1.800 peristiwa, kembali menempati urutan pertama (33,23%). Kuantitas banjir sempat menurun pada tahun 2022 dengan total 1.530 peristiwa, namun tetap berpredikat bencana nomor satu di Indonesia (43,23%). Pemandangan serupa terjadi pada tahun 2023 dengan jumlah banjir menurun ke angka 1.250. Namun, pada tahun 2024, angka bencana banjir kembali melonjak, bahkan mencatat jumlah terbesar sejak BNPB mulai mengumpulkan data pada 2008, yaitu tembus 1.920 peristiwa.
Peneliti dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, M. Fakhrudin, menegaskan bahwa bencana banjir memang berkaitan erat dengan fenomena alam seperti curah hujan tinggi atau anomali cuaca. Namun, ia menambahkan, diskusi mengenai banjir harus selalu menyertakan kontribusi dari pembangunan yang kerap abai terhadap fungsi ekologis alam. “Di daerah hulu itu, dia berfungsi untuk menyerap hujan sebanyak-banyaknya. Terus dia mengalir ke bawah seperti itu. Sering kali daerah hulu ini beralih fungsi sehingga yang seharusnya dia itu menyerap hujan banyak, tapi ini tidak. Sehingga di daerah bawah terjadi banjir,” paparnya.
Bagi Fakhrudin, tindakan strategis yang krusial bagi pemerintah adalah mempertahankan area-area yang memegang fungsi alami sebagai penyerap air hujan. Peran hutan, menurutnya, “wajib ditingkatkan.” Jika tidak, hutan akan semakin kehilangan kemampuannya dalam mencegah atau mengurangi risiko bencana alam di kemudian hari. “Misalnya di daerah hulu itu kita harus pertahankan hutan supaya bagaimana hujan itu sebanyak-banyaknya meresap ke dalam tanah. Sehingga di hilir kita akan mengurangi efek daripada banjir itu,” tegasnya.
Data dari Global Forest Watch mendukung argumen ini, menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 11 juta hektare hutan primer basah dari tahun 2002 hingga 2024. Angka ini menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon dalam kurun waktu yang sama, membuat area total hutan primer basah di Indonesia menyusut 11%. Analisis lain memperlihatkan bahwa dalam rentang 2001 hingga 2024, sekitar 76% kehilangan tutupan pohon terjadi di wilayah yang didominasi oleh deforestasi.
Secara konkret, Fakhrudin menyarankan pemerintah untuk segera mengaudit kawasan hutan, termasuk mengevaluasi izin-izin yang disinyalir telah mengubah kondisi permukaan atau tutupan lahan. Pemerintah, pada saat yang sama, juga perlu membuat pemetaan wilayah secara komprehensif—mengidentifikasi mana area yang rawan bencana, bagaimana kondisinya saat ini, serta seperti apa proyeksi ke depan. “Termasuk dengan, misalnya, apakah ini perizinan kita evaluasi, tunda, atau cabut sementara atau seperti apa,” ujarnya. “Itu yang perlu dilakukan, dan itu memerlukan juga koordinasi kuat [antara] masing-masing sektor [pemerintahan] dengan bisa memberikan data yang benar-benar bagus dan detail sehingga perencanaan tersebut bisa melihat [masalah] secara keseluruhan.”
Penanganan banjir, di sisi lain, seharusnya menerapkan prinsip kebijakan berbasis sains (science-based policy), yaitu memanfaatkan data yang telah dihimpun sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan. Namun, Fakhrudin menerangkan, manajemen data di Indonesia masih menunjukkan kelemahan. “Saya menemukan beberapa tempat yang awalnya saja bagus, setelah itu maintenance-nya sangat amat minim,” akunya. Dalam konteks bencana banjir, data digunakan untuk memprediksi pola maupun kesimpulan akhir tentang potensi banjir. Data-data ini, idealnya, dicatat dengan interval yang sangat rapat, yaitu per jam dan per hari. “Banjir itu datanya harus per jam. Dan kerapatan data tentang hujan ini juga masih jauh dari harapan. Sehingga kita, dalam merekomendasikan, juga kadang-kadang tidak tepat,” ucapnya.
Sejauh ini, pihak yang menjadi acuan utama untuk informasi hujan dan banjir adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Keduanya memegang data sehubungan dengan curah hujan, water level, hingga debit sungai. Fakhrudin berpandangan bahwa pengetahuan tentang data tidak boleh berhenti di level pusat semata atau hanya di beberapa instansi terkait. Ia mendesak agar pemahaman serta implementasi data dapat diturunkan hingga tingkat bawah, terutama kepada masyarakat di daerah yang bersangkutan. “Sering kali kesadaran untuk mengubah [perspektif ini] belum sepenuhnya terbentuk. Ini data-data dasar itu banyak yang belum menyadari bahwa itu sangat penting, sebab berhubungan dengan di hulu,” papar Fakhrudin. “Sehingga concern kita terhadap pembangunan data, maintenance data, segala macam, termasuk alat-alat, itu juga lemah.”
Pengurangan anggaran dan komitmen politik kebencanaan
Kebijakan efisiensi anggaran yang diusung pemerintahan Prabowo Subianto telah menyasar alokasi dana untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Semula, berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2025, BNPB direncanakan memperoleh Rp1,4 triliun. Namun, setelah rapat rekonstruksi anggaran bersama Komisi VIII DPR pada Februari lalu, dana BNPB dipangkas sebesar Rp470 miliar, sehingga ‘hanya’ menjadi Rp956 miliar. Dana yang tersisa rencananya akan diprioritaskan untuk program ketahanan bencana senilai Rp701 miliar, sementara sisanya, Rp249,5 miliar, digunakan untuk dukungan manajemen.
Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, meyakinkan publik bahwa penghematan anggaran ini tidak akan memengaruhi kapasitas BNPPB dalam merespons bencana. “Artinya, untuk pelayanan publik atau masyarakat terdampak bencana tetap bisa kami laksanakan secara maksimal, meski ada efisiensi karena yang diefisiensikan itu adalah pelaksanaan tugas yang bersifat rutin di kantor pusat,” ucapnya.
Penanganan bencana alam, menurut analisis ilmuwan kebencanaan dari Charles Darwin University Australia, Jonatan Lassa, membutuhkan komitmen politik yang aktif, bukan sekadar kebijakan reaktif. Dalam urusan bencana alam, komitmen politik adalah elemen krusial guna memperkuat ketahanan. Namun, komitmen politik semacam ini kerap absen ketika sudah masuk di sektor kebencanaan. Pemerintah cenderung lebih fokus pada agenda pembangunan ekonomi serta pemenuhan janji politik, terang Jonatan. Bencana sering kali dipersepsikan sebagai peristiwa yang tidak mendesak saat kondisi sedang “normal,” dan oleh sebab itu bisa dipikirkan belakangan.
Begitu bencana terjadi, pemerintah seketika mengalokasikan dana darurat yang besar. Namun, saat krisis selesai, pemerintah kembali ke pola semula: kebijakan ekonomi. Gejala semacam ini, menurut Jonatan, ditemukan di Indonesia. Pada tahun 2015, ia memberi gambaran, BNPB menyediakan dana jumbo untuk merespons kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Alokasi dana kemudian menurun dan meningkat kembali tiga tahun setelahnya, bertepatan dengan gempa bumi yang menghancurkan Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Sulawesi Tengah. Untuk Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, alokasi untuk BNPB bahkan disebut anjlok hingga Rp491 miliar.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan bahwa anggaran BNPB masih tersedia sebesar Rp500 miliar dan pemerintah berkomitmen menambah anggaran mereka jika memang dirasa diperlukan. “Nanti tergantung permintaan BNPB. Anda tahu saya kaya. Tapi, uangnya cukup, dari pos darurat bencana kalau enggak salah, dan itu tinggal BNPB ajukan ABT (Anggaran Belanja Tambahan) ke kita, nanti kita [Kementerian Keuangan] proses. Kita, mah, siap terus,” Purbaya menanggapi.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Atina Rizqiana, menekankan bahwa pemotongan anggaran untuk BNPB, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mencerminkan prioritas fiskal pemerintahan Prabowo yang hanya “mengutamakan sektor-sektor yang dianggap lebih strategis secara politis.” Yang dimaksud Atina meliputi hilirisasi, keamanan, serta pemenuhan proyek masif seperti Makan Bergizi Gratis (MBG). “Mengingat pemotongan dilakukan sama sekali bukan karena pertimbangan risiko bencana di Indonesia yang semakin menurun. Akibatnya, pemerintah justru mengambil risiko fiskal yang jauh lebih besar,” dia menjawab pertanyaan BBC News Indonesia.
Atina khawatir pemangkasan anggaran ini akan berdampak serius terhadap menurunnya kemampuan monitoring risiko maupun deteksi dini kebencanaan. “Juga respons yang lambat, baik secara kebijakan serta penanganan di lapangan, sampai berkurangnya kecepatan melakukan pemulihan pascabencana,” tambahnya. Menurut Atina, sektor pencegahan dan mitigasi kebencanaan “harus kembali menjadi prioritas” karena sangat relevan dengan status Indonesia sebagai negara rawan bencana. Tidak hanya itu, penguatan anggaran harus “terintegrasi dalam sistem tata ruang serta kebijakan daerah,” ujar Atina, “Di mana setiap daerah, baik yang rawan maupun rendah bencana, harus memiliki sistem pencegahan dan mitigasinya sendiri yang kuat.” Dukungan kepada kebijakan kebencanaan, dalam jangka pendek, dapat dimulai dengan “moratorium izin tambang dan sawit,” tandas Atina. “Tidak lupa, tagih secara tegas kewajiban perusahaan dalam melakukan reklamasi dan rehabilitasi lingkungan,” jelasnya.
‘Kalau berhari-hari masih chaos, kita perlu mempertanyakan pemerintah’
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN, Gusti Ayu Ketut Surtiarti, mengungkapkan bahwa bencana di Sumatra tidak bisa disederhanakan hanya dalam wacana fenomena alam belaka. Riset Ketut banyak berfokus pada pengurangan risiko bencana, kerentanan penduduk, serta resiliensi komunitas. Sama seperti yang terjadi di Bali, banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatra “diperparah berkurangnya kawasan resapan yang memadai,” menurut Ketut. Pemicunya, Ketut berujar, adalah aktivitas pembangunan yang seringkali abai terhadap lingkungan. Bencana di Sumatra, Ketut meneruskan, sudah seharusnya mendorong pemerintah untuk memikirkan ulang jenis pembangunan yang hendak digalakkan, mengingat dampak efeknya yang sangat besar.
Pembenahan dapat direalisasikan dengan, pertama-tama, memperbaiki transparansi secara menyeluruh. Dalam konteks pembangunan, masyarakat perlu dilibatkan secara aktif karena merekalah yang paling memahami kondisi tempat tinggalnya, termasuk potensi munculnya bencana. Prinsip dasarnya, pembangunan harus diterapkan dari bawah ke atas, bukan malah sebaliknya. “Idealnya itu apa pun yang terjadi masyarakat itu tahu. Ini kita bicara ideal. Kalau kita bicara tentang pembangunan itu, sebenarnya, kita ada Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Jadi, [sifatnya] dari [aspirasi] bawah ke atas [pemerintah],” tegasnya. “Sebaliknya juga pembangunan itu harusnya ada informasi dari atas ke bawah, begitu idealnya. Dan sebenarnya apa pun masyarakat harus tahu.”
Aksi penanggulangan serta mitigasi risiko dalam bencana memiliki benang merah yang mengikat, dan keduanya dapat direspons dengan keterlibatan aktif pemerintah serta masyarakat untuk mewujudkan participatory mapping (pemetaan partisipatoris), sebut Ketut. “Jadi ada upaya untuk memetakan kerentanan, risiko, dan komunitas terhadap bencana alam,” tandas Ketut. Di tataran yang paling sederhana, participatory mapping dapat dijalankan dengan community asset mapping (pemetaan aset komunitas), Ketut menjelaskan. “Yang saya petakan adalah sosialnya. Sosial itu memetakan lingkungan kita. Misalnya, orang yang punya sumber daya ini ada di sini, bisa diakses di sini, termasuk finansial, materi, sampai barang,” papar Ketut. “Atau, misalnya, kalau ada yang perawat bisa hubungi dia. Ada dokter bisa ke sana. Kalau mau juragan beras di situ.”
Aset-aset itu kemudian disambungkan, membentuk semacam jaringan, ujar Ketut. Jaringan inilah yang nantinya dimanfaatkan tatkala situasi darurat. Pada waktu bencana, 72 jam pertama atau tiga hari merupakan “emergency response,” tambah Ketut. Dengan kata lain, “kita tidak bisa berharap bantuan dari luar karena asumsinya infrastruktur kolaps,” terang Ketut. Perhitungan 72 jam ditarik dari kemampuan maksimal manusia bertahan “tanpa mengonsumsi apa pun.” Ketut menyebutnya survival mode (mode bertahan). “Jadi memang 72 jam pertama itu memang terisolasi. Bahkan kita harus tahu, misalnya, letak kebun jagung di mana, kebun pepaya di mana, atau siapa yang punya genset, contohnya, untuk bisa bertahan,” imbuhnya.
Persoalannya, praktik pemetaan ini “belum maksimal di Indonesia,” kata Ketut. Ia menilai pemerintah harus memiliki andil signifikan dalam membangun “pemetaan” tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dibiarkan tanpa bekal memadai andaikata bencana alam terjadi dan keadaan di lapangan memang membutuhkan proses maupun waktu untuk menempuh evakuasi. “Kalau lebih dari 72 jam, misalnya, masih chaos, berarti kita perlu mempertanyakan pemerintah itu bagaimana,” pungkasnya.
- Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’
- Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
- Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’
- Masyarakat adat O’hangana Manyawa di Halmahera terjepit industri nikel, citra primitif, dan dugaan kriminalisasi
- Di balik tambang mineral milik China yang menggurita di Indonesia, Argentina, dan Kongo
- ‘Tiga hari minum air hujan’ – Banjir bandang melanda Halmahera Tengah, murni akibat cuaca atau aktivitas pertambangan nikel?
- Banjir Bali terparah sepanjang satu dekade, korban meninggal bertambah menjadi 16 orang
- Tragedi 1965 dan ‘mantra ampuh’ di balik citra surgawi pariwisata Bali
- Mengubur mimpi punya tanah di Bali – Warga ‘terjepit’ di tengah perkembangan wisata dan kebutuhan hidup
- Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra
- Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
- Pengakuan warga Kabupaten Agam, Aceh Tengah dan Tapanuli Tengah yang terisolasi – ‘Demi makan, kami harus menembus kubangan lumpur”
- Setidaknya 770 orang meninggal dunia, pemerintah berkukuh tak tetapkan bencana nasional di Sumatra
- Prabowo didesak tetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional – ‘Masyarakat sampai menjarah demi bertahan hidup’
- ‘Mama saya meninggal dalam keadaan salat’ – Akhir perjuangan anak mencari sang ibu yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar
- Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, akibat perusakan hutan atau cuaca ekstrem?
- Mengapa sistem peringatan dini banjir sering gagal selamatkan nyawa?
- ‘Rasanya ngeri sekali’ – Gunung Lewotobi Laki-laki di NTT meletus
- Banjir terjadi setiap hari di berbagai daerah di Indonesia, ‘kebijakan pemerintah hangat-hangat tahi ayam’
- ‘Saya sudah muak’ – Banjir berulang di Bekasi-Jakarta-Tangsel bikin warga luapkan kekesalan, pemerintah dituding tidak pernah serius menanganinya
- Indonesia diguncang gempa bumi ribuan kali per tahun – Apa yang harus dilakukan saat gempa bumi terjadi?
- Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
- Apakah teknologi bisa selamatkan penduduk dari tanah longsor?
- Kisah anak mencari ayahnya yang jadi korban longsor area tambang emas ilegal di Gorontalo – Mengapa aktivitas ini ‘dibiarkan’ terus beroperasi?
Ringkasan
Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra memicu pertanyaan tentang kesiapan pemerintah dalam mitigasi bencana. Peneliti BRIN menekankan bahwa alih fungsi lahan yang masif, terutama akibat pemberian izin konsesi, menjadi akar permasalahan banjir di Sumatra. Pemerintah mulai mengakui keterkaitan deforestasi dengan banjir dan menginstruksikan penelusuran praktik penggundulan hutan.
Banjir di Sumatra bukan kasus terisolasi, karena sebelumnya terjadi di Kalimantan Selatan, Bali, dan Halmahera. Data menunjukkan tren peningkatan frekuensi bencana banjir di Indonesia dan hilangnya hutan primer basah. Peneliti menyarankan audit kawasan hutan, evaluasi izin, dan pemetaan wilayah komprehensif serta penerapan kebijakan berbasis sains.