Eks sekjen Kemenhut bicara fakta, 1,6 juta ha hutan dilepas era Zulhas bukan untuk sawit

Photo of author

By AdminTekno

Polemik panjang mengenai pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare di Riau kembali menjadi sorotan publik. Menanggapi isu yang terus bergulir ini, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hadi Daryanto, angkat bicara, memberikan klarifikasi berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Hadi Daryanto secara tegas menyatakan bahwa kebijakan pelepasan kawasan hutan pada masa jabatan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Zulhas) adalah murni untuk keperluan tata ruang provinsi, bukan untuk kepentingan izin konsesi sawit bagi korporasi. Pernyataan ini didukung oleh dokumen resmi berupa Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014, yang mengatur tentang kawasan hutan di Provinsi Riau dan ditandatangani oleh Zulkifli Hasan.

Lebih lanjut, dalam kedua SK Menteri Kehutanan tersebut, diuraikan bahwa keputusan yang diambil Zulhas menjelang akhir masa jabatannya itu merupakan “Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan”. Hadi Daryanto menegaskan, langkah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan izin kebun sawit. “Kementerian Kehutanan menerbitkan SK 673/2014 seluas 1.638.294 hektare sebagai kawasan non-hutan murni dalam rangka Tata Ruang Provinsi, terutama untuk mengakomodasi kebutuhan akibat pemekaran kota dan kabupaten,” ujar Hadi Daryanto, yang saat itu menjabat sebagai Sekjen Kemenhut, pada Sabtu (6/12).

Kebijakan ini, menurut Hadi, adalah respons pemerintah pusat terhadap usulan resmi dari berbagai pihak di Provinsi Riau, mulai dari gubernur, bupati, wali kota, hingga aspirasi masyarakat luas. Mereka semua membutuhkan kepastian ruang untuk mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan. Oleh karena itu, klaim yang menyebutkan bahwa lahan tersebut diserahkan kepada pengusaha besar terbantahkan dengan jelas oleh rincian lampiran peta dalam SK Menteri Kehutanan tersebut.

Wilayah yang status hutannya dilepaskan dialokasikan untuk tiga tujuan utama. Pertama, untuk pemukiman penduduk. Ini mencakup kawasan desa, kecamatan, dan perkotaan yang telah padat penghuni, sehingga warga dapat memiliki kepastian hukum atas tempat tinggal mereka.

Kedua, dialokasikan untuk pembangunan fasilitas sosial dan umum. Ini meliputi berbagai infrastruktur vital seperti jaringan jalan raya provinsi dan kabupaten, gedung sekolah, tempat ibadah, serta rumah sakit yang sebelumnya mungkin berdiri di atas lahan berstatus kawasan hutan, namun kini mendapatkan legalitas resmi.

Ketiga, pelepasan lahan ini diperuntukkan bagi lahan garapan masyarakat, khususnya untuk area pertanian dan perkebunan rakyat yang selama ini telah dikelola secara turun-temurun oleh warga setempat, memberikan mereka pengakuan dan kepastian hukum atas hak garap.

Hadi Daryanto juga memaparkan latar belakang historis dan legalitas kebijakan ini. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) ini bermula dari terbitnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1992. Selaras dengan itu, seluruh provinsi di Indonesia, termasuk Riau, mengajukan RTRWP mereka. Provinsi Riau, misalnya, menetapkan Perda Nomor 10 Tahun 1994 yang mengalokasikan ruang seluas 4,34 juta hektare untuk kepentingan non-kehutanan. Kemudian, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Menteri Kehutanan membentuk Tim Verifikasi Data dan Informasi (TIMDU) yang merekomendasikan perubahan status kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan seluas 2.726.901 hektare, berdasarkan pertimbangan otoritas ilmiah (scientific authority).

Meskipun rekomendasi TIMDU lebih luas, Hadi menjelaskan bahwa berdasarkan otoritas manajemen (management authority), Menteri Kehutanan pada akhirnya hanya menetapkan pelepasan seluas 1,6 juta hektare untuk tata ruang provinsi. “Keputusan ini bukan untuk korporasi, melainkan untuk mengakomodasi pemekaran kota/kabupaten serta pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat,” tegas Hadi. Oleh karena itu, tujuan utama penerbitan SK Menteri Kehutanan ini adalah untuk memberikan kepastian hukum. Tanpa adanya revisi tata ruang tersebut, ribuan warga yang telah lama tinggal dan beraktivitas di area tersebut secara teknis akan dianggap melakukan okupasi ilegal di dalam kawasan hutan. “Angka 1,6 juta hektare ini jauh lebih kecil dibandingkan usulan TIMDU maupun alokasi dalam Perda Riau,” pungkasnya, menegaskan bahwa kebijakan ini adalah langkah proporsional untuk mengatasi masalah sosial dan pembangunan.

Leave a Comment