The Voice of Hind Rajab dan all that’s left of you – ‘Harus berapa anak lagi yang terbunuh di Palestina?’

Photo of author

By AdminTekno

“Berapa anak lagi yang harus terbunuh? Berapa ibu lagi yang harus menanggung penderitaan ini? Sampai saat ini, saya masih bisa mendengar suaranya dan berharap dia ada.”

Ucapan Wissam Hamada, ibu dari Hind Rajab, di atas muncul jelang akhir dokumenter drama bertajuk The Voice of Hind Rajab.

Momen Wissam menemukan Hind dalam mobil yang hancur bersama anggota keluarga yang lain turut ditampilkan juga dengan memanfaatkan rekaman video aslinya.

Selain sejumlah rekaman video asli, suara Hind sepanjang film merupakan rekaman audio asli percakapan anak perempuan berusia enam tahun yang terus meminta dijemput itu dengan petugas Bulan Sabit Merah.

Alhasil, film berdurasi 90 menit yang diluncurkan perdana ketika Venice Film Festival 2025 ini tak hanya membangkitkan emosi tapi berupaya memantik kemanusiaan untuk kesekian kalinya. Di pemutaran pertamanya tersebut, The Voice of Hind Rajab memperoleh apresiasi tepuk tangan sepanjang 23 menit.

Kali ini, penonton Indonesia memperoleh kesempatan menyaksikan film ini dalam rangkaian Jogja-Netpac Asian Film Festival 2025. Tepuk tangan dengan sisa isak tangis yang terdengar sejak awal film hingga usai pecah di dalam ruang bioskop.

Bagi sutradara film ini, Kaouther Ben Hania, melalui sejumlah wawancara berkata respon penonton yang positif diharapkan dapat mendorong film ini semakin menembus berbagai pasar sehingga pesan dari Palestina melalui film ini kian luas.

“Suara Palestina tidak banyak terdengar. Mereka sering dibungkam. Ini mulai berubah sedikit. Tapi masih sangat, sangat sulit. Film ini juga bukan hanya tentang tepuk tangan atau tentang momen katarsis saat penonton menangis lalu pulang,” kata Ben Hania.

Dari data Kementerian Kesehatan di Gaza, jumlah anak-anak yang tewas mencapai 18.592 jiwa per Juli 2025. Jumlah ini tentu bertambah mengingat serangan masih dilancarkan Israel meski ada kesepakatan gencatan senjata.

Bahkan sejak perjanjian gencatan senjata pada 10 Oktober lalu, Israel masih menyerang Gaza. Setidaknya 370 warga Palestina, termasuk anak-anak tewas akibat serangan itu.

Bagaimana cerita tentang Hind Rajab?

Dengan konsep dokumenter drama, Ben Hania tak mau membuang waktu. Intensitas emosi langsung dibangun di menit awal lewat situasi di dalam ruang kerja para petugas Bulan Sabit Merah di Ramallah, Tepi Barat, Palestina pada 29 Januari 2024 sore.

Omar Alqam (Motaz Malhees) menerima panggilan telepon dari seorang anak perempuan berusia 15 tahun dari keluarga Hamada yang memohon pertolongan karena mobil yang ditumpanginya ditembaki. Ayah, ibu, dan saudara-saudaranya dalam mobil disebutnya terkena tembakan dan tewas.

Ketika Omar mulai menggali informasi, anak perempuan itu berteriak setelah terdengar suara tembakan. Suasana berubah hening. Omar membeku. Pimpinan petugas Bulan Sabit Merah, Mahdi Aljamal (Amer Hlehel) menyaksikan dari ruangannya. Ia segera memanggil psikolog Nisreen Qawas (Clara Khoury) dan atasan Omar, Rana Hassan Faqih (Saja Kilani) untuk menenangkan.

Omar yang mulai tenang menjajal berkontak lagi dengan nomor anak perempuan tadi. Lama berdering nada sambung sampai terdengar suara Hind menjawab panggilan tersebut. Rana yang semula bersiap pulang pun membatalkan rencananya. Bersama Omar, ia mencoba berbicara dengan Hind.

Setelah itu, rekaman audio asli suara Hind terdengar. Ia mengaku tengah sendiri karena semua anggota keluarganya di dalam mobil sedang tidur. Ia melihat tank. Ia ketakutan dan minta segera dijemput.

Lokasi mobil yang dinaiki Hind berada dekat dengan stasiun pengisian bahan bakar Fares, Tel el-Hawa, Gaza. Omar meminta Mahdi mengirimkan ambulans segera karena berdasarkan keberadaan tim bantuan di Gaza dengan tempat Hind terjebak hanya sekitar delapan menit ditempuh dengan mobil.

Alih-alih segera menurunkan ambulans untuk menjemput Hind, Mahdi berkoordinasi dengan Palang Merah. Dari situ, ada prosedur dari Palang Merah meminta ke Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (Cogat) milik Israel untuk memberi izin masuknya bantuan dan panduan jalur aman yang bisa dilalui petugas kemanusiaan.

Birokrasi yang banyak membuang waktu ini membuat berang Omar. Sementara itu, Hind terus mengiba ketakutan dan meminta dijemput.

Di tengah perdebatan sengit antara Omar dan Mahdi terkait birokrasi. Rana terus mengajak Hind bercerita tentang sekolah dan hari-hari seorang anak enam tahun yang sedang senang-senangnya bermain.

“Karena orang-orang sepertimu, kita terus dijajah seperti ini,” teriak Omar pada Mahdi yang terus bersikeras menunggu izin keamanan dari Israel melalui Cogat.

Mahdi sebenarnya punya alasan. Petugas Bulan Sabit Merah banyak yang gugur. Hanya tersisa sedikit di Gaza saat itu sehingga ia tidak mau petugas lapangannya kembali tewas. “Mereka juga ayah yang punya anak,” ujar Mahdi kepada Omar.

Situasi dilema yang dialami Mahdi cukup pelik. Gigihnya Omar dan Rana mendesak ambulans untuk segera dikirim juga masuk akal. Siapa yang tega membiarkan anak berusia enam tahun dikelilingi anggota keluarga yang tewas di dalam mobil yang ditembaki dan dilalui tank?

Namun apa mau dikata, pendudukan Israel mengakibatkan para warga Palestina hingga petugas kemanusiaan pun terbelenggu. Ancaman ditangkap, ditembaki, dihujani bom menghantui mereka sepanjang waktu.

Hari mulai malam, Hind dengan suara putus asa bilang takut gelap. Ia mau Rana segera menjemputnya. Ia mulai menangis. Hingga kemudian, Hind berkata dirinya terluka seiring suara tembakan yang terdengar.

Kondisi di kantor Bulan Sabit Merah memanas. Dari delapan menit hingga hampir tiga jam, pertolongan untuk Hind terhambat pemberian “lampu hijau” dari Cogat. Kementerian Kesehatan di Gaza pun tak bisa berbuat banyak saat itu. Hingga Hind terluka pun kepastian tak kunjung datang.

Di tengah frustrasi, Mahdi memperoleh telepon bahwa izin diberikan dengan arahan jalur aman. Dua orang petugas lapangan Yusuf al-Zeino dan Ahmed al-Madhoun diturunkan. Mahdi, Omar, Rana, dan Nisreen lega dan mengabarkan pada Hind sembari melihat perjalanan ambulans melalui peta.

Kelegaan itu hanya bertahan dalam hitungan menit. Ambulans berhenti cukup lama di satu titik. Omar menghubungi Zeino lalu terdengar ledakan cukup keras dan pembicaraan keduanya terputus. Hening.

Hind masih dipandu Nisreen yang menggantikan Rana untuk tetap tenang sambil melafalkan ayat Al-Quran hingga hening merambat lagi.

Akhir Januari itu, keluarga Hamada meninggal di dalam mobil yang dihujani 335 tembakan dan dua petugas kemanusiaan yang hendak membantu juga turut berpulang. Mereka baru ditemukan 12 hari kemudian setelah Israel pergi dari wilayah tersebut.

Selama 12 hari itu, Wissam Hamada terus mencari anaknya di rumah sakit dekat wilayah tersebut dan berharap anaknya selamat.

Mereka terpisah karena Hind dititipkan ke pamannya yang mengendarai mobil saat proses evakuasi. Sementara Wissam dan anggota keluarga lainnya berjalan kaki.

Ben Hania memilih representasi Hind hanya melalui suara aslinya sebagai bentuk penghormatan.

Karena itu, hanya para petugas Bulan Sabit Merah yang diperankan para aktor dan aktris. Meski begitu, Ben Hania tetap menyandingkan situasi ruangan saat syuting dengan suasana asli ketika peristiwa terjadi yang sempat terekam oleh petugas lain.

Pilihan subtil para sutradara

The Voice of Hind Rajab bukan film pertama yang menuturkan tentang horor yang terjadi di Palestina akibat penjajahan Israel. Hampir tiap tahun selalu ada film yang lahir dari pengalaman personal dengan berbagai sudut penceritaan.

Kisah Hind ini dipilih dengan dokumenter drama karena tetap ingin fokus pada rekaman suara Hind. “Gambar kekerasan ada di mana-mana. Saya ingin fokus pada apa yang tidak langsung terlihat yang mungkin belum banyak disorot,” ujar Ben Hania.

Alasan Ben Hania mirip dengan sutradara dan aktris Cherien Dabis yang baru meluncurkan film bertajuk All That’s Left of You. Film yang juga diputar di JAFF 2025 ini berpegang pada pengalaman Dabis dan trauma generasi yang dialami keluarganya. Akan tetapi, Dabis membaurkannya dengan elemen fiksi untuk membungkus cerita.

Film itu mengambil latar 1948, 1978, 1988, hingga 2022. Dari kisah Sharif muda (Adam Bakri) yang terpaksa berpisah dari keluarga hingga berjumpa kembali kemudian kisah anak Sharif yakni Salim (Saleh Bakri) dan cucu Sharif, Noor (Muhammad Abed Elrahman) yang memendam luka.

Masing-masing menyimpan traumanya terhadap kekerasan tentara Israel yang menceraiberaikan keluarga. Hanan (Cherien Dabis), istri Salim, menjadi saksi trauma tiga generasi ini hingga akhirnya Noor ditembak tentara dan meninggal karena terlambat ditangani akibat rumitnya perizinan dari Israel untuk merujuk dari rumah sakit di Nablus ke Haifa.

Di tengah kesedihan kehilangan anak, Hanan dan Salim diminta persetujuan mendonorkan organ Noor. Keduanya pun memberi syarat agar penerima donor mengetahui penyebab kematian Noor dan mereka berhak tahu siapa penerima donor. Dari enam penerima donor, satu berasal dari warga Israel. Alasan kemanusiaan melandasi keputusan keduanya.

Dabis membuka mata kemanusiaan yang tidak mengenal batas teritorial. Mereka yang terusir dan teraniaya, tapi mereka pula yang menghidupkan kemanusiaan.

“Saya pikir para politisi telah mengecewakan kita, itu sangat jelas. Karena itu, saya ingin berbicara tentang harapan pada kemanusiaan, harapan bahwa orang-orang dapat melihat ketidakadilan.”

Meski diakuinya trauma itu tinggal dan menuntut keadilan tetap harus dilakukan pada pihak yang terlibat dalam penjajahan.

Digambarkan Inggris turut andil memantik Nakba pada 1948 karena berdirinya Israel. Rumah keluarga Sharif dan kebun jeruknya di Jaffa dirampas. Selain ditinggali serampangan oleh tentara Israel, rumah-rumah lain di Jaffa menjadi tempat tinggal bagi orang-orang Yahudi dari Eropa yang terdampak Holocaust.

“Saya ingin memastikan generasi selanjutnya terus mengingat Palestina. Saya juga ingin mengeksplorasi mereka yang bergelut dengan trauma dan merasa sudah cukup karena semakin melawan semakin mereka terbunuh,” kata Dabis.

“Padahal orang Palestina terusir dari tanahnya. Mereka menjadi pengungsi atau eksil yang tak bisa kembali lagi seperti ayahku. Perlahan orang-orang kini sadar dan Palestina bisa berdampak pada dunia.”

Kedua film ini, The Voice of Hind Rajab dari Tunisia dan All’s That Left of You dari Yordania, masuk sebagai kandidat Best International Feature Film di Academy Awards tahun ini.

Tahun lalu, JAFF juga memutar film No Other Land (2024) yang kemudian meraih piala Oscar. Saat itu, film yang dibuat Basel Adra dan Yuval Abraham ini masuk nominasi Academy Awards bersama film tentang Palestina lain berjudul From Ground Zero (2024) garapan Rashid Masharawi.

Bagaimana perjalanan sinema Palestina?

Sinema di Palestina sudah dikenal sejak 1897. Bahkan Lumiere bersaudara, penemu proyektor film, pernah melakukan pengambilan gambar di Jaffa dan Jerusalem pada tahun tersebut.

Perkembangan sinema timur tengah, khususnya di Palestina, kian mekar pada era 1920-an lewat Lama bersaudara, yaitu Ibrahim Lama dan Badr Lama, yang berdarah Palestina. Namun peristiwa Nakba 1948 mengubah semuanya. Penghancuran besar-besaran terjadi sehingga tidak ada rekaman film yang tersisa. Bukti perkembangan sinema pun hanya mengandalkan bukti-bukti sekunder, seperti iklan yang ada di koran.

Pemberantasan arsip film Palestina ini dilakukan juga di negara lain yang menyimpannya. Salah satunya di Lebanon ketika Tragedi Beirut 1981. Ini muncul dalam film dokumenter milik sutradara Kamal Al-Jafari yakni A Fidai Film.

Sejak Nakba hingga 1967 merupakan era senyap dunia perfilman Palestina. Dari data Doha Film Institute, sebanyak 799 film tentang Palestina dari 204 sutradara diproduksi pada 1916-2005. Kemudian sejak 2006 sampai 2019, ada 547 film dari 369 sutradara dengan cerita seputar cinta dan kehidupan di bawah bayang penjajahan.

Pendekatan dokumenter sering digunakan untuk menceritakan situasi Palestina. Para sutradara bercerita dari sudut pandangnya masing-masing. Meski detil tentang penghancuran rumah, pengusiran penduduk Palestina, hingga kekerasan terhadap warga yang memperjuangkan tanahnya selalu muncul dalam film.

Hal ini tidak bisa dihindari karena tiap generasi menjadi saksi semua itu dan trauma generasional itu nyata adanya. Bukan semata-mata dampak dari peristiwa 7 Oktober 2023 saja, melainkan sejak Nakba 1948.

Sejumlah dokumenter berangkat dari cerita keluarga Palestina, antara lain A Fidai Film (2024) besutan Kamal Al-Jafari, Bye Bye Tiberias (2023) dari Lina Soualem, hingga The Myth of Mahmoud yang rencana tayang pada 2027 garapan Mayar Hamdan. Semuanya berisi luka kolektif sebuah bangsa.

Pengembangan fiksi dengan berpegang pada sejarah bangsa yang dipaksa dicerabut lewat genosida juga mulai bertebaran, seperti Paradise Now (2005) dan Omar (2013) dari Hany Abu-Assad, hingga format stop motion yang dibuat sutradara Ahmad Saleh yakni Layl (2021) dan House (2012).

Meski sempat memasuki masa senyap, kini sinema Palestina bergerak dengan caranya demi merawat ingatan dan memperjuangkan keadilan. Para sutradara berdarah Palestina yang berkesempatan mengenyam pendidikan di luar atau hijrah ke luar tanah kelahirannya menggunakan momen itu untuk menyuarakan kegetiran puluhan tahun yang dialami turun-temurun.

Ajang festival dan lokakarya film menjadi jalan mereka memperoleh pendanaan dan dukungan. Di sisi lain, sutradara dari Timur Tengah atau Afrika Utara seperti Ben Hania yang mengangkat cerita Palestina juga menjadi langkah lain menggemakan kisah Palestina melalui film.

Kini, kisah Hind Rajab atau keluarga lain di Palestina yang terenggut kebebasannya secara paksa secara gamblang dibuka. Tidak lagi dengan mengumbar tembakan dan bom membabibuta atau tampilan penuh kekerasan yang selalu menyesakkan.

Sutradara perempuan seperti Kaouther Ben Hania dan Cherien Dabis memperlihatkan luka keluarga secara mendalam karena kehilangan anak yang usianya masih sangat muda. “”Harapan saya ini menjadi perenungan untuk melakukan sesuatu. Ini tentang bagaimana membawa keadilan bagi Hind dan semua anak yang dibunuh di Palestina,” kata Ben Hania.

Mengutip dialog Omar dalam The Voice of Hind Rajab:

“Sudah berapa banyak foto anak-anak di Palestina yang meninggal mengenaskan tersebar di media sosial? Nyatanya tidak ada yang bergerak mengakhiri semua ini. Kita harus segera bergerak.”

  • Kisah Hind Rajab, bocah perempuan di Gaza yang meminta bantuan via telepon dan ditemukan tewas akibat serangan Israel
  • ‘Kami hanya ingin perang berakhir’ – Kisah anak-anak Gaza yang menjadi yatim piatu akibat perang
  • Kisah anak-anak Gaza yang terluka akibat serangan Israel dan jadi yatim piatu

Leave a Comment