Menyibak misteri jamur pahlawan tak kasat mata di Sulawesi yang bisa selamatkan hutan gundul

Photo of author

By AdminTekno

Jamur unik sebesar piring hingga yang terbenam di dalam tanah baru-baru ini ditemukan di hutan Sulawesi Selatan. Peneliti menyebut eksistensi jamur-jamur itu bukan sekadar aksesori karena mereka berperan vital dalam kelestarian hutan.

Kelompok peneliti lintas negara tidak sedang mencari jamur zombie dalam seri fiksi Last of Us atau jejaring pohon berpendar dalam film Avatar. Lebih dari itu, mereka berdesakan dengan waktu untuk melindungi jamur “sebagai penjaga ekosistem hutan” di tengah perubahan iklim dan laju deforestasi dunia.

Ekspedisi Mikoriza berisi para peneliti dari Society for the Protection of Underground Network (SPUN)—organisasi nirlaba yang mengumpulkan data jaringan mikoriza di dunia—dan juga sejumlah akademisi Indonesia, termasuk yang tergabung di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mereka berupaya mengambil sampel tanah di tengah hutan. Mereka ingin meneliti jaringan mikoriza dan kekayaan bawah tanah di hutan Sulawesi Selatan, salah satu titik pusat keanekaragaman hayati Wallacea.

Secara umum, lebih dari 4.000 jenis tumbuhan hidup di kawasan itu. Adapun jumlah jamur mencapai ribuan jenis, menurut peneliti BRIN.

Sepekan mengelilingi Sulawesi Selatan, dari area lamun di pesisir, hutan yang berdekatan dengan permukiman, hingga hutan alami di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, para peneliti telah mengumpulkan 45 sampel tanah dari beragam jenis hutan dan 22 sampel di padang lamun.

Saya memotret cerita para peneliti yang begitu kagum melihat ragam jamur di dalam hutan, awal November lalu. Saya mengikuti ekspedisi mereka, masuk-keluar hutan Sulawesi Selatan.

Sekitar dua jam perjalanan darat dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, para peneliti berusaha mencari tahu jaringan fungi yang tak terlihat oleh mata manusia.

Jaringan fungi tersebut mampu membuat tumbuhan di sekitarnya menjulang tinggi membentuk kanopi alami di hutan.

Angin sejuk berembus di sela-sela batang ramping pohon-pohon tinggi itu. Tanah yang kami pijak terasa lembab, sisa hujan semalam .

Langkah demi langkah diperhitungkan dengan hati-hati untuk agar tidak menginjak jamur-jamur di dalam hutan.

Para peneliti bilang, jamur bukan sekadar aksesori hutan. Bukan pula sekadar komoditas para kapitalis.

Tidak dapat dipungkiri, menurut peneliti, manusia selama ini mempelajari jamur dalam mikoriza hanya sebagai pelengkap bagi tumbuhan.

“Seolah-olah mereka membantu tumbuhan mengakses nutrisi di dalam tanah, karena mereka [tumbuhan] yang menghendakinya,” kata Bethan Manley, peneliti SPUN.

Baca juga:

  • ‘Menghindari begal dan terancam harimau’ – Kisah di balik penemuan tanaman langka Rafflesia hasseltii di Sumatra
  • Pala Papua, si ‘anak tiri’ rempah Indonesia – ‘Setelah keluar dari pelabuhan, kehilangan identitasnya’

Mikoriza yang dimaksud Bethan berasal dari Bahasa Yunani, yaitu mykes (jamur/cendawan) dan rhiza (akar) yang merupakan hubungan simbiosis antara jamur dan tumbuhan ketika miselium jamur berhubungan dengan akar tumbuhan.

Bethan berkata, jamur dalam mikoriza punya ‘urusannya’ sendiri yang belum tentu sama dengan ‘urusan’ tumbuhan.

“Mereka juga ingin bertahan hidup dan bereproduksi, sehingga mereka hidup dalam simbiosis mutualisme dengan tumbuhan,” kata Bethan.

Namun, bukan berarti jamur dalam mikoriza memberikan segalanya secara cuma-cuma kepada tumbuhan di atasnya.

Bethan menggambarkan hubungan itu layaknya ‘pertukaran’—jamur memberi nutrisi kepada tumbuhan dan sebaliknya, jamur mendapatkan karbon dioksida dari pohon.

“Dalam hubungan ini, jamur tahu apa yang ia butuhkan, pohon juga begitu, mereka saling membutuhkan.”

Pemahaman lain tentang jamur setidaknya bisa diperoleh dari sudut pandang Anna Tsing, dalam bukunya yang berjudul The Mushroom at the End of the World: On the Possibly Life of Capitalist Ruins.

Sebuah kalimat menggema dalam benak saya, “Ketika Hiroshima hancur karena bom atom pada 1945, tersebutlah bahwa organisme pertama yang tumbuh di atas kehancuran itu adalah jamur Matsutake.”

Dengan kata lain, Tsing ingin berkata, jamur mampu tumbuh di lingkungan yang manusia pun tidak pernah bisa bayangkan seraya membentuk hubungan timbal balik dengan tanaman, terutama tanah-tanah yang miskin nutrisi akibat campur tangan manusia.

Kembali ke hutan Sulawesi, para peneliti yang berasal dari beragam disiplin ilmu itu terkesima ketika menanjak jalan terjal hutan, menemukan jenis-jenis jamur yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Bethan yang memimpin ekspedisi ini merupakan ahli dalam bidang genetika mikoriza. Dia menjelaskan, banyak jenis jamur yang baru dia lihat sepanjang perjalanan menjelajahi hutan karst Sulawesi.

Untuk mengidentifikasi fungi itu, para peneliti menelusuri jejak DNA-nya di dalam tanah.

Dengan jejak DNA itu, para peneliti akan mendapatkan gambaran spesifik jenis lingkungan tertentu yang membentuk sebuah komunitas fungi.

“Kami perlu mengidentifikasi jenis fungi tak hanya di Sulawesi, tetapi di sejumlah wilayah di dunia,” ujar Bethan.

Data spesifik mengenai jaringan mikoriza di bawah tanah yang menopang eksistensi keanekaragaman hayati di permukaan diyakini bisa membantu upaya manusia melindungi ekosistem.

Adriana Corrales, rekan peneliti Bethan yang merupakan ahli dalam bidang ektomikoriza, bilang bahwa jaringan mikoriza merupakan sistem sirkulasi tanah yang terhubung dengan tumbuhan.

“Pada dasarnya, jaringan itu punya koneksi yang kuat dengan permukaan, karena peran mereka dalam pertumbuhan pohon yang sebenarnya menjadi dasar dari setiap ekosistem,” tuturnya.

Bagaimana kehidupan jaringan mikoriza di bawah tanah?

Sebelum melangkah lebih jauh menuju area temaram hutan, tanah yang kami injak menyimpan begitu banyak keberagaman—atau yang Adriana gambarkan sebagai ‘mega diverse’.

“Dalam setiap genggam tanah, kita bisa mendapatkan jutaan bakteri, berkilometer panjangnya hifa dari beragam fungi,” kata Adriana.

Hifa yang dimaksud Adriana merupakan unit dasar jamur yang strukturnya berbentuk benang atau filamen. Kumpulan hifa ini disebut miselium yang membentuk jaringan mikoriza.

“Ukurannya mikroskopis, tapi mereka memindahkan berton-ton karbon melalui tanah. mereka pada dasarnya adalah pahlawan tak terlihat di dalam tanah, menjaga tanaman tetap hidup,” ujar Adriana.

Dalam sejumlah penelitian SPUN, 80% tanaman di dunia membutuhkan fungi mikoriza untuk bertahan hidup.

Itu terjadi ketika miselium menyentuh akar pohon di dalam tanah. Jaringan fungi itu memberikan nutrisi untuk pohon di permukaan.

Mikoriza secara spesifik berperan sangat aktif dalam mendistribusikan 13 miliar ton karbon setiap tahunnya di dunia.

Mata manusia dapat melihat hifa pada kebanyakan jenis fungi ektomikoriza. Bentuknya seperti benang putih bercabang yang bersingggungan dengan akar pohon.

Sementara, endomikoriza tidak terlihat dengan mata telanjang dan hanya bisa diamati lewat mikroskop.

SPUN memetakan potensi jaringan mikoriza di seluruh dunia berdasarkan sejumlah data yang kompleks.

Mulai dari stabilitas iklim, biomassa di atas tanah, suhu rata-rata tahunan, tingkat kekeringan, modifikasi oleh manusia, intensitas penanaman, populasi manusia, hingga keanekaragaman hayati di lokasi-lokasi tertentu.

Dalam peta itu, sejumlah wilayah Indonesia terindikasi memiliki kekayaan jaringan mikoriza.

Beberapa wilayah di Sulawesi Selatan juga masuk di antaranya. Menurut Bethan, keberagaman tanaman di hutan Sulawesi mengindikasikan kekayaan fungi arbuskular dalam mikoriza.

“Secara realistis, semakin banyak spesies tumbuhan di suatu wilayah adalah indikator yang baik, bahwa ada kemungkinan [hutan ini] memiliki banyak spesies fungi arbuskular dalam mikoriza,” kata Bethan.

Dosen ilmu kehutanan dari Universitas Hasanuddin, Ira Taskirawati, berkata, karena hutan yang kami pijak ini merupakan kawasan Wallacea, maka spesies tumbuhannya berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.

“Ekosistem Sulawesi lebih mirip ke ekosistem hutan di Australia. Ada beberapa jenis tanaman dan hewan endemik yang memang berbeda dengan Indonesia bagian barat,” kata Ira.

Meski demikian, menurut SPUN, area yang kaya ragam tanaman belum tentu menampung jaringan mikoriza yang paling kaya, sehingga keanekaragaman itu bukan menjadi indikator utama.

Seperti yang terjadi di hutan hujan Amazon. Meski memiliki keanekaragaman tumbuhan yang luar biasa, ekosistem sabana di sekitarnya di Cerrado, Brasil, justru diprediksi mengandung komunitas jamur mikoriza arbuskular yang paling beragam di Bumi.

Begitu pula dengan apa yang terjadi di hutan Boreal di Siberia dan Kanada. Walau keanekagaraman hayati relatif rendah, para peneliti menemukan komunitas ektomikoriza yang sangat kaya, hingga 100 spesies jamur ektomikoriza.

Temuan SPUN itu menunjukkan bahwa strategi konservasi yang hanya didasarkan pada keanekaragaman hayati di atas tanah dapat mengabaikan ekosistem bawah tanah yang juga sama pentingnya.

Bukan sekadar menggali tanah

Saat diguyur hujan tak berkesudahan di tengah hutan, sesekali para peneliti menghentikan langkah mereka.

Kabut yang menyelimuti seisi hutan tak menutup pandangan mereka pada jamur yang menyeruak dari sela-sela tanah, hingga batang pohon.

Helbert, peneliti di Pusat Riset Sistem Biota BRIN, memicingkan mata, melihat jamur berwarna putih di sisi kiri jalan setapak yang merupakan punggung bukit.

Dalam penelitian ini, dia bertugas mengumpulkan sampel jamur.

Ukuran jamur berwarna putih sebesar piring makan itu jelas begitu kontras dengan batang pohon kecokelatan.

Dengan gembira bak melihat sebongkah berlian, Helbert mengaku belum pernah melihat jamur itu. Dia berkata “ini masih tanda tanya besar, badan buahnya besar dan berbilah, tetapi [teksturnya] agak keras.”

Dia melanjutkan, “bisa saja merupakan spesies baru.”

Namun, beberapa pekan setelah ekspedisi itu, sampel jamur itu ternyata tak bisa diselamatkan karena hujan dan badan buahnya sudah cukup berumur.

Jamur lainnya yang terlihat unik adalah jamur sarang burung. Dinamakan begitu karena bentuknya menyerupai sarang burung, tetapi ukurannya hanya sebesar kacang polong.

Jamur itu ditemukan di batang pohon pinus yang menjulang begitu tinggi. Namun, menurut Helbert, genus dan spesiesnya belum diketahui.

Sementara yang sering terlihat di sela-sela tumpukan daun di permukaan tanah adalah, jamur genus Suillus. Bentuknya mirip roti bulat yang baru keluar dari oven.

Semua jamur tadi merupakan wujud dari buah yang dihasilkan fungi. Meski menurut para peneliti, kebanyakan fungi tidak membentuk buah dan berada di dalam tanah, yang diistilahkan Adriana sebagai ‘tak kasat mata’.

Karena itu, para peneliti ini benar-benar memperhitungkan jarak antara titik satu dengan lainnya ketika mengambil sampel tanah.

Dalam satu titik lokasi, ada sembilan subsampel tanah yang harus dikumpulkan.

Gambarannya, ketika titik pusatnya sudah ditentukan, mereka mengeluarkan palu dan selongsong tabung besi yang sudah dibersihkan alkohol.

Mereka mengetuk selongsong hingga kedalaman 10 sentimeter, lalu mendapat sampel tanah yang berada di dalam selongsong berdiameter 5 sentimeter itu.

Satu sampel mereka simpan dalam plastik kedap udara. Mereka lantas mencatat datanya, mulai dari klasifikasi keadaan lokasi pengambilan sampel, merekam titik lokasi dengan GPS (Global Positioning System), termasuk mencatat jenis tanaman dan ciri-cirinya.

Satu titik sampel punya sembilan subsampel, dan itu semua berlaku di titik sampel lainnya yang masing-masing berjarak sekitar 400 meter hingga 1,2 kilometer.

Dalam sehari, sampel dari belasan titik lokasi berhasil dikumpulkan, menyusuri lebatnya hutan Sulawesi hingga puluhan kilometer.

“Jadi, pada dasarnya, kami mengambil inti sampel tanah untuk mengekstrak DNA-nya, kami ingin mencari tahu spesies fungi apa saja yang menghuni tanah ini, dengan begitu kami dapat memahami keanekaragaman hayati yang ada di dalam tanah ini,” ujar Valeria Verrone, peneliti SPUN.

Area pengumpulan sampel yang dijelajahi Tim Ekspedisi Mikoriza cukup menantang. Hutan-hutan di Sulawesi punya kerapatan pohon hingga bongkahan tebing karst.

Secara garis besar, ekspedisi ini bertujuan membentuk sebuah landasan data yang akan mereka sematkan dalam pemetaan jaringan bawah tanah dunia.

“Kita perlu mengidentifikasi secara spesifik spesies [fungi] apa saja yang hidup di Sulawesi Selatan, termasuk di lokasi lain di dunia, untuk menentukan data dasar keanekaragaman hayati, sehingga kita dapat melindunginya lebih baik, karena saat ini, kita bahkan tidak tahu apa yang perlu kita lindungi,” kata Bethan.

Mengapa jaringan mikoriza penting?

Dalam satu jalur di hutan yang licin, tanjakan dengan kemiringan hampir 90 derajat dan hampir 200 meter panjangnya, Fathia Kairana, mahasiswa semester tujuh Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, tiba-tiba menghela napas panjang.

“Alamak, tanjakan cinta,” ujarnya.

Fathia adalah satu dari sejumlah mahasiswa yang ikut dilibatkan dalam penelitian itu.

Jaringan mikoriza yang selama ini hanya sebatas bayangan dalam teori di kelas, ada di depan matanya.

“Dalam praktiknya, saya terpikir untuk meneliti fungi lebih dalam, mengingat perannya dalam ekosistem,” ungkap Fathia.

Menurut SPUN, fungi dalam mikoriza adalah titik masuk utama bagi karbon ke dalam sistem di bawah tanah, menyerap sekitar 13 miliar ton CO2 per tahun dari tumbuhan di atasnya, jumlah itu sekitar 36% dari emisi bahan bakar fosil global.

Tumbuhan di atas tanah juga mendapat hingga 80% fosfor dari fungi dalam mikoriza, sehingga kondisi tanah jadi lebih produktif dengan meningkatkan retensi air dan nutrien penting hingga mencegah erosi.

Sekitar 80% tumbuhan di dunia, baik yang tumbuh di hutan, perkebunan hingga pertanian, membutuhkan mikoriza untuk hidup.

“Mereka [fungi] bisa menjadi solusi berkelanjutan dalam pertanian, seperti pupuk alami, dan selama ini baru 10% spesies fungi yang diketahui sains,” ujar Adriana.

Senada dengan Adriana, dalam sejumlah penelitian BRIN, jenis arbuskular mikoriza yang tak kasat mata, sering dimanfaatkan sebagai bahan pupuk untuk tanaman pangan.

Menurut BRIN, pupuk dengan fungi yang dapat mendukung mikoriza terbukti meningkatkan produksi pada tanaman pepaya dan memperbaiki tanah perkebunan pisang di Sumatra Barat.

Banyak potensi yang bisa digali, utamanya berkaitan dengan jaringan mikoriza.

Ira Taskirawati menambahkan “kalau kita sudah bisa mengidentifikasi jenis-jenis dungi dalam mikoriza terutama di Sulawesi Selatan, kita bisa mengkultur jenis itu, kita bisa cobakan ke tanaman terutama tanaman-tanaman yang akan ditanam di area rehabilitasi, misal area bekas tambang.”

Sejumlah proyek penghijauan yang melibatkan fungi mikoriza sudah berhasil dilakukan di sejumlah tempat di dunia.

Seperti di Phayao, Thailand yang dimulai pada Juli 2017. Setidaknya, proyek itu diklaim berhasil menanam puluhan ribu bibit pohon di lahan hutan seluas 60 hektare yang sebelumnya hancur.

Kemudian Proyek Gaviotas, sebuah inisiatif pembangunan berkelanjutan yang berlokasi di padang rumput terpencil di Kolombia. Proyek ini dimulai pada 1970-an, hingga kini, tercipta 20.000 hektare hutan pinus di lahan itu. Kunci keberhasilannya adalah menggunakan fungi mikoriza dalam strategi reboisasinya.

Para peneliti kala itu menemukan bahwa spesies pinus Karibia dapat bertahan hidup di tanah itu karena memiliki simbiosis dengan fungi mikoriza.

Dari dua cerita itu, pemulihan alam, juga membutuhkan waktu dan terutama landasan yang tepat, yakni data spesifik tentang keanekaragaman mikoriza.

Helbert, peneliti BRIN menyebut, penelitan tentang mikoriza di Indonesia terbilang sedikit. Dalam sedikitnya penelitian itu, beberapa kali pula peneliti menghadapi jalan buntu.

Namun, ada secercah harapan. Dalam sebuah penelitian, fungi mikoriza ternyata berjasa dalam proses pembibitan tanaman di laboratorium.

“Pada saat kami kembalikan ke alam [lapangan] ada kecenderungan terjadi suksesi alami, ektomikoriza alami yang ada di dalam tanah akan mengambil alih atau mensuksesi ektomikoriza bawaan pada saat proses pembibitan,” kata Helbert.

Penelitian itu menurut Helbert, belum cukup. Dia menambahkan “butuh penelitian lebih mendalam, apakah benar hal itu terjadi di alam?”

Dalam proses rehabilitasi, kerap muncul istilah kompatibilitas ekologis, yaitu ketika jenis tanaman tanah dan jaringan mikoriza-nya tidak cocok.

“Banyak kasus pembibitan yang gagal selama proyek restorasi, karena ketidaktepatan jaringan fungi pada saat proses pembibitan,” kata Valeria.

Sehingga butuh landasan data yang mendukung agar teka-teki kompabilitas itu dapat terurai. Kabar baiknya, landasan data itu sedang dikumpulkan.

Kabar buruknya, potensi fungi mikoriza ini kurang nampak di permukaan. Menurut SPUN, 90% area dengan keanekaragaman fungi mikoriza di dunia tidak terlindungi.

Dengan kata lain, hanya 9,5% hotspot kekayaan mikoriza berada di area yang dilindungi, atau sekitar 280.000 km persegi di seluruh dunia untuk arbuskular mikoriza dan sekitar 756.000 kilometer persegi di seluruh dunia untuk ektomikoriza.

Leave a Comment